Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)
I
Jauh sebelum kedua novel ini terbit, dalam
Pertemuan Sastrawan Indonesia II yang dilaksanakan di TIM tahun 1974, perupa sekaligus penyair, cerpenis dan
novelis Danarto menggemparkan publik baca puisi dalam rangka pertemuan
sastrawan itu dengan puisinya yang berbentuk garis segi empat sebanyak sembilan
buah seperti ini.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Garis-garis yang membentuk segi empat itu ia
sebutnya sebagai puisi. Orang boleh saja menyebut bahwa Danarto sebagai pelukis
yang terbiasa berbicara lewat gambar, sudah tidak percaya lagi pada daya
kemampuan bahasa konvensional sebagai wadah ekspresi kepenyairannya. Dilihat
dari sub-topik pertemuan ilmiah HISKI ke-14 ini yang mencoba mencari genius
lokal dalam sastra, persoalannya di sini tentu bukan apa makna puisi itu,
tetapi terlebih pada sejauh mana Danarto mencoba membuka dimensi-dimensi baru
dalam penulisan puisi. Mengapa segi empat seperti itu bisa disebut sebagai
puisi. Apakah bahasa sebagai alat konvensional sedemikian miskin untuk
menyampaikan maksudnya?
Empat tahun kemudian berkaitan dengan
penyelenggaraan Puisi ASEAN I, di Jakarta dalam “Pameran Puisi Konkret 1978”
Sutardji Calzoum Bachri menampilkan sebuah kanvas yang digantungi sekilo daging segar. Darah
daging itu dibiarkan mengucur di atas kanvas, dan di bawahnya ada tulisan
grafis yang berbunyi “Luka ha ha “ (Toda, 1984: 105). Sama persis dengan reaksi
para kritikus terhadap karya Danarto tersebut di atas, puisi konkret pun segera
menimbulkan pro dan kontra. Dami N. Toda mengomentari cukup simpatik bahwa
pameran puisi konkret itu lebih sebagai sebuah demonstrasi untuk menunjukkan
kekayaan kemungkinan puitik, mempertanyakan kembali “norma-norma” yang telah
terlanjur dikontrakkan ke dalam pemahaman (tentang) puisi, membebaskan kembali
pengertian pokok dari hakikat “kreativitas” dalam seni, yang senantiasa harus
berjalan “di depan” dari semua konvensi (Ibid.,hlm.
106).
Dalam karya cerpen dan novel pun, Danarto
(lagi-lagi dia) dalam kumpulan cerpen berjudul Godlob lewat cerpen berjudul “Abrakadabra” pernah dipersoalkan apa
makna cerpen tersebut. Dan Danarto (1984: 100) pun menjawab bahwa segalanya
ternyata suatu proses. Jagad kecil, tubuh kita berproses terus-menerus,
menembus ruang dan waktu. Mentransformasikan dirinya menjadi apa saja. Itulah
sebabnya bila kita bercermin makin lama makin nampak betapa tidak adanya
identitas itu. Segalanya kehilangan makna. Segalanya menjadi abstrak. Segalanya
tak lebih dari onggokan daging. Lenyap. Tak ada. Hanya Allah sajalah yang ada.
Mahasuci dari segala bentuk-bentuk.
Dalam pada itu, dalam hal novel Para Priyayi karya almarhum Umar Kayam
pun, muncul pula adu argumentasi antara ilmuwan sosial dan kritikus sastra
perihal bentuk karya Umar Kayam itu, apakah sah disebut sebagai novel ataukah
karya sosiologi. Daniel Dakhidae (1992; dan 1998), dan Ignas Kleden (1998)
mempermasalahkan cara penyajian novel PP,
apakah harus dilihat sebagai suatu risalah sosiologi ataukah sebagai karya
fiksi. Masalah ini sebenarnya dipicu oleh Goenawan Mohammad tatkala meluncurkan
novel PP. Menurut Gunawan, dalam
diskusi dengan Umar Kayam yang saat itu tengah menggarap novel PP di Universitas Yale, mereka bersetuju
karena ilmu-ilmu sosial tidak mampu lagi menjelaskan banyak hal, maka novel
menjadi salah satu usaha untuk ‘menggojlok’ ilmu-ilmu sosial itu. Hal ini juga
disinggung oleh Umar Kayam tatkala Kompas
mewawancarainya setelah novel PP
terbit, bahwa ia lebih memilih bentuk novel ketimbang risalah sosiologi.
Menurut Daniel Dhakidae (Kompas, 1992; lihat juga dalam Salam, 1998: 5-6), khususnya yang
berkaitan dengan cara penyajian karyanya, Umar Kayam sendiri menurutnya
mengalami suasana yang serba mendua dalam penulisannya. Dhakidae menunjukkan
keraguan itu dengan bertebarannya kata bantu dalam dua jenis sejak awal dalam
novel itu. Jenis pertama kata bantu seperti: konon, mungkin, menurut cerita, menurut cerita lagi, alkisah, rupanya,
entah bagaimana; tidak ada habis-habisnya bertebaran pada halaman 2 – 16.
Dengan penggunaan kata-kata bantu seperti itu, Dakhidae mengkritik bahwa
ketepatan historis bisa berkurang, dan pengarang seolah-olah tidak mampu
membebaskan dirinya secara penuh dan memutuskan bahwa dia menulis sebuah novel
dan bukan suatu karya ilmiah di bidang ilmu-ilmu sosial. Jenis kedua kata bantu
seperti: tentu ... tetapi; tentu ...
namun. Dengan memakai kata-kata kontras seperti itu, lebih menunjukkan
adanya keraguan epistemologis. Kesimpulannya, pengarangnya benar-benar berada
di dalam suatu posisi ragu-ragu memutuskan apakah menulis suatu laporan di
dalam bidang sosial dan politik dengan hukum-hukumnya sendiri di bidang ilmu
sosial; ataukah sedang menulis suatu novel yang menghormati hukumnya sendiri
dan tidak mempedulikan hukum lain di luar dirinya.
Ignas Kleden (dalam Salam, 1998: 118-119) secara
tak langsung pun melihat persoalan yang sama perihal penceritaan novel ini.
Menurutnya, Umar Kayam jelas menghadapi suatu dilema antara fungsionalisme
ilmu-ilmu sosial (sebagai seorang ilmuwan sosial yang aktif) dan simbolisme
kesusastraan (sebagai penulis sastra kreatif). Dalam kenyataannya, meskipun
novel PP ditulis dan dimaksudkan oleh
pengarangnya sebagai sebuah novel, Ignas Kleden tetap bertanya-tanya apakah
buku ini sebaiknya dihadapi sebagai novel sebagaimana dimaksudkan pengarangnya,
atau lebih baik diperlakukan sebagai sebuah risalah ilmu sosial yang
menceritakan keadaan masyarakat Jawa dengan cara mendalami life history para respondennya seperti yang dikenal dalam
antropologi budaya.
Menurut Kleden, bagi para antropolog profesional,
persoalan ini mungkin akan disepelekan karena tokoh-tokoh dalam novel PP bukanlah responden yang benar-benar
ada, dan yang kehidupannya diikuti oleh pengarang dari waktu ke waktu, dan
karena itu tidak bisa dianggap sebagai life
history yang ilmiah. Akan tetapi, menurut Kleden ceritanya pada dasarnya
bersifat etnografis, yang memuat semua data monografis, dan bisa jadi Umar
Kayam memang mempunyai responden yang kemudian dilukiskan saja sebagai tokoh
khayalan. Ini mirip surat kabar yang memberitakan berita kriminal dengan
mengubah nama tokohnya dengan nama lain dan bukan nama yang sebenarnya.
Sementara itu, Sapardi Djoko Damono (1998: 242) melihat adanya tegangan kreatif antara
kepakaran ilmu sosial dan imajinasinya sebagai sastrawan. Bagi Sapardi,
sebenarnya Umar Kayam menulis buku sosiologi Jawa dalam bentuk fiksi. Sebab,
dengan menulis fiksi, ia bebas mengembangkan teori sosiologinya tanpa harus
sibuk melakukan kutip-mengutip dan repot menaruh catatan kaki. Sapardi Djoko Damono
menambahkan bahwa dalam kasus novel PP sebenarnya
ia dapat menyembunyikan jejaknya sebagai pakar ilmu sosial, seandainya ia tidak
mengikuti konvensi bahwa salah satu fungsi sastra adalah menyebarluaskan
pengetahuan. Konvensi yang jelas-jelas ditaati oleh para sastrawan (berbahasa)
Jawa modern ini rupanya diikuti juga oleh Umar Kayam sehingga menjadi beban
dalam proses kreatifnya: keinginan untuk menyebarluaskan informasi tidak dalam
bahasa informatif, tetapi dalam bahasa kreatif. Menurut Sapardi, novel
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sosiologi dalam hal urusannya dengan
tekstur sosial, ekonomi, dan politik. Yang berbeda, sebagai karya seni novel
mengatasi sekadar gambaran dan uraian ilmiah dan objektif; sastrawan tidak
hanya bergerak di permukaan, tetapi menyelam ke dalam kehidupan sosial untuk
mengungkapkan bagaimana manusia menghadapi masyarakat.
Hal senada dilihat pula oleh Pabottinggi (1992).
Hanya, Pabottinggi justru lebih yakin bahwa Umar Kayam demikian berhasil
membuktikan bahwa karya sastra mampu menangkap kehidupan secara lebih utuh,
dapat mengungguli karya ilmiah, meskipun, tambah Pabottinggi, karya ilmiah pun
memiliki nilai plusnya sendiri. Pabottinggi lalu memberikan suatu perbandingan
antara Umar Kayam dan Heather Sutherland; yang pertama berhasil menggambarkan
dunia priayi secara jauh lebih hidup lewat novel PP, sementara yang kedua menggambarkan priayi secara lebih adil
dalam The Priayi.
Sindhunata, novelis yang dikenal sebagai penafsir
kembali mitos Ramayana ke dalam bentuk novel berjudul Anak Bajang Menggiring Angin, mencoba bentuk-bentuk baru dalam
menuturkan karya-karyanya. Tatkala ia menggubah Anak Bajang Menggiring Angin, konvensi novel masih diikutinya
dengan setia. Ia masih setia pada adanya tokoh-tokoh, pengaluran, latar, sudut
pandang cerita, tema dan amanat. Akan tetapi, oleh karena latar belakangnya
sebagai wartawan, ilmuwan, filosof, dan rohaniwan yang nyaris menyatu dalam
dirinya, ia pun menjadi gelisah tatkala ingin mewadahi karya-karyanya yang
hampir semuanya bersifat reflektif. Ketika ia ditugaskan sebagai pastor paroki
di Pakem yang terletak di kaki Gunung Merapi selama tiga tahun,
kotbah-kotbahnya setiap minggunya yang dibawakannya dalam bahasa Jawa,
digubahnya seperti cerita pendek dalam bahasa Jawa. Sumber kotbah yang
disampaikan mirip cerita pendek itu digalinya dari dunia umatnya di paroki yang
miskin di kaki Merapi. Setelah ia pindah bekerja cerpen-cerpen berbahasa Jawa
itu pun dikumpulkannya ke dalam buku berjudul Aburing Kupu-Kupu Kuning (1995); nDerek Sang Dewi ing Ereng-erening Redi Merapi (1995); dan Sumur Kitiran Kencana (1995).
Sementara itu sebagai wartawan Kompas dan Basis, ia
dikenal sebagai wartawan yang gemar menuliskan laporannya dalam bentuk feature alias berita kisah yang
bernuansa human interest. Pilihan
tulisannya itu diterbitkan dengan judul Cikar
Bobrok (1998), ditulis lebih mirip sebagai cerita pendek ketimbang feature. Pelukisan tokoh sangat menditil
dapat ditemukan dalam “Ibu Dewi Ingin Mengakhiri Hidup di Panggung Tari”
seperti ini,
Perempuan itu sudah tua. Telah
tujuh puluh tahun usianya. Rambutnya mulai rontok. Sebuah gigi pun ia tak
punya. Badan nenek yang ompong ini kurus kering. Keriput-keriputnya keras
menonjol, menghiasi wajahnya yang kelihatan lama memendam keprihatinan.
(Sindhunata, 1998: 15)
Begitu juga dalam melukiskan bagaimana gerak
golekan-golekan keramik karya Widayanto dalam karangan berjudul
“Lenggak-lenggok Zaenab, Soleha, Naomi Campbell”
Rambut golekan itu panjang
terurai. Hanya separoh kain menutupi tubuhnya. Ia kelihatan santai,
bertelanjang dada, dan kelihatan betapa padat buah dadanya. Betapa segar dia.
Ia baru mandi, Bar Adus. Sebuah
golekan bagai berjalan, kainnya terbuka, hingga kelihatan pahanya, Paha Kanjeng Ikat Bulus. Sebuah golekan
lain mendongakkan kepalanya, membiarkan angin menyingkapkan kainnya. Maka pada
golekan Angin Sore itu menguaklah
sepasang kaki yang telanjang. (Sindhunata, 1998: 113-114).
Tidak heran, Jakob Oetomo memuji tulisan ini dengan
mengatakan bahwa pendidikan, minat serta pengembangan humaniora merupakan latar
belakang yang kondusif bagi seorang wartawan. Ia menyarankan agar wartawan suka
membaca karya sastra klasik dunia maupun negeri sendiri. Pada Sindhunata,
kecuali berpendidikan dan suka membaca karya sastra klasik, ia mendalami
filsafat antropologi, dan filsafat manusia. Maka karyanya tampil dalam sosok
yang nyata, hidup, berdenyut, berdesak, berkeringat, berairmata, bersenyum, dan
berpengharapan (Ibid., hlm. x).
Dalam pada itu dua karyanya yang lain, satu di
antaranya dicoba untuk dibahas dalam makalah ini, yaitu novel yang berjudul Semar Mencari Raga merupakan tulisan
yang banyak diilhami oleh lukisan tentang Semar (Agung Leak Kurniawan, Djoko
Pekik, Eddie Hara, Hanura Hosea, Hari Budiono, Harry Wahyu, Hendro Suseno,
Murtianto Antik, dan Suatmaji), dan lakon “Geger Semar” yang dipentaskan Ki
Bambang Suwarno Sindutanaya; sedangkan novel keduayang berjudul Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram
Duka yang terinspirasi oleh lukisan-lukisan Djoko Pekik antara lain: “Susu
Raja Celeng”, “Indonesia 1998 Berburu Celeng”, dan “Tanpa Bunga dan Telegram
Duka Tahun 2000”.
Lewat dua cerita itu, Sindhunata memasuki setiap
lukisan, mencoba mengartikannya tanpa membuat penilaian buruk baiknya
lukisan-lukisan itu, tetapi berbekal tentang apresiasinya ia kemudian mengumbar
imajinasinya yang liar ke mana-mana, melanjutkan kemungkinan-kemungkinan lain
sehingga lahirlah novel jenis baru yang sarat dengan kritik sosial, melabrak
sisi-sisi gelap para politisi/penguasa/militer/tiran pada masa akhir pemerintahan Soeharto yang
otoritarian/militeristis dan sarat akan refleksi filosofis yang mendalam
terhadap budaya Jawa yang ia geluti sehari-hari.
Sementara itu, karena terbatasnya waktu, novel Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram
Duka (terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2000) dituturkan lewat anak-anak
judul berturut-turut: “Jauh Sebelum Celeng”; “Susu Raja Celeng”; “Berburu
Celeng”; “Kutukan Zaman Celeng”; “Sayup-Sayup Wajah Celeng”; “Kampanye
Menangkap Celeng”; “Kupu-Kupu Celeng”; “Geger Celeng”; “Tipu Gendam Celeng”;
“Oseng-Oseng Celeng”; “Air Mata Celeng”; “Kesepian Celeng”; dan “Tak Enteni
Keplokmu”, tidak dapat kami analisis untuk membuktikan bentuk baru dalam penciptaan
novel yang dirintis oleh Sindhunata ini. Sebagai semacam sampel novel berjudul Semar Mencari Raga akan kami bahas dalam
bab berikut ini.
Seperti telah dipaparkan di depan novel Semar Mencari Raga (terbitan
Basis-Kanisius, 1996), bangunan kisahnya diambil dari lakon “Geger Semar” yang
dipentaskan oleh Ki Bambang Suwarno Sindutanaya. Kisahnya diawali dengan upaya
Arjuna mencari Semar yang hilang. Menjelang senja Arjuna berjumpa dengan Semar
yang tatkala diajak pulang ke Klampis Ireng, justru mengajak Arjuna menyelinap
masuk ke keputrian Hastina menjumpai kekasihnya Banowati. Orang-orang Kurawa
tak tahu bahwa Semar sudah berada di Hastina. Baik Kurawa maupun Pandawa
sama-sama ingin mencari di mana Semar berada. Barisan Kurawa ternyata lebih
dulu menemukan Semar yang kemudian diboyong ke Hastina, tetapi menjelang sampai
di gerbang Hastina muncul Anoman, Gatutkaca, dan Abimanyu yang ingin merebut
Semar. Perang tak terelakkan. Seorang Kurawa berhasil melarikan Semar. Anoman
mengetahuinya. Tetapi belum sempat ia mengejar Semar yang dilarikan Kurawa,
mendadak muncul Semar yang serta-merta ia ajak pulang ke Klampis Ireng.
Sementara itu para Kurawa terkejut melihat cahaya api mengangkasa di keputrian.
Mereka menggendong Semar ke sana. Astaga di sana sudah ada Semar yang sedang
asyik menyanyikan lagu-lagu birahi. Duryudana memerintahkan pada Semar untuk
menangkap Semar yang sudah ada di situ. Kedua Semar akhirnya berkelahi dengan
sengit. Diam-diam Arjuna pergi ingin mencari Semar yang sebenarnya. Ia langsung
ke Klampis Ireng, ternyata Semar sudah ada di sana. Semar diminta ke Hastina
untuk mencari siapa yang asli. Sesampainya di Hastina perang ketiga Semar
terjadi dengan ramainya. Tak ada yang menang, dan tak ada pula yang kalah.
Mereka bergumul, sampai akhirnya menjadi telur.
Sang Hyang Ismayajati, roh Semar asli menangis
keras-keras gara-gara raganya telah berubah menjadi sebutir telur yang terus
bergulung dan berteriak-teriak serta tak lagi mengenali roh Semar yang sejati.
Jadilah gara-gara. Sang Hyang Tunggal
menyuruhnya agar Semar turun ke dunia lagi untuk mencari raganya. Dalam usaha
mencari raganya itulah Sindhunata mengumbar imaji dan refleksinya dalam empat
anak judul sejak halaman 13-56, yaitu: “Pedukuhan
Klampis Ireng” (memanfaatkan lukisan Murtianto berjudul ‘Tarian Tanah’
multi media, 150 x 180 cm , 2 buah drawing
Eddie Harra bertajuk 1996, 21,5 x 28 cm sebagai sumber inspirasi); “Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi”(memanfaatkan
lukisan Joko Pekik berjudul ‘Sedumuk Bathuk Senyari Bumi’, pastel 36 x 49,5 cm
sebagai sumber imajinasinya); “Semar
Mendem Semar Mesem” (memakai 6 lukisan sebagai sumber narasi, yaitu:
lukisan ‘Super Semar’, kolase 21 x 30 cm. karya Harry Wahyu, ‘Jalan Sore-sore’,
drawing 27 x 39 cm. karya Hanura
Hosea’, ‘Semar Mendem’ cat minyak di atas kanvas 40 x 50 cm karya Hari Budiono,
‘Figur Primitif I, Persiapan Lomba Suara’, akrilik di atas kanvas 100 x 100 cm.
karya Hanura Hosea, ‘Ojo Dumeh’ drawing
30 x 42 karya Hendro Suseno, dan ‘WTS Menagih Janji’ cat minyak di atas kanvas
140 x 175 cm. karya Djoko Pekik); “Anak-Anak dari Mutiara Embun” (memanfaatkan
5 lukisan sebagai bahan tuturan, yaitu: ‘Sejarah Semu’ drawing 3 panel 80 x 90 cm.karya Agung Leak Kurniawan, ‘Jurkam”drawing 26 x 38,5 cm. karya Agung Leak
Kurniawan, ‘Nun Inggih’ cat minyak di atas kanvas 110 x 150 cm. karya Hendro Suseno, ‘Parodi Kebebasan’
cat minyak di atas kanvas 120 x 300 cm. karya
Hendro Suseno, dan ‘Bertemu Anak-anak Masa Lalu’ cat minyak di atas kanvas 135
x 145 cm.karya Hari Budiono).
Pada empat bagian itulah Sindhunata sebagai
wartawan, ilmuwan, sastrawan, filosof, dan rohaniwan menuturkan ide-idenya.
Kita kutipkan di antaranya sebuah nyanyian yang dinyanyikan anak-anak di luar
kepala menyangkut semakin beratnya kehidupan Pedukuhan Klampis Ireng lantaran
dililit pajak, seperti berikut ini
Ayah kami pergi ke nagari,
diminta mengabdi,
kami tahu, tenaganya sedang
dikuliti,
untuk menjalankan wajib kerig
aji:
kerja bakti untuk penguasa
nagari.
Dulu tanah kami adalah milik
kami,
sekarang nagarilah empu tanah
kami
untuk tanah itu, kami
dipajaki,
wilah welit nama pajaknya.
Dulu pekarangan melekat pada
rumah kami,
buah kates, mangga, petai dan
sawo,
dapat kami petik setiap hari,
kini kami harus menahan air
liur kami,
sebelum kami dapat membayar
pajak pekarangan,
pengawang-awang nama pajaknya.
Rumah kami segar karena
berpintu banyak,
kini pengap rumah kami,
karena sedikit pintu-pintunya,
sejak kami ikut nagari,
pintu pun dihitung dengan
pajak,
pencumpling nama pajak itu.
Kerbau, sapi dan kambing kami
bebas merumput,
ayam kami bebas mengais
makanan,
bebek kami suka sendiri pergi
ke kali,
kami suka bila kami punya
ternak yang gemuk-gemuk,
kini kami miskin dengan
ternak,
kerbau dipajaki, sapi
dipajaki, kambing dipajaki,
ayam dipajaki, bebek dipajaki,
pajigar nama pajak ternak itu.
(Sindhunata, 1996: 25)
Atau pada saat di mana-mana terlihat sosok Semar
(yang terbungkam muludnya, yang terikat kakinya, yang tertindas dan tidak
bebas, yang tua dan kehilangan harapan, yang hilang akal dan tidak waras), yang
sebenarnya sosok-sosok itu sebenarnya bukanlah Semar, melainkan sosok-sosok
samar-samar yang mengingatkan orang akan Semar. Interpretasi Semar saat itu
memang sedang digalakkan oleh penguasa (khususnya oleh Soeharto yang bukan
hanya lewat Super Semar, tetapi juga pengindentivikasi dirinya pada Semar)
lewat dalang-dalang yang diminta melakonkan Semar. Dua buah lukisan
masing-masing berjudul “Super Semar” kolase, 21 x 30 cm karya Harry Wahyu, dan
“Semar Mendem” cat minyak di atas kanvas 40 x 50 cm karya Hari Budiono,
dipahami dan dibahasakan dengan sangat plastis oleh Sindhunata seperti ini:
Warung-warung murah gambarnya Semar/ gelak tawa renyah/ gelas dan botol merah/
ciu gambar Semar/ hatinya ngilu/ matanya samar/ temu lawak gambar Semar/habis
ditenggak akal tak sadar/ orang-orang berperut besar dan bundar/tergeletak
mabuk seperti Semar// Semar mendem/ Semar mendem!/ suara anak jalanan
menjajakan jajan/ makan makanlah Semar/ kamu akan mabuk dalam samar// Lain dulu
lain sekarang/ Dulu Semar mendem itu jajanan/ sekarang semar mendem adalah
kemabukan/yang membuat orang lupa/ bahwa semuanya adalah samar/ Di mana-mana
Semar mendem berkeliaran/ dalam diri orang yang mabuk kekuasaan// Tapi di
jalanan ini/ anak-anak miskin berjaja diri/ kami bukan Semar mendem/ bagi kami
Semar mendem hanyalaah jajan/ Dulu Semar mendem ini kami buat sendiri/ sekarang
dari orang kaya jajan ini harus kami beli/ kami hanyalaah penjaja jajan Semar
mendem/ orang-orang kaya itulah Semar mendemnya// (Sindhunata, 1996: 35-37).
Edan! Semua itu meluncur dan terbit saat Soeharto masih berkuasa. Bukan hanya
kesewenang-wenangan penguasa yang dilabrak, tetapi juga keserakahan kapitalisme
tak luput pula dari jitakannya lewat menekuni dengan suntuk drawing 30 x 42 cm karya Hendro Suseno
berjudul “Ojo Dumeh” dan “WTS Menagih Janji” lukisan cat minyak di atas kanvas,
140 x 175 cm karya Djoko Pekik.
Dan setelah puas menjitak sana-sini, refleksi
filosofis berbau eksistensialistis pun dimunculkan. Ketika dipanggil: Semar, di
manakah kau? Sindu menjawab seperti ini: Aku tersembunyi dalam kalian. Apa
gunanya kalian memanggil aku? Tanpa kalian panggil pun, aku mendengarkan
kalian. Selama ini aku memang hidup bersembunyi. Kalau tidak, mereka yang
berkuasa akan menangkap aku, dan memperalat aku menjadi kesaktiannya. Karena
itu aku harus mencari tempat bersembunyi yang paling tersembunyi. Kalianlah
tempat tersembunyi itu bagiku. Selama ini aku diam dan bisu bersama kalian.
Selama ini aku menderita bersama kalian, karena aku di dalam kalian. Maka, apa
perlunya kalian memanggil aku? (Sindhunata, 1996: 47).
Semar ternyata juga bisa marah, lewat “Nun Inggih”
lukisan di atas kanvas karya Hendro Suseno, Sindhunata berucap begini,
“... Semar bersujud seperti
telur, merah warnanya menahan marah. Semar tertunduk, tetapi wajahnya
berkeriput dengan marah. Semar sujud merunduk, tapi kepalanya seakan penuh
dengan tanduk. Tubuh Semar melekuk bagaikan siput, tapi wajahnya kasar penuh
dengan sungut. Selama ini Semar adalah hamba yang merunduk tunduk bersujud,
namun sebenarnya ia adalah manusia yang menahan kesal, geram dan marah. ( ... )
Oleh amarah, Semar berubah, jadi raksasa, segunung besarnya ( ... ) Dan
alangkah dahsyatnya amarah Semar. Semar terbang diikuti para hambanya. (... )
Raksasa Semar mengobrak-abrik apa saja. Penguasa dicabut dari kursi tahtanya.
Lalu dibasahinya tahta itu dengan air susunya, supaya kursi itu kelak subur
dengan berkah kawula. Semua diinjak-injak, dan para hamba itu menumpang enak di
punggung raksasa Semar, seperti naik kereta emas.” (Sindhunata, 1996: 49).
Di mana akhir kisah ini berhenti? Kemarahan Semar
memancing Sang Hyang Tunggal turun ke bumi. “Semar, mestikah kauhabiskan
semuanya dengan amarahmu?”, sabdanya “Kau menggugat penderitaanmu. Namun
ingatlah, kau adalah tanah, yang seharusnya tahan menderita. Kau adalah
kesuburan, karena kau adalah penderitaan. Kau seharusnya menyuburkan dunia
dengan penderitaanmu. Mengapa kau malah menjauhi penderitaanmu?” (Sindhunata,
1996: 49). Semar protes karena dia tidak bisa terus-menerus menderita. Sang
Hyang Tunggal kembali berucap bahwa Semar adalah samar. Hanya penderitaan yang
dapat membuat dirinya menjadi samar. Begitu digugat penderitaannya hilanglah
kesamarannya.
Akhirnya Sang Hyang Tunggal memintanya untuk terus
mencari raga. Dan Semar selama ini memang terus mencarinya. Dari raga ke raga
ia berjalan. Dalam raga-raga ia hidup. Dan begitu ia menemukan raga, ia
menemukan jati dirinya pula. Dengan raga, ia bisa tahu, siapa dia sebenarnya.
Sekarang Semar sadar bahwa jatidiri harus ditemukan di luar roh dan batinnya,
yaitu dalam raganya. Roh itu mudah terjerumus ke dalam jurang kesombongan. Raga
tak pernah bermimpi terbang tinggi di langit kesombongan. Hanya dengan ragalah
Semar bisa menjadi manusia. Karena itu, kendati jelek dan lemah, ragalah yang
dapat memberikan kebahagiaan baginya (Sindhunata, 1996: 56).
Dan, untuk menenangkan agar pembaca tidak terus
menunggu siapakah Semar-Semar itu, dan manakah yang asli, pada bagian epilog
dipaparkan bahwa menjelang pagi ki dalang memunculkan Semar-Semar di layarnya.
Ketiganya terus berkelahi untuk membuktikan siapakah Semar sejati, dan siapakah
Semar-Semar yang lain itu. Perang semakin ruket, tak ada yang berhasil
memisahkan mereka. Menjelang pertunjukan selesai Ki Dalang bersuluk sembari
mengeluarkan Sang Hyang Ismayajati yang berwajah Semar tetapi badannya jauh lebih
besar. Sang Hyang Ismayajati inilah yang berhasil memisahkan mereka. Semar yang
menggoda Arjuna dengan membelokkan tapanya untuk bercintaan dengan Banowati,
dialah Dasamuka. Semar yang ditemukan
Kurawa di hutan dan akan dijadikan jimat bertuah di Hastina badhar menjadi Batara Guru.
Dan Semar yang ditemukan Anoman dan dibawa pulang ke Klampis Ireng, adalah Batara Kala. Dan berkatalah Sang Hyang
Ismayajati kepada Semar-Semar yang telah berubah rupa itu, ”Pulanglah ke alam
kalian, jangan ganggu dunia dengan kejahatan”.
III
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa Sindhunata telah
menemukan dimensi-dimensi baru dalam bersastra. Bisa jadi, pada awalnya ia
bermaksud memahami dan menghayati lukisan serta mengapresiasikannya ke dalam
bentuk bahasa tulis. Bisa jadi pula di dalam memahami karya seni ia tidak
mengambil jarak terhadap karya itu, tetapi ia lebur bersama karya seni itu. Dan
di situ ia merasa krasan, enjoy dan
berbekal seperangkat metafisika yang dikuasai dan digumulinya sehari-hari
keluarlah dalam wujud bahasa plastis yang kita sebut sebagai sastra. Akan
tetapi, Sindhunata barangkali tidak terlalu menggubris serentetan
konvensi-konvensi sastra yang ketat dibatasi ke dalam genre yang sebenarnya
sangatlah kabur batas-batasnya. Itu terbukti tak dicantumkannya istilah novel
di dalam Semar Mencari Raga ataupun
dalam Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan
Telegram Duka, yang ada di sana hanyalah
“cerita tentang celeng” dan “tulisan
yang diilhami oleh lukisan-lukisan”.
Barthes, Roland. 1983. Mythologies. Diterjemahkan oleh Annette
Lavers dan Collin Smith. New York: Hill and Wang.
Damono, Sapardi Djoko. 1992.
“Album Kehormatan Orang Jawa”. Tempo.
Th. XXII, No. 16, hlm. 107-108.
------------- . 1998. “Umar
Kayam sebagai Sampel Sistem Pengarang Indonesia” dalam Aprinus Salam (ed.). Umar Kayam dan Jaring Semiotik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danarto. 1984. “Proses,
Proses, Proses, Proses, Proses, Proses, Proses” dalam Dua Puluh Sastrawan Berbicara. Jakarta: Sinar Harapan.
Dhakidae, Daniel. 1992.
“Kekuasaan dan Perlawanan dalam Novel Para
Priyayi: tentang Para Priyayi”.
Kompas, 10,11 Juli.
Dhakidae, Daniel. 1998.
“Kekuasaan dan Perlawanan dalam Novel Para
Priyayi” dalam Aprinus Salam (ed.). Umar
Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fowler, Roger (ed.). 1987. A Dictionary of Modern Critical Terms. London
& New York: Routledge & Kegan Paul.
Kleden, Ignas. 1998. “Novel
dan Cerpen-Cerpen Umar Kayam: Strategi Literer Menghadapi Perubahan Sosial”
dalam Aprinus Salam (ed.) Umar Kayam dan
Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mohamad, Gunawan. 1992.
“Priayi”. Tempo, 29 Agustus.
Pabottinggi, Mochtar. 1992.
“Pertandingan Priayi”. Tempo, Th.
XXII, No. 31, 3 Oktober, hlm. 102.
Salam, Aprinus. 1998. Umar Kayam Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sindhunata. 1983. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta:
Gramedia.
----. 1987. Air Penghidupan. Yogyakarta: Kanisius.
----. 1995. Aburing Kupu-Kupu Kuning. Yogyakaarta:
Kanisius.
----. 1995. Dherek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi
Merapi. Yogyakarta: Kanisius.
----. 1995. Sumur Kitiran Kencana. Yogyakarta:
Kanisius.
----. 1996. Semar Mencari Raga. Yogyakarta:
Kanisius.
----. 1998. Cikar Bobrok. Yogyakarta: Kanisius.
----. 2000. Tak Enteni Keplokmu Tanpa Bunga dan Telegram
Duka. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sumardi. 1976. “Mengintip
Puisi Indonesia Kontemporer” dalam Festival
Desember 1975. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Toda, Dami. N. 1984. Hamba-Hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar
Harapan.
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar