Jumat, 13 Desember 2013

Menulis Puisi, Ritual dalam Diri



OLEH Yori Kayama
Penikmat Puisi

“Ia membawa kita kepada suatu tingkat maklum. Ia membawa kita kepada suatu tingkat, di mana kita dapat maklum-memaklumi sesama manusia, sehingga dapat merasai adamya suatu kenyataan dan dapat menghargai pesarasaan itu dan memasukkannya ke dalam perhitungan kita” (Asrul Sani)
Yang seperti i itulah yang dapat kita petik dan rasakan dari sebuah puisi. Secara etimologis puisi berasal dari bahasa Yunani, yang pada awalnya disebut dengan poesis yang artinya adalah penciptaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi adalah poetry yang berawal dari kata poet dan poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan,1986:4) menjelaskan bahwa kata poet  juga berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta, dalam bahasa Yunani sendiri kata poet berarti adalah orang yang mencipta melalui imajinasinya, pada zaman itu sendiri biasanya orang-orang seperti itu bisa dikatakan sama dengan dewa-dewa. Mereka yang memiliki penciptaan itu adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci atau kaum filsuf serta negarawan yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Kemudian Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6), berusaha mengumpulkan defenisi-defenisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh banyak penyair romantik inggris. Salah satunya adalah Samuel Taylor Coleridge yang mengemukakan bahwa puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam sesunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat hubungannya dan sebagainya. Setelah itu Wordsworth mempunyai gagasan  bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan.
Dari defenisi-defenisi diatas dapat kita simpulkan bahwa tidak ada pengertian khusus terhadap apa itu sebenarnya puisi. Puisi menurut saya dan puisi menurut anda belum tentu harus sama, puisi itu adalah diri kita sendiri, bagaimana kita memandang sebuah puisi itu hanya ada dalam bayangan kita sebagai si penulis puisi. Banyak juga orang mengatakan bahwa puisi itu harus puitik dan puitis, ada juga yang bilang puisi itu hanya sekedar luapan dari emosi si penulisnya, namun hal-hal seperti itu tidak bisa terbantah oleh siapapun, sebab puisi itu tergantung dari pemikiran para penulisnya sendiri dan isinya tergantung dari pengalaman penulisnya selama berproses, lain ibu lain pula bahasanya, barangkali seperti itulah jika kita harus memandang sebuah puisi.
Siapa saja bisa menulis puisi, bahkan anak-anak sekolah dasar pun bisa menulis puisi, tapi kita harus mencermati puisi seperti apa yang ditulis oleh anak-anak seusia seperti itu, kadang kala puisi yang lahir dari anak-anak seusia itu adalah puisi yang spontan, puisi yang merespon luapan dari emosi yang dialami pada saat mereka memiliki kesedihan, kegembiraan dan lain-lain.
Menulis puisi haruslah sepenuh hati, sebab sebaiknya di dalam puisi kita dapat masuk lebih dalam lagi, bukan hanya menempel di kulit terluarnya saja, namun harus terjun langsung ke pusat di mana puisi itu akan kita lahirkan. Jika kita menulis puisi yang bersinggung tentang sejarah, maka seharusnya pun kita harus tahu banyak tentang sejarah tersebut, sangat lucu rasanya jika kita tidak terlalu paham mengenai apa yang akan kita garap. Dalam menulis puisi kita harus penuh memasukinya sampai ke akar-akarnya. Seperti yang dikatakan oleh Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, sedangkan unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
Dari sana kita dapat menyimpulkan bahwa perlunya satu keseimbangan dalam menulis puisi, dimana kita tidak hanya mementingkan bentuk fisik namun harus juga menyentuh batin dari puisi tersebut. Menulis puisi merupakan sebuah rittual yang dilakukan oleh penulis itu sendiri, terlepas dari pengertian-pengertian puisi di atas, bahwa sesungguhnya untuk tekun menulis puisi itu kita harus membuka pikiran kita untuk supaya lebih banyak membaca atau studi kata, dalam menulis puisi hal-hal seperti itu sangat diperlukan untuk mempertajam bahasa.
Sebelum menulis puisi maka bersiap-siaplah untuk membuat sebuah ritual kecil dalam diri, karena jika kita bicara puisi maka kita tidak akan terlepas dari yang namanya imaji, dan jika kita bicara imaji tentu kita harus berusaha melepas pikiran atau bahkan roh kita dari badan untuk sejenak pergi menelusuri apa saja yang hendak kita tulis. Betapa penting ritual dalam menulis puisi, ketika kita dituntut untuk menuliskan sebuah kisah-kiesah perjalanan dalam puisi maka mau tidak mau kita harus terlibat dalam perjalanan itu sendiri atau setidaknya mengetahuinya dan pernah mendengar tentang daerah-daerah yang pernah kita singgahi tersebut dan tidak tanggung untuk segera memasuki kisah-kisah perjalanan yang akan kita tulis itu. Begitu pun sebaliknya, apa saja yang akan ditulis, sebaiknya pahami dulu objeknya, sebelum mengatakan enak atau tidak enaknya, atau sakit dan tidak sakitnya, maka kita harus mencobanya sendiri; ritual dalam diri akan membantu untuk mempertajam segala aspek dalam penciptaan puisi.
Tidak hanya manusia yang mempunyai batin, namun dalam ritual menulis puisi kita pun harus berupaya untuk memasuki yang namanya batin puisi. Berdasarkan pendapat Richards, Siswanto dan Roekhan (1991:55-65) menjelaskan tentang struktur batin dalam puisi, ada pun struktur batin dalam puisi itu adalah yang pertama kita tidak terlepas dari tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adaah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna perkata atau makna secara keseluruhannya. Kemudian rasa (felling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pemgungkapan tema dan kata sangat erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair dan begitu seterusnya, akan selalu ada keterkaitan dari lain unsurnya. Selain menulis puisi atau akan memasuki batin puisi kita harus juga memikirkan nada/bunyi, yaitu sikap penyair terhadap para pembacanya, sebab pembaca butuh banyak kesegaran dalam memahami teks. Ada banyak kaitan jika kita ingin betul-betul belajar menulis puisi, banyak hal yang harus kita pelajari agar puisi yang kita tulis tidak kosong melompong.
Dengar juga pernyataan Goenawan Mohamad dalam esainya “Tokoh dan Pengarang” yang terbit di Horison pada tanggal 1 Januari 1986, Hlm.3, disitu GM mengatakan seperti ini “Sebuah puisi justru berbicara langsung, hanya, kadang-kadang jalan yang ditempuhnya bukanlah jalan yang dipetakkan satu petak demi satu petak. Tak ada flow chart: yang ada hanya degup, suara dan warna dan paduan benda seperti pagi, di mana ide, hadir seperti sisa bulan tadi malam: yakni sebuah bayang putih , membaur, tanpa supremasi, terasa jauh.” Sejenak kita akan bertanya dari manakah datangnya degup,warna atau sesuara yang akan membawa kita untuk menuliskan puisi, kandungan dalam puisi seolah seperti waktu yang telah pudur, dan kita harus bisa menjangkau waktu yang sudah binasa tersebut. Ada pun suara-suara lain tersebut yang kita sendiri pun ragu, apa benar itu datang dari luar diri, atau dari kuburan yang sepi yang mengajak kita untuk segera menulis puisi. Konyol rasanya jika hal-hal demikian harus kita percayai bersama atau terpaksa harus kita percayai. Kemudian dari manakah suara itu datang? Dari dalam diri, tepatnya dan demikianlah adanya, bahwa telah terjadi tarik menarik antara diri dan kenyataan sesungguhnya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan ritual yang sungguh-sungguh untuk memasuki ranah puisi lebih jauh lagi.
Pastinya, dengan adanya ritual-ritual kecil yang khusuk itu (melepas roh menuju batin puisi), kita akan dapat berbaur ke dalam apa yang kita tulis, seperti memutar film dengan VCD Players, jika tiba-tiba kita tertinggal sedikit saat menonton maka kita tinggal mengambil remot dan menekan tanda Rev, dan jika kita ingin mempercepat kejadian maka kita akan menekan tanda Fwd, jika ingin mengenali gambar lebih dekat maka kita tinggal menekan Pause dan Zoom in. demikianlah kira-kira, menulislah dengan tidak setengah dan belajarlah untuk jadi penuh. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...