OLEH
Darman Moenir
Sastrawan
Darman Moenir |
Kebijakan sastra di Padang, Sumatra Barat, terkait dengan
sejumlah lembaga pemerintah dan non-pemerintah serta interaksinya dengan
berbagai kalangan di masyarakat.
Birokratisasi sastra dilakukan oleh Pemerintah Daerah
(Gubernur, Wali Kota) dan Bidang Kesenian Kantor Wilayah Departemen Pen-didikan
dan Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat. Lembaga non-pemerintah yang didanai oleh
Peme-rintah Daerah (Pemda) dan berdasarkan SK Gubernur dan berperan dalam
mengelola kesusastraan adalah Pusat Kesenian Padang yang kemudian menjadi Taman
Budaya Provinsi Sumatra Barat (TBPSB), serta Dewan Kesenian Sumatra Barat
(DKSB). Pengayoman kegiatan kesusastraan didukung oleh sejumlah universitas,
terutama melalui kegiatan ekstrakuri-kuler, yakni IKIP Padang, IAIN Imam
Bonjol, Universitas Andalas dan Universitas Bung Hatta. Sementara itu lembaga
yang berperan mengekang mobilitas sastra adalah aparat keamanan seperti
Laksuskomkamtibda, Kodim dan Polresta.
Media-massa seperti RRI
Stasiun Padang, Radio Arbes Rasiona
dan berbagai surat kabar termasuk harian Haluan,
Singgalang, Semangat dan mingguan Canang berperan dalam dinamika sastra yang ada.
Demikian pula kelompok-kelompok masyarakat seperti yayasan dan kelompok sastra
dan budaya. Kalangan bisnis, se-perti PT Semen Padang dan toko buku, serta
sejumlah individu ikut melakukan pengayoman dengan cara me-reka masing-masing.
Para pemain dalam bidang sastra ini dapat berfungsi ganda, sebagai pengayom
yang memperluas ruang gerak sastra mau pun sebagai peng-hambat dengan sensor
dan konflik horisontal. Berikut diuraikan peran lembaga-lembaga di atas.
Birokratisasi
dan Pengelolaan Kesusastraan
Pengelolaan kesusastraan oleh pemerintah terutama dilakukan
melalui birokratisasi kesenian yang di-jalankan oleh Pemda dan Bidang Kesenian
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pro-vinsi Sumatra Barat
yang berhulu di Direktorat Kese-nian, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Se-lain itu pengayoman
juga dilakukan oleh lembaga-lembaga kesenian: TBPSB dan DKSB yang mendapat dana
kegiatannya dari Pemerintah Pusat dan Pemda, dan oleh karenanya lebih berfungsi
sebagai lembaga semi-pemerintah atau aparatus ideologi negara.
Pada akhir tahun 1960-an, Sumatra Barat masih me-rupakan
provinsi yang relatif miskin, terutama sebagai akibat trauma PRRI. Tetapi baik
para sastrawan secara mandiri juga Pemda dan Kota Madya Padang men-dukung
aktivitas kesusastraan melalui penyeleng-garaan pertemuan dan diskusi sastra.
Kemudian Peme-rintah Orde Baru mulai mengalokasikan dana untuk kepentingan
kebudayaan, terutama dari satu pemba-ngunan lima tahun (Pelita) ke Pelita
lainnya. Pada tingkat Pemda dan Kota Madya, setiap tahun ada anggaran dari APBN
dan APBD untuk kebudayaan, termasuk untuk kesusastraan. Jumlah alokasi dana ini
ditetapkan oleh pemerintah daerah tanpa melibat-kan para sastrawan.
Pengelolaan dana Pemda merupakan pengayoman yang bersifat
rutin dan tetap. Tetapi dalam praktiknya penggunaan dana itu tergantung pada
pejabat yang sedang berkuasa, yang pada umumnya kurang mem-punyai apresiasi dan
pemahaman terhadap dunia sastra. Demikian pula siapa yang menerima dana
terse-but, tergantung dari kedekatan sastrawannya dengan para pejabat.
Keterkaitan antara “kebijakan” yang dikeluarkan oleh
pemerintah dengan selera dan individu pejabat juga terlihat dalam pengayoman
oleh Bidang Kesenian Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan
Provinsi Sumatra Barat di Padang. Bidang Kese-nian adalah ujung tombak Dirjen
Kebudayaan di dae-rah-daerah, termasuk di Padang. Contohnya, ketika Ke-pala
Bidang Kesenian dijabat oleh Arby Samah yang dekat hubungannya dengan para
sastrawan dan mem-punyai apresiasi khusus terhadap sastra, Kantor Bidang
Kesenian menjadi “rumah” bagi para seniman dan sas-trawan. Pada waktu itu
Kantor Bidang Kesenian me-nerima dan melaksanakan banyak usulan dan program
yang datang dari para pelaku kesenian dan kesu-sastraan. Sebelumnya Kantor
Bidang Kesenian dikenal oleh sastrawan sebagai lembaga yang kurang men-dukung
kesusastraan atau memberi pengayoman yang kurang mengena karena tidak mengenal
hal yang di-ayominya dan tidak melibatkan sastrawan. Salah satu contoh adalah
penyelenggaraan lomba membaca puisi yang diketuai oleh Kepala Bidang Kesenian
yang tidak mengenal puisi (dan tidak tahu siapa “Chairil Anwar”), sehingga
kaidah yang ditekankan dalam lomba men-jadi rancu.
Lembaga kesenian lain yang didirikan di Padang adalah Pusat
Kesenian Padang yang lokasinya meman-faatkan bekas lahan Padang Fair dan lapangan bola kaki. Pusat Kesenian Padang (PKP)
kemudian diganti dengan TBPSB, dengan ketua yang sama, Mursal Esten (telah
me-ninggal di Padang pada 17 Agustus 2003-Editor).
Pendirian TBPSB dalam melaksanakan kegiatannya seringkali bekerjasama atau
berbenturan dengan ke-giatan Bidang Kesenian. Keterkaitan antara efektivitas
TBPSB dengan individu pejabatnya sangat dominan, sehingga sangat jelas
perbedaan kegiatan pengayoman ketika dijabat oleh orang yang datang dari
kalangan sastra (Mursal Esten) dan pejabat yang ditunjuk oleh Pemda dan tidak
mengenal dunia sastrawan.
Selain itu kebijakan lembaga pemerintah di daerah juga
seringkali dikelola secara kurang leluasa karena mengikuti kekakuan formalitas
administratif kebijakan pusat. Sebagai contoh adalah Lembaga Bahasa yang baru
didirikan di Padang pada akhir tahun 1990-an. Kebijakan dari pusat untuk lebih
memberikan perha-tian terhadap sastra daerah, dan birokratisasi yang pelik
untuk mengajukan proposal penelitian tentang sastra berbahasa Indonesia di
Padang membuat kegiatan sastra Indonesia di daerah tersebut kurang dapat ditata
oleh lembaga pemerintah.
Lagi pula, lembaga-lembaga pemerintah yang meng-ayomi
kesenian juga tidak terlepas dari dugaan ter-jangkit berbagai penyakit
birokratisasi seperti korupsi dan kolusi. Pada tahun 1983, misalnya, sejumlah
sas-trawan dan seniman mengadakan demonstrasi ke Ke-pala Bidang Kesenian, Arby
Samah, untuk memper-tanyakan pembangunan proyek Gedung Utama TBPSB, yang
dinilai besar biayanya tetapi kurang memenuhi standar. Kontroversi tentang
korupsi, kolusi dan nepo-tisme di TBPSB juga tidak henti-hentinya dibicarakan
di media-massa.
Sebuah lembaga kesenian penting lainnya di Sumatra Barat yang
didirikan dengan pendanaan dari Pemerintah Darah adalah DKSB pada tahun 1993,
melalui SK Gubernur Sumatra Barat. Seperti halnya TBPSB, pendirian DKSB menjadi
kontroversi di kalangan sastrawan. Salah satu masalah yang diper-soalkan oleh
para sastrawan adalah penempatan personalia yang tidak tepat, seperti Ketua
Komite Sastra yang dipegang oleh bukan sastrawan, dan proses pengambilan keputusan
oleh Ketua, AA Navis (telah me-ninggal di Padang pada 22 Meret 2003-Editor), yang dianggap tidak
demokratis. Masalah internal membawa keretakan antarpengurus sehingga Ketua
Pelaksana Harian DKSB, Edy Utama, mengundurkan diri, awal 1995. Meskipun
demikian, bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, DKSB menyelenggarakan dua
per-temuan tingkat nasional dan internasional, yakni “Per-temuan Sastrawan
Indonesia dan Pertemuan Sastra-wan Nusantara pada tahun 1997”.
Pengayoman oleh
Perguruan Tinggi
IKIP Padang (kini Universitas Negeri Padang, UNP-Editor), terutama Jurusan Bahasa FKIP
(kini, ketika penelitian ini dilakukan, disebut Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Sastera-Penulis), (kini bernama
Fakultas Bahasa, Sastra dan Seni-Editor)
merupakan lahan per-semaian tokoh-tokoh sastra yang berpengaruh di Padang. Pada
tahun 1960-an, sejumlah mahasiswa dan dosen Jurusan Bahasa menjadi pendukung
Manifes Kebudayaan, seperti Tamsin Medan (alm.), Mustafa G. (alm.), Djamil
Bakar (alm.), dan Mursal Esten. Mereka bergabung dengan sastrawan luar kampus,
antara lain, Nazif Basir, Nasrul Siddik, Rusli Marzuki Saria, Dahnil Ilyas dan
sastrawan Sumatra Barat dari Pekanbaru, Leon Agusta, M. Joesfik Helmy (alm.),
Abrar Yusra dan Chairul Harun (alm.) Mereka berseberangan secara ideologis dengan
sastrawan-sastrawan Lekra, antara lain, Haznan Rachman, Mawi Ananta Djoni,
Rasjidin Bey (yang konon mati terbunuh), dan Tasmir Tazar. Ketika itu,
sastrawan AA Navis masih berdomisili di Maninjau dan Bukittinggi
IKIP Padang melahirkan guru-guru yang mem-punyai apresiasi
tinggi terhadap kesusastraan. Minat para siswa IKIP Padang terhadap sastra
terlihat dari aktivitas ekstrakurikuler mahasiswa di bidang sastra yang
diadakan secara teratur, dengan atau tanpa ban-tuan langsung dari lembaga
universitas. Kegiatan sastra, termasuk diskusi dan lomba-lomba diadakan dengan
mengundang sastrawan di luar kampus. Ke-giatan yang sama terlihat pada Jurusan
Adab (Sastra) IAIN Imam Bonjol dengan tokoh utama Zaini Ahmad, Sjofwan Karim
Elha, Yulizal Yunus, dan Sjamsir Roust. Walaupun bukan sastrawan, para dosen
ini mempunyai minat yang sangat tinggi terhadap kegiatan sastra. Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia Universitas Andalas yang didirikan kemudian (awal 80-an),
juga memperlihatkan kecendrungan yang sama. Aktivitas mahasiswa yang kemudian
menjadi dosen, seperti Sjafruddin Sulaiman, M Yusuf, Ivan Adilla, Adriyetti
Amir, untuk menyebut beberapa nama, menjadi motor dan penggerak kegiatan sastra
di kampus mereka.
Perguruan tinggi swasta, seperti Juruan Bahasa dan Sastra Indonesia
Unsiversitas Bung Hatta pun, sejak berdirinya di awal 80-an, mengadakan
kegiatan ekstra-kurikuler secara teratur. Tak kurang HB Jassin, Ismail Hussein
(Ketua Satu Gabungan Penulis Nasional, GAPENA, Malaysia), Umar Junus, Sutardji
Calzoum Bachri, pernah diundang untuk berceramah atau mem-bacakan karya mereka
di sana. Khusus untuk uni-versitas swasta ini, kegiatan didanai oleh
universitas. Kebetulan sejumlah dosen dari universitas negeri yang peduli pada
kegiatan kesusastraan bekerja paruh waktu di universitas swasta itu, seperti
Mursal Esten, Tamsin Medan, Sjamsuddin Udin, Agustiar Sjah Nur, Sjahwin
Nikelas, Hasanuddin WS, dan Atmazaki.
Pengekangan oleh
Aparatus Keamanan Pemerintah
Pelaksana Khusus Komando Keamanan dan Ke-tertiban Daerah (Laksuskomkabtibda)
Provinsi Sumatra Barat, Komando Daerah Militer Kota Madya Padang, Polisi Resor
Kota Madya Padang berperan dalam me-nentukan boleh-tidaknya kegiatan sastra
diadakan. Beberapa kegiatan yang boleh dilakukan adalah tidak menyebabkan gangguan
keamanan, tidak merongrong pemerintah yang sah dan tidak melawan Pancasila.
Setiap kegiatan harus mendapatkan izin resmi, paling tidak dari polisi. Tetapi
sering izin itu harus didapatkan pula dari Laksuskomkabtida dan Kodim. Kapan
satu kegiatan hanya cukup dengan izin polisi, dan kapan harus mendapat izin
dari lembaga keamanan lain, tidak pernah jelas.
Beberapa kasus yang menunjukkan kekangan ter-hadap kegiatan
sastra adalah dibatalkannya acara pem-bacaan sajak di Balaikota Padang pada
tahun 1970, dipindahkannya acara baca sajak “Malam Kahotek” di kampus INS Kayu
Tanam ke daerah Jembatan Pela-bihan yang terisolasi di tahun 1972, interogasi
ter-hadap pengurus kelompok Kerikil Tajam
selama 48 jam oleh Laksus dan Polresta sebelum acara “Baca Puisi Akhir Tahun”
di Taman Melati (sekarang halaman Museum Adityawarman) di tahun 1973. Tercatat
pula pengalaman M. Joesfik Helmy yang pernah dima-sukkan ke tahanan karena
dianggap menyalahi pro-sedur yang ketentuannya tidak pernah jelas diketahui.
Intervensi aparat keamanan langsung terhadap sub-stansi
kesusastraan terjadi ketika pihak kepolisian me-minta agar baris-baris tertentu
sajak Chairil Anwar di-ubah pada pembacaan puisi yang direncanakan di Balaikota
Padang pada tahun 1970 yang disebut di atas. Karena para penyelenggara
menyatakan, bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan maka acara itu batal.
Kawasan yang bebas izin adalah PKP yang ke-mudian menjadi TBPSB.
Peranan Media-Massa
Radio dan media-massa cetak mempunyai peranan penting dalam
mengayomi kegiatan sastra. RRI Stasiun
Padang tiap pekan menyediakan ruang budaya yang disebut “Arena
Persinggahan” selama satu jam. Ruang tersebut diasuh oleh sastrawan, Rusli Marzuki Saria, dan
melibatkan beberapa sastrawan yang berdomisili di Padang.
Biar pun tidak serutin “Arena Persinggahan”, Radio Suara Mahasiswa Sumatra Barat
(yang sekarang sudah mati) dan Radio
Arbes Rasonia (mulai mengudara pada pertengahan 70-an) juga memunyai jadwal
khusus untuk sastra. Radio itu, dengan Kepala Studio Armen Khaidir, secara
khusus mengadakan acara setiap pekan dan menyelenggarakan lomba baca puisi,
serta men-sponsori pementasan teater.
Surat kabar juga memainkan peranan penting. Pada masa tahun
60-an, ketika Lekra masih hidup, ada surat kabar harian Penerangan yang kemudian menjadi Suara Persatuan. Sedangkan corong satrawan Manifes Kebudayaan
adalah Res-Publika. Pada saat itu ada
surat kabar Aman Makmur dan Angkatan Bersenjata (yang kemudian
diganti namanya menjadi Semangat, dan
seterusnya Semangat Baru) dan harian Haluan yang menyediakan ruang budaya.
Harian yang terakhir ini pernah diberangus di akhir tahun 50-an, dan terbit
kembali di tahun 60-an sampai saat ini. Ruang budaya harian Haluan yang dipimpin oleh Rusli Marzuki
Saria selama kurang lebih 30 tahun telah menjadi perse-maian sastrawan muda
Sumatra Barat, sebelum mereka memublikasikan karya mereka di Jakarta, seperti
di majalah sastra Horison.
Beberapa cerpen yang pernah dimuat di Haluan per-nah terpilih menjadi cerpen terbaik dalam penilaian
terhadap cerpen yang pernah dimuat di surat kabar In-donesia oleh Komite Sastra
Dewan Kesenian Jakarta. Ruang budaya surat kabar Haluan tersebut juga mener-jemahkan karya sastra dunia seperti
sajak-sajak Rainer Maria Rilke, naskah lakon Bertold Brecht dan Anton Chekov.
Ruang budaya yang berjasa itu ditutup pada pertengahan tahun 1999 ketika
redakturnya, Rusli Marzuki Saria, pensiun.
Selain itu ada juga ruang budaya harian Semangat yang tidak terbit secara teratur. Redaktur-redaktur
bu-daya yang pernah aktif di harian tersebut adalah Edy Utama, Darman Moenir
dan Sjafril Kahar (alm.) Ada pula harian Singgalang,
dan mingguan Canang. Ke-teraturan
publikasi halaman budaya harian Singgalang
tergantung pada komitmen redakturnya yang secara bergantian dipegang oleh
sejumlah sastrawan, antara lain, Chairul Harun, M Joesfik Helmy, Abrar Yusra.
Mingguan Canang yang terbit kemudian,
dipimpin Nasrul Siddik, menunjukkan perhatian kepada ke-giatan sastra, tidak
melalui ruang budaya, melainkan melalui berita (termasuk berita utama) di
halaman depan dan dalam kolom tajuk rencana (“Pati Kato”) dan opini (“Mari
Bakaco Bacamin Diri”) dan karikatur-ka-rikaturnya. Tetapi pemuatan masalah
sastra dalam mingguan ini tampak ditujukan terutama untuk me-nyudutkan satu
tokoh sastrawan, AA Navis dan didasari oleh perseteruan pribadi antara sejumlah
staf redaksi dengan tokoh tersebut. Polemik di mingguan Canang tentang berbagai kebijakan AA Navis melalui DKSB (oleh Harris Effendi Thahar dengan artikel
opini), berujung pada pengaduan AA Navis (terhadap penulis dan pemimpin redaksi)
kepada polisi.
Dalam hal ini media-massa dapat juga berfungsi ganda sebagai
penggerak secara negatif mau pun positif terhadap kegiatan sastra, bahkan ada
kalanya untuk mempersempit mobilitas. Satu kasus sensor internal oleh
media-massa pernah terjadi oleh Redaktur Ruang Budaya Haluan yang juga seorang sastrawan, terhadap cerpen Darman Moenir,
berjudul “Kun”. Cerpen yang sudah dilay-out tersebut dicabut kembali karena
dikha-watirkan berunsurkan SARA dan bakal menimbulkan protes umat Islam.
Ternyata cerpen yang sama dimuat di harian Sinar
Pagi di Jakarta dengan redaktur Adek Alwi, juga seorang sastrawan, dan
tidak mendapatkan respons negatif apa pun.
Penerbitan buku sastra tidak pernah mendapatkan hambatan
dalam bentuk larangan, kecuali hambatan finansial oleh kalangan penerbit
sendiri. Para sastra-wan mengeluh akan sulitnya mencari penerbit untuk
memublikasikan karya sastra mereka.
Peranan Komunitas Sastra
dan Lembaga Swadaya Masyarakat
Yayasan dan kelompok-kelompok yang didirikan masyarakat untuk
apresiasi sastra mempunyai peranan yang besar dalam menunjang kegiatan sastra.
Umum-nya pendukung kelompok adalah anak-anak muda yang mempunyai minat besar di
bidang sastra, dan me-lakukan kegiatan dengan swadana, seringkali dari kantong
sendiri.
Pada akhir tahun 1960-an, di Padang ada Yayasan Sastra Budaya yang dipimpin Roestam Anwar. Walau pun
yayasan itu belum pernah dibubarkan, tetapi ke-giatannya hanya tercatat sampai
awal 70-an. Namun dalam waktu pendek yayasan itu berhasil menerbitkan kumpulan
puisi dan cerpen, dan berbagai kegiatan sastra. Selain itu ada juga kelompok Arena Muda Club (AMC), tetapi karena
dianggap bayang-bayang Lekra, klub ini dijauhi.
Pada tahun 1974 anak-anak muda seperti Asnelly Luthan, A
Chaniago Hr, R Lubis Zamaksyari, Yalvema Miaz, Wall Paragoan, Zulfikar Said,
Susianna Darmawi, Harris Effendi Thahar dan Darman Moenir beserta beberapa
rekan yang lain mendirikan Grup Studi
Sastra Krikil Tajam (frasa yang diambil dari judul sebuah sajak Chairil
Anwar). Kelompok ini mengadakan diskusi sastra dua kali sepekan. Di tahun 1973
mereka meng-adakan acara “Baca Sajak Akhir Tahun di Taman Melati” yang dihadiri oleh lebih banyak aparat
ke-amanan dan intel daripada penikmat sastra. Acara itu mendapat publikasi luas
di media-massa daerah dan harian nasional seperti Indonesia Raya, bahkan oleh BBC,
London. Salah satu penyebab publikasi itu rebak adalah sebagai akibat
pengalaman pengurus yang sempat diinterogasi untuk mendapatkan izin
pelak-sanaan kegiatan.
Kelompok Bumi yang bergerak di bidang
teater, seni rupa, musik dan sastra, didirikan pada 10 November 1976 di bawah
asuhan Wisran Hadi, Raudha Thaib, Hamid Jabbar dan A Alin De. Kegiatannya
meliputi tingkat anak-anak, remaja dan dewasa. Pada tahun 1982, Kelompok Bumi mengubah diri menjadi Yayasan Bumi, dan mendapat tempat di
TBPSB untuk kegiatan teater. Setelah pengasuhnya, Wisran hadi, terlibat polemik
dengan Kepala Taman Budaya, Mursal Esten, Yayasan
Bumi mengundurkan diri dari Taman Budaya.
Genta Budaya, sebuah yayasan yang
baru bergerak di awal 1990-an dan berfokus pada dokumentasi dan studi
kebudayaan Minangkabau, menyelenggarakan juga kegiatan diskusi dan penampilan
sastra di ge-dungnya yang megah, Gedung Abdullah Kamil, yang letaknya tidak
jauh dari Taman Budaya. Sebuah yayasan lain, yakni Yayasan Taraju, yang diketuai Asraferi Sabri dan Yusrizal KW,
menerbitkan buku-buku puisi dan menyelenggarakan lomba-lomba sastra. Tetapi
terjadi perbedaan pendapat antara pengurusnya, dan Yusrizal KW mendirikan Yayasan Citra Budaya Indonesia, dengan
kegiatan yang lebih luas.
Selain yang disebut di atas, masih banyak kelompok lain yang
juga bergerak di bidang sastra, seperti ke-lompok mahasiswa dan siswa di kampus
atau sekolah-sekolah, serta kelompok independen di Padang-panjang, Bukittinggi, Payakumbuh,
Solok, Batusangkar dan Pariaman. Ada komunitas Dangau Seni, dan Rell,
dan sebuah fenomena “Sastra Pengamen”. Yang ter-akhir ini adalah kegiatan yang
umumnya dilakukan oleh mahasiswa yang harus mengadakan perjalanan melalui bus
antarkota pulang-pergi dari tempat tinggal di luar kota Padang ke
universitas-universitas di Padang. Mereka mencari uang dengan mendekla-masikan
puisi dalam bus antarkota tersebut.
Namun di samping mengayomi kegiatan sastra, yayasan atau
lembaga masyarakat dapat juga memper-sempit ruang gerak sastra dengan cara
menyensornya. Salah satu contoh adalah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
(LKAAM). Lembaga ini menjadi pe-duli terhadap kesusastraan terutama ketika teks
sastra dianggap melanggar mitos yang disakralkan dalam kebudayaan Minangkabau.
Hal ini terjadi ketika lakon Wisran Hadi berjudul “Wanita Terakhir” dan “Imam
Bonjol” dipentaskan di Padang. Lakon “Imam Bonjol” dianggap melecehkan sosok
pahlawan Minangkabau dengan menunjukkan sisi kelemahannya sebagai ma-nusia. Tak
kurang Gebernur Hasan Basri Durin ikut melayangkan surat resmi ke Panitia
“Festival Istiqlal” Jakarta untuk mencegah pementasan lakon itu di Jakarta pada
tahun 1995. Alasan yang dikemukakan adalah, “Bahwa isi pesan yang terkandung
dalam drama/teater tersebut sangat tidak sesuai dengan se-mangat dan jiwa
perjuangan pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol, bahkan menempatkan Tuanku Imam
Bonjol pada posisi yang tidak layak untuk dito-kohkan.”
Tetapi, pementasan lakon tersebut tetap dilak-sanakan. LKKAM
juga merupakan lembaga yang ikut “memperebutkan” dana dari pemerintah, dengan
de-mikian bersaing dengan kelompok sastra dan sastra-wan yang berminat
memanfaatkannya.
Sebuah lembaga masyarakat bernama Badan Koor-dinasi Kesenian
Nasional Indonesia juga memperoleh pendanaan dari Pemerintah Provinsi Sumatra
Barat yang dialokasikan melalui APBD. Kegiatannya antara lain mengadakan kemah
seni dan pengiriman misi kesenian ke daerah lain. Kerjasama dengan Pemda ini
memberikan kesan “plat merah” terhadap lembaga ini, yang kebijakannya juga diatur
lebih banyak dan men-dapat subsidi dari pusat organisasi ini di Jakarta.
Diketuai oleh Chairul Harun sejak terpilih sampai akirnya hayatnya, kegiatan
badan ini tidak terdengar lagi.
Peran Sektor Bisnis,
Swasta dan Individu
Sejumlah entitas yang berorientasi bisnis seperti PT Semen
Padang, toko buku “Pustaka Anggrek”, maupun BUMN seperti PDAM menunjukkan peran
yang penting dalam kegiatan pengayoman sastra. Penerbit dan toko buku melakukan
pengayoman dengan melakukan pendanaan, demikian juga PDAM. PT Semen Padang
merupakan pabrik paling besar yang mensponsori kegiatan kesusastraan. Perlu
dicatat, bahwa staf Humas Semen Padang, Drs Ariyato Thaib, kebetulan tamatan
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakutlas Sastra, Universitas Bung Hatta,
dan menaruh minat khusus terhadap dunia sastra. Selain itu PT Semen Padang juga
mempunyai kebijakan untuk menaruh kepedulian ter-hadap sektor kemasyarakatan,
termasuk kebu-dayaannya. Kontribusi biasanya langsung diberikan kepada kelompok
atau pribadi yang mengajukan proposal pendanaan.
Selain sektor bisnis dan swasta, yang sangat me-nonjol dalam
pengayoman sastra adalah kontribusi in-dividu, terutama sastrawan dan
budayawan. AA Navis sudah mulai giat mendukung kegiatan sastra sejak tahun
1950-an, ketika ia masih berada di Bukittinggi. Ia banyak memberi dorongan
kepada sastrawan muda, termasuk sumbangan finansial dan mengadakan acara
syukuran untuk merayakan kemenangan sastrawan-sastrawan di lomba-lomba sastra
atau pun pencapaian akademik mereka (misalnya ketika Darman Moenir memenangkan
hadiah utama Sayembara Roman DKJ 1980, dan ketika Chairul Harun, Wisran Hadi
dan Mestika Zed memenangkan Hadiah Buku
Utama). Motinggo Boesje juga termasuk salah seorang sastrawan yang
mendapatkan perhatian khusus dari AA Navis. Ter-masuk sosok budayawan senior
yang dihormati, juga di kalangan pejabat, AA Navis sering memanfaatkan
kedekatannya dengan pejabat untuk memberikan ke-mudahan bagi para sastrawan,
termasuk pendanaan untuk acara-acara kesusastraan di Padang mau pun untuk
mengunjungi acara kesusastraan di tempat-tempat lain.
Salah satu figur bukan sastrawan yang sangat peduli pada
sastra adalah Roestam Anwar, yang konon “jatuh miskin” akibat mengurus
kebudayaan dan kesu-sastraan. Tokoh-tokoh lain yang menjadi motor adalah
Chairul Harun, M. Joesfik Helmy, Rusli Marzuki Saria, Mursal Esten dan Wisran
Hadi. Sumbangan mereka da-lam kesusastraan juga ditunjukkan melalui esei dan
kolom yang mengulas masalah sastra.
Wacana-wacana Tentang
Sastra
Polemik yang menonjol dalam media-massa menge-nai sastra
adalah konflik horisontal antarsastrawan, khususnya yang berkaitan dengan
pengelolaan ke-giatan sastra melalui TBPSB dan DKSB. Dugaan terjadinya KKN dan
kebijakan serta proses pemilihan pengurus dan pemenang lomba yang dinilai
janggal juga mengemuka. Pemberian Anugerah
Seni 1999 oleh DKSB, misalnya, sempat mendapat protes keras dari sejumlah
seniman Sumatra Barat karena dari delapan bidang kesenian, hanya lima yang
diberi hadiah. Tiga di antaranya yakni kritik seni, seni tari dan seni rupa
dibatalkan tanpa berkonsultasi dengan koordinator juri yang telah mengajukan
nomisasi. Sebanyak 100 seniman bahkan menolak (usulan) pengurus harian DKSB.
Konflik horisontal juga mewarnai hubungan antargenerasi (sastrawan senior vs
yunior). Sejumlah sastrawan muda pada akhirnya memilih untuk melakukan kegiatan
mereka secara mandiri tanpa mengaitkan diri dengan kontroversi mau pun dengan
kegiatan yang dilakukan TBPSB dan DKSB.
Polemik lain yang menonjol adalah respons publik terhadap
permasalahan adat dalam lakon-lakon Wisran Hadi, “Puti Bungsu” (atau “Wanita
Terakhir”) dan “Imam Bonjol”. Lakon “Puti Bungsu” mendapat protes karena dalam
lakon tersebut Wisran memakai nama Malin Kundang, Malin Duano dan Malin Deman
dengan karakter “tidak seperti yang dikenal dalam cerita tra-disional yang
hidup dalam masyarakat Minangkabau.” Demikian pula Bundo Kanduang digambarkan
sebagai “Ratu” yang aristokrat. Ketidakpastian untuk menerima kreativitas
pengarang dalam menggarap hal-hal yang dimitoskan dan disakralkan masyarakat
seperti le-genda dan pahlawan tampak dalam polemik atas lakon Wisran lainnya,
yakni “Imam Bonjol”. Keberatan umumnya ditujukan kepada sosok Imam Bonjol yang
dalam lakon Wisran muncul sebagai manusia biasa de-ngan kelemahannya, “sebagai
pahlawan yang ragu-ragu.”
Walaupun sejumlah sastrawan seperti Satyagraha Hoerip dari
Jakarta dan AA Navis mendukung Wisran Hadi, respons di media-massa umumnya
menyatakan keberatan, bahwa “warisan nilai” tradisional “dikeli-rukan.” Bahwa
Gubernur Hasan Basri Durin yang di-kenal akrab dengan sastrawan dan banyak
melakukan pengayoman serta secara pribadi mengirim surat de-ngan tembusan
kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Sosial untuk mencegah pementasan lakon
itu di Jakarta, menunjukkan bagaimana seriusnya ma-salah adat dan tradisi ini
dipandang di Sumatra Barat.
Berkaitan dengan wacana tentang adat, menarik untuk dicatat
bahwa tidak banyak muncul permasa-lahan sastra lokal. Pada kenyataannya, selain
sastra tulis, sastra lisan tradisional seperti bakaba yang pernah sangat dominan di Minangkabau masih disukai dan
didukung oleh masyarakat. Tetapi sastra Minang yang tertulis, dapat dikatakan
tidak ditemukan. Mes-kipun demikian
tidak muncul pembicaraan yang se-rius tentang sastra “berlabel Minang” karena
anggapan tentang asal-muasal sastra Indonesia dan akar budaya dan Bahasa
Indonesia itu di kalangan sastrawan Sumatra Barat, yang dihayati secara kelakar
mau pun serius, bahwa “sastra Indonesia tak lain adalah sastra Minang.”
Sentimen yang tampaknya lebih bergaung di ka-langan sastrawan
adalah permasalahan “Daerah” dan “Pusat.” Pertemuan Melani Budianta, peneliti
dari Ja-karta, yang bermaksud untuk memperoleh masukan tentang kebijakan sastra
di Padang dengan kurang-lebih 40 sastrawan dan peminat sastra pada bulan
Februari 2000 berubah menjadi ajang
protes sastrawan atas “penindasan Pusat (Jakarta) atas Daerah.” Dramawan Wisran
Hadi dan pengamat sastra Musral Esten, yang juga Ketua Umum Himpunan Sarjana Kesusastraan
Indonesia (HISKI), mempertanyakan ba-gaimana “selera” metropolitan Jakarta
tercermin dalam pemilihan pemenang lomba-lomba sastra yang dise-lenggarakan
DKJ, terutama dalam lomba terakhir yang memenangkan novel “Saman” karya Ayu
Utami.
Para sastrawan yang hadir umumnya tidak dapat mengapresiasi
eksperimentasi dan tema kebebasan seksual yang dipaparkan oleh novel tersebut,
dan lebih menyukai tema budaya lokal yang diangkat oleh para penulis asal
Sumatra yang memenangkan lomba, tetapi bukan pada urutan pertama. Dominasi itu
juga dirasakan oleh sastrawan terutama karena sulitnya menembus saringan
redaksi ruang budaya di harian umum yang berkantor di Jakarta, seperti Kompas, Republika dan majalah sastra Horison.
Meskipun demikian sebagian kecil peserta diskusi, umumnya dari kalangan anak-anak
muda, merasa kegiatan sastra yang mereka lakukan tidak terkait dengan persoalan
Jakarta, atau hubungan Pusat-Daerah yang diper-soalkan terutama oleh sastrawan
senior.
Catatan
Dari Laporan Penelitian
Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru Hal. 1190-1199, diterbitkan atas
Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan–LIPI
dan the Ford Foundation Jakarta,
2001.
Dengan sedikit
penyuntingan, tulisan ini dipresentasikan
dalam Seminar Sehari “Sastra
Kepulauan”, diselenggarakan Dewan Kesenian Sumatra Barat di Gedung Abdullah
Kamil Genta Budaya, Padang, Minggu, 29 Juli 2001 dan juga dimuat dalam buku
“Menyulam Visi: Catatan DKSB”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar