CERPEN Ilham Yusardi
Penundaan keberangkatan. Aku hilang mood, begitu
tahu delay keberangkatan untuk pesawat yang akan kutumpangi. Dari pukul tiga siang ini menjadi pukul lima,
sore nanti. Tidak ada alasan yang jelas. Alamak!
Aku sudah capek-capek, buru-buru, pukul dua tadi sudah datang di bandara besar
ini.
Meskipun demikian, Aku hanya butuh sedikit kesabaran
untuk hal yang lebih penting. Nanti, kalau sudah di atas udara aku bisa tidur pulas
barang dua jam. Begitu tiba di rumah, mencium tangan ibu dan mengajukan hasratku
kepada ibu.
Setengah jam, setengah bungkus rokok sudah jadi puntung.
Orang-orang berwajah setengah menggerutu sileweran di sekitarku. Anak-anak
kecil bermain tanpa hirau dengan kemusut kening ibu-bapaknya. Alangkah lebih
menariknya bermain dengan pikiran sendiri, mencoba menyusun kata-kata terbaik
untuk mengungkapkan hasratku kepada ibu sesampai di rumah nanti. Kira-kira, kata-kata
seperti apakah yang bisa melunakkan hati ibu?
Aku baru saja tersadar, sedari tadi duduk di sini, ternyata ada seseorang yang sedang mengarahkan isyarat ketertarikan denganku. Seorang
ibu paruh baya, sepantasan ibuku, berada berhadap-hadapan, di kursi seberang
dari tempatku duduk. Ia menatap dalam. Tajam. Hingga menusuk pikiranku dengan
cepat. Tiada pula kusadari, entah telah berapa lama perempuan itu menatapku
terus-menerus. Mungkin sudah seperempat jam yang lewat. Ia menatap dengan penuh sungguh. Tiada terganggu
dengan orang-orang yang berlintasan hilir-mudik di depannya. Beberapa kali
matanya menumbuk mataku ini. Serr!
Ada aliran yang aneh begeletaran di hatiku. Bertengkar dengan pikiran sendiri,
ganjil-lucu rasanya.
Ibu itu tersenyum padaku. Senyumnya berwarna merah lada. Bibirnya
tebal. Lebar. Lama ditahannya. Senyum itu, berisyarat agar aku berkenan membalasnya.
Tapi, aku sendiri juga sangsi, benarkah ibu itu mengaturkan senyum buatku? Atau
ada orang lain yang sedang ia sapa? Tapi, kenapa pula aku ge er sendiri?
Aku tidak menanggapi senyum itu. Kucoba alihkan pandangan
pada landasan pacu, melihat pesawat yang sedang lepas landas atau mendarat. Berupaya
lepas dari tatapannya. Tapi ajaib, aku serasa dalam gelombang elektro magnetik
yang sangat kuat memancar dari tatapan dan senyum ibu itu. Ia seakan jadi
menara, tidak beranjak dari tempat duduknya. Kalau memang ibu itu sedang memperhatikan
aku, berarti ada sesuatu hal pada diriku yang menautkan dengan pikirannya. Tapi
buat apa pula aku dipikirkannya? Toh, kami tidak saling kenal-mengenal sama
sekali
***
Pukul lima. Akhirnya berangkat juga. Aku telusuri kabin. Suasana jadi ribut begitu
diumumkan agar penumpang tujuan Padang dipersilakan naik pesawat. orang-orang
berebut tidak sabar. Begitulah sejak ongkos naik kapal terbang menjadi murah, naik pesawat dari Jakarta
ke Padang tidak lebih dari serasa naik angkot dari Pasaraya Padang-Limau Manih.
Ribut.
Aku berhenti di tengah kabin yang sudah sibuk dengan
ocehan orang-orang yang saling kenal, saling sapa. Di depanku nomor kursi 33.
Cocok. Lega rasanya menghenyakkan badan pada kursi yang lumayan tebal busa
joknya. Lepas jugalah penat menunggu dua jam.
Sebetulnya aku sangat ingin duduk kursi tepi. Hingga tersandar
pada dinding dan bisa melihat negeri awan dari jendela. Aku jadi mengenang,
dahulu aku selalu minta duduk di sisi tepi pada ibu. Hobiku melihat
tempat-tempat yang dilewati dari jendela. Sayang, kali ini aku tidak
mendapatkannya.
“Kamu boleh duduk di
situ. Saya
yang di sini.” Telingaku menangkap ujuran itu dari samping. Sontak mataku coba
mendapatkan asal suara. Seseorang telah berdiri di sampingku. Aliran darah
dalam nadiku seakan berbalik arah. Apakah ibu yang di ruang tunggu tadi dengan
sengaja menguntitku sampai ke sini. Kali ini senyum ringkas penuh enigma itu tepat
di hidungku. Anehnya ibu itu bercakap seakan sudah begitu karibnya ia padaku.
Ganjil.
“Ibu, ibu di kursi 34.” Ah, kalimatku
tersendat. Aku sendiri tidak paham. Barusan aku sedang bertanya atau
menjelaskan? Ibu itu melihatkan tiketnya. Ia memegang tiket bernomor 34.
“Kau saja yang di
situ.
Bandel!” Aku mendapat ujung kata yang makin mengganjilkan: bandel. Tanpa pikir
dua kali aku pindah ke kursi tepi. Begitu duduk di kursi 34, aku tak menoleh
lagi ke ibu itu. Ia pun duduk dikursi 33. Mengamit tas kecil di pangkuannya. Untuk
mengucapkan terima kasih pun aku tidak sempat.
Pikiranku jadi terkunci pada keanehan yang sedari tadi
dan masih berlangsung. Seandainya tadi aku menyiapkan obat tidur, mungkin akan kutelan
sepuluh biji sekaligus. Biar selesai pikiran tidak karauan lagi ini. Kepalaku
seakan membalon dan terus membesar, memuat wajah ibu ini. Senyum lebar.
***
“Durhaka! Mau kawin tak bilang”
Jelas kudengar ucapan itu. Ah, barangkali ia sedang bicara dengan seseorang di samping
kanannya. Tapi di samping kanannya
bukankah gang kecil yang memisahkan kursi deratan kiri dengan deratan kanan?
Berarti ucapan itu tertuju padaku. Lho!
Kok dia tahu apa-apa yang ada dalam benakku dalam perjalanan pulang ini? Dengan
gugu kubuka mata. Ya, Tuhan! Dia tersenyum ke arahku. Bibir warna merah lada.
Lebar. Persis seperti pertama kali di koridor bandara tadi. Menghujamku dengan
tatapan dalam. Aku seperti terlipat-lipat, tubuhku menciut seribu kali,
terbenam kedalam kursi, namun kepalaku terus membesar, memuat kenyataan dan
pertanyaan yang bercampur aduk.
“Bu...,” mencairkan kekakuanku dengan membalas senyuman
ibu itu.
“Sudah saya katakan. Carilah perempuan urang awak. Dasar Malin Kundang”
Apakah benar ucapan itu tertuju pada aku? Tapi, kok bisa?
“Mau terbang jauh? Alaaah,
sejauh bangau terbang balik ke kubangan jua!”
Ocehan ibu itu semakin banyak dan berani. Aku tidak berani
menanggapi. Apakah ibu ini mengidap sejenis kelainan jiwa. Aku juga punya teman
semasa kuliah dulu yang punya kebiasan selftalk,
bicara sendiri tanpa lawan bicara. Semacam stress ringan. Menurut ilmu jiwa
moderen, orang-orang seperti ini bukan gila yang parah. Ia masih bisa berpikir
normal. Orang kampungku menyebut kelainan lakuan semacam ini snewen. Orang
snewen bisa menceracau kapan saja.
“Percuma punya anak. Anak peluru semua. Selalu sok ingin
lepas dari orang tua. Padahal tidak. Belum apa-apa sudah perempuan yang
dipintanya. Durhaka!” Ucapan ibu ini semakin mencikaraui kepalaku. Aku terdesak dengan ujuran-ujaran yang tidak
jelas pada siapa yang sedang dimaksudnya. Sesudah ia bicara aku terpaksa
menarik nafas dalam. Aku ambil botol air
mineral dari saku jaket. Meminum seteguk, menyiram hulu hatiku yang serasa didiang
bara. Kalau jendela pesawat ini bisa dibuka layaknya jendela bus kota, rasanya
aku mau terjun saja. Tapi aku yakin, bahwa ceracauan ibu ini bukanlah untukku.
“Kalau dengan perempuan luar, bakal tidak punya rumah gadang anak-anakmu,
tidak berpandam kuburan yang jelas. Tidak jelas tali perut anak-anakmu.
Terserak kau nanti kalau sudah tua. Malin Kundang!”
“Astaga.” Aku bangkit dari kursi, melangkah ke toilet pesawat.
Kupangkas adrenalin yang menegang oleh tohokkan kata-kata yang berhamburan dari
mulut perempuan ini. Di toilet, bukannya buang air kecil. Aku merasa lebih nyaman
di sini.
***
“Assalamualaikum...!” Aku buka pagar rumah begitu turun
dari motor Wardi. Ibuku sudah berdiri di beranda. Serr! Denyut itu lagi-lagi menyergap. Ibu tersenyum, dengan gincu
yang berwarna merah lada. Tebal, juga lebar. Serasa masih senyum perempuan di pesawat
tadi. Ajaib, kenapa ada irama yang sama.
”Kusut raut mukamu. Letih sekali kau, Wimo?”
“Ya, Bu. Kelamaan menunggu di bandara.”
“Ya, sudahlah. Mandilah dulu. Biar segar, ibu siapkan air
hangat kuku. Habis itu kita makan bersama ya”
“Ibu belum makan?”
“Belum. Nunggu kamu. Ibu sudah buatkan kau gulai ikan pangek padeh kesukaanmu.”
Aku terkesima. Tak ada yang berubah dari ibu soal memanjakanku.
Ibulah yang selalu menegakkan kepalaku kalau lagi lelah melangkahi liku hidup.
Ibu pula yang keras menyuruhku sekolah tinggi-tingi. Meski hanya uang dari
pensiuanan almarhum ayahku.
Tapi, yang menjadi tanya bagiku: Adakah ibu mau mendengar
dan menerima hajatanku? Apakah memberi restu padaku untuk menikah dengan
Cyntia? Teman sekantorku, perempuan yang
bukan urang awak, perempuan yang sudah kupacari setahun belakangan ini? Entahlah.
Aku selalu tidak berhasil menebak jalan pikiran ibu.
***
‘Durhaka! Mau kawin tak bilang.’
‘Bukan begitu, Bu. Aku...,aku tidak sempat.’
‘Sudah kukatakan. Carilah perempuan urang awak. Dasar
Malin Kundang’
‘Apa bedanya perempuan urang awak atau tidaknya.
Perempuan yang kupilih juga baik. Perempuan yang seseuai dengan kriteria yang
aku idamkan. Cantik, cerdas, penuh kasih, sabar. Aku sudah menetapkan pilihan. Aku
berharap ibu tidak menolak.’
‘Mau terbang jauh? Alah, sejauh bangau terbang balik ke kubangan
jua.’
‘Bukan begitu, Bu. Aku tidak akan jauh-jauh dari Ibu.
Lagi pula tak ada yang disebut jauh hari ini. Jarak sudah bisa dipintas. Waktu
bukanlah halangan. Kalau aku jauh dari mata ibu, hati ini akan dekat selalu.’
‘Anak peluru. Sok ingin lepas dari orang tua. Padahal
tidak. Belum apa-apa sudah perempuan yang dipintanya. Durhaka!’
‘Yakinlah, Bu. Tiada perempuan lain yang bisa
menggantikan posisi Ibu dalam diriku. Ibu. Yang mengalirkan darah dagingku. Dia
menempati posisi lain dalam hidupku. Sebagai isteri.’
‘Kalau dengan perempuan luar, bakal tidak berumah gadang
anak-anakmu, tidak berpandam kuburan yang jelas. Tidak jelas tali paruik
anak-anakmu. Terserak nanti kalau sudah tua. Malin Kundang!’
‘Tatanan itu, tatanan itu lagi. Tidak ada dalam syarak’
‘Tidak. Tidak bisa! Kau tak menghormati adat!’
......
“Ibuuuuuuuu!”
“Wimo. Kamu bermimpi? Mimpi burukkah? Mengucaplah!”
Ibu masuk. Menyalakan lampu kamar. Mataku silau perih
tertimpa cahaya neon. Ibu menyodorkan
segelas air putih. Aku lihat ibu tersenyum. Aihh..,
senyum perempuan di pesawat itu? Bukan. Aku gugup dengan senyum ibu. Sekujur tubuhku
berpeluh dingin.
***
Kepalaku pagi ini dirambati tumbuhan semak. Berpilin-pilin,
dengan cepat akarnya menjalar menghisap sum-sum tulangku. Aih, mengapa pula wajah ibuku, wajah perempuan di pesawat itu jadi
baur. Kenapa pula aku yang bersitegang dalam mimpi semalam? semuanya bersibuah,
bertumpang-tindih dalam mimpi. Kan cuma
mimpi. Tapi, kalau cuma mimpi, kenapa pula pikiran ini justru membuatku tidak sanggup
untuk bersitatap dengan ibu? Rasa kecut surut ini terus beranak-pinak.
“Wimo, mandilah dulu. Bangun pagi tidak baik bermenung,” ibu
keluar dari dapur dengan secangkir teh hangat, diulurkan ke hadapanku aku. Kemudian
melanjutkan kalimatnya yang tergantung, “Ibu mau ke Koto Tinggi sebentar. Ke rumah
mamakmu. Mudah-mudahan
ada Leni, anak mamakmu itu. Kalau ada, nanti kuajak Leni kemari, ya? Dia sudah
tamat pula sekolah, sudah jadi gadis rancak sekarang. Sudah elok pula jadi induk beras buatmu.”
Ibu tersenyum. Senyum yang ganjil. Astaga! Senyum ibu
berwarna merah lada. Lebar. Aku melihat ada lampu merah yang sedang menyala.
Sarilamak, 09-10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar