OLEH Reni Nuryanti
Universitas
Samudra
Aceh
Tulisan ini membahas relasi antara: perempuan,
seks, dan perang dalam pergolakan PRRI (1958-1961). Selama kurun tiga tahun
pergolakan di Sumatera Barat, perempuan Minangkabau dihadapkan pada situasi
dilematis. Dalam situasi rumit, sebagian perempuan ikut menjadi korban. Beragam
kepentingan atas nama PRRI, menjadi tragedi tersendiri. Mereka mengalami
intmidasi dari dua arah: pasukan PRRI dan APRI. Pada akhirnya, PRRI membawa
perempuan dalam dua kelompok: mereka yang eksis dan tenggelam dalam konflik.
Mereka yang eksis, menginduk ke organisasi politik atau mengikuti suami
bergerilya dalam barisan PRRI. Sementara yang tenggelam, pasrah dengan situasi.
Perempuan yang kerap dianggap ‘nomor dua’ dalam
sejarah, akan terlihat berbeda jika dilihat dalam pandangan yang bersifat
komplementer. Dalam perang misalnya, sebenarnya peran perempuan bagi laki-laki
tidak hanya terlihat dalam relasi politik-militer, tetapi juga psikologi dan
sosial. Seks misalnya, adalah media yang menghubungkan peran perempuan terhadap
laki-laki.
Perang yang menimbulkan kekerasan, secara
psikologis mengakibatkan ketegangan psikis sebagai pengaruh kontraksi antara
kegelisahan dan ketakutan. Laki-laki yang terlibat perang, baik di garis
politik maupun militer, adalah subjek yang paling merasakan ketakutan. Dalam
tahap akut, ketegangan ini akan memuncak tensinya dan menyebabkan ‘sakit.’ Rasa
sakit ini salah satunya hanya dapat direduksi dengan seks. Secara psikologis,
seks bukan hanya memberi nuansa kesenangan fisik, tetapi juga ketenangan batin.
Relasi seks inilah yang secara langsung melibatkan perempuan. Dengan demikian,
keterlibatan perempuan dalam sejarah tidak hanya dilihat dalam lingkup makro,
tetapi secara detil dalam perang yang memunculkan mikrohistori. Artikel ini diturunkan dalam tiga tulisan.
Laki-laki dan Perempuan
Laki-laki tidak memungkiri bahwa perempuan adalah kekuatan. Pesona
menggetarkan bernama: kematangan emosi dan keagungan spiritual adalah energi
yang menguatkan perjuangan. Umar bin Khatab misalnya membahasakan, “Jadilah engkau singa garang di padang pasir
pada siang hari dan jadilah bayi di pangkuan istrimu pada malam hari.”
Perempuan adalah daya psikohistoris yang melahirkan para pahlawan.
Hamka, lewat kendaraan sastra menggambarkan, “Kedudukan perempuan ibarat tempat kapal bertambat—ialah hati yang
terkadang rapuh oleh deburan ombak kehidupan. Pada perempuanlah hati yang
bergolak kembali menepi dalam buaian ketenangan.”[1] Tidak
ketinggalan, Anis Matta juga menulis, “Ini
bukan ketergantungan, tapi kebutuhan yang tak dapat digantikan.”[2]
Pilihan perempuan untuk mengabdi kepada laki-laki, dengan
demikian bukan menjadi sebuah kekalahan, tapi kemenangan sejati. Perempuan tidak
harus menjadi laki-laki untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan memanfaatkan
dimensi kefeminitasannya, mereka akan mendapatkan kekuasaan di mata laki-laki[3].
Orang-orang besar dalam sejarah, menyerap energi kekuatan
dari perempuan. Lihat misalnya Nabi Muhammad yang bersimbah dukungan dari
Khadijah. Kehilangan Khadijah menjadi momentum kesedihan yang membuatnya
berhijrah. Muhammad mengatakan:
“...Demi Allah, aku
tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang
beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku ketika semua
orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta ketika semua orang enggan memberi.
Dan darinya aku memperoleh keturunan yang tidak kuperoleh dari istri-istriku
yang lain.”[4]
Besarnya pengaruh perempuan juga tampak dalam suasana perang.
Situasi penuh ketakutan, adalah ‘lahan subur’ masuknya perempuan. Cinta yang
lahir dalam pertautan seks, adalah obat paling ampuh untuk menurunkan
ketegangan[5].
Dari sinilah, muncul ‘gugatan’ bahwa tidak selamanya laki-laki adalah pejuang,
sementara perempuan menjadi pecundang. Tidak salah jika Elisabeth Badinter
menulis, “Dalam perang perempuan terlihat
lebih jantan, sementara laki-laki menjadi lebih feminin.”[6] Badinter
menekankan bahwa perempuan, terutama yang sudah menjadi ibu, tidak hanya
berpikir keselamatan diri dan suami, tetapi juga anak yang secara fisik
bertautan dengannya.
Perang yang mengikutsertakan kekerasan, kerap menggilas ketenangan.
Benar kata Marsana Windhu, “Perang
bagaimanapun selalu membawa kerusakan yang luas dalam kehidupan manusia.”[7] Kebersamaan
dan kehangatan keluarga, mendadak lenyap. Manusia beradu dalam kepentingan. Di
antara mereka ada yang masih menyertakan keluarga dalam menapaki konflik,
sebaliknya tidak sedikit yang meninggalkan. Fenomena ini pula yang terjadi
selama konflik PRRI di Sumatera Barat. Sofyan M. Noor menulis bahwa
pemberontakan PRRI ini termasuk sebagai salah satu perang saudara yang paling
biadab di dunia.[8]
Kekerasan mewarnai serentetan peristiwa yang mengantarkan Minangkabau pada
kekalahan sejarah di tahun 1950-an.
Penulisan mengenai PRRI menurut Audrey Kahin, masih menyisakan ‘rongga kosong’ yang harus
diisi.[9]
Salah satunya adalah kajian mengenai kondisi perempuan pada saat itu. Mereka
adalah saksi mata sekaligus pelaku yang terlibat secara langsung dalam
peristiwa. Apabila muncul opini bahwa PRRI mengguncang mental masyarakat
Sumatera Barat—perempuan pun merasakan hal yang sama.
Tulisan ini akan mengkaji persoalan: bagaimana kondisi
perempuan Minangkabau dalam konflik PRRI serta seperti apa dimensi seks yang
mengikusertakan perempuan mampu memberikan kekuatan bagi laki-laki. Apakah
dalam situasi konflik perempuan selalu menjadi nomor dua atau sebaliknya
seperti kata Pak Kuntowijoyo, melalui penulisan sejarah bercorak androgyneusentris[10],
perempuan muncul dalam dimensi yang khas.
A.
Hidup
di Tengah Konflik PRRI
Perbedaaan peran antara laki-laki dan perempuan
Minangkabau seperti digambarkan Cora Vreede-De Stuers[11],
masih menguat di tahun 1950-an. Tensi politik yang meninggi karena pengaruh
konflik PRRI, menimbulkan nuansa tersendiri bagi kaum perempuan. Iklim pusat
yang diwarnai ketegangan antara golongan: Islam, nasionalis, dan komunis, secara
tidak langsung berpengaruh bagi kehidupan perempuan Minangkabau.
Sebelum konflik memuncak menjadi perang saudara
pada tahun 1958, perempuan Minangkabau hanya merasakan ketegangan sosial. Dari
segi pendidikan misalnya, tidak sedikit yang putus sekolah. Yulinar yang pada
saat itu berusia 18 tahun misalnya, mengalami kondisi itu. Sebelum perang, ia
masih bersekolah agama di Padang. April tahun 1958, dia terpaksa berhenti
sekolah dan pulang ke kampungnya di Sumpur Kudus.[12]
Pada saat konflik makin panas, sebagian
perempuan yang bergabung dalam organisasi, mengindu pada dua poros: Islam dan sosialis-komunis,
yang masing-masing gawangi oleh dua partai: Masyumi dan PKI. Masyumi
menggandeng perempuan ke dalam satu induk organisasi yang bernama Wanita Muslimat Masyumi. Sementara PKI,
mulai mendekati Gerwani. Dua
organisasi ini digiring untuk menyebarkan opini partai.
Wanita
Muslimat Masyumi
misalnya, mengusung tema anti komunis. Mereka kerap mengadakan pengajian untuk para
ibu di surau-surau. Kegiatan ini gencar dilakukan di Bukittinggi yang saat itu masih
berstatus ibukota Sumatera Barat. Dalam kajian itulah, opini antikomunis
disandarkan dengan pandnagan forma bermata agama. Muncul semacam dikotomi Islam
dengan marxisme. Persoalan mengenai penciptaan manusia misalnya, menjadi
pengantar untuk memahami Islam, sekaligus mematahkan materialime historis yang
dibawa Marx. Asma Malin yang saat itu menjadi sekretaris Wanita Muslimat Masyumi misalnya mengatakan:
“Waktu itu, kami
dipahamkan tentang penciptaan manusia. Kalau dalam AlQuran, manusia diciptakan
dari tanah, lain menurut ajaran komunis. Manusia diciptakan secara evolusi dari
kera. Nah inilah bedanya. Kalau Islam dari Saripati tanah, dengan evolusi,
kemudian terciptalah manusia. Tapi ajaran komunis tidak. Siapa yang saat itu
mulai mengikuti ajaran komunis, maka dia tercipta dari beruk. Waktu itu kami
bahkan sempat ditanya guru ngaji, “Kamu mau dicipta dari beruk?”, “Tidak
!”, kami menjawab. “Mau tidak Kamu jadi komunis?”, kami juga bilang,
“Tidak!”[13]
Secara politis,
pertentangan tersebut ditujukan kepada PKI. Partai ini dianggap sudah keluar
dari ide gerakan di tahun 1920-an, yang berhasil mengusik kedudukan Belanda
melalui pemberontakan Silungkang[14].
Pada saat itu, PKI dianggap sebagai pejuang. Akan tetapi tahun 1950-an, partai
ini dicap sudah keluar dari jalur perjuangan.[15]
Sementara itu PKI, tidak
mau kalah. Gerwani mulai gencar didekati. Sebelum pecah perang, Gerwani memang
tidak ‘seagresif’ Muslimat Masyumi.
Kondisi ini berubah pasca perang. Sebaliknya Wanita Muslimat Masyumi yang semula lantang, perlahan-lahan bungkam. Pimpinan Wanita Muslimat Masyumi seperti: Rahmah
el Yunusiah dan Ratnasari, bergabung dengan tokoh Masyumi dan PRRI seperti: M.Natsir,
Syafruddin Prawiranegara, dan lainnya. Mereka lalu pecah karena pemerintah
pusat melancarkan Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Ahmad Yani.
Penyerangan yang
tiba-tiba ke kota Padang pada 17 April, pukul 06.00 pagi dengan persenjataan
lengkap, seketika memporak-porandakan PRRI. Praktis tidak ada perlawanan yang
berarti. Pasukan PRRI berubah arah. Mereka menyingkir ke hutan, meninggalkan
kota Padang. Setelah menggempur Padang, APRI lalu bergerak memasuki Bukittinggi.
Kondisi pada saat itu semakin kacau. Mereka yang dianggap terlibat PRRI, lari
ke hutan untuk melindungi diri.[16]
Pasukan PRRI di bawah
pimpinan Ahmad Husein kocar-kacir. Mereka memlilih bergerilya di sepanjang
hutan Sumatera. Situasi makin kacau saat tentara pusat yang berada dalam
gabungan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), bergerak ke seluruh basis
PRRI yakni: Padang, Padang Panjang, Pariaman, Bukittinggi, Solok, Muara Labuh,
hingga daerah terakhir di Sumpurkudus.
Dalam situasi yang makin
rumit tersebut, sebagian perempuan ikut menjadi korban. Beragam kepentingan
yang bermain atas nama PRRI, menjadi tragedi tersendiri bagi mereka. Mereka
kerap mengalami intmidasi dari dua arah: pasukan PRRI dan APRI. Pada akhirnya, PRRI
membawa perempuan dalam dua kelompok: mereka yang eksis dan tenggelam dalam
konflik. Mereka yang eksis, menginduk ke dalam organisasi politik atau
mengikuti suami bergerilya. Sementara yang tenggelam, pasrah dengan situasi.
Bagian 2
B.
Seks dalam Konflik; Like and Dislike
Secara umum, seks sering dimaknai sebagai puncak
hubungan yang menandai aktivitas fisik. Jersild membahasakan bahwa hubungan seksual adalah
suatu keadaan fisiologik yang menimbulkan kepuasan fisik, yang merupakan respon
dari bentuk perilaku seksual berupa: ciuman, pelukan, dan percumbuan. Secara fisiologis, seks
adalah cara untuk menghilangkan ketegangan fisik setelah muncul dorongan yang
bernama libido. Sedangkan secara psikologis, seks adalah cara menyeimbangkan
mental, sehingga muncul ketenangan jiwa.
Dalam kehidupan rumah tangga, seks adalah
kebutuhan. Pada umumnya, daya seks laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Secara fisik, tiap dua jam laki-laki memproduksi sperma. Ini artinya, mereka
selalu berada dalam posisi ‘aktif’. Kondisi ini berbeda dengan perempuan yang
mengalami masa aktif hanya pada tiga hingga tujuhbelas hari selepas haid.
Secara khusus dalam kondisi perang, seks adalah
problema tersendiri, terutama bagi laki-laki. Perang yang secara psikologis
menimbulkan ketegangan fisik dan psikis, kerap membuat mental terganggu. Kondisi
ini juga yang terjadi pada konflik PRRI. Keberadaan perempuan ternyata berpengaruh
besar. Menurut Rolland Litlewood, dalam situasi perang yang penuh ketegangan,
laki-laki mengalami guncangan mental yang hebat. Ketegangan ini akan memuncak
tensinya dan menyebabkan laki-laki merasa ‘sakit.’ Rasa sakit ini salah satunya
hanya dapat direduksi dengan seks.[17]
Bagi pasukan militer yang telah berkeluarga
misalnya, seks adalah beban tersendiri. Persoalan ini yang terkadang
menimbulkan ‘kecelakaan sejarah’ berwajah kekerasan. Penyekepan, pelecehan,
hingga pemerkosaan adalah kasus yang selalu terjadi dalam tiap situasi perang.
Pada saat
PRRI misalnya, ketiga kasus juga mewarnai. Kekerasan terhadap perempuan
dilakukan oleh dua pihak: APRI dan PRRI. Inilah yang menjadi dilema tersendiri
bagi perempuan Minangkabau. Perang memang mematikan dimensi kemanusiaan. Tidak
ada lagi perbedaan kawan dan lawan. Semua terjebak dalam satu kepentingan:
kemenangan dan kekuasaan. Tidak heran, kekerasan terhadap perempuan marak
terjadi pada masa itu.
Dari pihak APRI misalnya, kekerasan terhadap
perempuan mulai menggejala semenjak kedatangan Divisi Diponegoro[18]
di pertengahan tahun 1958. Divisi Diponegoro dikenal agresif terhadap pasukan
PRRI. Pada 30 Agustus 1958 misalnya, mereka berhasil melancarkan operasi
besar-besaran bernama Operasi Badai yang meliputi daerah: Batusangkar,
Matur, Maninjau, Limapuluh Kota, dan Tanah Datar.[19]
Pada saat operasi inilah, penyekapan hingga
pemerkosaan terjadi. Abdul Samad, aktivis PRRI, misalnya mengatakan bahwa
tentara mulai bebas menyekap perempuan di rumah-rumah gadang. Lebih lanjut ia
mengatakan, “Dengan dikumpulkannya para perempuan, para tentara tidak akan sudah-susah
mencari pelacur ke kota-kota. Begitulah kekejaman Diponegoro.”[20]
Demikian juga pemerkosaan yang menyebabkan
kehamilan sebagian perempuan. Pasca
perang, mereka menanggung dua beban: moral yang berkaitan dengan adat setempat
serta kepada diri mereka sendiri. Sebuah fenomena menyedihkan telihat saat
penarikan pasukan Diponegoro. Tidak sedikit perempuan Minang yang meratap di
Teluk Bayur karena tidak dapat menikah. Puluhan gadis Minang yang hamil dan
memukul-mukul perut, karena malu pulang kampung.[21]
Inilah gambaran perlakuan APRI. Pasukan PRRI
juga tidak berbeda. Merekapun melakukan hal yang sama. Soewardi Idris misalnya menggambarkan
dalam bentuk cerpen tentang kekejaman pasukan PRRI. Meski dikemas dalam bahasa
sastra, namun cerpen ini pada dasarnya adalah catatan pribadi Soewardi Idris
selama bergerilya dengan pasukan PRRI. Ia gambarkan:
“Tidak lupa kami membuat
lelucon tidak ada dalam kamus manusia beradab, yaitu menanggalkan pakaian
wanita-wanita kecuali BH dan rok dalam. Wanita-wanita merupakan hasil
pencegatan yang paling besar, yang membuat anggota gerombolan kami
mabuk-mabukan gembira. Mereka ingin agar wanita dibagi-bagi seperti membagi
nasi bungkus.”[22]
Pasukan APRI dan PRRI sama-sama
‘berlomba’ untuk memenuhi kebutuhan seks. Dalam situasi darurat seperti ini,
seks menjadi bermakna: like dan dislike. Like diberlakukan jika didasarkan pada landasan cinta yang mengikutkan
hubungan resmi antara suami-istri atau bisa jadi dilakukan lewat kawin mut’ah.
Sebaliknya, seks menjadi dislike jika
dihadapkan pada persoalan nafsu sekaligus teror[23].
Nafsu dikaitkan dengan kebutuhan biologis. Menurut Sutarto, Kepala Kementrian
Pertahanan di tahun 1957, para tentara yang tidak dapat dipenuhi kebutuhan
seksualnya, mula-mula merasa dirinya sunyi.
Kesunyian akan hilang apabila ia sekedar bergaul dengan
perempuan. Bebannya akan terasa ringan
apabila ia senenatiasa mendapat perhatian dari para perempuan yang dicintainya
dan yang jauh ditinggalkan oleh istrinya.[24]
Penyataan Sutarto dibenarkan Soewardi Idris yang dalam penggalan cerpennya
menuliskan, “Kehidupan membujang selama
petualangan dalam hutan, terasa sepi sekali. Kalau lama-lama macam ini, mungkin
jiwaku bisa rusak binasa.”[25]
Lebih gamblang, Roland Litlewood juga
menulis bahwa dalam studi psikologi, masa setelah terus-menerus mengalami
kegelisahan atau kepenatan, secara signifikan bisa diturunkan tensinya dengan
memberikan sejumlah perlakuan psikologis. Tentara memandang hubungan seksual
adalah sebagai penahan kegelisahan dalam perang.” [26]
Bagian 3
C.
Perang tanpa Seks;
Perjuangan tanpa ‘Senjata’
Persoalan seks sebenarnya bukan hanya berhenti
pada posisi laki-laki butuh perempuan. Namun, ada momentum yang secara
historiografis dapat menjadi jalan perempuan untuk masuk dalam pusaran sejarah.
Posisi perempuan di belakang laki-laki sebagai pendukung psikologis inilah
sebenarnya, yang menarik untuk dikaji. Seks adalah simbol dukungan. Perang yang
berkecamuk dengan senjata dan pertempuran bahkan berujung kematian, menyimpan cerita
yang tidak dapat dilepaskan dari perempuan.
Bagi perempuan yang mengikuti suami bergerilya
misalnya, mereka mempunyai kenangan tersendiri. Tidak dipungkiri bahwa tanpa
perempuan, laki-laki memang lemah. Persoalannya bukan hanya terletak pada
kekhawatiran pada istri pada saat ditinggal, namun lebih pada dorongan seks.
Maka tidak heran, tokoh-tokoh penting PRRI seperti: Ahmad Husein, Syafruddin
Prawiranegara, dan Natsir, membawa anak dan istri mereka ke dalam hutan.
Istri Ahmad Husein, Desmaniar, bahkan melahirkan
anak perempuan di hutan[27].
Hal yang sama juga dialami oleh Waharti, istri Zakaria yang saat itu menjabat
sebagai kepala seksi logistik PRRI. Ia melahirkan anak laki-laki bernama Erpi
Juntano dalam gerilya di hutan Solok[28].
Keberadaan perempuan dengan demikian menjadi kekuatan
tersendiri bagi laki-laki. Dalam situasi sulit, mereka harus tetap berhubungan
dengan perempuan. Surat misalnya, adalah media saat fisik tidak dapat bertatap.
Ini dialami oleh Djamalus Djamil, Brimob Kompi 5152 di Bukittinggi. Istrinya,
Nursyamsi, menceritakan, “Bapak kirim
rutin surat-surat. Ibu juga membalasnya lewat kurir. Bapak selalu menanyakan
kabar anak-anak. “Sehat-sehat saja
kan?”, begitu kata Bapak. Kadang Bapak juga menulis, ”Bu, bapak titip anak-anak.”[29]
Perang di satu sisi ternyata menjadi momentum
yang paling menyakitkan bagi laki-laki. Bukan hanya pada persoalan ‘perangnya’,
tetapi cara bertahan jika tanpa perempuan. Senjata perang dengan demikian,
bukan selalu berwujud peluru dan bayonet, tetapi juga muncul dalam bentuk:
perempuan. Inilah yang menurut pengalaman Rusli Marzuki Saria, “Perang menimbulkan satu kesempatan, ‘tembak
‘ateh’, tembak ‘bawah’ (tembak ‘atas’ dan ‘bawah’).”[30]
Pada masa perang inilah terjadi perkawinan, baik sesama
penduduk, maupun campuran. Dalam kasus PRRI, paling terlihat percampuran antara
orang Jawa dan Sumatera. Pernikahan umumnya dilakukan secara sederhana. Cukup
dengan memotong satu ekor ayam atau uang sebanyak Rp. 5.-, mamak siap
menjadi wali nikah. Setelah itu diadakan kenduri, dan dalam acara
tersebut akan dikatakan, “Ninik mamak hendak menerima keponakan. Tolong
diterima bersama.”[31]
Dia harus jujur menyebut siapa dirinya. Lalu diterimalah menjadi
anak keponakan Dengan diterimanya menjadi anak keponakan, menikahlah tentara
dengan dengan calonnya.[32]
Perkawinan terjadi dengan beragam kepentingan. Ada yang didasari
rasa suka, adapula yang dilandasi ketakutan, terutama bagi perempuan. Di antara
mereka ada yang langgeng, tetapi tidak sedikit yang bercerai karena
penelantaran (deprivasi).
Pengalaman menyedihkan dituturkan misalnya oleh Yulinar dan
Maidar.Yulinar dinikahkan oleh mamaknya dengan simpatisan PRRI dari Kompi
Harimau Minang, Umar Daar, yang berasal dari Kampung Tanah Datar,
Batusangkar. Pada saat itu, Daar bekerja di Departemen Pertanian Sawahlunto di
bagian administrasi.[33]
Karena di masa bergolak para pegawai juga dikenakan wajib militer, Umar Daar
kemudian masuk menjadi anggota PRRI di Kompi Harimau Minang.
Atas dasar perjodohan, Yulinar menurut. Di
kemudian hari, ia tahu kalau suaminya sudah beranak-istri. Dari sinilah, awal
penelantaran itu terjadi. Kesusahan yang berlipat, dirasakan Yulinar. Ia menuturkan, “Itulah ibu, ganja batu[34].
Tak dibalanjo, ibu ditinggal.”[35]
Tidak ada pilihan lain kecuali bercerai. Sementara itu Maidar, ia
menikah dengan alasan sederhana. Dalam penuturannya, ia mengatakan, “Ibu
kawin jo apak, karano apak tu tentara. Lai pulo, ibu indak namuah digoda-goda
jo tentara Jawa.”[36]
(“Ibu menikah dengan bapak, karena bapak tentara. Lagipula, ibu tidak mau
digoda-goda tentara Jawa.”). Selepas PRRI, Maidar juga bercerai.
Pengalaman Yulinar dan Maidar menjadi gambaran bahwa dalam
ketegangan perang, laki-laki memang tidak hanya memilih rasa aman dengan
perlindungan. Mereka juga memilih perempuan. Pengalaman pahit masa perang,
dapat ditepis dengan hadirnya perempuan yang direlasikan dalam pernikahan. Persoalan:
bertahan atau bercerai, bukan merupakan kekalahan bagi perempuan. Pada
akhirnya, mereka memilih hidup mandiri untuk membesarkan anak.
Pengalaman lain juga dituturkan oleh
Mansoersami, yang pada saat konflik menjadi Bupati Sawahlunto, Sijunjung. Pada
saat bertugas, Nuraini, istrinya yang berada di Padang, diperistri secara paksa
oleh salah seorang anggota Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM) UGM[37].
Tidak ada pilihan lain bagi Mansoersami selain
menyerahkan sang istri. Sejak saat itu, ia mengalami kegelisahan hebat. “Saya ini habis semuanya,[38]
demikian ia menuturkan. Tidak lama sesudah itu, saat berada di wilayah
basis terakhir PRRI yakni Sumpurkudus, Mansoersami menikah dengan gadis
setempat.[39] Dengan
pernikahan itulah, ia mengobati kegelisahan akibat: perang dan kehilangan
istri.
D.
Penutup
Dalam kompleksitas perang, perempuan adalah
bagian ‘tersembunyi’ yang sebenarnya punya pengaruh besar. Terlebih jika
dihubungkan dengan persoalan seks, perempuan dan perang akan terlihat dalam
nuansa yang berbeda. Ada sisi manusiawi yang mengandung permakluman, bahwa
perang yang selalu menampakan wajah warior,
ternyata juga menyimpan segi melankolis. Laki-laki terutama yang kerap dianggap
sebagai hero, ternyata juga punya
kelemahan. Bahkan dalam beberapa hal, perempuan bisa jadi lebih maskulin
dibanding laki-laki. Dalam posisi inilah, perubahan mental itu terjadi.
Konflik PRRI yang menimbulkan perang saudara di
Minangkabau misalnya, menyisakan perubahan mental, baik bagi laki-laki. Ia merasakan
ketegangan hebat. Dalam situasi rumit itulah, laki-laki butuh penopang bernama
perempuan. Di sinilah saling ketergantungan (mutual
dependence) itu terjadi. Meskipun dibaluri dengan intrik penelantaran atau
bahkan kekerasan, tidak dipungkiri bahwa laki-laki juga tergantung pada
perempuan.
Secara historiografis, perempuan sebenarnya
tidak lagi harus merasa ‘inverior’ untuk mengatakan bahwa mereka adalah bagian penting
dari sejarah. Perang misalnya, menjadi kunci masuknya perempuan. Dukungan
mereka kepada suami terutama, adalah wujud kuatnya kedudukan perempuan. Secara
seksual, tanpa perempuan, laki-laki akan terus-menerus dihinggapi ketegangan
mental.
Daftar Pustaka
Abdullah
Mun’im Muhammad, Khadijah Ummul Mu’minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam, a.b. Ghozi M, Khadijah The True Love Story of Muhammad, Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2007.
Anis Matta, Mencari
Pahlawan Indonesia, Jakarta: The
Tarbawi Center, 2004.
Azmi, dkk., Adat dan upacara Perkawinan Daerah Sumatera
Barat, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1970.
Badinter,
Elisabeth, Unopposite Sex; The End of The
Gender Battle, New York: A Cornellia
and Michael Bessie Book,1989.
Br. Kris, FIC, “Makna
Seksualitas bagi Manusia”, http://www.satunet.com, diakses pada Rabu,
19 Januari 2011, Pk. 17.00 WIB.
Christina
Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa
Wanita Jawa, Yogyakarta: LkiS, 2004.
Gusti
Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Hamka,
Kisah Cinta Para Pejuang dalam “Edisi Surat-Surat Cinta”, Majalah Tarbawi, 2005.
Harian Rakjat, 2 September 1958.
Hasril Chaniago dan Mestika Zed, Perlawanan seorang
Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein, Jakarta: Sinar Harapan, 2001.Gusti
Asnan, Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat Tahun 1950-an, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, Brigadir Jendral
Kaharuddin Rangkayo Basa; Gubenur di Tengah Pergolakan, Jakarta: Sinar
Harapan, 1998.
Kuntowijoyo,
Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006.
Latif
Datuk Bandaro dkk. (ed.), Minangkabau
yang Gelisah; Mencari Startegi Pewarisan Adat dan Budaya Minangkabau untuk
Generasi Muda, Bandung: Lubuk Agung, 2004.
Litlewood,
Roland, “Military Rape”, Antropology Today, Vol. 13 No. 2, April 1997.
Mansoer
Fakih, Jender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan
Galtung, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Mas’oed Abidin,
Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah, Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM).
Mestika
Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang;
Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat, Yogyakarta: Syarikat Indonesia,
2004.
Munandir,
PTM sebagai Bentuk Perjuangan Mahasiswa Mencerdaskan Kehidupan Bangsa;
Memperingati 50 Tahun Usia Dimulainya Proyek PTM, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2001.
Reni
Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak; Perempuan Minangkabau pada Masa Pergolakan
Daerah (1956-1961)”, Tesis,
Yogyakarta, UGM, 2009.
R.
Sutarto, “Soal Kelamin dalam angkatan Perang”, Benteng Negara, No.7/1957,
tahun VIII.
Soewardi Idris,
Antologi Cerpen Pergolakan Daerah Senarai Kisah
Pemberontakan PRRI, Yogyakarta: Beranda, 2008.
Teks
Perayaan 17 Agustus 1958 di Bukittinggi, (Bukittinggi: Djawatan Penerangan Kota
Bukittinggi, 1958.
Vreede-De Stuers, Cora,
Sejarah Perempuan Indonesia; Gerakan dan Pencapaian, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2008.
Wawancara
Yulinar, Sumpur Kudus, 30 Agustus 2008, Pk. 09.00-11.00 WIB.
Wawancara
Asma Malin, Padang, 20 September 2008, Pk. 11.00-12.30WIB.
Wawancara
Abdul Samad, Bukittinggi, 3 September 2008, Pk.16.00WIB.
Wawancara Desmaniar (Des Husen), Jakarta, 2 Agustus 2008, Pk.
19.00-20.30 WIB.
Wawancara
Waharti, Jakarta, 3 Agustus 2008, Pk. 13.00-14.00 WIB.
Wawancara
Mansoer Sami, Padang, 9 Januari 2009, Pk. 13.00-14.00 WIB.
Wawancara
via telepon dengan Rusli Marzuki Saria, 16 Mei 2009, Pk. 20.00-20.30 WIB.
Wawancara
Nursyamsi, Solok. 25 Oktober 2008, Pk.13.00 WIB.
Disampaikan Pada Seminar Nasionalisme di
Indonesia dan Negara-negara di Kawasan Asia Tenggara Dalam rangka Lustrum
Universitas Andalas ke-11 dan Dies Natalis
Fakultas Sastra (kini FIB) Universitas Andalas ke-29
[3] Christina Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LkiS,
2004).
[4] Lihat Abdullah Mun’im Muhammad, Khadijah Ummul
Mu’minin Nazharat Fi isyraqi Fajril Islam,
a.b. Ghozi M, Khadijah The True
Love Story of Muhammad, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007): 307.
[5] Keterangan lanjut lihat Roland Litlewood, “Military Rape”, Antropology Today, Vol. 13 No. 2, April
1997: 13.
[6] Badinter, Elisabeth, Unopposite Sex; The End of The Gender Battle,
(New York: A Cornellia and Michael
Bessie Book, 1989): 158.
[7] Penjelasan lanjut, baca I Marsana Windhu, Kekuasaan
dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
[8] Gusti Asnan, Memikir Ulang Regionalisme
Sumatera Barat Tahun 1950-an, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007):203.
Gusti Asnan menganalisa, ‘ambruknya’ PRRI terlihat dari dua sebab: kesalahan
strategi dan over confident dari Ahmad Husein yang tidak mau
menghiraukan kekuatan kontra PRRI. Ibid.: 202-203. PRRI dinilai bukan
hanya perang kecil. Menurut Nasution, selama perang saudara ini, khusus daerah
operasi Kodam III/17 Agustus (Sumatera Barat/Riau), dari kedua belah pihak
menelan korban meninggal sebanyak: 7.146 orang, 1.944 luka-luka dan 321 hilang.
Korban terbesar yang diderita PRRI, yakni 6.115 tewas dan 627 hilang.
Keterangan selanjutnya lihat Hasril Chaniago dan Mestika Zed, Perlawanan
seorang Pejuang; Biografi Kolonel Ahmad Husein, (Jakarta: Sinar Harapan,
2001): 152.
[9] Lihat Kata Pengantar Audrey Kahin dalam Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, Brigadir
Jendral Kaharuddin Rangkayo Basa; Gubenur di Tengah Pergolakan, (Jakarta:
Sinar Harapan, 1998): v.
[10] Keterangan lanjut lihat, Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006).
[11] Corra menulis bahwa perempuan Minangkabau tampak
mempunyai kekuasaan yang besar. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku dalam kepemilikan hak suara di keluarga. Di sini mereka
tersisih. Perempuan tetap berada di bawah laki-laki. Dalam urusan keluarga misalnya, pengaruh perempuan lemah.. Mereka hanya sebatas memberikan saran
demi ketercapaian mufakat, bukan sebagai partisan.. Cora Vreede-De Stuers, op.cit.: 38.
[12] Wawancara Yulinar, Sumpur Kudus, 30
Agustus 2008, Pk. 09.00-11.00 WIB.
[13] Wawancara Asma Malin, Padang, 20 September 2008,
Pk. 11.00-12.30WIB.
[14] Lebih lanjut mengenai pemberontakan Silungkang,
lihat Mestika Zed, Pemberontakan Komunis
Silungkang; Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat, (Yogyakarta: Syarikat
Indonesia), 2004.
[15] Wawancara Asma Malin, Padang, 20 September 2008,
Pk. 11.00-12.30WIB.
[16] Lihat Reni Nuryanti, “Hidup di Zaman Bergolak;
Perempuan Minangkabau pada Masa Pergolakan Daerah (1956-1961)”, Tesis, Yogyakarta, UGM, 2009.
[17] Rolland Litlewood, op.cit.
[18] Secara struktural, Divisi Diponegoro saat itu
dipimpin oleh Ali Moertopo, kepala staf RTP II dan Pranoto Rekso Samodra, yang
sekaligus menjabat sebagai Komando Operasi 17 Agustus, menggantikan Kolonel
Ahmad Yani. Penggantian ini dilaksanakan di stadion Lapangan Banteng, Padang,
pada hari Kamis, 4 Juni 1958. Upacara timbang terima tersebut dihadiri oleh
KASAD Letnan Jendral A.H. Nasution. Keterangan lebih lanjut, baca Teks Perayaan 17 Agustus 1958 di Bukittinggi,
(Bukittinggi: Djawatan Penerangan Kota Bukittinggi, 1958): 20.
[20] Wawancara Abdul Samad, Bukittinggi, 3 September
2008, Pk.16.00WIB.
[21] Wawancara Abdul Samad, Bukittinggi, 3 September
2008, Pk.16.00WIB.
[22] Soewardi
Idris, Antologi Cerpen Pergolakan Daerah Senarai Kisah Pemberontakan PRRI, (Yogyakarta: Beranda,
2008): 10.
[23] Seks juga kerap dijadikan alat teror untuk melemahkan lawan. Dengan menguasai
perempuan, musuh akan merasa terhina dan kalah. Bagi laki-laki, ini adalah
beban tersendiri. Jika mental sudah lemah, musuh dengan sendirinya akan mudah
didesak dan dikalahkan.
[24] Kebutuhan seksual mempunyai peranan penting di
dalam masyarakat dan meminta banyak perhatian. Di antara kebutuhan-kebutuhan
manusia yang primer, kebutuhan seksuallah yang paling banyak mengalami kekecewaan.
Di dalam angkatan perang, terutama kesyahwatan, merupakan persolan yang amat
penting. Di kalangan tentara, kebutuhan seksual lebih tinggi daripada
masyarakat biasa. Lebih lanjut, baca R. Sutarto, “Soal Kelamin dalam Angkatan
Perang”, Benteng Negara, No.7/1957, tahun VIII: 5.
[25] Soewardi Idris, op.cit.: 29.
[26] Ibid.
[31] Wawancara Sudarman, Sumpur Kudus, 1 September
2008 Pk. 21.00-22.20 WIB.
[32] Wawancara Sudarman, Sumpur Kudus, 1 September
2008 Pk. 21.00-22.20 WIB.
[34] Ganja batu dan ganja kayu merupakan
istilah budaya di Minangkabau. Kata ’ganja’ berasal dari bahasa Minangkabau,
‘ganjal’, yang berarti landasan. Sebagai gambaran diumpamakan: Seorang
pendaki Anai berjalan dari Padang ke Bukittinggi. Ia membawa barang-barang di
atas pedati. Suatu hari karena kerbau kelelahan, dihentikanlah pedati tersebut.
Untuk menjaga agar barang-barang tidak tumpah, maka roda pedati tersebut
diganjal dengan menggunakan batu atau kayu. Kalau mengggunakan batu, maka akan
ditinggal, karena batu mudah dijumpai. Lain halnya jika menggunakan kayu, maka
akan terus dibawa, karena sulit dijumpai. Perumpamaan ini kemudian dipakai
untuk menyebut perempuan yang hanya dinikahi dalam waktu singkat, kemudian
ditinggal begitu saja, atau sebaliknya dinikahi selamanya meskipun si laki-laki
beristri lebih dari satu. Istilah ini populer khususnya setelah PRRI.
Perempuan-perempuan yang dinikahi pada masa PRRI, baik oleh tentara urang
awak (PRRI) maupun APRI, sebagian ditinggal begitu saja. Mereka inilah yang
mendapat sebutan ganja batu. Adapun mereka yang dibawa oleh suami,
mendapat sebutan ganja kayu. Wawancara melalui telepon dengan Rusli
Marzuki Saria, 16 Mei 2009, Pk. 20.00-20.30 WIB.
[37] Sejalan dengan program Pengerahan Tenaga
Mahasiswa (PTM) dari UGM, kisah romantika memang tidak pernah terlepas.
Bagaimanapun, hampir seluruh mahasiswa yang dikirim ke luar Jawa (96,6%) adalah
bujangan. Kisah-kasih terbuka lebar untuk terjalin di sana. Hal ini tidak dapat
dipungkiri, banyak di antara para mahasiswa yang menjalin kasih dengan para
murid. Lihat Munandir, PTM sebagai Bentuk Perjuangan Mahasiswa Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa; Memperingati 50 Tahun Usia Dimulainya Proyek PTM,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001):116.
[38] Wawancara Mansoer Sami, Padang, 9 Januari 2009,
Pk. 13.00-14.00 WIB.
[39] Wawancara Mansoer Sami, Padang, 9 Januari 2009,
Pk. 13.00-14.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar