Saya pergi ke plaza bersama ayah.
Berpikir, plaza tentu tak bernasib seperti kedai kami, setiap hujan turun pasti
akan terendam. Mari jalan-jalan ke plaza! seru ayah setelah kami selesai
menutup kedai sore itu.
Sehabis pulang sekolah, saya
sering disuruh ibu membantu ayah di kedai. Saya anak satu-satunya di keluarga
kami. Ayah mulai tua dan gampang lelah. Kami berkedai di pasar raya, tetapi
sungguh kami belum pernah mengunjungi plaza yang baru dibangun beberapa bulan
yang lalu itu.
Plaza yang berdiri di bekas
terminal kota.
Kami tinggal di pinggiran kota,
tapi sebenarnya kami adalah orang-orang kampung juga. Kami hanya mendengar dari
orang-orang di tempat kami, tentang plaza baru yang megah itu. Dan ibu begitu
keranjingan ingin pergi ke sana. Hanya ayah tak pernah mau mengajak ibu. Entah
kenapa ibu pun tak mau pergi sendiri.
Saya terpikir ingin membeli
televisi baru di plaza. Piala dunia sudah dimulai. Televisi di rumah kami tak
pernah bertahan lama. Hujan telah membuat banyak hal menjadi berantakan.
Televisi terakhir yang kami beli kini telah menjadi banyak kutu. Ayah tak
sempat membetulkan atap rumah kami yang bocor. Ayah berharap seharusnya saya bisa memperbaikinya sendiri. Ibu tentu saja tidak akan
mungkin memanjat loteng. Hanya saja saya takut sekali dengan ketinggian.
Ayah ingin membeli sepeda. Di
plaza tidak ada sepeda. Ongkos angkutan kota naik lagi. Beberapa hari ini
jalanan sering macet. Bapak walikota ikut pawai bersepeda keliling kota. Sehari
sebelumnya, sopir angkutan kota berdemo. Keesokannya diikuti pula demo para
sopir dan kondektur bus antarprovinsi. Saya terpakasa berjalan kaki ke sekolah.
Saya tidak tahu kenapa orang-orang itu berdemo, mungkin karena tak punya
terminal lagi.
Ayah lalu menarik saya lebih
cepat. Hujan semakin deras. Saya ingin berhenti sebentar. Saya tak kuat lagi
berjalan. Saya ingin melihat orang-orang berdesak-desakkan di bawah atap-atap
ruko. Saya ingin melihat bocah-bocah seusia saya melap-lap kaca mobil yang
lewat dengan sabun cair, untuk kemudian menagih upah kepada pemilik mobil.
Ayah tak suka menonton
pertandingan bola, walau itu piala dunia sekalipun, walau yang bermain adalah
pemain-pemain kelas dunia. Tapi kata ibu, dulu ayah pemain bola yang hebat.
Ayah punya tendangan kaki kiri yang mematikan. Sundulan kepala ayah sangat
akurat membaca sudut gawang. Saya berpikir, apa ibu tahu berapa ukuran lapangan
sepakbola?
Saya juga terpikir ingin membeli
sepatu bola di plaza. Uang saya ada disimpan ibu limapuluh ribu. Seorang
kenalan ayah datang berkunjung ke rumah dan memberi saya uang. Sepatu bola saya
yang lama sudah tak layak pakai. Ayah membelinya dari seorang pejudi dengan
harga yang cukup murah. Tetap, ayah saya bukan penadah barang curian. Sepatu
sekolah saya juga dibeli ayah dengan harga yang sama, juga dari seorang yang
kalah berjudi.
Saya belum terbiasa bermain
sepakbola memakai sepatu. Sepatu bola saya itu terlalu besar. Gambirnya yang
sebelah kiri telah patah tiga biji. Setiap kali saya bawa berlari, pada tumit
kiri saya terasa sakit. Kalau dipakai terus menerus, tumit saya itu bisa
terluka, bukan? Saya tidak ingin mengambil resiko menjadi buta—kata pelatih
saya begitu—hanya karena harus bermain bola pakai sepatu yang kebesaran dan
patah gambir.
Ketika sampai di plaza, ayah
tiba-tiba ingin buang air kecil. Tetapi saya tidak tahu toiletnya ada di
sebelah mana. Ayah menyuruh saya bertanya kepada seorang perempuan yang
berjalan di dekat kami. Apa buang air di sini harus
bayar? Wajah perempuan itu seperti kebingungan menghadapi saya. Ia tak menjawab
pertanyaan saya. Lalu ia pergi begitu saja. Saya juga tak mengerti kenapa ia
bersikap seperti itu. Sekarang saya yang kebingungan mencari-cari toilet. Kami
terpaksa mencarinya sendiri. Hingga kami menemukannya di suatu sudut.
Ayah meminta saya menemaninya ke
toilet. Apa setiap kali akan masuk toliet, tubuh ayah akan mengeluarkan
keringat dingin seperti ini? Tetapi ketika masuk kamar mandi di rumah tidak ada
apa-apa.
Tidak ada hantu di sini, Ayah!
Ayah terkejut mendengar perkataan
saya. Setelah selesai kencing, ayah berkata kepada saya sambil membuka bajunya yang basah: ayah ingin mandi sebentar! Saya berusaha
mencegah dengan berkata: di luar hujan lebih deras, kenapa ayah mandi di sini?
Tubuh kami memang sudah terlanjur
kuyup, mungkin sebab itulah ayah ingin mandi di toilet plaza.
Di kaca toilet, lalu saya lihat
bibir saya sudah berubah mirip mulut ikan arwana. Mata saya menjadi penuh air.
Tubuh saya melayang-layang ke sana-ke mari. Sesekali tubuh saya membentur
dinding toilet yang tampak begitu putih. Saya berpikir, apa ayah juga ikut
membayangkan tubuh orang-orang di luar sana berubah menjadi bersisik seperti
yang tengah saya bayangkan?
Tenang saja, ayah tidak akan
menjualmu ke pasar ikan!
Saya berenang-renang di atas
kepala ayah. Tubuh saya serasa melekat ke langit-langit toilet, seperti ada
arus yang kuat dari bawah terus mendorong saya ke atas. Saya tak bisa
melawannya.
Sementara tak ada yang berubah
pada diri ayah. Tubuh ayah tidak ikut melayang-layang. Bibir ayah tidak berubah
membesar seperti mulut ikan arwana. Kulit ayah tidak mengkilat-kilat seperti
yang terjadi pada kulit saya: bersisik. Ayah masih tetap memandang saya dari
bawah.
Sudah, jangan bermain-main dengan
bayangan. Ayo kita keluar!
Ayah tidak jadi mandi?
Mandi di sini? Ha ha...
Ayah tertawa.
Kami keluar dari toilet. Tubuh
saya seperti sediakala, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Lagu-lagu
sentimentil bergiliran terdengar dari lubang salon yang entah disembunyikan di mana, di langit-langit
plaza itu mungkin. Saya tak tahu. Saya mencoba mencari-cari sumber suara
kalau-kalau dari sana seekor ikan arwana raksasa menjulurkan ekornya.
Tetapi orang-orang tidak berubah
menjadi ikan arwana raksasa. Mata saya tidak lagi dipenuhi air, tetapi kini
telah berganti dimandikan cahaya lampu. Suara itu, lagu-lagu itu terus
membuntuti ke mana saya pergi. Seperti kecipak ekor ikan arwana raksasa.
Kami melewati studio foto yang
masih berada dalam plaza itu. saya ingin berfoto bersama ayah. Hanya saja ayah
tidak suka berfoto-foto.
Tidak enak sama ibumu!
Saya meyakinkan ayah: Ibu pasti
tidak akan marah! Saya terus membujuk hingga akhirnya ayah setuju. Ayolah! ayah
sama sekali tidak bersemangat.
Tapi ayah tidak pandai berfoto,
kata ayah lagi. Kamera kecil itu seperti mata ibumu!
Mata ibu, mata yang menyala
setiap kali angka di almanak tak lagi bisa dihitung dengan sepuluh jari. Bukankah
ibu hanya seorang guru honorer sekolah dasar yang hidup dari
peruntungan tanggal? Tetapi saya tak menghirukan perkataan ayah. Saya terus
menarik ayah masuk ke dalam studio foto. Ah, mata ibu ... pada akhirnya saya
tak bisa tidak tergoda juga dengan perkataan ayah tadi. Mata itu kian menyala
jika kami lalai mematikan kran air, membiarkan lampu-lampu menyala di siang
hari.
*
Bibir ayah terlihat melebar di
foto itu, seperti mulut ikan arwana. Kedua tangan ayah seperti sirip yang
mengepak-ngepak. Tubuh ayah berkilat-kilat seperti bersisik. Pada diri saya,
semua ciri ikan lengkap melekat, seperti juga pada ayah.
Setelah melihat foto itu, mata
saya menjadi penuh air. Setiap kali saya bicara, dari mulut saya seperti keluar
gelembung-gelembung yang banyak dan tak bisa dihitung. Gelembung-gelembung itu
menempel di langit-langit plaza.
Jangan perlihatkan pada Ibumu,
nanti dia marah karena tak kita ajak!
Ayah berkata setengah berbisik.
Tapi, hmm, bagus juga ya fotonya! kata ayah memandangi sebentar selembar foto yang kini berada
di tangan saya.
Kami berjalan keluar plaza. Hujan
masih deras, bertambah deras. Saya melihat setiap orang telah berubah menjadi
ikan arwana raksasa. Ekor mereka yang besar mengepak-ngepak lincah.
Saya dan ayah masuk ke dalam
hujan. Seperti berenang. Kami kembali melewati jalan yang semula kami
pergunakan untuk menuju ke plaza. Plaza yang kami tinggalkan terlihat seperti
terumbu dengan warna yang menyala dan menyilaukan mata.
Sementara hotel-hotel kelas
melati, pusat-pusat grosir yang sedang dibangun, ruko-ruko di sepanjang jalan
itu, dan lapak-lapak kaki lima ... terlihat seperti ranjau, munggul-munggul yang
menyangkut di dasar kolam. Kami berenang di atasnya. Semua orang
mengibas-ngibaskan ekornya seperti ikan.
Saya membayangkan kedai ayah
semakin terendam. Tempias hujan akan membasahi dagangan kami.
***
Di rumah, saya tidak memberikan
foto itu kepada ibu, seperti permintaan ayah. Tapi ibu sendiri yang
menemukannya beberapa hari kemudian di kantong celana saya ketika hendak
mencuci. Saya menyesal telah lupa menyimpannya. Saya membayangkan ibu akan
marah besar. Dan ayah pun nanti tentu akan memarahi saya karena melanggar
perjanjian kami yang menyebabkan ia disalahkan ibu.
Tetapi ibu tak marah. Ia malah
berkata: Hmmm, Ayahmu terlihat lebih muda ya. Ha ha ha. Mengapa kamu juga tidak memakai baju yang lebih bagus? Ayah tidak pula menyisir rambutnya
terlebih dahulu!
Ibu terus memandang-mandangi foto
itu.
Tetapi... sekali
pun tak menyisir rambut, hmmm, tetap saja Ayahmu
terlihat lebih muda, kata ibu lagi, dan wajah ibu
terlihat begitu gembira.
Ibu memutuskan memajang foto itu
di ruang tamu rumah kami. Di dinding rumah kami yang nyaris hanya tersisa
sebuah ukiran kayu kepala ikan arwana, almanak tahun lalu, sebuah lukisan cat
minyak murahan bergambar Tuanku Imam Bonjol yang sedang berkuda sambil
menghunus kerisnya. Aha, ibu mematut-matut di mana foto itu akan
diposisikan di antara mereka. Saya melihat bibir ibu kadang memoyong ke depan ketika tengah berpikir,
kadang melebar seperti mulut ikan
arwana.
(Padang, 2006-2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar