OLEH Yori Kayama
Penikmat Puisi
“Ia membawa kita
kepada suatu tingkat maklum. Ia membawa kita kepada suatu tingkat, di mana kita
dapat maklum-memaklumi sesama manusia, sehingga dapat merasai adamya suatu
kenyataan dan dapat menghargai pesarasaan itu dan memasukkannya ke dalam
perhitungan kita” (Asrul Sani)
Yang seperti i itulah yang dapat kita petik
dan rasakan dari sebuah puisi. Secara etimologis puisi berasal dari bahasa
Yunani, yang pada awalnya disebut dengan poesis
yang artinya adalah penciptaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, padanan
kata puisi adalah poetry yang berawal
dari kata poet dan poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan,1986:4) menjelaskan bahwa kata poet juga berasal dari Yunani yang berarti membuat
atau mencipta, dalam bahasa Yunani sendiri kata poet berarti adalah orang yang mencipta melalui imajinasinya, pada
zaman itu sendiri biasanya orang-orang seperti itu bisa dikatakan sama dengan
dewa-dewa. Mereka yang memiliki penciptaan itu adalah orang yang berpenglihatan
tajam, orang suci atau kaum filsuf serta negarawan yang dapat menebak kebenaran
yang tersembunyi.
Kemudian Shahnon Ahmad (dalam Pradopo,
1993:6), berusaha mengumpulkan defenisi-defenisi puisi yang pada umumnya
dikemukakan oleh banyak penyair romantik inggris. Salah satunya adalah Samuel
Taylor Coleridge yang mengemukakan bahwa puisi itu adalah kata-kata yang
terindah dalam sesunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan
disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur
dengan unsur lain sangat erat hubungannya dan sebagainya. Setelah itu
Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi
adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau
diangankan.
Dari defenisi-defenisi diatas dapat kita
simpulkan bahwa tidak ada pengertian khusus terhadap apa itu sebenarnya puisi.
Puisi menurut saya dan puisi menurut anda belum tentu harus sama, puisi itu
adalah diri kita sendiri, bagaimana kita memandang sebuah puisi itu hanya ada
dalam bayangan kita sebagai si penulis puisi. Banyak juga orang mengatakan
bahwa puisi itu harus puitik dan puitis, ada juga yang bilang puisi itu hanya
sekedar luapan dari emosi si penulisnya, namun hal-hal seperti itu tidak bisa
terbantah oleh siapapun, sebab puisi itu tergantung dari pemikiran para
penulisnya sendiri dan isinya tergantung dari pengalaman penulisnya selama
berproses, lain ibu lain pula bahasanya, barangkali seperti itulah jika kita
harus memandang sebuah puisi.
Siapa saja bisa menulis puisi, bahkan
anak-anak sekolah dasar pun bisa menulis puisi, tapi kita harus mencermati
puisi seperti apa yang ditulis oleh anak-anak seusia seperti itu, kadang kala
puisi yang lahir dari anak-anak seusia itu adalah puisi yang spontan, puisi yang
merespon luapan dari emosi yang dialami pada saat mereka memiliki kesedihan,
kegembiraan dan
lain-lain.
Menulis puisi haruslah sepenuh hati, sebab
sebaiknya di dalam puisi kita dapat masuk lebih dalam lagi, bukan hanya
menempel di kulit terluarnya saja, namun harus terjun langsung ke pusat di mana
puisi itu akan kita lahirkan. Jika kita menulis puisi yang bersinggung tentang
sejarah, maka seharusnya pun kita harus tahu banyak tentang sejarah tersebut,
sangat lucu rasanya jika kita tidak terlalu paham mengenai apa yang akan kita
garap. Dalam menulis puisi kita harus penuh memasukinya sampai ke akar-akarnya.
Seperti yang dikatakan oleh Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut
adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi
dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur
batin puisi, sedangkan unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
Dari sana kita dapat menyimpulkan bahwa
perlunya satu keseimbangan dalam menulis puisi, dimana kita tidak hanya
mementingkan bentuk fisik namun harus juga menyentuh batin dari puisi tersebut.
Menulis puisi merupakan sebuah rittual yang dilakukan oleh penulis itu sendiri,
terlepas dari pengertian-pengertian puisi di atas, bahwa sesungguhnya untuk
tekun menulis puisi itu kita harus membuka pikiran kita untuk supaya lebih
banyak membaca atau studi kata, dalam menulis puisi hal-hal seperti itu sangat
diperlukan untuk mempertajam bahasa.
Sebelum menulis puisi maka bersiap-siaplah
untuk membuat sebuah ritual kecil dalam diri, karena jika kita bicara puisi
maka kita tidak akan terlepas dari yang namanya imaji, dan jika kita bicara imaji tentu kita harus berusaha melepas
pikiran atau bahkan roh kita dari badan untuk sejenak pergi menelusuri apa saja
yang hendak kita tulis. Betapa penting ritual dalam menulis puisi, ketika kita
dituntut untuk menuliskan sebuah kisah-kiesah perjalanan dalam puisi maka mau
tidak mau kita harus terlibat dalam perjalanan itu sendiri atau setidaknya
mengetahuinya dan pernah mendengar tentang daerah-daerah yang pernah kita
singgahi tersebut dan tidak tanggung untuk segera memasuki kisah-kisah
perjalanan yang akan kita tulis itu. Begitu pun sebaliknya, apa saja yang akan ditulis,
sebaiknya pahami dulu objeknya, sebelum mengatakan enak atau tidak enaknya,
atau sakit dan tidak sakitnya, maka kita harus mencobanya sendiri; ritual dalam
diri akan membantu untuk mempertajam segala aspek dalam penciptaan puisi.
Tidak hanya manusia yang mempunyai batin,
namun dalam ritual menulis puisi kita pun harus berupaya untuk memasuki yang
namanya batin puisi. Berdasarkan pendapat Richards, Siswanto dan Roekhan
(1991:55-65) menjelaskan tentang struktur batin dalam puisi, ada pun struktur
batin dalam puisi itu adalah yang pertama kita tidak terlepas dari tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa.
Tataran bahasa adaah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna,
baik makna perkata atau makna secara keseluruhannya. Kemudian rasa (felling), yaitu sikap penyair terhadap
pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pemgungkapan tema dan kata
sangat erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair dan
begitu seterusnya, akan selalu ada keterkaitan dari lain unsurnya. Selain
menulis puisi atau akan memasuki batin puisi kita harus juga memikirkan
nada/bunyi, yaitu sikap penyair terhadap para pembacanya, sebab pembaca butuh banyak
kesegaran dalam memahami teks. Ada banyak kaitan jika kita ingin betul-betul
belajar menulis puisi, banyak hal yang harus kita pelajari agar puisi yang kita
tulis tidak kosong melompong.
Dengar juga pernyataan Goenawan Mohamad
dalam esainya “Tokoh dan Pengarang” yang terbit di Horison pada tanggal 1 Januari 1986, Hlm.3, disitu GM mengatakan
seperti ini “Sebuah puisi justru berbicara langsung, hanya, kadang-kadang jalan
yang ditempuhnya bukanlah jalan yang dipetakkan satu petak demi satu petak. Tak
ada flow chart: yang ada hanya degup,
suara dan warna dan paduan benda seperti pagi, di mana ide, hadir seperti sisa
bulan tadi malam: yakni sebuah bayang putih , membaur, tanpa supremasi, terasa
jauh.” Sejenak kita akan bertanya dari manakah datangnya degup,warna atau
sesuara yang akan membawa kita untuk menuliskan puisi, kandungan dalam puisi
seolah seperti waktu yang telah pudur, dan kita harus bisa menjangkau waktu yang
sudah binasa tersebut. Ada pun suara-suara lain tersebut yang kita sendiri pun
ragu, apa benar itu datang dari luar diri, atau dari kuburan yang sepi yang
mengajak kita untuk segera menulis puisi. Konyol rasanya jika hal-hal demikian
harus kita percayai bersama atau terpaksa harus kita percayai. Kemudian dari
manakah suara itu datang? Dari dalam diri, tepatnya dan demikianlah adanya, bahwa
telah terjadi tarik menarik antara diri dan kenyataan sesungguhnya. Oleh karena
itu sangat dibutuhkan ritual yang sungguh-sungguh untuk memasuki ranah puisi
lebih jauh lagi.
Pastinya, dengan adanya ritual-ritual kecil
yang khusuk itu (melepas roh menuju batin puisi), kita akan dapat berbaur ke
dalam apa yang kita tulis, seperti memutar film dengan VCD Players, jika tiba-tiba kita tertinggal sedikit saat menonton
maka kita tinggal mengambil remot dan menekan tanda Rev, dan jika kita ingin mempercepat kejadian maka kita akan
menekan tanda Fwd, jika ingin mengenali
gambar lebih dekat maka kita tinggal menekan Pause dan Zoom in. demikianlah
kira-kira, menulislah dengan tidak setengah dan belajarlah untuk jadi penuh.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar