Universitas Muhammadiyah
Surakarta/HISKI Cabang
Surakarta
Abstrak
Sosok perempuan dalam karya
sastra Indonesia tampil dengan pluralitas budaya dan makna yang kaya nuansa.
Sejalan dengan mencuatnya issu gender dan eksisnya kaum wanita pada abad XXI
seperti diprediksikan oleh futurolog Naisbitt & Aburdence (1990), citra dan
stereotip perempuan dalam sastra Indonesia pun mengalami dinamika yang luar biasa
unik dan menarik.
Permasalahannya adalah
bagaimana dinamika prasangka gender dalam sastra Indonesia. Lalu, bagaimana
citra perempuan dalam sastra Indonesia dalam perspektif gender, dan bagaimana
tipologi suara pengarang laki-laki dan perempuan dalam menyoroti sosok
perempuan?
Dengan menggunakan pendekatan
kritik sastra feminis ideologis dan dengan sampel bertujuan (purposive sample), maka ditemukan bahwa nuansa gender telah lama disoroti oleh para sastrawan
kita, setidak-tidaknya dimulai pada roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli pada
zaman Balai Pustaka. Sitti Nurabaya merupakan tokoh profeminis yang memprotes
ketidakadilan gender yang telah mendarah daging, meskipun idenya tidak radikal.
Dia hanya ingin membenahi sistem hubungan laki-laki dan perempuan sebagaimana
mestinya.
Citra perempuan dalam sastra
semakin berkembang dinamis pada periode Pujangga Baru ketika St. Takdir
Alisyahbana menulis Layar Terkembang.
Dalam roman ini Maria dan Tutik
menyuarakan kaum perempuan yang mencoba menyejajarkan dirinya dengan kaum
laki-laki dalam aktivitas di sektor publik, meskipun masih terbatas oleh
hegemoni laki-laki. Gagasan keperempuanan dalam Layar Terkembang itu kemudian didekonstruksi oleh Armijn Pane
dengan romannya Belenggu. Di sini
tokoh Tini ditampilkan dengan membawa panji-panji gender dan sama sekali tidak
terhegemoni oleh laki-laki. Sehingga, Tini memutarbalikkan citra perempuan pada
zaman itu. Jika Tono, suaminya, banyak kegiatan dan bekerja di luar rumah, Tini
pun banyak melakukan aktivitas di bidang sosial. Suatu keberanian yang luar
biasa dari seorang Armijn Pane pada zamannya.
Suara perempuan kemudian tidak
terdengar begitu lantang dan tampaknya mengalami kelesuan pada zaman Angkatan
1945. Baru pada tahun 1975 terbitlah Sri
Sumarah karya Umar Kayam yang lebih menyoroti sosok perempuan Jawa yang
“sumarah”, bekti dan setia kepada suami (alm.), sabar, serba pasrah atas apa
yang terjadi dalam dirinya. Namun, akhirnya Sri, tokoh cerita ini,
‘memberontak’ juga terhadap kemapanan moral wanita dan etika sosial, ketika
bertemu dengan pemuda pelanggannya. Senada dengan Sri Sumarah, pada tahun 1981 muncullah Pengakuan Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, sebuah prosa
liris karya Linus Suryadi AG. Dalam
karya ini, Pariyem–seperti subjudulnya—, ditampilkan sebagai wanita pembantu
rumah tangga yang mencerminkan sosok wanita Jawa. Ia pasrah terhadap kemauan
Den Baguse, pemuda anak majikannya, meskipun ternyata Pariyem yang tak berdaya
itu juga ‘memprotes’ perlakuan majikannya itu dengan ‘menyerahkan dirinya’
lebih dulu kepada Mas Kliwon pacarnya, sebelum kepada anak majikannya itu. Di
satu sisi secara gamblang Linus Suryadi menyoroti ketidakadilan gender
sekaligus dunia batin seorang wanita Jawa, yang pada masa sekarang masih ‘tersisa’
di sebagian masyarakat Jawa. Tidak jauh berbeda dengan dua karya itu, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
dan triloginya juga menggugat bias gender dalam budaya keperempuanan lokal.
Cita dan citra perempuan
Indonesia dalam sastra kemudian meningkat tajam pada kumpulan puisi Wanita Penyair Indonesia yang disunting
oleh Korrie Layun Rampan (1997). Pada kumpulan puisi karya tiga puluh wanita
penyair ini terlihat sekali gagasan penyetaraan gender seperti terlihat dalam
“Aku Hadir” karya Abidah El-Khalieqy, dalam “Perjalanan Para Lelaki” karya Oka
Rusmini, dan lain-lain. Suara keperempuanan berbalik sangat tajam pada novel
fenomenal Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami seiring
dengan era reformasi di Indonesia. Pada Saman,
Ayu Utami lewat tokoh-tokoh ceritanya seperti Cok, Yasmin, Sakuntala, dan
Laila, secara blak-blakan memprotes perlakuan deskriminatif atas kaum
perempuan. Pandangan stereotip yang menempatkan perempuan sebagai subordinat
laki-laki digugatnya. Bahkan, gugatan ‘lantang’ itu sering dipandang ‘menembus
batas’ etika Timur atau dianggap kebablasan oleh sebagian masyarakat pembaca.
Terlebih pada Larung karya
lanjutannya, nuansa feminisme Barat terasa sekali mendominasi cerita. Terlepas
dari hal itu, Saman dan Larung dapat dikatakan sebagai karya
sastra Indonesia pertama yang berani mendobrak tradisi keperempuanan Indonesia.
Dari analisis di atas dapat
dikemukakan, bahwa citra keperempuanan dalam sastra Indonesia dapat
diklasifikasi menjadi sebagai berikut: (1) Merombak sistem hubungan laki-laki
dan perempuan agar harmonis, dalam menentukan pilihan hati seperti dalam Sitti Nurbaya pada zaman Balai Pustaka;
(2) Memprotes ketidakadilan gender dalam melakukan aktivitas di sektor publik
seperti yang diwakili Layar Terkembang
dan Belenggu pada zaman Pujangga
Baru; (3) Menggugat ketidakadilan gender dalam budaya lokal (Jawa) yang
menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, yang diwakili Sri Sumarah, Pengakuan Pariyem, dan Ronggeng
Dukuh Paruk pada dekade 1970 hingga 1980-an; dan (4) Suara keperempuanan
global yang menggugat dan merupakan rekonstruksi atas nilai-nilai tradisi dunia
perempuan, yang diwakili oleh kumpulan puisi Wanita Penyair Indonesia, Saman
dan Larung pada akhir dekade 1990-an
atau 2000.
Dari segi sastrawannya, terlihat
bahwa justru sastrawan prialah yang banyak menyuarakan keperempuanan seperti
tampak pada Marah Rusli, St. Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, kemudian Umar
Kayam, Linus Suryadi. Baru pada dekade 1990-an muncul tiga puluh wanita penyair
Indonesia dan novelis Ayu Utami. Oleh Korrie Layun Rampan Ayu Utami dipandang
sebagai salah satu pelopor Angkatan 2000 Sastrawan Indoensia.
Dari nuansa keperempuanan yang
digarap, pengarang pria banyak menyoroti ketidakadilan gender terutama dalam
sistem hubungan laki-laki dan perempuan, lalu kebebasan beraktivitas dalam
sektor publik, nilai budaya lokal yang sangat deskriminatif atas perempuan.
Adapun pengarang wanita selain menyoroti bias gender dalam hubungan laki-laki
dan perempuan, juga ‘keberanian’ luar biasa dalam menggugat dan merekonstruksi
dunia keperempuanan sendiri, yang terkadang dipandang kebablasan oleh sebagian
kaum perempuan sendiri.
Pendahuluan
Kajian perempuan di bidang
sastra akhir-akhir ini mulai mengemuka, seiring dengan mencuatnya issu gender,
termasuk di Indonesia. Hal ini dapat dipahami sejalan dengan makin maraknya
studi tentang wanita di berbagai kalangan. Terlebih pada institusi perguruan
tinggi, kajian perempuan demikian kuat terbukti dengan berdirinya berbagai
Pusat Studi Wanita (PSW) yang kini lebih populer dengan Pusat Kajian Gender
(PKG).
Menguatnya issu gender rupanya
berdampak luas terhadap timbulnya kesadaran di kalangan para pemerhati sastra.
Kaum perempuan yang sejak lama sering tersisih, termarginalisasi dalam
kehidupan masyarakat, terjadi pula dalam dunia sastra. Karya-karya pengarang
wanita jarang mendapatkan tempat yang ‘berwibawa’ di kalangan sastrawan
sezamannya. Padahal karya-karya mereka sebenarnya juga tidak kalah pentingnya.
Selain itu, citra wanita dalam karya sastra juga sering ditampilkan sebagai
manusia kelas dua.
Demikian pula –dengan beberapa
pengecualian misalnya yang dilakukan oleh Korrie Layun Rampan (1997), Tuti
Heraty (1998), dan Sugihastuti, 2000)—masih jarang kritikus sastra mengkaji
secara khusus karya-karya perempuan, suara-suara mereka, pikiran, perasaan, dan
jeritan serta ideologi mereka yang selama ini tersubordinasi kaum laki-laki.
Benarlah pandangan Djajanegara (2000: 17-18), bahwa baik kanon sastra
tradisional maupun pandangan tentang manusia dalam karya sastra pada umumnya
mencerminkan ketimpangan yang meminggirkan peran kaum perempuan. Sehingga,
ideologi gender dalam sastra terkesampingkan atau kurang diperhatikan oleh para
kritikus sastra dunia kaum laki-laki.
Sejalan dengan itu, jika
dicermati sebenarnya parsangka gender telah lama diungkapkan oleh para
sastrawan kita setidak-tidaknya mulai zaman Balai Pustaka. Bahkan, jika ditarik
mundur lagi, prasangka gender telah muncul pada karya-karya sastra klasik
(Abdulhadi W.M,, 2001). Meskipun istilah prasangka gender belum popuker bahkan
belum ada pada zaman Balai Pustaka (dekade 1920-an), namun beberapa sastrawan
kita telah memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap prasangka gender.
Demikian pula pada zaman Pujangga Baru, prasangka gender terasa lebih menguat
lagi, dan mencapai pincaknya pada dekade 1990-an.
Paparan di atas menunjukkan,
bahwa sosok perempuan dalam karya sastra Indonesia tampil dengan pluralitas
budaya dan makna yang kaya nuansa. Sejalan dengan mencuatnya issu gender dan
eksisnya kaum wanita pada abad XXI seperti diprediksikan oleh futurolog
Naisbitt & Aburdence (1990), citra dan stereotip perempuan dalam sastra
Indonesia pun mengalami dinamika yang luar biasa unik dan menarik. Unik, karena
citra keperempuanan berperspektif gender dalam sastra itu terlihat sangat
variatif dari segi ideologisnya. Menarik, karena dunia keperempuanan dalam
karya sastra justru digugat dengan keberanian luar biasa dan blak-blakan oleh
pengarang wanita.
Dalam kajian sastra Indonesia,
studi tentang perempuan terasa makin banyak dilakukan dengan diterapkannya
kritik sastra feminis yang mula-mula berkembang di Amerika pada beberapa dekade
yang lalu. Kritik sastra feminis yang merupakan wujud gugatan dari kaum
perempuan atas termarginalisasinya para pengarang wanita, kini semakian
memperoleh tempatnya. Demikian pula dalam kajian dekonstruksi citra
keperempuanan dalam sastra Indonesia ini, kritik sasrtra feminis akan dipakai
sebagai pisau analisisnya.
Permasalahannya adalah
bagaimana dinamika prasangka gender dalam sastra Indonesia. Lalu, bagaimana
citra perempuan dalam sastra Indonesia dalam perspektif gender, dan bagaimana
tipologi suara pengarang laki-laki dan perempuan dalam menyoroti sosok
perempuan?
Pendekatan Kritik Sastra Feminis dan Dekonstruksi
Kritik sastra feminis
merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respons
atas berkembangnya feminisme di berbagai negara. Feminisme adalah gerakan kaum
perempuan yang menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, yang
meliputi semua aspek kehidupan baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial
budaya (Djajanegara, 1995: 16). Jika perempuan sederajat dengan laki-laki, maka
mereka memiliki hak untuk menentukan dirinya sendiri, seperti halnya kaum
laki-laki selama ini. Inilah yang disebut oleh Ihromi (1995: 441). Jadi,
feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau
kebebasan menentukan dirinya sendiri (Sugihastuti, 2002: 61).
Feminisme bukan merupakan
upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti
institusi rumah tangga dan perkawinan,
ataupun upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainakan lebih sebagai
upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 1997:
78-79). Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan
sistem dan struktur sosial yang tidak adil menunju keadilan bagi kaum laki-laki
dan perempuan. Adapun sasaran feminisme bukan sekedar masalah gender, melainkan
masalah ‘kemanusiaan’ atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan (Awuy, 1995:
88).
Hal yang tidak dapat
dilepaskan dari kritik sastra feminis adalah jiwa analisisnya, yakni analisis
gender. Dalam analisis gender, kritikus harus dapat membedakan konsep gender
dengan seks (jenis kelamin). Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum
pria dan wanita yang dikonstruksi secara
sosial dan kultural melalui proses panjang Jadi, gender merupakan kontruksi
sosio-kultural yang pada dasarnya merupakan interprertasi kultural atas
perbedaan jenis kelamin (Fakih, 1996: 7-8). Misalnya, bahwa wanita itu dikenal
lemah lembut, cantik, sering mengedepankan perasaan (emosional), pemalu, setia,
dan keibuan. Sedangkan pria dianggap kuat, gagah, sering mengedepankan akal
(rasional), agresif, tidak setia, jantan dan perkasa. Jadi, gender menurut
Oakley (dalam Fakih,1997: 71-72) merupakan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan biologis dan kodrat Tuhan. Oleh karena itu, seperti pandangan Gailey (1987), bahwa dari
kacamata sosiologis, gender tidak bersifat universal. Ia bervariasi dari
masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu, dari tempat
ke tempat, dari kelas ke kelas. Walaupun demikian, ada dua elemen gender yang
bersifat universal, yakni: (1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin, dan
(2) Gender merupakan dasar dari
pembagian kerja di semua masyarakat.
Ada banyak ragam kritik sastra
feminis, antara lain: (1) kritik ideologis, (2) kritik yang mengkaji penulis-penulis
wanita, (3) Kritik sastra sosial atau Marxis, (4) Kritik sastra
feminis-psikoanalitik, (5) Kritik sastra feminis-lesbian, (6) Kritik sastra
feminis-ras (etnik). Sesuai dengan tujuan kajian ini dan mengingat berbagai
keterbatasan, yang akan diterapkan adalah kritik sastra feminis ideologis dalam
arti yang lebih longgar yang akan diterapkan dalam kajian ini. Artinya, kritik
ideologis melibatkan pembaca wanita dan menyoroti citra dan stereotipe wanita
dalam karya sastra, namun dapat saja kritik ideologis dilakukan oleh pembaca
pria. Dalam hal ini, kajian akan memusatkan perhatiannya pada citra dan
stereotipe wanita dalam karya sastra Indonesia dari zaman Balai Pustaka
(1920-an) sampai dengan zaman global (Angkatan 2000).
Dalam teks sastra, karena
sudah menyerap nilai-nilai patriarkal, mungkin saja pengarang wanita
menciptakan tokoh-tokoh wanita dengan stereotipe yang memenuhi atau tidak
memenuhi norma masyarakat patriarkal. Namun, dalam karya-karya pengarang pria
dapat juga menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justru
mendukung nilai-nilai feminis. Misalnya, tokoh wanita dilukiskan aktif dalam
kehidupan masyarakat, cerdas, intelek, progresif, berani, lincah, dan
mandiri.
Novel sebagai sebuah cerita
jika dipertentangkan dengan alur mengacu pada peristiwa-peristiwa dalam urutan
yang kronologis. Pengertian ini sejalan dengan pengertian diegesis. Dalam teori semiotik, cerita atau
diagesis ini merupakan sebuah produk
yang dihasilkan oleh pembaca dengan berlandasrkan pada tanda-tanda yang terdapatdi dalam teks meskipun tidak
pernah dapat sepenuhnya dikendalkan oleh tanda-tanda tersebut (Budiman, 1999:
15).
Seperti halnya mimesis,
diegesis merupakan aspek-aspek dari tindakan-tindakan atau peristiwa-peristiwa.
Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa mimesis adalah hal-hal yang
ditunjukkan atau diperagakan, sedangkan diegesis adalah hal-hal yang dikisahkan
atai dilaporkan. Jadi, diegesis adalah sebuah sekuens tindakan-tiondakan atau
peristiwa-peristiwa di dalam teks naratif yang dfapat dipahami oleh pembaca
(Budiman, 1999: 24).
Teori dekonstruksi diterapkan
pula dalam kajian ini. Dekonstruksi adalah metode pembacaan teks secara teliti,
yakni dengan menginterogasi teks, merusaknya melalui pertahannya, dan mencari
oposisi biner yang tertulis dalam teks (Sarup, 1993: 50). Adapaun oposisi biner
di sini mengacu pada suatu pasngan kata-kata yang saling beroposisi antara satu
dengan lainnya yang bersifat hirarkis yang hirarkisnya itu bersifat
kondisional. Dikatakan kondisional karena dalam pandangan post-strukturalisme
bahasa dipandang sebagai tidak stabil, dapat berubah-ubah setiap saat. Berbeda
halnya dengan oposisi biner dalam strukturalisme yangoposisi-oposisinya
dibayangkan bersifat atetap dan setara.
Dalam praktiknya, dekonstruksi
meliputi pembalikan dan pemindahan (Sarup, 1993: 51). Dalam langkah pembalikan,
oposisi-oposisi hirarkis dirobohkan. Dalam fase berikutnya, pembalikan ini
harus diopindahkan, istilah lainnya ‘di bawah penghapusan’ (sous rature). Teks yang dibaca secara dekoinstruksi
akan terlihat acuannya melampaui dirinya sendiri, referen itupada akhirnya
dapatmenjadi teks lain. Seperti halnya tanda hanya dapat mengacu pada
tanda-tanda lain, teks juga hanya dapat mengacu pada teks lain, penyebab suatu
jaringan yang dapat dikembangkan untuk waktu yang tidak terbatas, suatu
intertekstualitas (Sarup, 1993: 52; lihat Pujiharto, 2001: 7).
Setelah dilakukan pembacaan
secara teliti, di dalam berbagai karya sastra Indonesia ditemukan
oposisi-oposisi biner seperti: oposisi antara judul dan cerita; oposisi antara
fiksi dan fakta; oposisi antara fiksi dan sains, oposisi antara kartya sastra
satu dengan lainnya, dan lain-lain. Namun, sesuai dengan tujuan kajian
ini, dalam tulisan ini hanya akan dikaji
oposisi antara karya sastra satu dengan karya sastra lainnya.
Dekonstruksi Citra Keperempuanan dalam Sastra
Indonesia
Dengan menggunakan pendekatan
kritik sastra feminis ideologis dan teori dekonstruksi, maka ditemukan bahwa
nuansa gender telah lama disoroti oleh para sastrawan kita, setidak-tidaknya
dimulai pada dekade 1920-an yakni pada zaman Balai Pustaka dengan novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Seperti
diketahui bahwa novel Sitti Nurbaya
mengungkapkan masalah pertentangan adat antara kaum tua dengan kaum muda serta
masalah kekerasan dan penindasan atas orang-orang tak berdaya. Masalah-masalah
tersebut saling bergayut satu dengan lainnya dan jika ditinjau dengan
perspektif feminisme, maka hal itu menyaran pada masalah bernuansa gender dan
sekaligus mendorong timbulnya emansipasi kaum perempuan.
Pada masyarakat zaman Sitti
Nurbaya (1920-an) yang patrilineal, yang dipandang kodrat perempuan–selain
mengandung dan menyusui anak--adalah tugas mengurus rumah tangga (seperti memasak, mencuci pakaian,
membersihkan rumah, dan lain-lain), mengasuh
anak (merawat, membesarkan, dan mendidik), dan melayani (kebutuhan) suami
termasuk kebutuhan seks (hlm. 204-205). Dalam bahasa populer aktivitas
perempuan seperti itu hanyalah pada sektor domestik yang aktivitasnya berkutat
‘dari dapur ke sumur, dan dari sumur ke kasur’, begitu seterusnya. Dalam budaya
Jawa tugas atau aktivitas perempuan domestik itu terkenal dengan ungkapan masak, macak, lan manak (‘memasak,
berdandan/ berhias diri, dan melahirkan anak’). Dalam Sitti Nurbaya, perempuan
tidak boleh bekerja di sektor publik (di luar rumah). Sebaliknya laki-laki
tidak dibenarkan turut campur tangan dalam pekerjasan domestik (di dalam rumah
tangga), sebab laki-laki memiliki aktivitas dan tugas di sektor publik.
Sitti Nurbaya menjadi korban
kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki baik di dalam maupun di luar rumah. Di
rumah ia terpaksa melayani laki-laki yang tidak dicintainya, Datuk Maringgih
(hlm. 145). Di luar rumah ia menjadi korban pelecehan seksual oleh awak
kapal dan korban fitnah bekas suaminya (hlm.
180-182). Kekerasan seksual yang dilakukan oleh Datuk Maringgih dan awak kapal
merupakan kekerasan akibat superioritas laki-laki atas perempuan. Berbagai
tindak pelecehan seksual dan perkosaan terjadi, menurut Diarsi (1992: 62)
karena adanya anggapan bahwa identitasa dan seksualitas perepmpuan terletak
pada pihak yang harus dikuasai, ditundukkan, dan diperdayakan.
Sitti Nurabaya merupakan tokoh
profeminis yang memprotes ketidakadilan gender yang telah mendarah daging.
Meskipun ide keperempuanannya tidak radikal, Sitti Nurbaya telah mampu
membangkitkan semangat gender bagi kaum perempuan yang tertindas pada zamannya.
Tokoh Sitti Nurbaya telah tampil sebagai simbol perempuan yang ingin membenahi
sistem hubungan laki-laki dan perempuan sebagaimana mestinya. Misalnya,
kebebasan kaum perempuan dalam memilih jodoh dan/atau menentukan calon suami,
melakukan aktivitas di luar rumah, dan lain-lain.
Citra perempuan dalam sastra
Indonesia semakin berkembang dinamis pada periode Pujangga Baru ketika St.
Takdir Alisyahbana menulis novel Layar
Terkembang. Novel ini tampaknya mendekonstruksi tokoh Sitti Nurbaya yang
yang ditampilkan Marah Rusli sebagai makhluk yang dengan berbagai acara ditekan
oleh kekuatan di sekelilingnya. Sitti Nurbaya merupakan tokoh korban kekerasan.
Dalam novel Layar Terkembang Tutik menyuarakan kaum
perempuan yang mencoba menyejajarkan dirinya dengan kaum laki-laki dalam
aktivitas di sektor publik, meskipun masih terbatas oleh hegemoni laki-laki.
Tutik ditampilkan sebagai sosok perempuan yang terpelajar (intelek), mahasiswa
yang aktif dalam berbagai perjuangan untuk memebebaskan kaum perempuan dari
ketertindasan, keterpasungan, dan pembedaan haknya dengan laki-laki. Dia
bergabung dalam organisasi perjuangan atau gerakan Putri Sedar yang berusaha
memeperjuangkan persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki dengan berbagai
aktivitasnya (hlm. 137-138).
Layar Terkembang karya pengarang laki-laki telah berhasil mengangkat sosok perempuan yang
mengangkat panji-panji gender, yang berwawasan jauh ke depan. Sampai-sampai
oleh para kritikus (misalnya Rampan, 1983: 28-29; Damono, dalam Djajanegera,
2000: xi; Sugihastuti, 2001: 232), Tuti
dalam novel tersebut dinyatakan sebagai perempuan yang sikap dan cara hidupnya
‘menembus batas’ pada zamannya ketika ia hidup.
Gagasan keperempuanan yang
progresif dalam novel Layar Terkembang
itu kemudian didekonstruksi oleh Armijn Pane dengan romannya Belenggu. Di sini Tini, seperti halnya
Tuti dalam Layar Terkembang,
ditampilkan sebagai tokoh perempuan dengan membawa panji-panji gender dan sama
sekali tidak terhegemoni oleh laki-laki. Ia mampu tampil membawa diri sebagai
sosok perempuan yang sama sekali di luar bayangan kaum perempuan pada zaman
itu.
Dengan kata lain, Tini dalam
novel Belenggu memutarbalikkan citra
perempuan pada zaman itu. Jika Tono, suaminya, banyak kegiatan dan bekerja di
luar rumah dengan profesinya sebagai dokter, Tini pun banyak melakukan
aktivitas di bidang sosial denghan memimpin organisasi sosial kemasyarakatan.
Suatu keberanian yang luar biasa dari seorang Armijn Pane pada zamannya (hlm.
148-152; 154-156) . Sehingga, dalam konteks ini Damono (dalam Djajanegera, 2000:
xi) menyebut tokoh Tini dalam Belenggu,
demikian juga Sitti Nurbaya dalam Sitti
Nurbaya, Tuti dalam Layar Terkembang,
sebagai “perempuan-perempuan perkasa” (meminjam istilah Hartoyo Andangdjaja
dalam sebuah sajaknya) yang berpikiran maju, jauh lebih maju daripada
tokoh-tokoh laki-laki di sekitar mereka, yang berusaha menjawab
berbagaipersoalan yang muncul sebagai akibat dari apa yang kemudian kita kenal
sebagai modernisasi.
Belenggu –dan sebenarnya juga Layar
Terkembang—menampuilkan tokoh-tokoh perempuan yang menghadapi dan menjawab
persoalan-persoalan universal tentang hubungan antarmanusia baik sebagai warga
masyarakat mauoun sebagai individu. Tokoh-tokoh perempuan tersebut
mengedepankan upaya ‘pembebasan’ kaum perempuan dari intervensi masalah adat,
tradisi, agama, moral, dan konvensio-konvensi lainnya. Tokoh-tokoh itu
ditampilkan sebagai pribadi manusia secara utuh menurut eksistensi asasinya
tanpa kehilangan kodratnya untuk memilih dan melakukan sesuatu yang disukainya.
Sehingga, tokoh-tokoh dalam novel ini terasa inkonvensional pada zamannya.
Bahkan, masyarakat belum siap menerima tokoh-tokoh perempuan dengan
pribadipribadi semacam itu.
Karya sastra yang
‘mendendangkan’ suara perempuan kemudian tidak terdengar begitu lantang dan
tampaknya mengalami kelesuan pada zaman Angkatan 1945. Barangkali hal ini
akibat situasi sosial politik pada masa itu dengan pecahnya revolusi
kemerdekaan. Sehingga, karya-karya sastra Indonesia yang lahir pada zaman itu
banyak mengangkat nuansa-nuansa sosial politik yang sedang berkembang pada masa
itu.
Baru pada tahun 1975 terbitlah
Sri Sumarah karya Umar Kayam yang
menyoroti sosok perempuan Jawa yang “sumarah”,
bekti (berbakti) dan setia kepada
suami (alm.), sabar, serba pasrah atas apa yang terjadi dalam dirinya. Namun,
akhirnya Sri, tokoh cerita ini, ‘memberontak’ juga terhadap kemapanan moral
wanita dan etika sosial –terlebih moral dan budaya masyarakat Jawa waktu itu--,
ketika bertemu dengan pemuda pelanggannya. Pemuda atau tepatnya laki-laki muda
yang tampan, bertubuh kuat, dan berperangai halus, telah meruntuhkan benteng
pertahanannya sebagai wanita Jawa sejati yang ‘sumarah’ (hlm. 95-100).
Sri, ditampilkan sebagai
perempuan Jawa yang semula memiliki kepribadian sebagaimana layaknya perempuan
Jawa sejati, akhirnya ‘memberontak’ dan ‘menerjang’ pagar-pagar adat dan moral
wanita Jawa yang selama itu digenggamnya sebagai falsafah dan pegangan hidup.
Umar Kayam telah berhasil menampilkan sosok wanita Jawa asli yang akhirnya toh harus menemui
kenyataan bahwa dirinya tidak mampu melawan panggilan hati dan suara-suara dari
dalam yang bersifat manusiawi, meskipun harus menerjang moral dan adat Jawa,
terlebih agama.
Senada dengan Sri Sumarah, pada tahun 1981 muncullah Pengakuan Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, sebuah prosa liris karya Linus Suryadi AG. Dalam karya ini,
tokoh Pariyem, seperti subjudulnya, ditampilkan sebagai wanita pembantu rumah
tangga yang mencerminkan sosok wanita yang benar-benar memiliki kepribadian
wanita Jawa yang menjadi abdi dalem keluarga bangsawan Kanjeng Cokro Sentono di
nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarto yang terhormat. Lugu, kurang terpelajar,
sederhana, patuh, setia mengabdi, namun memiliki kepribadian yang cukup menarik
justru karena keluguannya itu, di samping tubuhnya yang sintal dan wajah yang
menarik.
Ia pasrah terhadap kemauan Den
Baguse, pemuda belia, anak sulung majikannya, ketika pemuda belia yang belum
pengalaman itu sering merayunya, bahkan kemudian menggaulinya (hlm. 135-139).
Dengan suka rela dia melayani gairah Den Baguse dan dia pun menikmatinya.
Namun, terkadang dia yang mengambil inisiatif dengan menggoda Den Baguse, jika
dia merasa gatal ketagihan (140-143).
Di balik kepasrahan dan
kerelaan Iyem kepada Den Baguse, sebenarnya Iyem yang kelihatannya tak berdaya
itu ‘memberontak’ kemapanan adat dan moral sosialnya. Iyem, dengan pengaruh dan
bantuan Sokidi Kliwon, kekasihnya, yang
sudah membawa nilai-nilai hidup Metropolitan telah ditampilkan oleh Linus
Suryadi A.G. sebagai wanita Jawa yang
berani melawan arus adat dan tradisi masyarakatnya, yang memegang teguh
susila. Bahkan, Iyem merupakan simbol wanita Jawa lugu dan tak terpelajar namun
memiliki pengalaman yang cukup ‘canggih’ dalam hal hubungan seks dan mampu
‘menaklukkan’ Den Baguse (76-78).
Iyem juga ditampilkan
sebagai tokoh babu yang lugu dan tak
terpelajar namun sudah pintar dalam
masalah hubungan seks untuk ‘mengolok-olok’ dan ‘mencibir’ para bangsawan yang
dipandang sebagai ‘lelaki mata keranjang, lelaki hidung belang, asal bathuk klimis dimakan’, tanpa pandang
siapa pun “dilahapnya”, namun sama sekali ‘tak berpengalaman’ dalam masalah
seks (136-138). Di sini tokoh Iyem dengan sinis ‘menggugat’ dan menjungkirbalikkan
nilai-nilai kehormatan keluarga bangsawan (Ngayogyakarta dan lain-lain) yang
semestinya terpandang sebagai priyayi terhormat, termasuk dalam hal moral dan
susila (hubungan seks).
Ternyata Pariyem yang tak
berdaya itu juga ‘memprotes’ perlakuan majikannya itu dengan ‘menyerahkan
keperawanannya’ lebih dulu kepada Mas Sokidi Kliwon ‘dhemenan’ atau pacarnya, sebelum kepada anak majikannya itu (hlm.
65-70), dan anak majikannya yang priyayi dan terpelajar itu tidak
mengetahuinya. Penyerahan keperawanannya kepada Kliwon dan beberapa kali
perselingkuhan ‘dhemenan’-nya dengan Kliwon dapat dipandang sebagai bentuk
“pemberontakan” Iyem terhadap kekuatan hegemoni laki-laki yang menjadi anak
majikannya.
Di satu sisi secara gamblang
Linus Suryadi menyoroti ketidakadilan gender sekaligus dunia batin seorang
wanita Jawa, yang pada masa sekarang masih ‘tersisa’ di sebagian masyarakat
Jawa. Tidak jauh berbeda dengan dua karya itu, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan triloginya (Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala) juga menggugat bias
gender dalam budaya keperempuanan dalam balutan budaya lokal. Jika Iyem
menyerahkan ‘keperawanannya’ kepada Kliwon pacara ‘dhemenannya’ atau teman berselingkuhnya sebelum digauli Den Baguse,
maka Srintil menyerahkan ‘keperawanannya’ kepada Rasus sang pacar, kekasih yang
dicintainya, sebelum Srintil harus mengikuti upacara ‘bukak klambu’ (membuka klambu). ‘Bukak klambu’ merupakan sebuah upacara ritual untuk memperebutkan
‘keperawanan’ sang calon ronggeng (Srintil) dengan sejumlah uang dan untuk
mengukuhkan dirinya sebagai seorang ronggeng.
Sebagai ronggeng, tokoh
Srintil tampil sebagai perempuan yang berani memberontak terhadap tradisi dunia
Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam halini,
meskipun dalam tradisi seorang ronggeng tidak dibenarkan mengiukatkan diri
dengan seorang lelaki, ternyata Srintil tak dapat melupakan Rasus, kekasihnya.
Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak. Srintil tidak
dapat menerima keadaan ini dan memberontak dengan caranya sendiri. Dia tegar
dan berani melkengkahi ketentuan-ketentuan yang telah lama mengakar dalam dunia
peronggengan, terutama dalam masalah hubungan antara seorang ronggeng dengan
dukunnya.
Ketika menjelang usia dua
puluh, kesejatian diri Srintil mulai teguh. Dia bermartabat, tidak lapar
seperti kebanyakan orang Dukuh Paruk, dan menampik laki-laki yang tidak
disukainya. Sesuatu yang di luar tradisi dunia peronggengan, sebab tradisi di
dunia peronggengan memandang ronggeng sebagai ‘milik bersama’ siapa pun lelaki
yang sanggup membayarnya. Hal inilah yang diberontak oleh Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk dan triloginya.
Sebuah dekonstruksi suara keperempuanan yang sungguh berani pada
lingkungannya.
aik tokoh Sri dalam Sri Sumarah, Iyem dalam Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita Jawa maupun Srintil dalam trilogi
karya Ahmad Tohari, kesemuanya mengusung
panji-panji gender meskipun dengan halus, namun terasa tajam mengiris, dan
ironis.
Cita dan citra perempuan Indonesia
dalam sastra kemudian meningkat tajam pada kumpulan puisi Wanita Penyair Indonesia yang disunting oleh Rampan (1997). Pada
kumpulan puisi karya tiga puluh wanita penyair ini terlihat sekali gagasan
penyetaraan gender seperti terlihat dalam “Aku Hadir” karya Abidah El-Khalieqy,
dalam “Perjalanan Para Lelaki” karya Oka Rusmini, dan lain-lain. Perhatikan sajak “Aku Hadir” karya Abidah
El-Khalieqy berikut:
Membara tanganku mengenggam pusaka, suara diam
Menyaksikan pertempuran memperanakkan tahta
Raja-raja memecahkan wajah, silsilah kekuasaan
Menabur lahar berapi di bukit sunyi
membentangklan
impiandi ladang-ladang mati
musik
gelisah dari kerak bumi
membawa kemudi
panji matahari
Aku perempuan yang kembali
Dan berkemas pergi
Suara keperempuanan berbalik
sangat tajam pada novel fenomenal Saman
(1998) dan Larung (2001) karya Ayu
Utami seiring dengan era reformasi di Indonesia. Pada Saman, Ayu Utami lewat tokoh-tokoh ceritanya seperti Cok, Yasmin,
Sakuntala, dan Laila, secara blak-blakan memprotes perlakuan deskriminatif atas
kaum perempuan baik dalam hubungan lelaki dan perempuan maupun dalam masalah
seks. Pandangan stereotip yang menempatkan perempuan sebagai subordinat
laki-laki digugatnya. Bahkan, gugatan ‘lantang’ itu sering dipandang ‘menembus
batas’ etika Timur atau dianggap kebablasan oleh sebagian orang. Sepenggal cerita dari Saman karya Ayu Utami berikut memperlihatkan hal itu:
Tubuhku menari. Sebab menari
adalah eksplorasi yang tak habis-habis dengan kulit dan tulang-tulangku, yang
dengannya aku rasakan perih, ngilu, gigil, juga nyaman. . Dan kelak ajal.
Tubuhku menari. Ia menuruti bukan nafsu
melainkan gairah. Yang sublim. Libinal. Labirin (hlm. 115-116).
Di sini dikota ini, malam hari
ia mengikatku pada tempat tidur dan memberi aku dua pelajaran pertamaku tentang
cinta. Inilah wejangannya. Pertama, hanya lelaki yang boleh menghampiri
perempuan. Perempuan yang memngejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua.
Perempuan akan memberikan tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan
menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak, ketika aku
dewasa, aku menganggapnya persundalan yang hipokrit (hlm. 120-121).
Dibandingkan dengan
karya-karya sastra Indonesia sebelumnya, Saman
dapart dikatakan mendekonstruksi terhadap karya sastra yang ada selama ini
dalam menampilkan bias gender, mendobrak dominasi lelaki atas perempuan.
Terlebih pada Larung karya
lanjutannya, nuansa feminisme global terasa sekali mendominasi cerita. Justru
melalui tokoh-tokoh perempuannya yakni Cok, Sakuntala, Yasmin, dan Laila, masalah seks yang selama ini dalam masyarakat
“seolah-olah” menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka
–bahkan dalam karya sastra sekali pun--,
dalam Larung diperbincangkan
dengan bebas, gamblang, dan lugas, tanpa
terkesan seronok dengan eksploitasi bahasa yang luar biasa memikat.
Bagaimanapun, Saman (1998) kemudian disusul Larung (2001) karya Ayu Tami dapat
dikatakan sebagai karya sastra Indonesia pertama yang berani mendobrak tradisi
keperempuanan Indonesia dalam menggugat bias gender. Bahkan, Saman dan Larung mungkin tak berlebihan jika dikatakan mendobrak gaya
bercerita yang demikian lugas, terbuka, dan gamblang, tanpa kehilangan
‘keperempuanannya’. Inilah barangkali
dekonstruksi dan sekaligus rekonstruksi yang dilakukan pengarang atas
keperempuanan kita pada era global. Perempuan era global memperlihatkan adanya.
Empati Pengarang dalam Menyoroti Keperempuanan
dalam Sastra
Dapat dikatakan bahwa
perhatian pengarang baik laki-laki maupun perempuan terhadap masalah
keperempuanan dalam karya sastranya didorong oleh perasaan cinta dan empati
yang besar terhadap dunia keperempuanan Indonesia yang sejak dulu
–setidak-tidaknya sejak zaman Balai Pustaka-- hingga kini masih menjadi
subordinat laki-laki. Namun dapat pula hal itu karena didorong oleh perasaan
prihatin bahkan marah akan dunia keperempuanan yang masih termarghinalisasi
dibanding dunia laki-laki. Realitas kehidupan masyarakat kita yang tak
terbantahkan hingga kini tampaknya masih demikian adanya. Yang pasti, seiring
dengan perkembangan nilai-nilai kehidupan yang sejak dulu masioh berpihak
kepada dunia laki-laki, sehingga kaum perempuan belum banyak berkesempatan
untuk mengaktualisasikan diri, maka pada masa-masa awal kuantitas pengarang
laki-laki lebih banyak daripada pengarang perempuan. Mulai dekade 1970-an
–sebagai hasil kemerdekaan Republik Indonesia pasca 1950-an dan kaum perempuan
mulai bebas mengenyam pendidikan—maka mulai bermunculan pengarang-pengarang
perempuan yang berkiprah dalam mencipta karya sastra.
Dari segi pengarangnya, pada
masa-masa awal pertumbuhan sastra Indonesia, terlihat bahwa justru pengarang
prialah yang banyak menyuarakan keperempuanan seperti tampak pada Marah Rusli (Sitti Nurbaya, 1920-an), St. Takdir
Alisyahbana (Layar Terkembang,
1930-an), Armijn Pane (Belenggu,
1930-an), kemudian Umar Kayam (Sri
Sumarah dan Bawuk, 1975), Linus Suryadi A.G. (PengakuanPariyem Dunia Batin Seorang
Wanita Jawa, 1981), Ahmad Tohari (Ronggeng
Dukuh Paruk, 1981; Lintang Kemukus
Dini Hari, 1983; dan Jentera
Bianglala, 1984). Memang ada beberapa pengarang wanita yang juga menyoroti
keperempuanan pada dekade 1970-an namun jumnlahnya relatif sedikit. Misalnya:
Nh. Dini dalam Pada Sebuah Kapal,
Marga T. dalam Karmila, kemudian
Aryanti dalam Selembut Bunga. Tenrtu
masih banyak pengarang perempuan yang lain yang belum terseleksi dalam tulisan
ini, mengingat berbagai keterbatasan.
Pada dekade 1990-an muncul
tiga puluh wanita penyair Indonesia (1997) dan novelis Ayu Utami dalam Saman, disusul Larung (2001). Oleh Rampan (2000) Ayu Utami disebut-sebut sebagai
salah satu pelopor Angkatan 2000 Sastrawan Indoensia yang sangat penting karena
karyanya yang fenomenal.
Penutup
Berdasarkan analisis di atas
dapat dikemukakan, bahwa citra keperempuanan dalam sastra Indonesia
setidak-tidaknya dapat diklasifikasi
menjadi empat macam sebagai berikut: (1) Merombak sistem hubungan laki-laki
dan perempuan agar harmonis, dalam menentukan pilihan hati seperti dalam Sitti Nurbaya pada zaman Balai Pustaka;
(2) Memprotes ketidakadilan gender dalam melakukan aktivitas di sektor publik
seperti yang diwakili Layar Terkembang
dan Belenggu pada zaman Pujangga
Baru; (3) Menggugat ketidakadilan gender dalam budaya lokal (Jawa) yang
menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, yang diwakili Sri Sumarah, Pengakuan Pariyem, dan Ronggeng Dukuh Paruk beserta triloginya pada dekade 1970 hingga
1980-an; dan (4) Suara keperempuanan global yang menggugat deskriminasi
perempuan dan laki-laki serta merupakan dekonstruksi dan rekonstruksi atas
nilai-nilai tradisi dunia perempuan, yang diwakili oleh kumpulan puisi Wanita Penyair Indonesia, Saman dan Larung pada akhir dekade 1990-an
(Angkatan 2000).
Dari segi pengarangnya,
terlihat bahwa justru sastrawan prialah yang banyak menyuarakan keperempuanan
seperti tampak pada Marah Rusli, St. Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, kemudian
Umar Kayam, Linus Suryadi. Baru pada dekade 1990-an muncul tiga puluh wanita
penyair Indonesia dan novelis Ayu Utami.
Dari nuansa keperempuanan yang
digarap, pengarang pria banyak menyoroti ketidakadilan gender terutama dalam
sistem hubungan laki-laki dan perempuan, lalu kebebasan beraktivitas dalam
sektor publik, nilai budaya lokal yang sangat deskriminatif atas perempuan.
Adapun pengarang wanita selain menyoroti bias gender dalam hubungan laki-laki
dan perempuan, juga ‘keberanian’ luar biasa dalam menggugat, mendekonstruksi dan
merekonstruksi dunia keperempuanan sendiri, yang terkadang dipandang kebablasan
oleh sebagian kaum perempuan sendiri.
Alisyahbana, St. Takdir.1975. Layar Terkembang. Jakarta: Balai
Pustaka.
Budiman, Kris. 1992.
“Subordinasi Perempuan dalam Bahasa Indonesia” dalam Susanto,
Budi dkk. (Ed.). Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa).
Yogyakarta: Kanisius.
Djajanegara, Soenarjati. 2000.
Kritik Sastra Feminis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka
Utama.
Kayam, Umar. 1975. Sri Sumarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Pane, Armijn. 1982. Belenggu. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Pujiharto. 2001. “Analisis
Dekonstruksi Cerpen Rembulan Terapung di Kolam Renang”.
Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia XXIII, 9-10
Oktober 2001 di Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Rampan, Korrie Layun. 1983. Perjalanan Sastra Indonesia. Jakarta:
Gunung Jati.
__________________. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia Widyasarana Indonesia.
Sarup, Madan. 1993. An Introductory Guide to Post-Structuralism
and Postmodernism.
Athens: The University of
Georgia Press.
Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sugihastuti dan Suharto. 2002.
Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir Sebuah Kritik.
Yogyakarta: Nur
Cahaya.
Suryadi AG, Linus. 1981. Pengakuan Pariyem Dunia Batin Seorang Wanita
Jawa.
Jakarta: Sinar Harapan.
Tohari, Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia.
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di Universitas
Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar