OLEH Atmazaki
Universitas Negeri Padang
ATMAZAKI |
Salah satu nilai yang sangat menonjol
dan banyak dibicarakan sejak beberada dasawarsa terakhir ini adalah perbedaan
perempuan dan laki-laki dari dimensi gender.
Persoalan ini menjadi topik yang cukup hangat di kalangan intelektual.
Persoalan ini pulalah yang banyak dipersoalkan oleh sastrawan melalui karya
sastra. Hampir di setiap negara/bangsa, selalu ada sastrawan yang mengemukakan
persoalan gender sebagai tema
karyanya, seperti Sinclair Lewis di Amerika Serikat (Djajanegara, 1995:8),
Elizabeth Gaskell, dan George Eliot di Inggris (Selden, 1989:114). Bahkan, perkembangan awal sastra modern
Indonesia dipenuhi oleh persoalan-persoalan gender.
Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang masih
liar (savage society), menganut pola
keibuan (maternal system). Pada masa
itu, dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan, perempuan lebih dominan
daripada laki-laki; terjadi keadilan sosial dan kesetaraan gender (Umar, 2003).
Secara berangsur, proses ke arah pola kebapaan (paternal system) muncul akibat
semakin berkembangnya fungsi produksi dibandingkan fungsi reproduksi. Semakin
lama, kedudukan perempuan semakin tergeser sehingga, akhir-akhir ini, sudah
sangat jarang ditemukan pola keibuan seperti dalam masyarakat Minangkabau.
Struktur masyarakat patriakal dalam masyarakat yang ditemui melalui sejarah
peradaban adalah warisan dari kebudayaan matriakal yang menempatkan sosok ibu
dalam peran yang sangat penting seperti kepala keluarga, kepala pemerintahan,
dan Dewi Agung (Fromm, 2002:22).
Menurut Nasif (2001:17—41), pada zaman pra-Islam, seperti di Cina, India,
Babilonia, Syria, Romawi, dan Persia, posisi perempuan sangat lemah baik
sebagai anak maupun sebagai istri. Perempuan terindas dan mendapat perlakuan
kasar; hukum dan perundang-undangan tidak adil; disusahkan dengan alasan
tradisi dan adat istiadat; sebagai budak yang dapat diperjualbelikan, pertanda
setan dan hidup dalam rasa malu dan tercela, dianggap sebagai beban keluarga.
Pembunuhan terhadap bayi perempuan adalah hal biasa. Kemanusiaan perempuan
disangkal; hak-hak sipilnya dicabut; tidak lebih baik dari sekadar barang
dagangan; tidak mempunyai hak untuk memutuskan suatu perkara, harus
memperlakukan suami sebagai dewa, tidur setelah suami tertidur; bangun sebelum
suami terbangun; tidak mempunyai hak untuk mengelola uang dan miliknya. Seorang
janda harus melemparkan dirinya ke dalam api yang disediakan untuk membakar
jasad suaminya; menganggap suami sebagai wakil Tuhan di bumi; sedangkan dia
sendiri dianggap sebagai sumber malapetaka dan perselisihan. Akan tetapi, di
Mesir, perempuan sangat dihormati, negara dipercayakan kepada perempuan
sehingga patung-patung dibuat untuk mengenang kebesaran, kekuatan, dan
ketinggian martabat perempuan. Kaum Fir’aun memuja dan menghormati kaum
perempuan karena menganggapnya sebagai alasan utama untuk kelangsungan hidup,
perkembangbiakan, dan penyatuan bangsa.
Sosiolog telah membuat suatu pembedaan yang penting antara seks dan gender.
Istilah seks mengacu pada perbedaan biologi antara laki-laki (male) dan perempuan (female), sedangkan istilah gender
mengacu pada kepribadian yang ditentukan secara sosial dan ciri-ciri psikologis
yang diasosiasikan dengan laki-laki (masculinity)
dan perempuan (feminity). Seks dan gender
jelas terkait meskipun hakikatnya yang pasti selalu menjadi perdebatan di
antara sosiolog, feminis, dan ahli-ahli lain (Garret, 1992:vii).
Perbedaan seks secara biologi sering digunakan untuk menjelaskan dan
melegitimasi pembagian kerja secara seksual dalam keluarga dan masyarakat
secara keseluruhan. Oleh karena berbeda secara genetik, laki-laki cenderung
agresif dan dominan dan perempuan cenderung lembut, melahirkan dan memelihara
anak; laki-laki dibenarkan untuk mengambil keputusan dalam sosial dan politik,
sedangkan perempuan mendominasi anak-anak di rumah. Perempuan mempunyai instink
untuk mengikut sehingga cocok untuk peran ekspresif dalam keluarga; laki-laki
mempunyai instink untuk peran instrumen, penanggungjawab ekonomi dan
berhubungan dengan dunia luar (Garret, 1992:5).
Budaya (adat) Minangkabau mempunyai pandangan tersendiri terhadap gender.
Perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Seorang anak
mengikuti garis keturunan ibu (matrilineal) dan perempuan berada pada pusat
kekuasaan (matriakhat). Masyarakat Minangkabau yang egaliter dan menganut
sistem matrilineal itu menempatkan hubungan perempuan dan laki-laki secara
setara. Masyarakat ini tidak menganggap tubuh, jenis kelamin, dan seksualitas
sebagai atribut pada konstruksi gender. Masyarakat ini juga tidak membuat pembagian
publik-domestik bagi laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, tidaklah aneh
jika perempuan bekerja di wilayah publik. (Amir, 2001:22).
Budaya dan adat yang sangat berbeda dari kebanyakan adat dan budaya di luar
Minangkabau ini tetap hidup sampai sekarang. Namun, realitas sehari-hari
memperlihatkan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan juga tidak sedikit.
Dominasi ini telah menimbulkan berbagai gejolak, terutama dari generasi muda
yang telah mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Tidak sedikit tantangan
dari berbagai kalangan terhadap bagaimana adat dan budaya itu dijalankan.
Sampai pada puncaknya, dinyatakan bahwa adat Minangkabau berada di persimpangan
jalan yang belum diketahui ke mana arahnya (Suhartami, 2002:30).
Pandangan Islam tentang gender sangat
positif dan progresif. Positif dalam arti bahwa Islam tidak memandang perempuan
sebagai manusia kelas dua, sebagai manusia pembawa celaka, sebagai pembawa dosa
warisan, sebagai manusia yang hanya boleh dipimpin dan tidak boleh meminpin.. Islam
bahkan menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang sama. Perbedaannya
hanya pada ketakwaan dan pada peran-peran yang sesuai dengan hakikat
biologisnya sebagai perempuan dan laki-laki (Umar, 2003).
Makalah ini akan melihat bagaimana relasi gender diperlihatkan oleh
sastrawan-sastrawan Minangkabau sebagaimana terlihat di dalam novel-novel yang
disebut sebagai warna lokal Minangkabau. Asumsi dasarnya adalah bahwa
pengarang/sastrawan merupakan bagian dari kelompok intelektual di dalam
masyarakat. Berbeda dengan ilmuwan yang menerjemahkan pengetahuan menjadi
teori, intelektual menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai. Untuk menyampaikan
nilai-nilai itu kepada masyarakat, para intelektual memerlukan media. Sebagai
sastrawan, media yang digunakan adalah karya sastra. Jadi, karya sastra
dianggap sebagai media sastrawan untuk menyampaikan tanggapannya terhadap
nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. hal ini sesuai dengan beberapa
pernyataan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat (Wellek & Warren,
1989:110); merupakan refleksi atau refraksi sosial (Junus, 1984:57). Bahkan,
cerita rekaan dianggap agak dekat dengan peristiwa-peristiwa sehari-hari yang
juga diberitakan oleh pers, terutama pada awal perkembangannya di Indonesia
(Damono, 2000:19—20).
Jadi, karya sastra tidak saja merefleksikan tetapi juga mengekspresikan
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, apa yang disampaikan sastrawan adalah
apa yang dilihatnya “mengalir” di dalam masyarakat. Sesuatu yang tidak menjadi
persoalan bagi masyarakat adalah juga tidak menjadi perhatian bagi sastrawan.
Tidak ada alasan bagi sastrawan untuk menyuarakan sesuatu yang biasa-biasa
saja, yang tidak menjadi sumber pergolakan dalam masyarakat. Kalau sastrawan
(intelektual) berbicara, tentulah yang dibicarakan itu sesuatu yang penting dan
menjadi persoalan banyak orang. Sebaliknya, sesuatu yang penting selalu
bergolak di dalam pemikiran para sastrawan (intelektual). Ekspos terhadap
pergolakan pemikiran itulah yang memberikan pencerahan pada masyarakat. Oleh sebab
itu, sastrawan dan karyanya adalah corong masyarakat untuk menyampaikan
nilai-nilai.
Novel warna lokal berlatar (belakang) kebudayaan lokal atau daerah, baik
latar cerita maupun pengarang. Jadi, novel warna lokal Minangkabau (selanjutnya
disebut: NWLM) adalah novel yang ditulis oleh orang Minangkabau, latar cerita
budaya Minangkabau, suasana Minangkabau. Dengan menggunakan istilah novel maka
yang dimaksud adalah karya sastra modern Indonesia yang bersuasana lokal atau
daerah, bukan karya sastra daerah yang menggunakan bahasa daerah. Oleh sebab
itu, bahasa yang digunakan dalam karya tersebut adalah bahasa Indonesia. Karya
sastra warna lokal tidak saja dilihat dari ungkapan-ungkapan kedaerahan yang
termuat dalam karya itu, tetapi juga termasuk adat istiadat, cara berpakaian,
tingkah laku, lingkungan hidup, dan cara berpikir tokoh. Istilah “warna lokal”
merupakan terjemahan dari local color
writing sebagaimana juga terdapat di Amerika Serikat untuk membedakan
dengan regionalism atau sastra daerah
(Sastrowardoyo, 1992:75).
Sebagaimana dikatakan di atas, perubahan pandangan terhadap sesuatu, dalam
hal ini gender, dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang juga berubah. Dalam hal
masyarakat Minangkabau, tentulah pengaruhi itu ditimbulkan oleh dinamika adat
Minangkabau sebagai budaya dominan yang mempengaruhi cara berpikir dan cara
bertindak orang Minangkabau. Di samping itu, karena adat Minangkabau tidak
dapat dilepaskan dari agama Islam (adat bersendikan syariat; syariat
bersendikan kitabullah) maka pengaruh agama juga akan mewarnai pandangan para
sastrawan terhadap gender.
Persoalan adat dan agama dalam kaitan gender mengalami perubahan dalam
novel-novel warna lokal Minangkabau. Novel Sitti
Nurbaya sangat terkenal di Indonesia sebagai novel yang mengangkat tema
kawin paksa. Sebagai novel awal dalam kesusastraan modern Indonesia, Sitti Nurbaya merupakan novel bias gender dengan istilah “kawin paksa”,
yang memperlihatkan bagaimana posisi perempuan sangat rendah dan rentan sebagai
makhluk yang bebas; tidak mempunyai kekuatan untuk membela diri; perempuan
berada dalam tikaman kultur yang sarat dengan ideologi patriaki (Subiantoro,
2002:10). Namun sejak tahun 70-an terbit beberapa novel yang memperlihatkan
berkurangnya bias gender. Memang tidak sedikit perempuan yang dimadu dan gadis
muda yang kawin dengan laki-laki tua tetapi tidak sedikit pula yang telah
menentukan pilihan sendiri dalam perjodohan, menjadi penentu dalam keluarga dan
masyarakat. Bahkan juga banyak tokoh wanita dalam novel-novel itu yang jika
dilihat dengan “kacamata gender” sudah “kebablasan”.
Persoalan gender dalam konteks adat dan agama yang dikemukan dalam banyak
NWLM tentulah menunjukkan bahwa hubungan ketiga persoalan itu penting. Untuk memahami dan menjelaakan fenomena itu
diperlukan telaah yang kritis terhadap novel-novel yang mengungkapkan persoalan
itu. Bukan berarti bahwa hasil telaah ini akan menyusun konsep-konsep bagaimana
sebaiknya persoalan itu diselesaikan, melainkan bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang lebih mendalam sehingga dapat dijadikan perbandingan bagi
generasi sekarang bagaimana menghadapi persoalan-persoalan seperti itu. Dengan
demikian, pada akhirnya, karya sastra dan telaahnya menambah wawasan bagi
masyarakat; memberikan alternatif-alternatif dalam penyelesaian masalah-masalah
kehidupan.
Makalah ini akan melihat bagaimana perubahan pandangan terhadap gender
dilihat dari sudut adat dan agama yang terdapat dalam novel-novel warna lokal
Minangkabau. Beberapa aspek relasi gender yang potensial menimbulkan bias gender dan bagaimana fenomenanya di
dalam NWLM akan dibahas di dalam makalah ini, yaitu: (1) posisi perempuan dan laki-laki sebagai anak;
(2) posisi perempuan dan laki-laki di
dalam kehidupan rumah tangga (suami-istri); (3)
posisi perempuan dan laki-laki di dalam kepemilikan harta (ekonomi); (4) posisi perempuan dan laki-laki di dalam
kehidupan sosial-politik; (5) posisi perempuan dan laki-laki di dalam
pengambilanm keputusan; (6) posisi
perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan spiritual; g. posisi perempuan dan laki-laki di dalam hal
peran adat.
Untuk mendapatkan deskripsi dan interpretasi tentang gender dalam konteks adat dan agama di dalam novel-novel warna
lokal Minangkabau maka pertama-tama dilakukan analisis struktur novel, kemudian
analisis sosialbudaya dalam konteks sejarah, dan diakhiri dengan analisis gender. Dengan demikian, cara kerja
penelitian ini lebih dekat pada strukturalisme genetik (Junus, 1988; Teeuw,
1984:152—153). Hasil analisis ketiga aspek itu diinterpretasikan secara
hermeneutik dalam pengertian mengungkapkan, menerangkan, menerjemahkan
(Puspoprojo, 1987). Meskipun secara teoritis, interpretasi mencakup ketiga
aspek itu, namun sejak proses pembacaan sampai kepada proses penyimpulan sudah
merupakan proses interpretasi. Jadi, kegiatan analisis struktur, analisis
sosialbudayam dan analisis gender
serta pembahasan merupakan proses interpretasi. Secara teoritis, penelitian
untuk makalah ini mengikuti cara kerja strukturalisme genetik, tetapi secara
metodologis memperlihatkan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dan
teknik analisis isi. Strukturalisme genetik menghendaki analisis struktural
terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan analisis sosialbudaya Dari analisis
sosial budaya itulah ditarik aspek-aspek gender.
Dari puluhan NWLM dibahas 11 buah yang mewakili rentangan tahun 1922 sampai
2001, yaitu: Sitti Nurbaya (SN),
karya Marah Rusli (1922); Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (ADKAP), karya Nur
Sutan Iskandar (1922); Kalau Tak Untung
(KTU), karya Selasih (1933); Tenggelamnya
Kapal van der Wijk (TKVW), karya Hamka (1938); Karena Anak Kandung (KAK), karya M. Enri 91940); Anak dan Kemanakan (ADK), karya Marah
Rusli (1956); Kemarau KMR), karya
A.A. Navis (1957); Warisan (WRS),
karya Chairul Harun (1979); Bako (BK), karya
Darman Moenir (1983); Orang-orang Blanti
(OOB), karya Wisran Hadi (2000); Negeri
Perempuan (NP), karya Wisran Hadi
(2001). Pilihan terhada kesebelas novel itu dilakukan berdasarkan kepopuleran
novel, produktivitas pengarang, dan keterwakilan perdasawarsa.
Perempuan dan Laki-laki sebagai Anak-Kemenakan
Novel-novel sebelum kemardekaan pada umumnya memperlihatkan masyarakat yang
menganut ideologi (= paham yang tidak diformalkan tetapi sangat mengatur
perilaku kehidupan seseorang) bias gender
terhadap anak. Anak perempuan lebih banyak dirugikan dibandingkan anak
laki-laki. Kasus yang dilukiskan selalu dalam bentuk pendidikan dan perjodohan.
Anak laki-laki disekolahkan, sedangkan anak perempuan dianggap tidak perlu
bersekolah; jodoh anak perempuan harus ditentukan oleh mamak, sedang jodoh anak laki-laki dapat ditentukan sendiri.
Pada umumnya anak perempuan dianggap tidak perlu bersekolah karena jika
pandai mambaca dan menulis, ia bisa menjadi jahat, berkirim-kirim surat dengan
anak laki-laki. Jodoh anak perempuan harus ditentukan/dicarikan oleh mamak karena mereka tidak boleh
berhubungan dengan anak laki-laki. Hubungan itu akan memalukan keluarga,
menjadi gunjingan masyarakat. Kedua anggapan yang tertanam di dalam masyarakat
itu dianggap adat yang dipersonifikasikan pada kekuasaan mamak; dianggap aturan agama yang berimplikasi kejahatan atau dosa
kalau dilakukan.
Tokoh cerita yang menentang kedua aturan itu dianggap tidak “bermalu” dan
orang tua yang membebaskan anaknya bergaul dengan anak laki-laki dianggap orang
tua yang tidak dapat mendidik anak dengan baik. Begitulah nasib Sitti Nurbaya (SN), Ani (ADKAP), Rasmani (KTU),
Hayati (TKVW), dan Rukayah (KAK). Tekanan-tekanan yang diderita oleh
tokoh-tokoh ini disebabkan oleh keinginan mereka untuk menentukan jodoh
sendiri, karena mereka merasa lebih tahu tentang dirinya dan orang yang cocok
dengannya; mereka ingin mendapatkan pendidikan untuk memajukan kaumnya.
Perkawinan ideal menurut alam pikiran orang Minangkabau ialah antara
keluarga dekat seperti antara anak dengan kemenakan atau “awak sama awak”. Pola
ini dilatarbelakangi oleh sistem komunal atau kolektivisme yang mereka anut,
bukan karena sesuatu yang bersifat eksklusif. Mereka menganggap bahwa sistem
yang mereka anut baru akan terjaga dengan utuh
kalau tidak dicampuri oleh orang luar. Semakin dekat hubungan “awak”nya
maka semakin kukuh hubungan perkawinan itu (Navis, 1984). Aturan-aturan adat
dalam menentukan jodoh inilah yang tidak disetujui oleh tokoh-tokoh muda dalam
novel sebelum kemardekaan. Mereka merasa tidak diajak untuk menentukan teman hidup
abadi mereka. Di samping itu, apa yang dikatakan adat itu diberi legitimasi
dengan agama yang bersifat lebih mengikat. Akibatnya perempuan tidak bisa
berbuat apa-apa selain menyerah dalam ketidaksetujuan.
Di dalam Islam, anak laki-laki yang telah balig, sepenuhnya matang, dan
berakal sehat, bebas menentukan jodohnya
dan tak seorang pun berhak campur tangan. Janda juga bebas menentukan
pilihannya karena ia telah berpengalaman dengan laki-laki. Akan tetapi, anak gadis
memerlukan persetujuan ayahnya karena ia belum berpengalaman dengan laki-laki.
Sebagai laki-laki, ayahnya lebih mengetahui karakter laki-laki, sehingga akan
ikut membawa kebahagiaan terhadap putrinya. Namun, ayah yang tidak mau
memberikan persetujuan dengan alasan yang tidak jelas, maka haknya untuk
memberikan persetujuan itu batal dan si gadis dapat menentukan sendiri
pilihannya. Persetujuan ayah, pada satu sisi berhubungan dengan aspek
psikologis watak laki-laki yang buas dan pada sisi lain, kepercayaan si
perempua akan kejujuran dan kesetiaan pada laki-laki. Laki-laki budak
syahwatnya; perempua tawanan rasa cinta kasihnya. Yang menyebabkan laki-laki
tersandung adalah dorongan nafsunya. Perempua lebih sabar dan mampu mengontrol
hawa nafsunya. Namun yang menggoyahkan keseimbangan dan pertimbangan perempuan
dan memperbudaknya adalah rayuan cinta, kasih sayang, kejujuran, dan kesetiaan
pria. Dalam hal ini perempuan sangat mudah percaya. “Adalah kebahagiaan bagi
perempuan bila ia dapat merebut hati seorang laki-laki dan memilikinya
sepanjang hidupnya.” Kata Rasulullah, “Wanita tidak akan melepaskan dari
hatinya kata-kata yang diucapkan seorang laki-laki kepadanya: ‘Aku cinta
padamu.’” Pria yang buas memanfaatkan kepekaan wanita: “Kekasihku, aku hampir mati mencintaimu”
adalah perangkap yang paling baik untuk menjebak seorang perempuan yang belum
punya pengalaman dengan laki-laki (Muthahhari, 1995:42—43).
Jadi, pemaksaan jodoh terhadap perempuan tidaklah Islami tetapi sesuatu
yang merendahkan martabat perempuan itu sendiri, dan hal itu ditentang oleh
Islam. Kalau hal itu yang terjadi di dalam NWLM sebelum kemardekaan, maka yang
terjadi, sesungguhnya, adalah penyimpangan dari aturan Islam. Bahwa adat juga
mempunyai tata cara dalam perjodohan adalah sesuatu yang wajar, tetapi dengan adat bersendi syariat; syariat bersi
kitabullah menjadi tidak wajar kalau praktek semacam itu terjadi. Dalam
konteks inilah perjuangan tokoh-tokoh muda perempuan terpelajar di dalam NWLM
sebelum kemardekaan menunjukkan sikapnya. Di dalam konteks inilah mereka
menjadi korban keganasan adat yang belindung di balik agama atau agama yang
berlindung di balik adat.
Adat Minangkabau tidak melarang anak perempuan untuk mendapatkan
pendidikan. Bahkan, pendidikan merupakan konsekuensi logis dari sistem
matrilineal yang menempatkan perempuan pada posisi yang penting dalam
konstelasi adat. Kalau di dalam novel-novel sebelum kemardekaan, anak
perempuan, pada umumnya, dilarang bersekolah, bukanlah karena adat yang
melarang, melainkan karena interpretasi terhadap adat yang keliru.
Novel-novel yang terbit setelah kemardekaan, pada umumnya tidak lagi
memperlihatkan masyarakat yang menganut ideologi bias gender terhadap anak. Bidasari dan Nurmala (ADK) beserta teman-teman wanitanya bebas bergaul dan
berkasih-kasihan dengan anak laki-laki. Persoalan yang muncul justru asal-usul
atau kebangsawanan. Penolakan Putri Renosari terhadap Yatim, pada mulanya,
hanya karena Yatim dianggap tidak keturunan bangsawan. Meskipun tidak kaya,
Gudam (KMR) menyekolahkan Acin dan
Amah, tetapi Gudam sendiri mengalami pengabaian hak-haknya. Ketika ia akan
dikawinkan, tidak seorang pun menanyakan apakah ia setuju atau tidak terhadap
calon suaminya tetapi ia terpaksa menerima pilihan mamaknya. Rafilus (WRS)
dan adik-adiknya semuanya bersekolah, menentukan sendiri-sendiri jodohnya.
Beberapa orang janda yang pernah berskandal dengan Rafilus juga bersekolah dan
tidak mengalami pemaksaan untuk kawin dengan siapa saja. Arneti justru seorang
mahasiswa di Padang dan karena kebebasan dalam pergaulan menjadi tidak perawan
lagi. Persoalan mereka lebih banyak dengan suami dan ini akan dibicarakan
kemudian. Man (BK) dan adik-adiknya
serta anak-anak perempuan Bak Tuo semuanya bersekolah dan menentukan
sendiri-sendiri calon istri dan atau suaminya. OOB tidak lagi membicarakan persoalan anak-anak. Namun demikian, Bu
Yuk juga menentukan sendiri jodohnya, dan ia justru kawin dengan laki-laki yang
berbeda agama dengannya, walaupun itu dilakukannya di luar Minangkabau. Untuk
pilihannya itu, ia telah menerima hukuman dari kaumnya. Reno dan Muning serta
anak-anak Oncu (NP) juga mendapat
pendidikan yang tinggi dan mereka menentukan sendiri jodohnya.
Pendidikan yang didapatkan oleh tokoh-tokoh dan kebebasan menentukan jodoh
bukan karena mereka memberontak terhadap adat dan agama sebagaimana tokoh-tokoh
NWLM sebelum kemardekaan tetapi karena memang tidak ada lagi dikisahkan
masyarakat yang represif terhadap perempuan. Masyarakat yang digambarkan
terlihat telah lebih realistis dalam menghadapi dan menerima kemajuan zaman;
telah meredefinisi dan merevitalisasi adat dan agama sesuai dengan kemajuan
zaman. Mungkin dapat dikatakan bahwa kebebasan itu merupakan hasil dari
“pemberontakan” generasi muda sebelumnya.
Perempuan dan Laki-laki sebagai Suami-Istri
Sebelum kemerdekaan, NWLM memperlihatkan bahwa masyarakat yang digambarkan
menganut ideologi bias gender yang
merugikan istri. Siti Maryam, istri Sutan Mahmud, (SN) hampir tidak pernak
dotonjolkan; sejumlah istri Sutan Hamzah tidak pernah disebutkan namanya;
sejumlah istri Datuk Meringgih juga demikian, kecuali Sitti Nurbaya yang
memberontak terhadap perlakuan Datuk Meringgih. Ahmad Maulana memang berdialog
dengan istrinya karena istrinya menganut ideologi bias gender, menganggap perempuan rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Ibu Ani (ADKAP) tidak berperan
apa-apa dalam menyelesaikan pertunangan Ani dengan Durkana, kecuali terpaksa
mengikuti kehendak suaminya; Ani sendiri, setelah menikah dengan saudagar kaya,
diabaikan, ditinggalkan oleh suaminya dan tidak memberi kabar apa-apa sampai
akhir cerita. Azis (TKVW))
memperlihatkan sikap merendahkan Hayati, dikatakannya tidak pandai berhias dan
bergaul sehingga Hayati mengalami tekanan jiwa.
Sikap pasangan suami istri itu tidak pernah dipersoalkan oleh masyarakat,
bahkan dianggap sebagai hal yang biasa. Keadaannya berbeda dengan masyarakat
yang digambarkan oleh novel KTU dan KAK. Di dalam kedua novel ini memang
tidak terlihat bias gender pada
keluarga tokoh, namun hal itu karena mereka pasangan yang diidealkan oleh
pengarang. Mereka diperlihatkan sebagai pasangan suami istri yang saling
menghargai. Namun demikian, mereka disorot oleh masyarakat sebagai keluarga
yang tidak becus. Datuk Sinaro dicemooh oleh masyarakat karena tidak mau kawin
lagi, mau mati dengan seorang istri yang miskin, padahal dia seorang penghulu
yang berharta banyak di dalam kaumnya.
Novel-novel setelah kemardekaan, terutama sampai tahun 1970-an masih
memperlihatkan masyarakat yang bias gender.
Baginda Mais (ADK) tidak pernah
meminta pendapat istrinya, Upik Bungsu, dalam hal apa saja; dia hanya
memerintah dan memutuskan sendiri apa yang akan dilakukannya. Istrinya takut
memberikan pendapat karena takut diceraikan. Mariama, istri Sutan Alam Sah,
juga tidak menonjol sebagai istri. Ketidakmenonjolan kedua istri ini lebih
disebabkan oleh asal-usul mereka yang tidak dari kalangan bangsawan. Berbeda
halnya dengan Puti Renosari dan Puti Umi, mereka sangat menonjol karena mereka
bangsawan.
Novel KMR memang tidak memperlihatkan perlakuan
yang bias terhadap istri. Hal ini lebih disebabkan oleh tokoh-tokoh perempuan
yang tampil lebih banyak janda, namun mereka menjadi janda justru karena
perlakuan suami yang bias gender.
Situasi seperti ini masih terlihat di dalam novel WRS. Janda-janda yang berbuat skandal dengan Rafilus pada umumnya
kecewa dengan perlakuan suaminya yang suka poligami. Namun kedua novel ini
menunjukkan bahwa telah ada kesadaran pada perempuan akan harkat dan
martabatnya sehingga mereka lebih baik bercerai, menjadi janda, daripada
dimadu.
Novel BK, OOB, dan NP tidak
lagi memperlihatkan bias gender baik
pada tokoh cerita maupun pada masyarakat yang digambarkan. Ayah (BK) tidak merasa malu hidup dengan istri
yang gila, bahkan ia sangat menyayangi istrinya. Kalaupun ia kawin lagi, bukan
karena tidak sayang pada istri tetapi lebih karena desakan orang kampung..
Pasangan Bu Yuk dan Eko serta pasangan Ciani dengan Datuk Pinang Sirah (OOB) juga tidak pernah ribut dan tidak
pernah saling merendahkan. Mereka hidup damai sesuai dengan kondisi keluarga
mereka masing-masing.
Ketenteraman keluarga di dalam NP agak berbeda. Ayah dan Bundo, Oncu
dan suaminya, serta Reno dan suaminya hidup damai di dalam keluarga
masing-masing. Di samping itu, Barajoan dan Bu Lansia serta Diringgiti dan
Rendotapi juga telah terbebas dari persoalan harga-menghargai sesama suami dan
istri. Sebagai kepala daerah, Barajoan menempatkan istrinya pada posisi yang
menentukan, bahkan berlebihan sehingga ia bisa menyuruh pecat pegawai Pemda
yang suka mempergunjingkan Barajoan. Diringgita lebih memilih tidak menjadi
penghulu daripada harus beristri lagi dengan perempuan kampung karena ia tidak
mau melecehkan istrinya. Persoalan mereka bukan lagi di dalam rumah tangga
masing-masing, antara suami dan istri karena mereka saling menghargai.
Persoalan mereka adalah posisi masing-masing di dalam adat dan lingkaran
keluarga pewais kerajaan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa
faktor pendidikan sangat menentukan pandangan suami terhadap istri dan
sebaliknya. Para istri yang terdidik lebih dihormati suami daripada istri yang
tidak terdidik. Hal inilah salah satu yang dikeluhkan Sitti Nurbaya sebelum ia
meninggal sehingga ia menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan adalah memberikan
hak yang sama kepada perempuan dalam pendidikan, seperti di dalam kutipan
berikut ini (cetak tebal dari penulis).
Tetapi anak laki-laki waktu itu, lain daripada disuruh ke
sekolah dan ke langgar, disuruh pula belajar menari, memencak, berenang,
berkuda, dan lain-lainnya, untuk menguatkan tubuh dan menajamkan
pikirannya…Pada pikiranku, tentang kemauan dan akal itu, bila kita perempuan
diberi pelajaran, pemeliharaan, makanan, pendeknya sekaliannya sama benar
dengan laki-laki, tentulah kita tak akan kalah dari laki-laki.”(h. 204)
Sebab itu, haruslah perempuan itu terpelajar supaya
terjauh ia daripada bahaya, dan terpelihara anak suaminya dengan sepertinya.
(208)
Perempuan dan Laki-laki dalam Kepemilikan Harta
Baik yang terbit sebelum maupun yang
setelah kemardekaan, NWLM tidak memperlihatkan bias gender dalam hal kepemilikan harta. Situasi yang positif ini lebih
disebabkan oleh sistem kepemilikan harta menurut adat Minangkabau. Kepemilikan
harta disesuaikan dengan cara mendapatkannya. Harta pusaka diperoleh dari
warisan yang diturunkan mamak kepada
kemenakan. Kemenakan laki-laki mempunyai hak mengusahakan dan kalau bisa
menambah, sedangkan kemenakan perempuan mempunyai hak memiliki. Harta ini tidak
boleh dibagi-bagi oleh yang berhak. Keutuhan harta pusaka melambangkan keutuhan
kaum kerabat. Selain harta pusaka ada lagi harta pencarian dan hibah. Harta ini
dimiliki oleh yang mendapatkan baik laki-laki maupun perempuan. Kalau laki-laki
ingin memberikan harta itu kepada anak dan istrinya maka ia harus mendapatkan
izin saudara perempuannya (Navis, 1984:160).
Sistem kepemilikan harta seperti itu
masih terlihat di dalam masyarakat Minangkabau yang digambarkan di dalam novel
warna lokal Minangkabau. Oleh sebab itu, dalam hal kepemilikan harta tidak
terdapat bias gender. Hanya terihat
sedikit pengecualian pada ADK, yaitu
keangakuhan Baginda Mais yang tidak meminta pendapat istrinya ketika akan
mengeluarkan banyak uang untuk merayakan kepulangan Yatim dari Belanda.
Meskipun kalau ditanya tidak setuju, Upik Bungsu terpaksa diam karena takut
dimarahi atau diceraikan oleh Baginda Mais.
Tiadanya bias gender dalam kepemilikan harta ini dapat dianggap sebagai suatu
ciri kemantapan masyarakat Minangkabau dalam sistem kepemilikan harta
(ekonomi). Sebagai masyarakat yang menganut falsafah materialisme ini,
persoalan harta memang harus diatur dengan jelas sehingga telah dianggap baku.
Tidak ada pihak yang mempersoalkan sistem yang telah baku tersebut.
Perempuan dan Laki-laki dalam Kehidupan Sosial-Politik
Sampai tahun 50-an, masyarakat yang digambarkan dalam NWLM masih bias gender dalam aktivitas sosialpolitik.
Aktivitas sosial politik yang dianggap sebagai kegiatan publik hanya dilakukan
oleh laki-laki, baik sebagai tokoh maupun sebagai anggota masyarakat biasa.
Perempuan hanya tampil sebagai pelaku kegiatan domestik. Kalaupun ada tokoh
perempuan yang tampil, hal itu hanya sebagai idealisasi, sesuatu yang
diinginkan, simbol cita-cita. Aktivitas itu pun lebih banyak tampil dalam
bentuk perlawanan terhadap keadaan.
Sitti Nurbaya (SN) tampil dalam bentuk perlawanan agar
perempuan diakuai sebagai manusia yang sama-sama mempunyai pikiran dan
kemampuan dengan laki-laki, meskipun tidak persis, karena memang tidak persis. Sitti
Nurbaya mengakui adanya kelebihan dan kekurangan perempuan, tetapi hendaknya
laki-laki memberikan peluang untuk perempuan agar potensinya juga bisa
dikembangan, dihargai oleh laki-laki; agar perempuan juga bisa menyampaikan
pikirannya kepada masyarakat. Ani (ADKAP)
juga tampil dalam bentuk perlawanan, meskipun hanya terhadap orang tuanya
tetapi ia dapat dianggap sebagai wakil generasi muda yang ingin tampil di dalam
dunia publik, sesuatu yang ganjil di mata masyarakatnya. Rasmani (KTU) memang tampil di dalam dunia publik
sebagai guru, tetapi masyarakatnya tidak melihat aktivitasnya sebagai sesuatu
yang penting. Untuk bisa eksis, ia pindah (atau dipindahkan) ke Bukittinggi dan
sesampai di Bukittinggi, ia menderita sampai ajalnya. Setelah menikah dengan
Azis, Hayati (TKVW) tidak pernah
tampil di dunia publik. Sepanjang suaminya keluar rumah, ia hanya meratapi
nasibnya di dalam kamar. Ketika di rumah, ia dilecehkan oleh suaminya. Hal yang
sama juga terlihat di dalam KAK karena hanya Khairil dan Sutan Malakewi
yang tampil di dunia publik. Meskipun sudah sekolah sampai menamatkan Mulo,
Bidasari dan Nurmala (KDK) juga tidak
tampil di dunia publik, apalagi Renosari, Mariama, Puti Umi dan Upik Bungsu.
Keempatnya hanya sebagai istri yang mengurus suami. Di dalam KMR
hanya Sutan Duano dan beberapa tokoh masyarakat laki-laki lain yang
tampil ke dunia publik, sedangkan perempuan hanya ibu rumah tangga (domestik).
Keadaan baru berubah pada tahun 70-an dengan tampilnya Umi (BK) di depan publik. Ia tidak tampil
sebagai perlawanan terhadap dominasi laki-laki atau pandangan minor masyarakat.
Ia tampil secara wajar dan aktivitasnya sebagai anggota partai dan organisasi
sosial keagamaan di depan publik dihargai dan dihormati masyarakat. Ia bisa tampil ke ranah publik karena ia
terpelajar dan hal itu dimungkinkan karena ia cukup berharta. Bersama Umi juga
tampil Ayah dan Bak Tuo sebagai guru pemerintah. Bu Yuk (OOB) tampil ke dunia publik melalui aktivitanya, baik sebagai
mahasiswa di rantau atau setelah pulang ke Blanti (Minangkabau). Meskipun belum
sempat menuliskan karangannya tentang Empon, keinginan Bu Yuk, setidaknya,
tidak dihalangai oleh masyarakat. Meskipun Dawis mencercanya dengan sinis, Bu
Yuk tetap pada pendiriannya bahwa ia akan menulis tentang Empon. Cemooh Dawis
dianggapnya sebagai penambah semangatnya karena, Dawis pun, pada dasarnya,
bukan melecehkan tetapi menggugah Bu Yuk agar tidak terpelset pada hal-hal yang
membingungkan; agar Bu Yuk tidak selalu di dalam kebimbangan. Ia juga
mendapatkan dukungan dari suaminya, meskipun Eko masih meragukan konsep dasar
Bu Yuk tentang gender.
OOB merupakan satu-satunya
novel yang dengan konkrit menggunakan istilah “gender”. Dengan demikian, novel ini telah lebih maju dibandingkan
dengan novel-novel sebelumnya tentang hak-hak perempuan. Namun di sini terlihat
bahwa pengarang masih meragukan keutuhan konsep gender di dalam pemikiran perempuan pada umumnya, dan Bu Yuk adalah
model perempuan feminis yang diberikannya, yaitu perempuan yang sering
berteriak tentang hak-hak perempuan tetapi tidak begitu jelas memahmi bagaimana
seharusnya gender itu dikonsepsi dan
direalisasikan.
Aktivitas sosialpolitik kalangan perempuan yang lebih mengemuka terlihat di
dalam NP. Sejumlah perempuan tampil
ke ranah publik sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Reno tampil sebagai
dosen dan calon pengganti Bundo (perempuan utama). Ia mengerti benar tentang
adat sehingga ia dikedepankan oleh orang tuanya dalam menyelesaikan
masalah-masalah adat di Nagariko (Minangkabau). Aktivitas Bundo tidak diragukan
lagi, ia sudah sejak muda melibatkan diri dalam ranah publik di Nagariko.
Berbeda dengan kedua orang itu, Bu Lansia dan Merajuti tampil ke ranah
publik secara berlebihan, bahkan memperlihatkan kesombongannya. Bu Lansia
menempel kekuasaan suaminya, bahkan merasa lebih berkuasa daripada suaminya,
Barajoan, padahal ia tidak mempunyai jabatan apa-apa selain istri kepala
daerah. Merajuti melakukan segala cara untuk dapat mendirikan Rumah Limo Ruang
dan untuk mendapatkan gelar penghulu bagi Diringgiti. Keduanya tidak
menghiraukan pandangan sinis masyarakat terhadap sepak terjangnya di Nagariko
sehingga keduanya sering berseberangan dengan Reno, perempuan yang diidealkan
oleh pengarang sebagai bentuk kesetaraan gender.
Perempuan dan Laki-laki di dalam Pengambilanm Keputusan
Dalam hal pengambilan keputusan
penting, pada umumnya NWLM tidak memperlihatkan bias gender. Mereka selalu membawa persoalan ke dalam rapat yang
dihadiri oleh laki-laki dan perempuan. Apa yang merupakan keputusan dicapai
secara bersama-sama, walau sering juga terlihat dominasi mamak-mamak tertentu
dan juga cenderung mengabaikan pendapat perempuan.
Meskipun terjadi di dalam pertengkaran,
keputusan untuk menjemput calon suami Putri Rukian (SN) dihasilkan melalui perundingan Sutan Mahmud dengan Putri Rubiah
dan biaya penjemputan disediakan oleh Sutan Mahmud. Kondisi seperti ini biasa
di Minangkabau, yaitu mendapatkan kesepakatan melalui konflik. Begitu juga
rapat keluarga memutuskan calon suami Hayati (TKVW). Semua peserta rapat memberikan pendapat pro dan kontra, baik
laki-laki maupun perempuan, tetapi keputusan akhir berada di tangan Datuk…dan
persetujuan diminta kepada peserta rapat. Di dalam KAK terjadi kompromi baik
di dalam keluarga Rukayah setelah lari dari Jamali maupun dalam keluarga
Khairil ketika akan menjual harta pusaka untuk pembeli obat Khairil. Kedua
kompromi itu dicapai setelah melalui perdebatan yang sengit.
Di dalam novel ADK, semua keputusan diambil melalui musyawarah, mulai dari
keinginan Baginda Mais untuk merayakan kepulangan Yatim, perjodohan Nurmala
dengan Yatim dan Bidasari dengan Sutan Malik, dan akhirnya perjodohan Yatim
dengan Bidasari. Meskipun terjadi perdebatan dan pertengkaran, namun itu
merupakan proses yang demokratis dalam sistem adat Minangkabau. Proses
musyawarah antara laki-laki dan perempuan juga terlihat di dalam KMR. Keputusan membawa Acin berobat ke
Bukittinggi diambil secara bersama-sama, mekipun akhirnya Sutan Duano yang
memutuskan karena dia yang menanggung biaya. Di dalam WRS, proses pengambilan keputusan yang demokratis dan tidak bias gender terlihat ketika membagi harta
warisan. Semua orang yang dianggap berhak, baik laki-laki maupun perempuan
dihadirkan di dalam rapat. Semua anggota rapat diizinkan untuk memeriksa
surat-surat. Semua mempunyai hak yang sama untuk menebus harta yang tergadai.
Karena tidak ada yang mau menebus maka Rafilus memutuskan untuk membiarkan
harta itu seperti apa adanya dan semuanya setuju.
Di dalam novel BK, keputusan apakah Ayah harus kawin lagi karena tuntutan orang
kampung tidak sepenuhnya ditentukan oleh Ayah. Peranan Umi dan Bak Tuo sangat
menentukan. Keputusan yang agak ganjil terlihat pada OOB. Ciani memutuskan
sendiri untuk mengambil seluruh harta pusaka bagi keluagarnya tanpa perlu
bermusyawarah dengan Bu Yuk dan Dawis. Bu Yuk juga memutuskan sendiri untuk
kawin dengan Eko, laki-laki yang berbeda agama dengannya. Memang tidak terlihat
adanya musyawarah antara laki-laki dan perempuan tetapi keputusan yang diambil
tetap tidak bias gender karena tidak
merugikan seseorang dilihat dari jenis kelaminnya.
Sistem musyawarah yang melibatkan banyak
orang baik laki-laki maupun perempuan terlihat di dalam novel NP. Reno dan Bundo selalu berada pada
posisi kunci, menentukan, tetapi Engku selalu berada pada posisi memutuskan.
Selalu ada suasana dialogis pada setiap keputusan akan diambil, baik menyangkut
persoalan di dalam keluarga maupun persoalan yang terkait dengan orang di luar
keluarga. Rapat dan musyawarah merupakan ciri yang menonjol di dalam masyarakat
Nagariko untuk memutuskan sesuatu.
Sistem musyawarah memang merupakan ciri
yang menonjol di dalam masyarakat Minagkabau. Hal itu terkait dengan falsafah
alam yang mereka anut. Menurut alam pikiran mereka, setiap manusia mempunyai
kedudukan yang sama sehingga berhak untuk ikut ambil bagian dalam apa saja
sesuai dengan kemampuannya. Di dalam kehidupan sehari-hari dikenal istilah sato sakaki, yang artinya setiap orang
harus ikut meskipun porsinya kecil, sesuai dengan kapasitasnya.
Perempuan dan Laki-laki di dalam Kehidupan Spiritual
Sesuai dengan dasar adat yang
bersendikan syariat Islam, maka yang disebut orang Minangkabau adalah yang
beragama Islam; Minangkabau itu adalah Islam; yang adat itu adalah syara’ itu
sendiri (Hamka, 2002:183). Dengan demikian, spiritual yang dimaksudkan di sini
adalah kehidupan beragama Islam.
Di dalam kehidupan spiritual,
masyarakat yang digambarkan dalam NWLM tidak memperlihatkan bias gender. Ketidakterlihatan itu sendiri
lebih disebabkan oleh minimnya informasi tentang kehidupan beragama di dalam
novel. Namun dari yang minim itu, tidak ada penekanan atau pemaksaan secara gender dalam kehidupan beragama. Semua
orang bebas melakukan kegiatan peribadatan dan aktif dalam kegiatan keagamaan
sesuai dengan tingkat keimanannya masing-masing.
Di dalam novel hanya digambarkan ada
tokoh-tokoh tertentu yang taat dan yang tidak taat beragama. Sitti Nurbaya dan
Samsulbahri (SN) hanya menyebut-nyebut Tuhan ketika
mendapatkan kesusahan, bahkan menganggap Tuhan tidak menolongnya lagi. (h.114)
Hanya Ahmad Maulana yang digambarkan sebagai orang yang taat beragama dan
mendiskusikan persoalan agama dengan istrinya. Ani (ADKAP) juga menyebut-nyebut Tuhan dalam keluhannya tetapi tidak
diperlihatkan sebagai orang yang taat. Di dalam TKVW cerita lebih bernuansa
raligius, terutama cinta Hayati dan Zainuddin. Keduanya selalu memohon petunjuk
Tuhan untuk keselamatan cinta mereka. Dalam doanya, Hayati mengatakan,
Tuhanku, benar…sebenar-benarnya hamba-Mu ini kasihan
kepada makhluk yang malang itu, dan oh Tuhanku! Hamba sayang akan dia,
hamba…cinta dia!
Jika cinta itu sutu dosa, ampunilah dan maafkanlah. Hamba
akan turut perintah-Mu. Hamba tidak akan melanggar larangan, tak akan
menghentikan suruhan. Akan hamba simpan, biarlah orang lain tak tahu, tetapi
izinkan hamba ya Tuhan. (h. 36)
Selain itu, hanya KMR yang banyak berbicara tentang agama. Ketaatan Sutan Duano
mengerjakan perintah agama dan kemalasan masyarakat bekerja dan suka bertahayul
diperlihatkan di dalam novel ini. Di akhir cerita, pertimbangan agama (dosa)
justru menjadi pemicu pemutusan hubungan perkawinan incest.
Di dalam KAK hanya dosebutkan bahwa
Khairil seorang yang sabar dan tawakal dan beberapa kali disebut Tuhan Yang
Maha Kuasa. Selanjutnya hanya cerita mengenai perebutan anak. Novel ADK
tidak memperlihatkan sudut pandangan agama dalam memcahkan masalah.
Di dalam novel WRS hanya ada orang
yang mengaji (membaca Alquran) ketika ada kematian, setelah itu kehidupan
berjalan seperti biasa: skandal seks, intimidasi, dan keserakahan. Di dalam OOB, persoalan agama terlihat
diperdebatkan karena adanya perkawinan lintas agama, sedangkan di dalam NP hanya disebutkan bahwa tokoh suka
berdoa dan Ayah adalah pengurus masjid. Selain dari penyebutan-penyebutan yang
tidak signifikan itu, tidak ada lagi diperlihatkan aktivitas keagamaan.
Dari penjelasan di atas seolah-olah
terlihat bahwa persoalan agama telah dikalahkan oleh persoalan adat. Hal ini
mungkin terjadi karena dengan menjalankan adat, masyarakat telah merasa
menjalankan agama karena adat bersendikan syariat (agama) Islam. Segala sesuatu
dianggap telah dilaksanakan secara agamis meskipun belum tentu secara religius.
Tentu hal itu tidak berarti bahwa agama orang Minangkabau adalah adatnya.
Perempuan dan Laki-laki di dalam Hal Peran Adat
Masyarakat Minangkabau hidup secara
berkelompok-kelompok atau bergolong-golongan. Golongan yang terpenting adalah
kekerabatan sedarah dari turunan ibu (matrilineal). Golongan dan kelompok itu
bertingkat-tingkat secara spiral. Setiap golongan dipimpin oleh mamak yang secara harfiah berarti
saudara laki-laki ibu dan secara sosiologis berarti semua laki-laki turunan ibu
dari genereasi yang lebih tua. Pemimpin sebuah rumah tangga disebut tungganai, pemimpin kaum adalah mamak kaum dan pemimpin suku disebut penghulu. Di dalam sebuah negari yang
terdiri atas beberapa suku terdapat lagi pemimpin para penghulu yang disebut penghulu pucuk (Navis, 1984:130—131).
Jabatan-jabatan itulah yang disebut peran adat di dalam penelitian ini. Dengan
demikian, semua peran adat dipegang oleh laki-laki.
Perempuan mendapat tempat yang istimewa
dalam struktur yang lain. Perempuan berada pada pusat kekuasaan karena sistem
matrilineal. Dari sisi perempuanlah ditentukan garis keturunan seorang anak, ke
suku perempuanlah seorang dimasukkan, perempuanlah yang memiliki rumah gadang,
perempuanlah yang mengatur harta pusaka dan warisan. Dalam prakteknya, baik
laki-laki maupun perempuan bekerjasama memelihara keutuhan keluarganya,
kaumnya, dan sukunya. Itulah sebabnya, perempuan tertua di dalam suku itu
disebut Bundo Kanduang, tempat
mengadu ketika timbul persoalan, tempat meminta air kalau kehausan, tempat
meminta nasi kalau kelaparan.
Pilihan untuk matrilineal dan peran
adat itu erat kaitannya dengan falsafah alam (alam terkembang menjadi guru)
yang dianut orang Minangkabau. Alam telah memberi contoh bahwa anak tumbuh-tumbuhan dekat dengan pohon
induknya, kecuali karena bencana alam; anak binatang dekat dengan induknya;
anak manusia juga dengan ibunya, lebih mudah menetukan siapa ibu daripada siapa
ayah.
Novel sebelum kemardekaan
memperlihatkan bahwa peran adat digunakan untuk mereduksi keberadaan perempuan
di dalam aktivitas adat. Sutan Mahmud
(SN) adalah penghulu tetapi ia
mengabaikan kakak perempuannya, seperti diakui oleh Putri Rubiah, terlepas dari
perilaku Sutan Mahmud benar atau tidak benar sesuai dengan keyakinannya. Ia
cendrung mengabaikan kemenakannya sehingga ia bertengkar dengan kakanya. Ayah
Ani (ADKAP) mengabaikan semua
pendapat kaum perempuan dalam kaitan perjodohan Ani; menentang dia berarti
menentang adat. Penghulu yang agak moderat adalah Datuk Sinaro (KTU). Ia tidak memanfaatkan
kepenghuluannya untuk mereduksi kaum perempuan, namun keluaraga ini merupakan
tipe ideal yang diajukan pengarang di dalam masyarakat yang kental bias gendernya. Datuk Garang (TKVW) juga mengabaikan pendapat
perempuan dalam menentukan jodoh Hayati. Walaupun keputusan yang diambilnya
ditanyakan kepada sidang rapat, tetapi siapa saja yang memberikan pendapat
langsung ditolaknya. A. Palindih dan Datuk Nakodoh (KAK) juga memperlihtkan sikap yang sama. Dengan alasan malu
dikatakan tidak beradat, Palindih memaksa Rukayah untuk kembali ke Jamali
walaupun tetap ditolak Rukayah dan ibu Rukayah terpaksa diam saja; Dt. Nakodoh
dan beberapa mamak yang lain merasa
malu karena adat kalau Khairil tidak mau kawin lagi dan mereka tidak menghiraukan
pendpaat kaum perempuan.
Keadaan berubah setelah kemardekaan. Sutan Alam Sah (ADK), justru tidak dapat berbauat
apa-apa ketika Puti Renosari menolak Yatim menjadi suami Bidasari; tetapi Sutan
Pamenan berbuat sewenang-wenang terhadap harta tanpa mengiraukan adiknya, Puti
Umi. Para penghulu dan mamak di dalam
KMR melibatkan perempuan dalam
menyelesaikan masalah. Di dalam WRS,
Rakena meminang sendiri Rafilus untuk anaknya, Arneti, meskipun ia mempunyai
saudara laki-laki. Di dalam BK tidak
disebutkan siapa yang menjadi penghulu, tetapi Umi lebih berperan dalam segala
hal baik di dalam keluarga maupun di dalam kampung. Dawis (OOB) tidak diberi gelar penghulu meskipun dia satu-satunya
laki-laki yang pantas. Meskipun secara sistem matrilineal dia adalah mamak dari anak Bu Yuk dan anak Ciani,
tetapi saudara perempuannya itu tidak melihatnya sebagai penentu di dalam kaum.
Peran yang normal terlihat pada NP.
Engku memang penghulu dan mamak, tetapi setiap peristiwa adat, ia mengedepankan
Reno dan Bundo.
Pembahasan
Dari penjelasan di atas terlihat ada
dinamika dalam peran adat di dalam masyarakat yang digambarkan novel warna
lokal Minangkabau. Ternyata belum tentu penghulu dan mamak tradisional melaksanakan adat secara tepat sesuai dengan
aturan-aturan dan konvensi-konvensi adat itu, sebagaimana juga belum tentu pada
masyarakat yang lebih maju. Ternyata, peran adat dan aktivitas peradatan lebih
menemukan bentuknya pada masyarakat yang terpelajar tetapi menguasai pula seluk
beluk adat. Masyarakat yang terpelajar tetapi tidak menguasai sistem adat
cendrung memberontak; sebaliknya masyarakat yang tidak terpelajar, meskipun
menguasai seluk beluk adat cendrung sewenang-wenang.
Dari penelusuran setiap novel terkesan
bahwa bias gender yang merugikan
perempuan, pada akhirnya juga merugikan laki-laki. Kebiasaan laki-laki yang
memandang rendah perempuan tidak hanya merugikan perempuan tetapi juga
merugikan laki-laki dalam banyak hal. Di dalam cerita hampir tidak ada tokoh
laki-laki yang berbahagia dengan menomorduakan perempuan. Hal ini dapat
dijadikan sebagai isyarat bahwa bias gender
memang bukan situasi yang diperlukan dalam kemakmuran dan kemajuan masyarakat.
Tuhan menakdirkan perempuan memang bukan untuk didominasi tetapi untuk
dipersandingkan dengan laki-laki.
Novel-novel sebelum perang memperlihatkan perempuan-perempuan yang terjepit
dalam dunia laki-laki. Pilihan yang diberikan kepada mereka semuanya
menyengsarakannya. Semua itu disebabkan oleh dominasi laki-laki terhadap dunia
perempuan. Sitti Nurbaya (SN) terjepit dalam dunia Samsulbahri, Datuk
Meringgih, dan Bagindo Sulaiman. Ia terombang ambing antara mempertahankan
ayahnya dari kejaran Datuk Meringgih dan mempertahankan cintanya pada
Samsulbahri. Ani (ADKAP) terombang
ambing antara cintanya kepada Durkana dan tekanan ayahnya yang berselindung
dengan adat, yang juga dikuasai oleh dunia laki-laki. Mempertahankan Durkana
sama dengan melawan adat; mematuhi adat sama dengan melepaskan Durkana. Rasmani
(KTU) terombang ambing antara
cintanya kepada Masrul dan keterpaksaannya menerima perkawinan Masrul dengan
Muslina. Rasmani tidak mau kawin kecuali dengan Masrul dan itu dibuktikannya
sampai mati. Hayati (TKVW) terombang
ambing antara cintanya kepada Zainuddin dan tekanan mamaknya yang berselindung dengan adat yang dikuasai oleh dunia
laki-laki. Tetap memilih Zainuddin sama dengan melecehkan mamaknya; mematuhi
mamaknya sama dengan melepaskan Zainuddin. Rukayah (KAK) terombang ambing antara cintanya pada Khairil dan godaan harta
dari Sutan Malakewi. Khairil terombang ambing antara cintanya pada Noviar dan
ketidakrelaannya melihat anaknya beribu tiri sehingga ia tidak mau kawin dengan
Asni atau kembali pada Rukayah.
Novel-novel sesudah kemardekaan memperlihatkan bahwa laki-laki dan
perempuan. dapat terombang-ambing dalam kehidupan pihak lainnya. Yatim (ADK) terombang ambing antara statusnya
yang belum jelas dengan kedudukannya sebagai ketua pengadilan tinggi di Padang.
Ia ingin lari (pindah) ke Jakarta dan meninggalkan semuanya, tetapi hatinya
pada Bidasari tetap menahannya. Sutan Duano (KMR) terombang ambing antara keinginanya untuk tetap tinggal di
desa pinggir danau karena kecintaannya pada masyarakat itu dengan firasat
buruknya tentang anaknya di Surabaya. Saniah dan Gudam terombang ambing dalam
kehidupan Sutan Duano karena kedua janda itu ditolak oleh Sutan Duano untuk
menjadi istrinya. Alasan penolakan terhadap Saniah mungkin jelas karena Saniah
berperilaku jelek. Tetapi bagaimana dengan Gudam, yang masih cantik dan
berperilaku baik? Ternyata juga ditolak. Rafilus (WRS) tidak terombang-ambing tetapi berpindah-pindah dari satu
perempuan ke perempuan lainnya. Ini juga menunjukkan besarnya dominasi
laki-laki. Tetapi perempuan juga dapat berpindah dari satu laki-laki ke
laki-laki lain, namun itu terjadi akibat dominasi laki-laki juga.
Perempuan-perempuan itu berbuat begitu karena diceraikan oleh suami dengan
alasan yang tidak dapat mereka terima tetapi tidak dapat menolak karena talak
berada di tangan laki-laki. Man (BK)
terombang ambing antara kehidupan ayahnya dan ibunya. Ia merupakan laki-laki
yang merasakan akibat dari pengaruh adat lama. Ia harus hidup di dalam keluarga
bako, sesuatu yang tidak lazim di
dalam adat Minangkabau. Bu Yuk (OOB)
terombang ambing dalam keinginannya menulis kisah hidup Empon, apakah
semata-mata tentang Empon atau terkait dengan dirinya. Ia merasa kehidupan
Empon tidak dapat dilepaskan dari dirinya, sedangkan kalau kisah kehidupan
dirinya juga dituliskan, betapa banyak orang yang akan menghujatnya. Masyarakat
Nagariko (NP) terombang ambing antara
mempertahankan tradisi dan menerima modernitas. Satu persatu tradisi terpaksa
dilepaskan dan satu persatu modernitas terpaksa diterima. Situasi keterpaksaan
ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan masyarakat tidak mempunyai
identitas yang jelas. Ketiadaan identitas yang jelas inilah yang merupakan
tanda kehancura suatu bangsa. Persentuhan dengan modernitas dan globalisasi
yang dipaksakan menyebabkan timbulnya goncangan-goncangan yang tidak siap
mereka hadapi. Pendidikan rendah, dasar agama goyah, pemahaman adat juga payah,
menyebabkan mereka hidup serba salah.
Persoalan bias gender sering pula timbul dari kalangan perempuan itu sendiri.
Mereka sering melupakan hakikatnya sebagai perempuan secara alamiah. Mereka
menginginkan sama dan setara tetapi mengingkari kodrat. Mereka sering tidak
tahu atau lupa memanfaatkan kekuatannya sebagai perempuan yang bisa
“melumpuhkan” laki-laki. Mereka ingin persamaan sebagai dua hal yang sama-sama
menuju dua titik yang berbeda. Mereka lupa bahwa tujuan yang harus dicapai adalah
satu dan tujuan itu dicapai secara bersama-sama, saling mendukung dan sinergis
dalam memanfaatkan kekuatan masing-masing. Kalau laki-laki kuat secara fisik
dan pikiran maka perempuan kuat secara jiwa dan emosional. Bukankah tujuan
hidup rumah tangga adalah satu kebahagiaan untuk bersama, bukan dua kebahagiaan
untuk masing-masing suami dan istri?
Perempuan yang peduli akan kesetaraan hanya segelintir tetapi perempuan
yang suka merendahkan martabatnya di depan laki-laki lebih banyak. Kalau
dikatakan bahwa tubuh perempuan yang terbuka merupakan peluang bagi laki-laki
untuk merendahkannya maka perempuan akan menjawab bahwa pikiran laki-laki yang
kotor. Mereka tidak mampu menangkap esensi kekotoran itu, yaitu bahwa laki-laki
memang diperbudak nafsunya dan itu alamiah, sedangkan perempuan diperbudak oleh
cinta kasihnya dan itu alamiah juga. Kalau sudah tahu bahwa pikiran laki-laki
kotor, seharusnya perempuan menjaga dirinya agar pikiran yang kotor itu tidak
menimbulkan masalah. Tetapi, sebaliknya, justru banyak perempuan yang
memanfaatkan kekotoran pikiran laki-laki sebagai sarana untuk kepentingan
ekonomis. Dari sinilah timbulnya pelacuran dalam segala jenisnya.
Para pejuang hak-hak wanita pada umumnya membela perempuan yang suka
bergaya secara terbuka di depan laki-laki yang dianggapnya berpikiran kotor
itu. Mereka menganggap hal itu sebagai hak azasi, kebebasan berkreasi atau
berekspresi. Mereka akan menganggap, kalau laki-laki terpengaruh secara seksual
maka yang salah adalah laki-laki. Mereka tidak mampu berpikir secara mendasar
apa yang dimaksud dengan hak azasi atau hak berkreasi atau berekspresi itu.
Kita boleh berkreasi atau berekspresi kalau tidak menganggu hak orang untuk
tidak berpikir macam-macam. Hak berkreasi dan berekspresi secara bebas menurut
kehendak sendiri hanya dapat dilakukan di ruang tertutup. Tapi kalau hal itu
dilakukan depan khalayak, disiarkan ke seluruh nusantara di televisi berarti
hak azasi itu telah melanggar hak orang lain untuk tidak melihat hak itu.
Perdebatan tentang peran gender
yang marak akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh ketidakjelasan konsep
kesetaraan gender itu sendiri. Pada
satu sisi, perempuan ingin mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam
sektor publik, tetapi pada sisi yang lain mereka melupakan kodrat alami mereka
sebagai perempuan. Pada satu sisi, laki-laki ingin agar perempuan berperan
aktif di dalam berbagai sektor publik, tetapi pada sisi lain, mereka mereduksi
keberadaan perempuan dengan alasan adat (sosialbudaya) dan agama. Pada
akhirnya, semua terpulang kepada alam karena tidak ada yang lebih berbahaya
selain menantng alam.
Simpulan
Pergolakan intelektual dalam kaitan implementasi adat dan agama memperlihatkan
suatu dinamika di bidang gender.
Dalam banyak aspek, NWLM yang terbit sebelum kemardekaan memperlihatkan
masyarakat yang bias gender.
Perempuan terjepit dalam dunia laki-laki karena semua hal terkesan “milik”
laki-laki, termasuk perempuan itu sendiri dengan segala propertinya. Kegarangan
para mamak, datuk, dan penghulu tidak
memberi ruang gerak kepada perempuan untuk mengekspresikan dirinya. Merka
dipinggirkan, dinomorduakan, dan diberi label yang negatif ketika mulai
menuntut hak-hak sebagai perempuan. Mereka ditentukan dan dikendalikan, bahkan
dicurigai sebagai makhluk pembawa bencana; mereka tidak dapat menentukan dan
mengendalikan dan dianggap sebagai manusia tidak yang mempunyai hak-hak
pribadi. Di dalam keluarga menjadi anak kelas dua, sebagai istri seolah-olah
pembantu suami, tidak didengar suaranya dalam mengamabil keputusan, ditutup
sumber-sumber ekonomi dan dicabut hak adat atas dirinya. Pantas kalau dikatakan
bahwa NWLM sebelum kemardekaan adalah novel-novel tentang perempuan-perempuan
tersiksa.
Meskipun dikatakan bahwa perempuan yang dirugikan karena tidak dapat
menguasai hak-hak properti pribadinya dengan bebas, namun hal itu juga
mengakibatkan penderitaan pada laki-laki. Dengan tidak dibebaskan perempuan
menentukan pilihannya, laki-laki yang sudah terlanjur membina hubungan dengan
perempuan tersebut akan ikut menderita. Pada satu sisi, mungkin dapat dikatakan
bahwa cerita novel-novel ini cengeng, seolah-olah cinta adalah segala-galanya:
kalau cinta sudah tak mungkin dipertemukan lagi, hidup tak ada gunanya sehingga
ramai-ramai “bunuh diri” (pada umumnya tokoh mati di akhir cerita). Akan tetapi
pada sisi lain, hal itu menunjukkan bahwa kematian, bahkan, belum mampu menguak
keketatan adat dan puritanisme para mamak
dan penghulu.
Hal itu merupakan suatu keanehan karena masyarakat Minangkabau menganut
sistem matrilineal yang menempatkan perempuan pada tempat yang lebih tinggi.
Namun ini sekaligus merupakan pertanda bahwa konsep, sistem, dan aturan adat
yang berguru kepada alam dan agama yang dianggap rahmat bagi semua orang itu
belum diimplementasikan secara utuh di dalam kehidupan sehari-hari. Adat dan
agama lebih banyak bersifat seremonial, upacra-upacara, tetapi belum menyentuh
hal-hal yang hakiki, yaitu sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat. Adat dan
agama bukan aturan tetapi penjelamaan para penghulu: para datuk adalah adat;
adat adalah datuk itu sendiri.
Berbeda dengan novel-novel yang terbit sebelum kemardekaan, novel yang
terbit di sekitar kemardekaan (sampai tahun70-an) memperlihatkan masyarakat
yang berangsur-angsur menjadi tidak bias gender.
Perempuan tidak lagi berada pada posisi yang dirugikan. Mereka dapat berdiri
sama tinggi dan duduk sama rendah dengan laki-laki. Pada satu sisi kondisi ini
memperlihatkan bahwa perempuan Minangkabau telah bebas dari peminggiran,
penomorduaan, kekerasan, dan stereotipe negatif.
Akan tetapi masuknya pengaruh luar yang dipaksakan menyebabkan perempuan
Minangkabau tidak mampu menyeimbangkan peran gender mereka. Eforia kemardekaan justru menimbulkan ekses-ekses
negarif, yaitu kebebasan yang tanpa batas. Kalau sebelum kemardekaan perempuan
memberontak untuk mendapatkan haknya akibat masuknya pengaruh luar, setelah
kemardekaan, perempuan “linglung” bahkan kebablasan karena tidak mampu
mengadaptasi keterbukaan yang juga sebagai akibat dari pengaruh luar. Barulah
novel-novel di penghujung abad kedua puluh yang memperlihatkan masyarakat yang
mampu meletakkan keseimbangan gender
secara proporsional. Di dalam novel-novel yang terakhir ini, peran adat, agama,
dan modernitas saling mendukung.
Persoalan-persoalan ketidakseimbangan gender
yang terjadi di dalam masyarakat Minangkabau yang digambarkan novel-novel
sepanjang sejarah terjadi dan terkuak karena pendidikan. Pada awal
perkembangannya, pendidikan yang diperoleh generasi muda menimbulkan pergolakan
untuk menuntut keseimbngan gender.
Kalau generasi muda tidak mendapatkan pendidikan tentu mereka akan menerima
adat apa adanya dan menganggap situasi itu sebagai kenyataan yang harus
diterima dan tidak perlu diributkan. Pendidikan yang diterima oleh generasi
kemudian memang memojokkan adat tetapi karena bentuk keseimbangan gender itu belum jelas wujudnya maka
yang terjadi adalah kebebasan tanpa batas. Selanjutnya, pendidikan juga yang
membawa masyarakat Minangkabau kepada situasi sekarang, yang mampu menempatkan
keseimbangan gender itu secara tapat.
Jadi, baik kunci ketidakadilan gender
maupun dinamika gender sebagaimana
terdapat di dalam NWLM, sebagian besar, terletak pada pedidikan. Oleh sebab
itu, aspek pendidikan inilah yang sangat perlu mendapatkan perhatian dalam
membangun keseimbangan gender secara
lebih elegan.
Begitulah dinamika gender dalam
konteks adat dan agama di dalam novel-NWLM. Terlihat ada perubahan ke arah yang
positif. Mulai dari tidak berperan sama sekali sampai pada keseimbangan peran
sesuai dengan tuntutan adat, agama dan kemajuan zaman. Dinamika itu merupakan
suatu proses perjuangan panjang, satu abad, menelan banyak korban, merapuhkan
sendi-sendi kehidupan, dan melahirkan katamakan-ketamakan. Jika proses ini
merupakan sebuah siklus seperti pada kasus Datuk Meringgih lama dan Datuk
Meringgih baru maka masyarakat Minangkabau harus berhati-hati terhadap berbagai
kemungkinan di masa yang akan datang sehingga adat dan agama mereka tetap eksis
dalam pergulatan kemajuan zaman yang belum jelas sedang menuju ke mana.
Daftar Kepustakaan
Amir.
2001. Adat Minangkabau; Pola dan Tujuan
Hidup Orang Minangkabau Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Damono, Sapardi Djoko, Politik
Ideologi dan Sastra Hibrida, Jakarta: Gramedia, 2001.
Damono, Sapardi Djoko, Priyayi
Abangan, Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an, Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2000.
Djajanegara,
Soenarjati. 1995. Citra Wanita dalam Lima novel Terbaik Sinclair Lewis dan
Gerakan Wanita di Amerika Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Fromm, Erich, Cinta, Seksualitas,
Matriakki, gender, Yogyakarta: Jalasutra, 2002.
Garrett, Stephanie, gender, London:
Routledge, 1992.
Hamka, “Hubungan Timbal Balik antara Adat dan Syarak dalam Kebudayaan
Minangkabau” dalam Kamardi Rais Dt. Simulie, Khairul Jasmi, dan Sofiardi
Bachyul Jb, Menelusuri Sejarah
Minangkabau, Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia dan LKAAM Sumatera
Barat, 2002.
Junus, Umar, Sosiologi Sastra, Persoalan Teori dan Metode, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986.
Latief,
Ch. N. 2002. Etnis dan Adat minangkabau, Permasalahan dan Masa Depannya
Bandung: Angkasa.
Muthahhari, Murtadha, Hak-hak Wanita
dalam Islam, M. Hashem (penerj.), The
Rights of Womean in Islam, Jakarta: Lentera Basritama, 1995.
Nasif, Fatima Umar. 2001. Menggugat Sejarah
Perempuan: Mewujudkan Idealisme gender sesuai Tuntutnan Islam, terjemahan dari
Women in Islam: a discourse in rights and obligations, diterjemahkan oleh
Burhan Wirasubrata dan Kundan D. Nuryakien. Jakarta: Cendekia Centra Muslim.
Navis, A.A., Alam Terkembang Jadi
Guru: Adat dan Budya Minangkabau, Jakarta: Grafitti Press, 1984.
Poespoprodjo. Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafati,
Bandung: Remadja Rosda Karya, 1987.
Sastrowardoyo.
1992. Subagio Sekilas Soal Sastra dan
Budaya (Jakarta: Balai Pustaka.
Selden,
Raman. 1989. Panduan Pembaca Teori Kesusastraan
Sezaman, terjemahan Umar Junus, A
Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Subiantoro,
Eko Bambang. 2002. “Peremupan dan Perkawinan: Sebuah Pertaruhan Eksistensi
Diri”, Jurnal Perempuan No. 22. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.
Sushartami,
Wiwik. 2002. “Perempuan Lajang: Meretas Identitas di Luar Ikatan Perkawinan”,
Jurnal Perempuan No.
22/2002 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Teeuw,
A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra.Jakarta:
Pustaka Jaya.
Umar, Nasaruddin “Demaskulinisasi Epistimologis (Menuju Pendidikan
Berspektif gender), makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia
19—22 September 2000. Jakarta: UNJ
Umar, Nasaruddin “Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat gender: Pendekatan
Hermeneutik” Rekonstruksi Metodologis
Wacana Kesetaraan gender dalam Islam, Siti Ruhaini Dzulhayatin, Budhy
Munawar-Rachman, dan Nasaruddin Umar, eds., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Umar, Nasaruddin, “Perspektif gender dalam Islam,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/jurnal.gender.html (28/01/03).
Wellek, Rene & Warren, Austin,
Teori Kesusastraan, (terjemahan Melani Budianta), Jakarta: Gramedia, 1989.
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di Universitas
Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar