CERPEN Ragdi F. Daye
Ketika dia datang dan tersenyum di ambang pintu dengan
tubuh yang menggetarkan itu, kau merasa lututmu goyah. Rasanya tak sabar lagi
kau untuk menghambur dan melabuhkan kepala di dadanya.
Kepada ibumu dia berkata hendak membawamu jalan-jalan ke
luar: Untuk mengenal lebih dalam.
“Pergilah,” izin ibumu. “Tapi jangan pulang terlalu
malam. Ingat, kalian baru tunangan.”
Dengan tersipu-sipu kau bergegas masuk ke dalam kamar.
Mencari baju paling indah yang kau punya. Kau patut-patut diri di depan kaca.
Merapikan kerudung hijau muda di kepala. Di cermin, kembali kau melihat wajah
persegi itu tersenyum hangat. Akhirnya doa panjangmu terjawab. Tidak
tanggung-tanggung. Kau dikirimkan sesosok malaikat.
Saat keluar kamar, kaulihat dia sedang duduk di kursi
tamu. Ibumu mempersilakan dia minum. Laki-laki itu mengangguk kecil ke arahmu.
Matanya berpijar lembut.
“Tuhan, aku meminta pelita kecil dan Kauberi aku bulan
purnama,” bisikmu dalam hati.
Kalian lalu pamit pada ibumu. Kau mati-matian berusaha
untuk tidak canggung. Tidak memikirkan para tetangga yang akan
mempergunjingkanmu: Si anak janda dengan mata buta sebelah pergi bersama
laki-laki sial yang akan menyuntingnya!
“Mau ke mana kita?” tanyamu ketika telah duduk di
belakang punggungnya.
“Ke surga.” katanya dengan sedikit memiringkan kepala.
“Aku belum mau mati.” katamu agak manja. “Kita baru akan
menikah tahun depan.”
“Tenanglah. Aku akan membawamu ke sebuah tempat yang
indah. Pantai Nirwana. Pernah ke sana?”
“Ini yang pertama.”
Sepeda motor yang dikendarainya melaju terangguk-angguk
di jalan Karang Gantiang yang berlubang-lubang dan banyak tanggul. Pelan-pelan
melewati ruas-ruas jalan yang membelah kota. Deretan toko dan ruko-ruko serta
aneka bangunan yang berdiri berdesak-desak menyesakkan. Sesekali sepeda motor
itu menyelip di antara mobil-mobil, sepeda motor-sepeda motor, angkot-angkot,
dan bus-bus kota yang selalu terburu-buru. Melewati kantor-kantor,
sekolah-sekolah, masjid-masjid, warnet-warnet- pusat-pusat games online,pasar-pasar,
dan rumah-rumah warga yang taat beribadah menuju selatan.
Hidungmu mencium bau kayu-kayu hutan tropis menguar dari
kemejanya. Kau merasa mabuk dalam gelinjang rasa yang tak terkata. Tangannya
memindahkan tanganmu ke sisi perutnya. Dengan jengah kau membiarkan sambil
menengadahkan muka menatap langit kota yang berwarna kopi susu. Ah. Akhirnya
kau mendapat kesempatan diperlakukan benar-benar sebagai seorang perempuan.
*
“Inilah surga!” ucapnya begitu kalian menjejakkan kaki di
pasir pantai. Pasangan-pasangan lain
telah dulu sampai di tempat itu. Sebagian dari mereka duduk di bangku-bangku
kafe, sedangkan sebagian lain merapat
bersempit-sempit dalam pondok-pondok kecil beratap daun kelapa yang berjejer
memenuhi sepanjang tebing semak di tepi pantai. Tak ada suami-istri muda dengan
anak-anak kecil ceria yang berwisata di tempat itu.
“Ya, indah…” katamu pura-pura memungut kulit kerang
sambil menenangkan perasaan. Matamu tadi tanpa sengaja menangkap dua sosok
tubuh bergelut di dalam pondok buruk di dekat pohon entah apa namanya. Napasmu
masih tercekat.
“Tentu saja. Ini pantai nirwana, pantai surga. Dan kita
nanti akan merasakan keindahan yang lebih dari ini.” Laki-laki itu meremas
tanganmu sambil mengerlingkan mata. Dia pergi ke kafe memesan minuman.
Kau mulai merasa tidak enak.
Matahari makin dekat ke laut.
Di bawah gunung kecil itu, pelabuhan tua tampak lengang.
“Tuhan, aku memang rindu kehangatan,” bisikmu. “Tapi…”
“Yuk.” Dia menggandeng tanganmu, menuntunmu menapaki
jalan kecil berbatu-batu di lereng
tebing. Di dalam pondok-pondok kecil serupa kandang ayam, bertengger pasangan-pasangan kasmaran.
Kakimu terasa lemah untuk diayun sehingga dia
merangkulmu.
“Aku main di pantai saja.”
“Ah, kau seperti anak kecil saja. Ayolah! Aku sudah haus!”
*
Dua bulan lalu dia bersama keluarganya datang ke rumahmu
meminang setelah seorang kerabat memperkenalkan kalian. Kerjanya menambang
emas, itu yang kau tahu. Tubuh liatnya sungguh menawanmu. Juga mata berbinarnya
yang tajam tapi lembut. Setelah rentetan prosesi adat yang pelik, kau
mendapatkan selingkar cincin perak dipasangkan di jari manismu.
Kalian akan menikah tanggal 10 bulan Safar tahun depan.
Tiap malam menjelang tidur kau membayangkan wajahnya.
Hingga laki-laki itu masuk ke dalam mimpi indahmu. Namun, beberapa kali malam
kau bermimpi ganjil. Dia datang menemuimu dengan badan tanpa baju yang penuh
lumpur. Mungkin dia baru keluar dari
tambang. Tangannya mengembang menghampirimu. Dalam mimpi itu kau merasa enggan.
Bukan karena luluk tanah di tubuh nya, tapi entah kenapa. Dia lalu mendekapmu
dengan erat. Samar-samar kau melihat ada cahaya keemasan berkilau di
sekelilingmu. Kau terpesona. Tapi cahaya itu tiba-tiba hilang saat dia
menyentak tubuhnya dari tubuhmu. Bumi gemeretak. Kau pun terbangun dengan
perasaan tak menentu.
*
“Aku sering memimpikanmu,” laki-laki itu memberikanmu
botol minuman bersoda yang baru dia buka tutupnya.
“Aku juga,” sahutmu.
“Dalam mimpi itu kau punya tanda lahir di bahu kiri.
Boleh kulihat?” tangan laki-laki itu menyentuh tanganmu.
“Jangan sekarang! Nanti setelah kita menikah kau dapat
melihatnya, bahkan lebih dari itu!”
“Aku ini calon suaminu, kenapa malu? Coba lihat ini!” Dia
menarik kemejanya memperlihatkan perutnya yang coklat. “Ini. Aku juga punya
tanda lahir.” Dia menunjuk bulatan hitam sebesar koin di dekat pinggangnya.
“Aku tidak punya!”
Senja mulai buram. Sepertinya akan turun hujan. Atau
badai? Ah, mungkin lebih dari itu.
Kau meneguk minumanmu. Mengapa jadi setegang ini? Tidak.
Tidak. Ini hanya karena belum terbiasa. Kau mencoba bersikap santai.
Bagaimanapun, laki-laki itu adalah calon suamimu. Esok, pada saatnya, kalian
akan tinggal bersama. Saling memiliki. Kau menjadi pakaiannya. Dia menjadi
pakaianmu. Saling membuka dan menutupi.
“Aku ingin kita bulan madu ke Mentawai. Menjadi manusia
primitif!”
Kalian berbicara. Putus-putus. Kaku. Tapi matanya terus
menyergap matamu. Menyeretmu dalam keterpukauan yang membuat jiwamu melayang,
mengambang, mengapung. Seolah dia adalah bagian dari dirimu yang tak perlu
disangkal. Angin dan suasana redup membuatmu makin jauh dari tempat berpijak.
Kau mulai lupa pada ketakutanmu, pada angan-angan sebagai perempuan rumahan
yang tak terjamah sebelum waktunya, pada ibumu, pada seprai ranjang pengantin
yang ingin kaulukis dengan tinta merah suci dari tubuhmu…
“Aku-mencintaimu…” dengusnya sambil merenggut kerudung
hijau mudamu.
Di bibir pantai ombak terus melenguh. Menyamarkan
suara-suara napas dan geletar hasrat. Hingga matahari tak kuasa lagi menatap.
Dibenamkannya tubuh ke perut laut disambut azan magrib yang sahut menyahut
bersama gemuruh riuh.
Gemuruh? Apakah itu suara yang disebabkan
guncangan-guncangan liar di pondok-pondok sepanjang tebing semak? Ah, tidak!
Gemuruh itu begitu gaduh. Riuhnya memiuh jantung. Batu-batu tebing jatuh.
Menggeleparkan diri dari tanah dan cepat-cepat mengejar laut. Tebing rubuh
menghamburkan kandang-kandang tempat ayam-ayam bersetubuh.
“Aaa…! Ge-gempa! Gempa!”
Sebuah batu besar yang menggelinding telah memisahkan kau
dari laki-laki itu. Pondok itu terbusai seperti pakaianmu yang kusut masai.
Kaucari-cari kerudung hijau mudamu dalam cakaran rasa panik dan takut dan sedih
dan pedih dan sakit dan pilu dan ngilu dan malu. Tapi kain itu tak bertemu. Kau
lari merangkak-rangkak bersama orang-orang lain. Bumi terus berderak-derak.
Laut bergolak. Hujan turun merentak-rentak.
Kafe-kafe, rumah-rumah, dan pohon-pohon tersugkur ke
tanah. Tubuh-tubuh tergeletak. Kaupanggil-panggil namanya. Tapi dia tidak ada.
Percuma. Mungkin dia sudah mati di nirwana.
Kepalamu berdenyut-denyut. Pusing. Kakimu rasa terbakar.
Mungkin ada tulang yang patah. Ketika gelap tambah pekat, tubuhmu terjerembab
ke tanah.
*
Lamat-lamat, kau mendengar namamu dipanggil. Kaubuka
mata. Dia.
Kau meradang. “Jika kau masih menginginkanku menjadi
istrimu, antarkan aku pulang ke Karang Gantiang!”
Matanya menyorot tajam menghunjam matamu. Mata itu kini
merah. Pendar lembut itu telah lenyap.
Kau tak sempat berpikir ataupun bertanya. Dia telah
menyeringai memamerkan taring-taring tajam. Seperti kilat dia menyambar
tubuhmu, membopong sambil berlari dengan kecepatan angin, dan tahu-tahu kau
sudah tergeletak di tengah hamparan pasir penuh sutra.
Dia kemudian mencabik-cabik dirimu.
*
“Aaaakkh…!!!”
“Tenanglah. Tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja.”
Kaubuka mata. Matahari sudah kembali. Cahayanya terang
sekali.
Seseorang mengusap pipimu. Kau terbaring di atas sebuah
tandu. Ada slang kecil berujung jarum menempel di pergelangan tanganmu. Kau
tengah digotong di sebuah kapal besar.
Langit begitu biru. Seperti baru dilap. Kau mendengar
dengung suara orang. Keramaian. Hilir mudik sibuk.
Di kejauhan kaulihat bukit-bukit. Di kakinya tampak
sesuatu serupa puing-puing yang kehujanan.
“Apa itu?” tanyamu pada perempuan berambut pendek yang
tadi mengusap pipimu.
Dia tersenyum pahit. “Itu kota kita. Bencana kemarin telah
membuatnya runtuh, sebagian tenggelam.”
Air hangat menyembur dari kelopak matamu. “Tu-tu-Tttu-tuhan…
A-aa…” Lidahmu kelu.
Padang, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar