Pengajar Fakultas Sastra Universitas
Jember dan Koordinator Kajian Perempuan Desantara, Jakarta
Sebuah fenomena menarik, cerita legendaris Damarwulan-Menakjinggo yang
diilhami kisah perang Paregreg yang kemudian sering dilakonkan dalam
pertunjukan Jinggoan dengan cerita yang merendahkan martabat rakyat Blambangan
justru sangat digemari oleh masyarakat Using Banyuwangi selama bertahun-tahun.
Implikasi cerita tersebut membuat masyarakat Using memikul beban yang mendalam
sampai mengidap gejala psikologis sindroma rendah diri, seolah-olah
berprototipe jahat, pemberontak, dan mabuk kekuasaan seperti halnya
Menakjinggo.1 Kisah
Damarwulan-Menakjinggo merupakan sejarah barat-timur (mulai dari zaman
Majapahit-Blambangan sampai Mataram-Blambangan) selalu diwarnai hubungan yang
tidak harmonis, peperangan, dan penaklukan.
Menurut
cerita klasik Jawa, Menakjinggo adalah Bre Wirabumi yang memberontak pada saat
Majapahit diperintah Sri Jayanegara pada abad ke-13. Pemberontakan Menakjinggo
mendapat terminologi yang sama dengan perang antara Bang Wetan dengan Bang
Kulon untuk menunjukan garis demarkasi yang dibuat pendiri Majapahit Raden
Wijaya dengan Aria Wiraraja. Interpretasi lain menyebutkan bahwa kisah
Damarwulan-Menakjinggo adalah rekaan penjajah Belanda untuk menjelek-jelekkan
penguasa Tanah Semenanjung Banyuwangi, Wong Agung Wilis yang melakukan
perlawanan yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.2 Dari
prasasti Gunung Butak, diketahui terdapat perjanjian pembagian wilayah
administratif antara Raden Wijaya pendiri Majapahit dengan Arya Wiraraja yang
diberi wilayah atas Lumajang Utara, Lumajang Selatan, dan Tigang Juru yang
belakangan dikenal dengan Blambangan; daerah yang dikenal subur bahkan
merupakan lumbung padi, kemudian menjelma menjadi pusat kekuatan oposisi
Majapahit. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan politis Blambangan secara
terus-menerus menghadapi ekspansi teritorial kerajaan-kerajaan di Jawa Timur
yang kemudian dilanjutkan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah seperti Demak,
Mataram, dan Bali. Pada tahun 1639, ketika Blambangan di bawah
"perlindungan Bali" Mataram menaklukkan Blambangan dan tidak sedikit
rakyatnya yang terbunuh dan dibuang. Setelah beberapa lama Blambangan direbut
kembali oleh Bali, dan pada tahun 1697 Blambangan ditaklukkan Mataram. Saling
kuasa-mengkuasai antara Bali dan Mataram belum berakhir karena pada tahun 1736
kembali Bali menguasai Blambangan Timur (Blambangan Barat masih tetap dikuasi
Mataram). Pada tahun 1765 Blambangan sudah dikuasai VOC.3
Belanda
tidak hanya berhasil memenangkan peperangan itu, karena tidak lama kemudian ia
memboyong sejumlah tenaga kerja dari Cirebon, Banyumas , dan Kebumen untuk dipekerjakan
di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang ada di bumi Blambangan. Kehadiran
tenaga kerja ini disusul oleh gelombang migrasi dari Jawa Kulon untuk berbagai
pekerjaan, khususnya di bidang perkebunan dan pertanian yang tampak membanjikr
sejak akhir abad XVIII atau awal abad XIX.4
Pergumulan
sosial komunitas Using dengan kaum migran yang semakin bertambah itu
mengimplikasikan banyak hal bagi komunitas Using. Potensi oposisi dan penegasan
identitas Using yang diwarisi dari masa lalu Blambangan diwujudkan dalam bentuk
aksi-aksi sosio-kultural. Di samping melalui media bahasa dan sastra, mereka
membangun dan mengembangkan ritus-ritus serta kesenian. Meskipun kesenian yang
ada memperlihatkan keterpengaruhan dari Jawa dan Bali.5
Salah satu kesenian yang penting bagi komunitas Using
adalah Jinggoan. Kesenian Jinggoan dikenal sekitar tahun 1920-an dan sangat
popular pada tahun 1940-an. Begitu populernya, hingga muncul grup jinggoan
anak-anak. Kesenian ini cukup unik, lakon yang dipentaskan menggambarkan
peperangan Damarwulan dari kerajaan Majapahit melawan Menakjinggo dari
Blambangan; musik dan tarinya bernuansa Bali, dengan menggunakan perangkat gong
kebyar; dialognya berbahasa Jawa; sedangkan pemainnya orang Using Banyuwangi.
Sebuah fenomenal, orang Using menari Bali, berbahasa Jawa dan melakonkan kisah
yang merendahkan martabat orang Banyuwangi sendiri. Menurut Sahuni,6 tradisi
Damarwulan dirintis pertama kalinya oleh Madardji, seorang pemain Ande-ande
Lumut dan mandor pada perkebunan tebu milik Belanda. Untuk meningkatkan
keahliannya sebagai seorang penari, ia kerap kali mendatangkan pelatih tari
dari Bali untuk melatih di sanggar keseniannya yang diberi nama “KARS” (Karep
Andadeake Rukun Santoso).
Nama lain untuk
menyebut Jinggoan adalah Damarwulan dan Janger. Penyebutan dua nama pertama
sangat berkaitan dengan tokoh utama yang selalu dimainkan dalam lakon ini.
Disebut Damarwulan, awal mulanya pertunjukan ini selalu menyajikan cerita atau
kisah kepahlawanan Damarwulan. Namun masyarakat Using lebih suka memakai
istilah Jinggoan yang diambil dari nama tokoh Prabu Menakjinggo yang dianggap
sebagai pahlawan mereka. Sekitar tahun 1930-an cerita Damarwulan mengalami
kejenuhan. Untuk mengatasinya maka disisipi dengan tarian asal Bali, Legong
Margapati. Tarian ini selalu ditampilkan diawal sebelum cerita Damarwulan
dipentaskan. Menurut Miswadi, sekitar tahun 1980-an, sepulang beberapa penari
Jinggoan dari Bali, mulai diselipkan tari Janger yang berasal dari Bali dalam
setiap pertunjukan. Sejak itu, nama Janger mulai populer di kalangan masyarakat
Banyuwangi. Cerita yang semula hanya berkisar tentang kepahlawanan Damarwulan
dan Menakjinggo, kini meluas mengenai kepahlawanan pada masa kerajaan Jawa masa
lalu, seperti Geger Tuban, Geger Madiun, dan
Pangeran Wilis.
Namun sekitar paruh kedua tahun 1970-an,
terjadi perdebatan antara pro dan kontra substansi cerita yang notabene
merugikan masyarakat Banyuwangi. Didorong oleh kesadaran dan kebutuhan
identitas lokal yang dipandang sebagai bagian dari kebudayaan nasional, maka
penguasa daerah setempat melalui budayawan Using, Hasan Ali, yang pada saat itu
menjabat sebagai Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemda Dati II Banyuwangi
mengubah cerita Damarwulan-Menakjinggo yang dipandang sangat merugikan
masyarakat Using. Menakjinggo dalam pertunjukan itu, sebelum tahun 70-an,
ditampilkan sebagai tokoh pemberontak, penjahat dengan tampilan fisik cacat dan
dengan suara parau bagaikan kekeh kuda sebagaimana yang diimajinasi Jawa kulon
diubah menjadi pahlawan yang gagah berani dan mencintai rakyatnya.
Rekayasa Hasan Ali yang didukung pemerintah
setempat dalam menyikapi cerita tersebut didukung oleh sebagian besar
masyarakat Using. Namun untuk masyarakat etnis Jawa (wong kulon) seperti di
daerah Banyuwangi Selatan versi baru seakan tidak berpengaruh sama sekali.
Mereka tetap saja berpatokan bahwa pakem prototipe Menakjinggo adalah buruk
rupa, pemberontak, dan istrinya suka menyeleweng. Dengan perlahan, proses
perubahan versi baru pertunjukan Damarwulan-Menakjinggo berlangsung sangat
efektif; tokoh simbolik Menakjinggo menjadi prototipe yang tidak lagi
antagonis.
Narasi dengan versi baru mengekspresikan
kemampuan masyarakat Banyuwangi, khususnya komunitas Using
"berbicara" tentang keseniannya. Mereka melakukan adanya
reinterpretasi dan reformulasi "wajah" tokoh representasi diri mereka
yang dilukis orang lain sesuai dengan kehendak politiknya. Sebuah lukisan yang
bukan saja menggambarkan "wajah " bopeng tetapi juga sempat
mengantarkan komunitas Using merasa rendah diri di tengah pergaulan makro
dengan komunitas-komunitas lain.
Pergumulan sosial komunitas Using yang hampir punah
dengan kaum migran yang semakin bertambah mengimplikasikan banyak hal bagi
komunitas Using. Potensi oposisi dan penegasan identitas diri yang diwarisi
dari masa lalu Blambangan yang tercabik-cabik oleh kekuasaan Jawa Kulon
memperoleh ruang untuk secara riil diwujudkan dalam bentuk aksi-aksi
sosio-kultural.
Using sebagai identitas selalu berada dalam tarik ulur
dengan kekuatan dominan yang berlangsung mulai Majapahit akhir, Mataram Islam,
Bali, kolonial yang berujung pada dua kutub, berada di pinggiran dan
mainstream. Dalam konteks regional Banyuwangi kebudayaan Using diproduksi dan
direproduksi sebagai identitas yang berhadapan dengan kekuatan yang melingkarinya.
Banyak penanda yang selama ini dirumuskan komunitas Using sebagai identitas
(antara lain: bahasa, perang bangkat, jinggoan,gandrung, dan seblang). Dengan
menempatkan beberapa penanda tersebut memiliki konsekuensi teoretis untuk
mengkaitkan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified).
Hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat denotasi dengan makna
tunggal dan linear, tetapi tergantung pada ’the act of sign-i-fying.’[i]
Proses signifikasi menjadi penting dalam memperoleh makna hubungan penanda dan
petanda. Dengan kata lain makna suatu tanda didefinisikan dalam hubungan dengan
tanda yang lain, yang satu tidak dapat dilepaskan dengan yang lain.
Tampaknya
penegasan identitas Using di tengah pergumulan makro apa pun merupakan sebuah keniscayaan
bagi komunitas Using. Komunitas ini mesti bersabar di tengah himpitan berbagai
konstruk yang dibangun orang lain yang umumnya dengan penuh sinisme. Mereka
tetap memandang dan bekerja keras menyikapi, mensiasati, dan melakukan
negosiasi budaya dengan kekuatan-kekuatan yang hadir menghimpitnya. Dalam
proses ini, komunitas Using tentu mereinterpretasi dan meredefinisi diri secara
kontekstual, sebagai sebuah keniscayaan.
Pertunjukan
dimulai sekitar pukul 21.00 sampai menjelang subuh. Pembukaan diawali dengan
pembacaan om swasti astu, hong wila heng, bismillahirahmanirahim tergantung
pada dalang yang ingin mengucapkan salam dengan cara yang diyakini, sambil
diiringi gendhing musik gamelan sampai layar terbuka. Dilanjutkan dengan tari
Jejer Gandrung atau Legong Margapati yang diiringi gendhing Padha Nonton
sebagai bentuk penghormatan kepada para tamu.8 Kemudian, sang sutradara
membuka prolog dengan sekilas menceritakan tema lakon dan para pelakunya. Lakon
dipentaskan dipanggung pertunjukan berukuran 4x6 meter dengan layar berjumlah 5
lapis disesuaikan dengan jumlah babak dalam satu lakon. Pola sajian terstruktur
dengan berbagai adegan yang meliputi: jejeran, yakni adegan yang melukiskan
pertemuan di kedaton atau istana yang melibatkan raja, permaisuri, patih,
kerabat kerajaan, dan para parajurit, di keputren atau tamansari, di pertapaan,
dan rumah gubug; bodolan, yakni adegan persiapan untuk melakukan suatu
perjalanan sebagaimana dibicarakan dalam adegan jejer, misalnya perjalanan raja
atau maha patih; tempukan, yakni adegan pertemuan antar tokoh dalam rangka
menuju konflik; strat; gandrungan, yakni adegan percintaan antar tokoh;
dagelan; perang; dan penutup.
Beberapa
grup Jinggoan di Banyuwangi kerapkali mementaskan teks lakon Damarwulan-Menakjinggo
dengan versi yang berbeda tergantung di daerah mana akan dipertunjukkan,
seperti kisah singkat yang diuraikan oleh Hasan Basri, pemerhati Using di bawah
ini.
Alkisah… lahirlah anak laki-laki tampan yang dinamai
Damarwulan. Ia dididik hidup bersahaja dan prihatin. Setelah dewasa, sang kakek
menyuruh untuk mengabdikan diri ke kerajaan Majapahit. Maka berangkatlah
Damarwulan dengan diiringi dua punakawan, Nayagenggong dan Sabdopalon. Sesampai
di Majapahit, ia mengabdikan diri di Kepatihan Patih Logender, pamannya
sendiri.
Patih Logender memiliki tiga anak, Layangseto,
Layangkumiter, dan adiknya Dewi Anjasmara. Damarwulan dibebani tugas merawat
dua belas kuda milik sang Patih. Dalam kesehariannya, ia diperlakukan seperti
layaknya seorang budak, terutama oleh dua saudara laki-lakinya. Sebaliknya,
secara diam-diam Dewi Anjasmara jatuh hati pada Damarwulan. Ia seringkali
mengirim makanan untuk Damarwulan. Sampai pada suatu ketika hubungan keduanya
tercium oleh dua kakaknya. Peristiwa itu membuat Damarwulan dipenjarakan.
Anjasmara meminta kepada ayahnya agar ia juga dipenjarakan. Melihat realita
ini, akhirnya Patih Logender mengawinkan Dewi Anjasmara dengan Damarwulan.
Sementara kerajaan Majapahit sedang genting. Adipati
Blambangan, Menakjinggo (Prabu Urubisma) memberontak, daerah Probolinggo dan
Lumajang sudah ditaklukkan. Kematian Ranggalawe sangat memukul Majapahit.Merasa
di atas angin, Menakjinggo yang angkara murka, haus mangsa yang candranya
andebok bosok, mukanya seperti anjing, perutnya buncit, punggungnya bengkok,
kakinya pincang, sesumbar akan mengakhiri perang asal dengan syarat Ratu
Kencanawungu, raja Majapahit yang ayu akan diboyong ke Blambangan.
Ratu Kencanawungu merasa gentar menghadapi Menakjinggo.
Akhirnya dia bersemedi. Dalam semedinya, ia menerima wangsit bahwa yang
dapat mengalahkan Menakjinggo adalah
pria bernama Damarwulan. Maka dipanggillah ke istana. Sang Ratu sangat
terpesona akan ketampanan Damarwulan. Maka berangkatlah Damarwulan diiringi
oleh Layangseta dan Layangkumitir yang diangkat sebagai pendamping atas usul
Patih Logender.
Menyadari kekuatan yang tak seimbang, Damarwulan tidak
langsung berani duel dengan Menakjinggo. Ia mendekati dua permaisuri
Menakjinggo, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan yang jatuh hati padanya. Dengan
senjata berupa Gada Wesi Kuning milik Menakjinggo yang dicuri oleh dua istri
Menakjinggo, akhirnya Damarwulan dapat mengalahkan sekaligus memenggal kepala
Menakjinggo.
Di tengah perjalanan Damarwulan diperdaya oleh Layangseta
dan Layangkumitir. Damarwulan dibunuh, kepala Menakjinggo direbut dan dibawa ke
Majapahit untuk dipersembahkan kepada Ratu Kencana-wungu.
Syahdan, ketika Damarwulan terkapar di hutan, datanglah
pendeta yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Ia datang dengan wujud Bagawan
Tunggulmanik untuk menghidupkan Damarwulan. Ia pun menyuruh Damarwulan untuk
sementara kembali ke Blambangan guna merawat pusaka Wesi Kuning.
Sementara itu, Layangseta dan Layangkumitir telah
menghadap Ratu Kencanawungu. Sang Ratu sangat sedih mendengar laporan gugurnya
Damarwulan. Mengapa berbeda dengan wangsit yang diterimanya.Tak beberapa lama
Damarwulan disertai pengiringnya tiba di pandapa Majapahit. Maka terbongkarlah
kejahatan yang dilakukan Layangseta dan Layangkemitir. Untuk menentukan siapa
yang benar, akhirnya Ratu memutuskan untuk perang tanding antara Damarwulan
dengan kedua putra pamannya.
Damarwulan memenangkan pertarungan dan menikah dengan
Ratu Kencanawungu, sekaligus dinobatkan menjadi Prabu Majapahit bergelar
Brawijaya. Anjasmara tetap menjadi permaisuri, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan
juga dikawininya, serta tak ketinggalan dua punakawan yang setia, Nayagenggong
dan Sabdopalon diangkat menjadi pamong Majapahit.
Jaka Macuet, adipati Blambangan bertemu dengan Tunjung
Sari, putri dari Majapahit di makam ayahnya, Mas Pancoran di Bali. Mereka
kemudian menikah. Jaka Macuet terkenal sakti dan memiliki perilaku aneh, yakni
setiap beristri, istrinya selalu dibunuh. Menurut wangsit yang diterima oleh
Tunjung Sari, istrinya, bahwa yang dapat membunuh Jaka Macuet adalah anaknya
sendiri. Oleh sebab itu, begitu Tanjung Sari hamil, ia pergi meninggalkan
keraton.
Di tengah hutan gunung Plipis Kalibaru, ia ditolong oleh
Ki Hajar Pamengger. Tak beberapa lama, lahirlah anak Tunjung Sari yang diberi
nama Bambang Menak. Setelah dewasa, Bambang Menak bertanya siapa bapaknya. Ki
Hajar Pamengger tidak menjawab, hanya berkata, “Siro mlakuo ngetan nyang
Blambangan. Mengko ana sayembara, sapa kang bisa mateni Macuet, iku kang bisa
nganteni.”
Bambang Menak mengikuti sayembara. Dasar masih pupuk
lempuyang, ia kalah dan pingsan. Untung tidak dibunuh. “Ngkesuk baen mpateni,”
kata Macuet. Ki Hajar Pamengger dan Tunjung Sari datang danmensabda Bambang
Menak hidup kembali. Kata Ki Hajar Pamengger,“sira wani temen tah nyang
Macuet.” Kadhung wani nduduhi pengapesane. Sira bul njumbul iku duduten, iku
pengapesane. Mari iku kemplagna neng pelengane kang kiwa.”
Maka bertarunglah Bambang Menak dengan Macuet. Ketika
Bambang mau membunuh Macuet, ibunya menjerit, mencegah “iku bapak ira dhewek,”
kata ibunya. Macuet kemudian menyusup ke raganya Bambang Menak. Patih Maudara
dari Majapahit (saudaranya Tunjung Sari) menyaksikan peristiwa itu. Kemudian ia
melantik Bambang Menak menjadi Adipati Blambangan dengan gelar Urubisma
(Menakjinggo), sekaligus ditunangkan dengan Kencanawungu. “tanah sigar semangka
wis nong Blambangan, kadhung wis dewasa sun ulihaen Kencanawungu,” ucap
Maudara.
Setelah akan dikawinkan dengan Kencanawungu, patih
Logender tidak setuju. Ia menginginkan Kencanawungu menikah dengan Setokumitir.
Demi membunuh Menakjinggo, Logender memfitnah Rongolawe untuk menyerbu
Blambangan. Ronggolawe terbunuh, demikian juga patih-patih yang lain. Maka,
diadakanlah sayembara, siapa yang bisa membunuh Menakjinggo, akan dijodohkan
dengan Kencanawungu.
Damarwulan ikut sayembara. Sesampai di Blambangan, di
pertamanan bertemu Wahita dan Puyengan. “Arep paren Rika? Damarwulan menjawab,
“isun arep mateni Menakjinggo.” “iku wong sakti, kebeneran isun sing demen
nyang Menakjinggo, isun arep dimaru ambi Kencanawungu. Sira nduduhi
pengapesane, yaiku Wesi Kuning.” Keesokan harinya Wesi Kuning telah di tangan
Damarwulan. Menakjinggo berkata: “Dak gediku isun wis wancine mati. Isun wekas
nyang sira, kang apik nata Majapahit, aja keneng pengaruh Logender. Ronggolawe
mati, Sindhuro mati iiku dipitnah. Isun titip Kencanawungu, Wahita lan Puyengan
rumaten kang apik. Wis patenana isun.”
Tersebutlah
seorang raja Blambangan sakti mandraguna. Suatu ketika dia berjalan-berjalan
hingga sampai di taman Majapahit. Dengan kesaktiannya, ia mengubah dirinya
menjadi tampan dan bertemu dengan putri Majapahit, Tunjung Sari. Akhirnya sang
putri hamil. Raja Brawijaya IV murka, mengetahui kehamilan sang putri. Kepada
menteri Sindhura, ia memerintahkan supaya membunuh sang puteri. Sang puteri
dibawa ke hutan. Sampai di hutan ternyata sang patih tak sampai hati
melaksanakan tugasnya. Sang putri pasrah. “Ya sudah, kamu di sini saja. Saya
sampaikan kepada ayahmu bahwa kamu sudah meninggal.” Setelah berkata, Sindhura
membunuh seekor kijang dan jaritnya sang putrid
diolesi darah kijang. Maka dibawalah jarit sang putri ke Majapahit
sebagai bukti kematian sang putri. Melihat jarit yang banyak bulunya, raja
berkata,” kok iki akeh wulune, pantes wong elek.” Di hutan sang putri
melahirkan, dan meninggal dalam posisi menyusui. Datanglah seorang pertapa, Ki
Pamengger. Ia merawat jabang bayi dan dinamai Bambang Menak. Setelah dewasa,
Bambang Menak menanyakan ayahnya. Ki pamengger berkata, “kamu jangan bertanya
siapa ibu bapakmu. Kamu sekarang mengabdilah ke Majapahit. Di sana terjadi
huru-hara oleh Kebo Macuet. Raja mengadakan sayembara siapa yang bisa membunuh
Kebo Macuet akan dijadikan Adipati Blambangan,”kata Ki Pamengger.
Berangkatlah Bambang Menak mengikuti sayembara melawan
Kebo Macuet. Bambang Menak dedel duwel. Sedina mati ping pitu. Kebo Macuet
sangat sakti, bertanduk. Akhirnya dengan dijangkungi Ki Pamengger dan
dinasehati supaya memotong tanduk Kebo Macuet. Bambang Menak berhasil
memenangkan pertarungan. Saat memotong tanduk Kebo Macuet, wajah Bambang Menak
tersemprot darah muncrat yang menyebabkan berubah wajah dan sifatnya. Semula
ganteng menjadi jelek. Semula lemah lembut menjadi beringas dan kasar. Saat
melapor ke Majapahit, ia tidak dipercaya oleh raja. Yang saya utus memang
Menak, tampan. Kamu jelek. Ternyata semua itu hanya upaya raja Majapahit untuk
mengingkari janji, maka terjadilah perang antara Bambang Menak dengan raja
Majapahit. Ronggolawe dan banyak prajurit mati. Setelah memenangkan
pertarungan, Bambang Menak pergi ke Blambangan dan bergelar Menakjinggo.
Teks lakon Menakjinggo dan seluruh latar belakangnya di
atas memperlihatkan kepada kita bagaimana sebuah konstruk dominan dihadapi oleh
konstruk yang dibangun sebuah komunitas yang "dirugikan" oleh adanya
konstruk dominan itu sendiri. Sebuah pertarungan konstruk yang mesti di level
mikro diartikan sebagai wacana kekuasaan. Ada versi yang melukiskan Menakjinggo
tokoh yang baik, tidak merebut Kencanawungu, dan tidak menyerang Majapahit. Ia
juga tidak mati secara nista, melainkan secara ksatria. Dan versi yang lain
justru sebaliknya, lakon pro dan kontra masih berlangsung hingga kini.
Kenyataan tersebut mengingatkan kita pada kerja ilmiah
Foucault9 yang sangat rajin memperlihatkan
perguliran kekuasaan (power) dan hubungannya dengan pengetahuan (knowledge)
dalam hamparan realitas sosial budaya. Power memproduksi knowledge, tidak ada
hubungan kekuasaan tanpa konstitusi korelatif dari bidang pengetahuan, dan
begitu juga tidak ada pengetahuan yang tak mengharuskan dan pada saat bersamaan
merupakan hubungan-hubungan power. Jawa Kulon dengan simbol Majapahit
melahirkan pengetahuan konstruktif tentang Menakjinggo yang bopeng,
pemberontak, dan sebagainya. Dan pada saat yang sama konstruk tentang
Menakjinggo yang dibangun oleh Jawa Kulon tersebut menjadi sebuah kekuasaan
yang beroperasi di kalangan publik termasuk di Banyuwangi. Demikian pula,
konstruk (pengetahuan) yang dibangun oleh Hasan Ali dengan dukungan banyak
pihak di Banyuwangi seperti dikemukakan di atas.
Dengan perspektif semacam itu, hubungan antara konstruk
yang dibangun oleh Jawa Kulon dengan konstruk yang dibangun oleh Hasan Ali
lebih mungkin kita lihat sebagai pertarungan, tarik-menarik antara dua
kekuasaan yang pada prakteknya bisa jadi saling menyerap dan saling memberi
(hubungan produktif). Ini berbeda dengan pandangan Gramsci10
yang melihat hubungan semacam itu sebagai hubungan yang hegemonik yang tak
seimbang. Dengan demikian, Foucault sebenarnya lebih memusatkan perhatiannya
pada putaran atau proses hubungan antar kekuasaan dan juga percaya bahwa tak
satu pun konstruk dibangun yang tidak berdasarkan atau melalui proses politik,
baik untuk kepentingan legitimasi atau mempertahankan kekuasaan sebuah rezim
tertentu maupun untuk melawan konstruk rezim politik yang sedang berkibar,
serta percaya bahwa tak satu pun konstruk dibangun yang tidak berdasarkan atau
melalui proses politik, baik untuk kepentingan legitimasi atau mempertahankan
kekuasaan sebuah rezim tertentu maupun untuk melawan konstruk rezim politik
yang sedang berkibar. Sementara Gramsci lebih tertarik menimbang kekuatan pada
kekuasaan itu sendiri yang kemudian menyimpulkan terjadinya ketidakseimbangan
kekuatan dan melihatnya sebagai hubungan vertikal.
Jika ditarik lebih
jauh, pandangan di atas bermuara pada keyakinan bahwa tak ada kebenaran mutlak
dan tidak mungkin bisa mengklaim kebenaran tertentu. Kebenaran bukanlah poros
kanonis dan tidak ada hubungannya dengan benda dan hal-hal lain, melainkan
sebuah wacana yang hanya menarikjika dilihat bagaim,ana kebenaran itu dibangun.
Dan wacana merupakan pusat aktivitas manusia, tetapi bukan merupakan 'teks
umum" yang universal.
1
Selanjutnya lihat Hasan Basri, “Cerita Damarwulan dalam Dramatari Jinggoan dan Hubungannya dengan Sejarah
Blambangan-Majapahit. Makalah dalam Temu
Budaya dalam Rangka Peringatan Hari
Banyuwangi ke-227 tahun 1998.
2 Lihat
Kompas, "Prabu Minakjinggo Beroperasi Plastik" Minggu, 3 Januari
1993).
3
Selanjutnya lihat Stoppelaar, J.W. 1927. Blambangan
Adatrecht. (Wageningen: H. Veenman & Zonen., 1927).
4 Ibid.
5 Dalam Mapping Cultural Region of Java, dijelaskan bahwa kesenian Janger
atau Damarwulan merupakan bentuk akulturasi antara kebudayaan Bali dan Jawa.
Kasus yang sama dapat dilihat pada Gandrung, Prabu Rara, dan Kundaran. Lihat
Hatley, Ron. (Monash University, 1984).
6 Ketua Sanggar Seni dan Ketrampilan (SANKE) “Sidopekso”
Desa Singojuruh dan pegawai Dinas Pariwisata Banyuwangi.
[i] Selanjutnya lihat J. Derrida. Of Grammatology.
(Baltimore7 London: The John Hopkins University Press).
8 Tarian disesuaikan dengan peran
pelaku: tari extra (tari jejer gandrung, jaran goyang, dan legong margapati),
tari bolo abangan/kasar (patih abangan, raja abangan), dan tari bolo
alusan/satriyo (Mojopahit, sekar jambu, dan mesir/pesisir).
9 Lihat Michel Foucault. Seks dan Kekuasaan. Terjemahan Rahayu S.
Hidayat. (Jakarta: Gramedia, 1997).
10 Lihat Jalaluddin Rakhmat, dkk. Hegemoni Budaya. Idi Subandy Ibrahim dan
Dedy Djamaluddin Malik (eds.). (Jogyakarta: Bentang Budaya, 1997).
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di
Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar