OLEH Michael Bodden
University
of Victoria, Canada
Pengantar
Selama dua dasawarsa pertama
Orde Baru, corak dominan di dalam fiksi "warna lokal" atau
"warna daerah" adalah semacam sikap yang mendua terhadap budaya
tradisional setempat. Salah satu contoh baik dari hal ini adalah novel Darman
Moenir, Bako (1983 [1980]).
Dalam novel Darman Moenir ini,
budaya tradisional Minangkabau sering dipandang oleh si pembawa cerita, atau
"aku", sebagai sesuatu yang penuh peraturan kaku dan kejam yang mau
mengatur kehidupan para warga kampung, dan yang terlalu tergantung kepada asal-usual
salah seorang (14-17, 28-29, 35, 45-46, 98-99). Semua ini membawa sederetan
akibat bagi bapak dan ibu pembawa cerita karena ibunya bukan orang sekampung
dengan bapaknya, apalagi bukan gadis lagi waktu disunting oleh bapaknya (14).
Sikap masyarakat untuk menolak perkawinan mereka ikut menghancurkan kewarasan
jiwa Ibu pembawa cerita dan menciptakan banyak kesulitan bagi si
"aku" dan Bapaknya, meskipun keluarga bapak si "aku" jauh
lebih maju dan toleran tentang soal-soal keturunan. Pada akhir novel itu, si
"aku" sangat berharap supaya warga kampung bakonya akan bersikap
lebih maju dan punya pengertian yang lebih masuk akal (98-99).
Sebagai akibat dari persoalan
yang dialaminya bersama ayah dan ibunya, pembawa cerita meyakini watak dan
perbuatan seseorang sebagai ukuran martabat orang itu daripada asal dan
keturunan (15).
Sikap modernis novel ini juga
ditandai oleh nilai tinggi yang ditaruh pembawa cerita, dan keluarganya, kepada
pengetahuan, pendidikan, dan kemampuan orang untuk berguna baik untuk diri
sendiri maupun untuk masyarakat (25, 38, 63, 66-67, 72-73).1
Meskipun begitu, pada
sudut yang lain, novel Bako Darman
Moenir itu juga tergantung akan daya tariknya dan keberhasilannya sebagai fiksi
atas penggambaran kembali berbagai segi budaya lokal Minangkabau. Pada
dasarnya, struktur novel ini dibentuk di sekitar lima bagian yang masing-masing
dikaitkan dengan salah seorang tokoh keluarga yang penting dalam kehidupan si
pembawa cerita. Tokoh-tokoh ini menjadi lebih bermakna untuk cerita si
"aku" karena tiga dari lima orang penting merupakan anggota bako (keluarga sepertalian darah dengan
ayah), tempat pembawa cerita bersama ayah dan ibu menetap. Ini pola pendiaman
yang di luar kebiasaan suku Minang yang matrilineal. Apalagi kalau keluarga bako itu lebih longgar lagi sehingga
orang luar, seperti ibu pembawa cerita dan "gaek", seorang laki-laki
sekampung dengan umi pembawa cerita, bisa diterima dan dianggap sederajat
dengan anggota-anggota kelauarga bako.
Tetapi, dengan membentuk struktur ceritanya di sekitar bako ayah pembawa cerita yang kurang biasa ini, mau tidak mau
perinci-perinci susunan keluarga Minangkabau harus diangkat juga. Dan dengan
demikian kita diberi suatu gambar mengenai pentingnya susunan hubungan
keluarga, dengan baik dan buruknya (Menurut pembawa cerita, memakan nasi-bako
enak sekali--42). Gambar terperinci ini justru merupakan daya tarik cerita yang
diatur sehingga menjadi bahan dua buah misteri yang saling berkaitan: bagaimana
si pembawa cerita bisa mengerti sejarah hubungan di antara Ibunya, Bapaknya,
Uminya, Bak Tuonya, dan Gaeknya, dan bagaimana kita bisa mengerti dan
menafsirkan perbuatan orang lain.
Di samping
perinci susunan keluarga yang digambarkan novel ini, juga ada potret keluarga
alternatif--keluarga bako ayah.
Uminya jadi satu pusat perhatian di sini karena peranan dia sebagai ketua
keluarga, tetapi juga kerena pengetahuannya, kearifannya, dan rasa simpatinya
kepada orang lain. Pembawa cerita menimba banyak pengetahuan dari uminya, dan
juga dari "gaek"-nya yang penuh cerita. Dan anehnya, yang membuktikan
prinsip pembawa cerita untuk menilai orang menurut perbuatannya dan wataknya,
adalah gambar dua orang "luar" dari keluarga bako(ibu pembawa cerita dan "gaek") yang justru kerja
keras untuk meneruskan kesejahteraan keluarga tersebut (101-102). Dengan
demikian adegan ini mempersembahkan sebuah campuran unsur lama dan baru.
Seperti juga saat ayah pembawa cerita memainkan lagu Minang lama dengan biola.
Dan novel ini mengandung beberapa tanda lain bahwa unsur-unsur budaya
tradisonal setempat patut dihargai. Misalnya, penyesalan pembawa cerita bahwa
kesenian lama seperti randai dan saluang sedang menghilang diganti oleh
kesenian lebih modern (19-20), atau pengakuannya bahwa kata-kata perasaan dalam
bahasa Minang lebih menyentuh daripada bahasa Indonesia (93).
Justru sifat
sikap mendua ini yang menunjukkan semacam kesejajaran di antara sebagian besar
sastra nasional yang bercorak warna daerah dari 1965-1982, dan pandangan
pemerintah Orde Baru terhadap pembangunan, modernisasi, dan budaya tradisional.
Sebab, pembangunan Orde Baru didasarkan atas pra-anggapan bahwa yang terpenting
adalah modernisasi teknis dan ekonomis. Karena itu, pemerintahan Orde Baru juga
cenderung menganggap banyak dari budaya tradisional, yang seharusnya menyiapkan
landasan untuk "kepribadian nasional", sebagai hambatan yang
terbelakang. Tetapi pada saat yang sama, pemerintah Suharto juga selalu
mengedepankan sebuah gagasan "kepribadian nasional" yang seperti bisa
menyuntik para warga negara supaya jangan terjangkit penyakit-penyakit dari
luar seperti individualisme, demokrasi liberal, dan lain-lain. Baik sastra
nasional yang berwarna lokal maupun ideologi pemerintah memperlihatkan
keinginan untuk tetap pegang bagian-bagian dari tradisi, tetapi pada saat yang
sama melawan dan menolak sifat-sifat yang lain.
Ada satu hal lagi yang
ikut membangun kesan kesejajaran pemerintah Orde Baru dan sastra nasional yang
bercorak warna daerah. Kalau baik Orde Lama maupun Orde Baru berpegang kepada
gagasan negara persatuan dan kesatuan, harus juga diakui bahwa hampir semua
novel-novel warna daerah dibekasi dengan bayangan ruang negara itu yang
mengurungi budaya lokal, dan sering dilihat sebagai alternatif atau ruang
perkembangan akal sehat dan kemerdekaan individu yang bisa mengisi dan
mengatasi kekurangan budaya tradisional daerah itu.2 Dengan arti ini, bisa
disebut bahwa sastra nasional, meskipun kadang-kadang kritis terhadap kebijaksanaan
pemerintah Indonesia, tetap sastra yang sangat patriotis.
Namun kesejajaran ini
bukan kesamaan. Tentu saja, modernisasi yang nampaknya diinginkan oleh
novel-novel warna lokal ini ada unsur-unsur yang agak berbeda dari pandangan
pemerintahan. Malahan, kesejajaran sastra nasional dan pemerintahan Orde Baru
itu juga ditandai oleh semacam kekurang-serasian di antara dua instansi itu.
Sebab, kalau Orde Baru bisa dianggap sebuah pemerintahan yang menggabungkan
kepentingan golongan priyayi/bangsawan baru dengan kepentingan bisnis dan
birokrasi rasional, dan yang berusaha merumuskan kembali secara baru dan
membela, sebagai ideologi negara, nilai-nilai yang dianggap dipegang bangsawan
tradisional, sastra nasional Indonesia agak berbeda ideologi dan landasan prakteknya.
Diilhami oleh pikiran-pikiran dari para anggota elit yang lebih cenderung
melawan susunan masyarakat lama dan, karena itu, juga lebih cenderung
mencontohkan berbagai praktek dari luar Indonesia yang mereka anggap maju dan
akan lebih menyejahterakan masyarakat, yang paling berpengaruh di dalam
lingkaran, wacana, dan praktek sastra nasional adalah mereka yang justru
menempati semacam posisi subyek yang lebih "modernis". Artinya,
mereka yang lebih mengutamakan yang baru, yang tidak tradisional, seringkali
berpaling dengan penuh perhatian ke kehidupan kota-kota besar, ke gagasan
perubahan pribadi dan sosial, dan kepada kerumitan identitas manusia dan
artinya keberadaannya di atas bumi manusia ini. Makanya, bagi sastra nasional
tradisi paling sering dilihat sebagai hal kolot atau feodal. Kadang-kadang
tradisi dilukiskan sebagai hal yang patut dihargai, tetapi yang tetap harus
berubah.
Dengan memakai
novel-novel Oka Rusmini, Tarian Bumi
(2000 [1997]), dan Taufik Ikram Jamil, Gelombang
Sunyi (2001) sebagai contoh-contoh utama, dalam makalah ini akan saya
menelusuri bagaimana sikap sastra nasional terhadap budaya tradisional di
berbagai daerah, dalam hubungan dengan negara pusat, sempat berubah secara
dramatis pada akhir zaman Orde Baru. Perubahan ini menandai perluasannya ruang
otonomi sastra nasional untuk memikirkan kembali arti nasionalisme dan
budaya-budaya daerah, maupun persoalan-persoalan seperti gender yang belum
diselesaikan secara tuntas oleh lintasan sejarah Indonesia merdeka.
Modernisme dan Otonomi Sastra Nasional
Modernisme dan Otonomi Sastra Nasional
Sebab dipengaruhi oleh
arus cendekiawan yang kurang puas dengan susunan masyarakat lama, dan kemudian
sebab diperkuat dalam keyakinan ini oleh semangat zaman revolusi sosial, sastra
dan budaya nasional juga sering diwarnai oleh kecenderungan untuk mengandung
kritik sosial. Ini tidak selalu disenangi pemerintah Orde Baru (atau berbagai
kekuatan sosial selama masa pemerintah Orde Lama pun). Sifat ini ditambah
dengan dua sifat lagi modernisme sastra nasional Indonesia, yaitu keinginan
untuk meyakini pentingnya pencipta individu dan perkembangan watak individu
dengan pengetahuan luas dan kemampuan untuk menentukan jalannya sendiri. Ini
persis pada saat Orde Baru bersusah payah untuk mencegah tumbuhnya
individualisme dan ideologi demokrasi liberal sebagai ciri modernisasi yang
tidak sesuai dengan "kepribadian nasional" (Bourchier 1997).3 Terus, modernisme
sastra nasional ini juga menekankan keperluan untuk bereksperimen terus
menerus. Ini bisa saja bikin gelisah dalam sebuah masyarakat yang mau ditata
supaya kelihatan tetap stabil, teratur, dan rapi.
Demikianlah, meskipun
dalam soal pandangan dominan tentang kebutuhan modernisasi dan kenyataan bahwa
ruang cerita-cerita sastra adalah di dalam batas-batas negara, ideologi sastra
tentang pentingnya pencipta individu dan nilai-nilai kemandirian individu,
tentang keperluan untuk eksperimen secara berterusan, dan tentang kebutuhan
untuk menyampaikan kritik terhadap keadaan Indonesia yang kurang menguntungkan
kebanyakan orang--semua ini tetap menyebabkan arus-arus kuat di dalam kalangan
sastrawan untuk mencari berbagai macam jalan untuk mewujudkan ketidaksetujuan
mereka terhadap beberapa sifat pembangunan Orde Baru. Kritik itu selalu ada,
walaupun kadang-kadang sangat terselubung atau jinak di bawah kekuasaan Orde
Baru yang represif. Tetapi pada tahun-tahun 80-an, tanda-tanda bahwa
bagian-bagian dari kommunitas sastra nasional menjadi makin gelisah sangat
nampak.
Misalnya, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari yang
pertama-tama (1981, 1982) masuk pola novel seperti Bako, bahkan lebih jelas mendukung modernisasi gaya Orde Baru
daripada karya Darman Moenir4, pada akhirnya (jilid
ketiga, 1986) menampakkan kekecewaan amat dalam dengan proses pambangunan dan
instansi Orde Baru. Ini juga cukup nyata dalam karya-karya warna lokal Y.B.
Mangunwijaya. Dalam Burung-Burung Manyar
(1981) kita disajikan gambar Indonesia merdeka yang sudah sarat dengan korupsi
dan janji-janji kepada rakyat biasa yang tidak pernah ditepati. Novelnya yang
berikut, Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa
(1983), memggambarkan akibat pembangunan negara sentralistis yang dipertanyakan
lewat cerita mengenai penghuni Maluku Utara yang dijadikan korban lewat
persaingan di antara kerajaan-kerajaan Ternate, Tidore, Inggris, Spanyol, dan
Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Penghuni biasa itu, yang
menderita berabad-abad, pada akhir cerita, seperti hilang dari pandangan
nasional pada zaman modern.
Di sini, sastra
nasional Indonesia, lewat sarana sastra warna lokal, antara lain, mulai lebih
jelas bertingkah-laku seperti pembela kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok
masyarakat yang dipinggirkan atau terabaikan oleh proses pembangunan. Dengan
demikian, sastra nasional Indonesia mulai mengangkat ke permukaan beberapa
persoalan dalam susunan masyarakat Orde Baru. Tetapi selain ciri itu, kita bisa
mencatat bahwa sastra nasional sudah lebih jelas berusaha untuk menegaskan
otonominya dari pandangan pemerintah dengan memenuhi peranannya yang khas
sebagai kritik sosial dan pembela rakyat--pembela martabat setiap orang dan,
umumnya, setiap kelompok manusia, yang keberadaannya pantas dihargai dan
dihiraukan oleh pemerintah. Ini masih dalam kerangka kepercayaan bahwa tradisi,
meskipun pantas diakui dan dihargai, paling tidak akan harus berubah supaya
sesuai dengan tuntutan zaman. Tetapi mulai saat itu pada belahan pertama
tahun-tahun 80-an, titik berat dalam sikap itu sudah sedang bergeser ke arah penghargaan kepada budaya lokal sebagai
contoh (dan wakil) kaum (dan individu) tertindas atau terabaikan.
Sejajar dengan semua
ini, pada saat Orde Baru mau meningkatkan kekuasaanya ideologis dengan
peraturan Asas Tunggal, dan usahanya
untuk pasang konsep negara integralistik
dalam ideologi Pancasila (Bourchier 1997), dunia budaya dan sastra nasional
diwarnai oleh perdebatan sastra
kontekstual yang mempersoalkan arus dominan dalam sastra, arus yang terlalu
memusatkan perhatian kepada kehidupan kota, sebagai sesuatu yang asing untuk
sebagaian besar warga Indonesia dan mengusulkan bahwa sastra seharusnya lebih
terbuka kepada kemungkinan-kemunginan lain. Beberapa tahu kemudian, pada awal
90-an, ada perdebatan "posmo" yang mempersoalkan apakah sejarah
sastra dan budaya nasional bisa dimengerti lewat satu naratif besar, atau
apakah sebenarnya ada banyak kantung budaya dengan asal-usul dan riwayat yang
saling berbeda. Ini terjadi pada saat yang sama dengan bangkitnya gerakan sastra pedalaman dan awalnya pemudaran
citra Jakarta sebagai pusat budaya nasional.5 Semua ini
mempersiapkan landasan bagi suatu sikap baru terahdap budaya tradisional
setempat dalam sastra warna lokal.
Fiksi-Fiksi yang Bercorak Warna Lokal Pada Zaman "Reformasi"
Fiksi-Fiksi yang Bercorak Warna Lokal Pada Zaman "Reformasi"
Dari lintasan sastra
Indonesia ini, dan khususnya, bagian sastra nasional yang bercorak "warna
daerah", kita bisa menduga bahwa ciri-ciri khas fiksi warna lokal akan
berubah pada tahun 90-an, dan terutama pada akhir zaman Orde Baru.
Novel Oka Rusmini, Tarian Bumi (2000 [1997])memang menarik
persoalan pusat-daerah dalam hubungan penilaian budaya lokal tradisional ke
arah yang lain, meskipun kalau dilihat sekilas saja kita mendapat kesan bahwa
tidak jauh berbeda dari novel-novel warna daerah tahun-tahun 70-an. Novel ini
menceritakan nasib Telaga, seorang anak perempuan dari perkawinan laki-laki
Brahmana dengan perempuan sudra. Sambil menceritakan kehidupan Telaga, novel
ini juga memaparkan sejarah empat angkatan perempuan dalam sebuah keluarga,
bersama dengan beberapa teman mereka, lewat serentetan adegan sorot balik yang
ditanamkan di sini-sana dalam alur cerita. Tema-tema utama yang muncul adalah
pengkhianatan laki-laki dalam cinta, dan juga, kedudukan baik perempuan maupun
laki-laki dalam sususnan kasta di Bali yang membangun jarak di antara sesama
manusia.
Seperti pernah
diuraikan Pamela Allen, menjadi perempuan cantik dan sekaligus seorang
bangsawan adalah cita-cita yang paling menguasai pikiran Luh Sekar, Ibu Telaga
(Allen 2001, 28). Sebaliknya, Neneknya berusaha menjaga ketat kemurnian darah
kebangsawanan di dalam griyanya. Dia sangat kecewa bahwa anak laki-lakinya mau
kawin dengan Luh Sekar itu, seorang perempuan sudra (14-15), suatu hal yang
dianggap kurang biasa di antara laki-laki brahmana Bali (74). Ibu Telaga, Luh
Sekar/Jero Kenanga, harus bayar mahal untuk peningkatan kasta itu. Dia harus
menjadi orang lain dan melupakan kebiasaan lama dengan ibunya dan adik-adiknya
(48-49, 76-79). Kemudian, anak Jero Kenanga, Telaga, juga dibesarkan di dalam
rumah keluarga bangsawan, dan diajari bahwa seperti Kunti, dia harus setia dan
menghormati keluarga dan suami (58-59). Ada setumpukan peraturan yang membatasi
kehidupan Telaga dan ibunya dan yang dianggap Telaga tidak masuk akal (56, 61).
Telaga sempat merasa bahwa kehidupannya seperti "buku kosong yang ditulisi
dengan terpaksa dan terburu-buru" oleh orang lain (59). Karena ini, dia
juga sering merenungkan artinya menjadi perempuan (54-59, 62-63, 135). Pada
akhirnya, digiring oleh Ibunya, yang terlalu menghargai kedudukan sosial, untuk
kawin dengan laki-laki sesama kasta Brahmana, Telaga harus berjuang memilih
sendiri untuk kawin dengan seorang sudra karena cinta. Pilihan ini jelas
membawa segunung persoalan bagi Telaga, tetapi untuk dia, yang paling penting
adalah untuk tetap pegang kepada keyakinannya dan menerima akibatnya. Telaga
merasa bahwa setiap manusia punya kebenaran masing-masing, dan yang paling
penting, kita jujur dengan dan bertanggung jawab atas diri kita sendiri (3, 92,
120, 15). Dengan demikian kita lihat salah satu ciri khas dari modernisme
sastra nasional Indonesia.
Pentingnya kepribadian
setiap orang sangat menonjol di sini lewat cerita nasib beberapa angkatan
perempuan yang diperalat oleh keluarga atau susunan masyarakat yang menindas.
Dua hubungan perkawinan dalam keluarga Telaga yang tidak diadakan karena cinta,
melainkan karena perhitungan pelestarian kekayaan keluarga, kemurnian darah
keturunan, atau ambisi untuk naik kasta dan diakui dengan hormat yang lebih,
menghasilkan kesedihan (Nenek Telaga, Luh Sekar/Jero Kenanga). Hanya perkawinan
Telaga dengan laki-laki sudra Wayan Sasmitha, perkawinan yang dilawan Jero
Kenanga dan merupakan pilihan cinta Telaga, berhasil membawa kebahagiaan,
meskipun hanya untuk jangka waktu lima tahun (131-134, 136, 146). Dengan itu,
kita juga bisa lihat suatu pernyataan tentang hak dan kemampuan perempuan untuk
menentukan nasibnya sendiri dan untuk bertanggung jawab atas pilihannya.
Meskipun dengan
kesimpulan begitu novel ini bisa dianggap mendukung pola biasa fiksi warna
lokal tahun-tahun 70-an dengan kritik pedas terhadap penindasan struktur budaya
tradisional di daerah (hierarki kasta Bali, tingkah laku banyak laki-laki Bali)
dan terutama, beban yang harus diderita para perempuan di dalam struktur
tersebut, buku Oka Rusmini mengandung unsur-unsur yang mengaitkannya kepada
arus baru dalam fiksi warna daerah. Sifat pertama yang biasa disebut adalah
pengankatan tema-tema yang lebih radikal dan berani, dan yang jarang ditangani
fiksi tahun 70-an dan 80-an. Tema ini termasuk kedudukan perempuan dalam
masyarakat yang laki-lakinya jarang bisa dipercayai (9-11, 28, 29, 71, 108,
146-148), beban diskriminasi kasta (4-5, 9-10, 15, 17, 48, 54-55, 56, 61, 74,
100, 112, 116-117, 120-123, 129-130, 144-146), berahi seksual perempuan yang
wajar dan menggembirakan (7, 32, 37-38, 40, 114-116) , dan penggambaran
seksualitas non-heteroseksual yang tidak negatif (Kenten, Ida Bagus Ketu Pidada
26-41, 74-78, 100-101). Semua ini mencerminkan semacam keterbukaan nyata yang
luar biasa untuk sastra Indonesia modern.
Tetapi yang lebih
menarik lagi bagi maksud saya untuk meneropong perubahan penilaian hubungan
pusat-daerah dalam fiksi warna daerah adalah hal bahwa dibandingkan dengan
novel-novel warna lokal tahun 70-an, tidak ada citra negara atau instansi
nasional yang hadir dalam Tarian Bumi
untuk mewakili kemungkinan pola hidup yang lebih maju. Bahkan bisa disebut
bahwa ruang nasional itu hampir tidak ada sama sekali. Bayangan-bayangan dari
ruangan itu hanya muncul sekali dua, dan waktu memang muncul, biasanya membawa
kesan kekecewaan. Misalnya, kalau Orde Baru mendorong gagasan modernisasi,
modernisasi yang dialami Kendran, teman Luh Sadri, dibayar dengan sakit
tubuhnya yang disiksa untuk menjadi cantik. Apalagi, Kendran itu perlu menjual
tubuhnya kepada laki-laki kaya untuk mampu membayar penyiksaan kecantikan itu
(123-128). Segi lain dari modernisasi itu di Bali digambarkan oleh Meme Kambren
sebagai sesuatu yang mengasingkan anak-anak Bali dari tradisi mereka sendiri
sehingga mereka hanya belajar tari Bali untuk hanya lulus sekolah dan tidak
untuk mengabdi kepada ilmu dan budaya (81-83). Tetapi yang merupakan lambangan
yang paling jitu dari bagaimana hubungan negara dengan orang-orang Bali di
novel ini adalah contoh nasib Meme Kambren. Meskipun penghasilan uang banyak
bukan tujuan pertama Kambren dalam mengabdi kepada keseniannya, dia masih
sangat kecewa bahwa pengabdian dengan menari di depan Gubernur atau "di
Jakarta" hanya menghasilkan piagam yang tak bisa mengisi perutnya kalau
sudah tua. Pada akhirnya, Kambren yang sangat miskin hanya bisa memakai
piagam-pagam itu untuk "menutup gedek tiang yang bolong" (94). Di
sini, negara seperti tanpa harga (dan bisa mengandung unsur yang menyakitkan
manusia)dalam kehidupan sehari-hari orang kecil (walaupun mereka luar biasa
seperti Kambren). Sikap novel ini terahadap pusat, kalu muncul, sarat dengan
kekecewaan. Kalau ada perasaan cinta bagi tanah air, itu lebih berarti tanah
Bali, seperti dalam pernyataan Kambren yang dengan seni tarinya mengharapkan
supaya apa yang dibuatnya bagi tanah "ini" dihargai (94).6 Hanya suara Kambren
yang mengangkat nilai budaya lokal sebgai suatu harta yang sedang hilang karena
modernisasi yang tidak cukup meminatinya. Kambren yang mewakili suara orang
Bali yang masih menghargai unusr-unsur budaya lama seperti keseniannya dan
gagasan mengabdi kepada dewa-dewa. Meskipun penilaian positif terhadap budaya
tradisional Bali hanya merupakan sebuah tema minor dalam novel Oka Rusmini, itu
tidak bisa diabaikan karena juga muncul sebentar dalam adegan-adegan tarian
Telaga pada saat ada kesan bahwa kepercayaan orang Bali tentang dewa-dewa dan
taksu bisa dipercayai dan dialami sebagai suatu hal yang menggembirakan dan
bisa kasi semangat (4, 80-81). Maka, novel Tarian
Bumi mewakili salah satu ujung spektrum rumusan kembali hubungan daerah-pusat.
Dengan kekecewaan terhadap pusat yang seperti tidak ada dalam dunia kehidupan
tokoh-tokoh novel ini, atau membawa dampak negatif, dan reaksi keras terhadap
segi-segi budya lokal yang dianggap buruk, hanya ada saat-saat tertentu waktu
budaya lokal dilukiskan secara positif. Yang bisa dipercayai manusia pada
umunya hanya diri sendiri.
Sikap kecewa dan,
karena itu, acuh tak acuh terhadap pusat, yang bisa ditemukan dalam novel Tarian Bumi, bisa diperbandingkan dengan
sikap terhadap pusat lagi dalam cerpen "Ketika Jenderal Pulang"
Khairul Jasmi dari Padang. Dalam cerpen itu terasa secara terang kemarahan
terhadap instansi-instansi pusat, seperti tentara, serta sebuah keinginan untuk
ikut modernisasi secara mandiri dan bebas dari campur tangan dan kekuasaan
pusat. Kekuatan untuk menolak tingkah laku sewenang-wenang dari serdadu tua
dalam cerita ini justru diasah lewat latihan pencak silat yang dilakukan di
surau, dan dari solidaritas warga desa yang sudah lama merasakan ketidakadilan
orang ini, yang seperti menjadi lambang kekuasaan pusat. Contoh terakhir ini
mengemukakan lebih dalam lagi perubahan pandangan sastra warna lokal terhadap
budaya tradisional setempat dan modernisasi yang dipimpin pusat
(Bodden,2001:13-16).
Lain dengan
karya-karya Taufik Ikram Jamil. seperti karya Oka Rusmini, karya Taufik Ikram
Jamil juga memperlihatkan sikap kecewa yang dalam terhadap pusat. Tetapi
sebaliknya, karya Gelombang Sunyi
yang juga dengan paling tegas menggambarkan penilaian positif terhadap budaya
lokal dan dengan demikian, lebih mewakili arus baru dalam fiksi warna daerah.7 Untuk lebih dalam
memahami sifat-sifat karya-karya Taufik Ikram Jamil, kita harus menengok
penelitian Will Derks tentang sastra dan pemgembangan identitas Melayu di
propinsi Riau. Menurut Derks, banyak orang Melayu sudah lama merasa diri
tertindas dan dijajah dalam daerah Riau sendiri. Ini karena banyak sebab: orang
Melayu sering tidak dapat bagian dalam pembangunan ekonomis; mereka
kadang-kadang diusir dari tanah tradisional mereka untuk memungkinkan proyek
besar yang dimodali dari pusat, tetapi pada umumnya sulit dapat pekerjaan dalam
proyek-proyek besar itu; proses transmigrasi juga meruncingkan perasaan
marjinalisasi orang Melayu di tanah mereka sendiri; dan kalangan orang Melayu
tidak diwakili secara wajar dalam kalangan birokrat di Riau. Untuk menjawab
tantangan-tantangan ini, sebagaian dari orang Melayu di Riau sudah berusaha
untuk membangkitkan semacam identitas Melayu guna meperjuangan hak-hak dan
pengakuan yang selayaknya dari sesama warga Indonesia, dan terutama dari
pemerintah pusat (Derks 1997).
Sastra ikut serta
sebagai peserta dalam proses pembentukan identitas ini. Perasaan frustrasi
dengan marjinalisasi orang Melayu, dan dengan perubahan Bahasa Melayu yang dulu
hidup dan lincah tetapi sekarang menjadi Bahasa Nasional yang resmi kaku,
menyebabkan sastra Melayu mengangkat "silence"
(kesunyian) sebagai senjata untuk melawan marjinalisasi mereka. Dalam hal ini,
menurut Derks, kesunyian itu berarti banyak unsur mantra, bahasa, dan budaya
lokal yang ikut membentuk semacam teks yang seperti tidak ada acuan di luar
dirinya--yaitu, yang sebagian hanya dimengerti oleh orang Melayu yang paham
code itu. Tetapi ada tujuan lain dengan pemakaian bahasa, cerita dan referensi
Melayu itu. Taufik Ikram Jamil, seperti banyak dari penulis-penulis lain di
Riau, mau memanfaatkan unusur-unsur budaya yang khas Melayu itu guna
membangkitkan kesadaran identitas Melayu--atau dengan lain kata, membantu orang
Melayu lebih "tahu diri".
Di lain pihak, juga
ada unsur-unsur yang memperlihatkan bahwa karya-karya Taufik Ikram Jamil masih
ikut dalam wacana dan praktek sastra nasional Indonesia. Misalnya, dalam
cerpen-cerpen Taufik Ismail Jamil, seperti diuraikan Derks, kritik sosial
disampaikan lewat ketidaklangsungan atau kiasan, sebuah siasat yang juga
digunakan banyak penulis sastra nasional dari tempat lain-lain selama Orde Baru
(Derks 1998). Sosok-sosok dalam kiasan yang diciptakannya kerapkali mengacu
kepada tokoh-tokoh, peristiwa, dan keadaan Orde baru yang terkenal. Dan,
sebagian besar karyanya juga diterbitkan oleh penerbit atau majalah nasional di
Jakarta (Grmaedia, Kompas; Horison), sehingga kita bisa sadar bahwa Taufik
Ikram Jamil juga menempatkan diri sebagai seorang penulis yang di tengah arus
sastra nasional.
Kalau kita menyimak
novel Taufik Ikram Jamil Gelombang Sunyi
(2001), kita lihat sifat kedwigandaan atau kedwiarahan ini--baik tekanan kepada
identitas Melayu sebagai suatu hal yang positif dan perlu, maupun
petunjuk-petunjuk bahwa si penulis masih mau lihat dirinya sebagai peserta
dalam wacana-wacana sastra dan sosial nasional Indonesia. Dan sifat-sifat ini
erat berkaitan. Hubungan ini dicerminkan oleh urutan bagian teks sendiri yang
silih berganti menghadirkan dua dunia: dunia "sadar", dan dunia mimpi
atau "bawah sadar". Dalam yang pertama (yang "sadar")ini
kita ikuti pikiran si pembawa cerita untuk diberitahu semuanya tentang
kehidupan pribadi si pembawa cerita dengan isteri dan anak, tetapi juga tentang
bagaimana pembawa cerita jadi dikurung oleh orang yang identitasnya tidak jelas
di suatu tempat "gelap mengakap" tak terkenal (oleh sebab dia berusaha
membantu para penghuni sebuah kampung membela hak mereka atas tanah yang
direbut sebuah perkebunan nasional swasta) (4), perinci-perinci interogasinya,
penganiayaannya, percakapan-percakapan orang lain yang terkurung dalam ruang
yang sama tentang sejarah mereka dan tentang peristiwa lain di propinsi Riau
dan di seluruh Indonesia. Bagian-bagian ini bisa disebut ruangan persentuhan
dengan wacana dan dunia nasional. Dalam dunia yang kedua, yang biasanya
diceritakan pada saat pembawa cerita jatuh pingsan, tidur, atau kerasukan roh
halus, pembaca disajikan cerita-cerita dari sejarah kerajaan Riau-Lingga yang
melawan penjajah Belanda, dan khayalan atau mimpi buruk mengenai kemungkinan
pembawa cerita bisa larikan diri, bisa makan huruf Arab-Melayu, atau mampu bicara
dalam bahasa yang tak dikenalinya. Dunia ini lebih erat hubungan dengan ruangan
Melayu. Bergiliran, dua macam dunia ini membagi isi buku sehingga jumlah
halaman masing-masing hampir sama.
Tetapi hanya sampai
batas tertentu dunia "bawah sadar" bisa dikaitkan dengan dunia
Melayu, dan sebaliknya, dunia "sadar" bisa dilihat sebagai ruangan
wacana nasional, karena kedua arus novel ini tidak selalu terpisah dengan
jelas.
Kita pertama-tama bisa
menyadari hal ini sebab ada juga sifat-sifat "ke-Melayu-an" yang
tidak terkurung dalam bagian-bagian "bawah sadar" itu. Seperti pernah
disinggung Derks, karya Taufik Ikram Jamil penuh dengan salah satu unsur fiksi
warna lokal yang sangat dasar, yaitu, istilah-istilah dari bahasa daerah.
Tetapi karena bahasa Melayu sudah menjadi landasan untuk bahasa Indonesia,
kata-kata "lokal" yang dipakai Taufik Ikram Jamil dalam Gelombang Sunyi merupakan kata-kata yang
tidak atau jarang ditemukan dalam kamus Bahasa Indonesia resmi. Banyak yang
ejeannya mirip, tetapi tidak sama dengan kata dalam Bahasa Indonesia resmi. Dan
kata-kata ini bertebaran di seluruh novel (tanpa ada daftar kata di belakang
buku atau catatan kaki untuk menjelaskan artinya, satu hal yang biasanya ada
dalam karya-karya sastra warna lokal). Sama juga dengan hal kata-kata lipat
yang ada alliterasi atau rhyme internal dan yang sangat umum
dalam Bahasa Indonesia. Tetapi Taufik Ikram Jamil memakai susunan ini lebih
sering dari kebanyakan penulis sastra nasional Indonesia, dan dalam
pasangan-pasangan yang kurang biasa (oleng-gemoleng, gelap-mengakap,
sumpah-seranah). Ini salah satu cara dua dunia buku ini dikaitkan oleh Taufik
Ikram Jamil.
Satu cara lagi
bisa ditemukan dalam satu ciri bagian-bagian yang menceritakan sejarah
perlawanan kerajaan Riau-Lingga terhadap Belanda. Sejarah itu bisa dianggap
sebagai sebuah sejarah istimewa yang berguna untuk membangkitkan marwah
kalangan orang Melayu dalam sejarah mereka, dan juga sebagai bagian dari kode
"kesunyian" Melayu khusus, karena barangkali hanya dikenal dengan
baik oleh segelintir cendekiwan dan orang lain di Riau sendiri. Namum, sejarah
itu juga berperan sebagai bukti bahwa orang Melayupun patut diakui adanya
silsilah agung dalam kitab resmi nasionalisme negara Indonesia, dengan arti,
juga ikut melawan Belanda dengan cara-cara tersendiri. Bagian-bagian ini yang
merupakan hampir satu per tiga dari seluruh narratif melukiskan, dengan banyak
unsur rekaan supaya cerita menjadi lebih akrab, perlawanan berbagai orang
kerajaan Riau-Lingga terhadap penjajah Belanda dengan berbagai macam siasat:
bahasa mahir yang bisa berkelit-kelit dan sulit diarahkan atau dihentikan,
seperti dipakai Ali Bukit menghindari pertanyaan-pertanyaan para
penginterogator Belanda (31-32); penolakan persetujuan kepada kehendak Belanda
dan pelarian ke Singapura, seperti dilakukan Sultan Riau-Lingga (20-23); usaha
diplomasi Khalid Hitam yang sampai ke Tokyo pun untuk mencari dukungan dalam
mempertahankan kemerdekaan kerajaan (24, 124); penolakan tahanan politik untuk
bicara kepada para penginterogator (32-36); bantuan seorang biasa, yang bernama
Kria, yang menolong Sultan lari dari Belanda (109); ribuan penduduk Penyengat
yang mengungsikan diri daripada mengakui kekuasaan Belanda (119); dan
perlawanan perdebatan yang diusahakan Abu Muhammad Adnan kepada Residen
Burinskops (119-128). Dengan semua contoh ini, Taufik mau angkat harkat orang
Melayu, namun demikian pada saat yang sama bagian-bagian ini juga jelas punya
sasaran khalayak sastra nasional Indonesia.
Bagian-bagian sejarah
Melayu ini ternyata ada sifat yang lain yang juga membangun kaitan di antara
ruangan Melayu dan ruangan nasional, maupun menyebabkan dua bagian itu mengalir
bercampur. Sangat gampang untuk melihat bahwa sejarah perlawanan kerajaan
Riau-Lingga itu juga bisa dibaca sebagai kiasan, atau paling tidak, garis
lintang sejajar dengan peristiwa zaman Orde Baru di Riau. Persis seperti
pembawa cerita sendiri dan penduduk desa yang mau dibantu pembawa cerita
membela tanah mereka terhadap perekbunan nasional swasta, pada abad yang lalu
penduduk-penduduk Riau-Lingga juga menghadapi interogasi brutal, penindasan,
dan pemerasan kekayaan dari pihak Belanda. Dalam bagian-bagian sejarah itu, ada
juga kata-kata anachronistis yang muncul dari mulut-mulut tokoh abad
ke-19--seperti "diculik dan dilenyapkan" (112), atau "hak asasi
manusia" (29)--yang seperti ikut mencairkan batas di antara peristiwa
dunia abad kesembilanbelas dan zaman sekarang novel ini.8 Lewat sifat cair ini
di antara dua bagian novelnya, kita bisa lihat hubungan alam Melayu dengan
ruangan nasional semakin jelas. Persoalan-persoalan bagian-bagian "bawah
sadar" tidak semuanya terkurung dalam ruang Melayu secara eksklusif,
karena persoalan-persoalan yang diangkat di situ lewat adegan tokoh kerasukan
roh kitab sejarah kerajaan Melayu, dan adegan mimpi pelarianpun, juga mengalir
menyatu dengan persoalan-persoalan yang ada dalam bagian-bagian
"sadar". Semakin banyak kita baca dari bagian-bagian
"sadar" itu, kita juga menghadapi masalah-masalah seperti
penganiayaan aparat kekuasaan terhadap warga Riau, dan pencurian tanah dan
sumber kekayaan alam oleh persuahaan swasta nasional (47-48) yang sekeji, atau
mungkin lebih keji dari itu yang dilakukan Belanda. Hal-hal begini ditambah
dengan sejumlah soal lain yang sudah umum di Indonesia pada zaman mutakhir:
bahaya yang dihadapi wartawan yang menulis tentang korupsi (19), kisah
pembantaian diantara kelompok-kelompok etnis, atau unjuk rasa yang dilakukan
oleh para mahasiswa.
Semua ini menancapkan
bendera bagian-bagian ini secara teguh di tanah ruang nasional. Dan harus
diakui, habis cerita-cerita dari ruangan nasional mutakhir mengenai
penganiayaan, intergogasi, pencurian tanah, kekuasaan sewenang-wenang, citra
ruang itu semakin dinodai.
Tidak bisa dibantah
bahwa kemarahan dan frustrasi dengan pemerintah pusat, "perusahaan swasta
nasional", dan kekerasan aparat sangat tinggi dalam novel ini. Dengan
sifat kiasan cerita perlawanan kerajaan Riau-Lingga terhadap Belanda, sangat
gampang untuk menilai bahwa logika kiasan itu menuntut kita menafsirkan
hubungan pemerintah pusat Indonesia dengan Riau sebagai sebuah penjajahan baru.
Memang, dalam cerita Riau-Lingga, banyak orang pilih pengungsian dari daerah
Riau-Lingga daripada dikuasai Belanda. Tetapi ini semuanya diimbangi oleh
kehadiran tokoh Abu Muhammad Adnan, seorang hakim kerajaan Riau-Lingga yang
tidak sampai hati meninggalkan tanah airnya. Menurut Abu Muhammad Adnan, yang
tidak ragu-ragu berdebat dengan Residen Burinskops tentang sahnya atau tidak
penjajahan Belanda terhadap daerah Riau-Linnga, orang-orang yang meninggalkan
tanah air Riau-Lingga itu belum bisa membedakan di antara Sultan dan negeri.
Bagi dia, negeri yang lebih penting. Dia menganjurkan supaya orang tetap
tinggal di Riau-Lingga, karena kalau belum dapat semua yang diinginkan, masih
tidak boleh tinggalkan yang sudah diraih (115). Bagi dia, untuk mengungsikan
diri adalah tindakan egois yang artinya "hanya menyelamatkan diri
semata-mata tanpa mengingat hal lebih besar." Jalan perlawanan yang dipilh
Abu Muhammad Adnan ialah dialog dengan Belanda, dan usaha meyakinkan mereka
bahwa mereka bertindak secara salah (118-29).
Usaha-usaha Abu
Muhammad Adnan juga disejajarkan dengan beberapa perdebatan di dalam
bagian-bagian "sadar" yang ceritakan pengalaman si pembawa cerita di
dalam pertahanan. Setiap kali ada pembicaraan yang menyinggung soal negara,
yang dilontarkan sebagai logika atau argumentasi pemerintah pusat dan
instansi-instansinya selalu diperdebatkan oleh pembawa cerita atau tokoh-tokoh
lain yang ada di dalam tahanan. Misalnya, pembawa cerita membantah pernyataan
penginterogatornya yang menyimpulkan bahwa protes terhadap proyek pembangunan
besar hanya bikin negara malu di depan mata internasional. Bagi pembawa cerita,
bukan protes yang semestinya bikin negara malu, melainkan usaha sejumlah
orang--keluarga istana dan kroni-kroninya--untuk merampas tanah rakyat (46-48).
Waktu orang-orang sesama tahanan bicarakan soal transmigrasi dan kesukuan di
negara, mereka mengeluarkan pendapat bahwa keseragaman nasionalisme yang
abstrak dan dipaksakan, dan yang memandang "pikiran lokal" sebagai
musuh, lebih baik diganti dengan sebuah pandangan yang akan biar kreativitas
lokal berkembang dan bersatu dengan budaya pendatang baru secara wajar. Sebab,
menurut tokoh-tokoh tahanan ini, hasil pemaksaan budaya nasionalisme seragam
ini adalah pembantaian diantara suku-bangsa-suku bangsa. Salah satu dari mereka
terus menceritakan contoh pembantaian itu yang mengerikan dan mengingatkan kita
kepada peristiwa Kalimantan (80-88). Mereka juga yang menilai bahwa seharusnya
pemerintah, daripada menculik, memeriksa, menyiksakan, ataupun membunuh mereka,
harus berterima kasih kepada orang yang membela hak rakyat. Pendapat serupa
juga diutarakan oleh pembawa cerita waktu sedang dininterogasi (91, 49).
Meksipun semua
ini bisa dianggap kritik yang cukup tajam, semuanya juga menandai sebuah
keinginan para tahanan untuk berdialog dengan negara dan aparatnya (dan dilihat
pada tingkat novel ini, novel ini juga mau berdialog dengan publik pembaca
sastra Indonesia). Tesis ini diperkuat oleh konsep, yang nampak dalam Gelombang Sunyi, bahwa manusia perlu
dialog atau paling tidak, cermin, pandangan dari luar, untuk lebih mengenal
diri. Pembawa cerita ngeri sekali kalau dalam keadaan kesendirian (96). Pada
saat yang lain, dia berpikir bahwa manusia itu pincang tanpa orang lain, dan
terutama tanpa umpan balik untuk pikiranannya (3). Kebutuhan manusia bagi orang
lain dan "timbal-balik" yang bisa terjadi di dalam hubungan dua
manusia, atau dua kelompok, menganggap adanya sebuah kepribadian individu yang
berhak dihormati, dan yang punya otonomi (16), dan dengan demikian
memperlihatkan pengaruh modernisme sastra Indonesia yang kontinu. Tetapi pada
sat yang sama, menurut logika novel ini, individu itu tidak bisa lepas, dan
memang sangat membutuhkan, hubungan dan dialog dengan orang lain. Argumentasi
ini juga dianggap sahnya untuk kelompok orang, seperti suku bangsa, misalnya.
Ini menjadi nyata pada saat tahanan sesama pembawa cerita bicarakan tugas guru
dan mahasiswa. Si mahasiswa memuji sang dosen:
Kau telah ajarkan
murid-muridmu untuk membaca kebenaran dalam usia muda sepertiku. Saat kami
sibuk kuliah dan unjuk rasa, kau justru mendidik puluhan orang untuk menolak
kebatilan, menolak sejarah yang terpesong, memberi
makna bagi daerah bahwa mereka juga berhak bersuara. (102)
Jelas bahwa dalam anak
kalimat terakhir, si mahasiswa menyamakan daerah dengan manusia yang punya
"suara". Dengan bahasa metaforis, hak salah seorang untuk bicara juga
diberi kepada daearh, atau dengan kata lain, suku-bangsa seperti suku-bangsa
Melayu Riau.
Semua ini memberi kesan,
lewat analogi, bahwa Riau tidak perlu tinggalkan Indonesia, melainkan bahwa
pemecahan persoalan Riau dan beberapa daearah yang lain dengan pemerintah
pusat, adalah semacam proses timbal-balik dengan pertukaran pikrian dan kritik
yang jujur dan diterima dengan lapang dada. Maka, untuk membalas
ketidakadilan-ketidakadilan berat yang digambarkan di dalamnya, novel ini
menganjurkan dialog sebagai penyelesaian, daripada kekerasan yang ditolak
pembawa cerita sebagai jalan yang tidak masuk akal (98-99). Para dialog di
dalam buku ini menawarkan fragmen-fragmen dari sebuah pandangan baru, semacam
cara baru untuk membayangkan negara. Cara baru ini, kalau dikembangkan, bisa
mengganti gagasan negara persatuan dan kesatuan yang sudah terlalu kaku dan
berlumuran darah pemaksaan. Dalam cara berpikir yang baru ini, identitas lokal
bisa memberi makna, bisa menata kehidupan manusia setempat dan bekembang
berubah secara wajar menjadi budaya nasional yang beragam lewat dialog kreatif
yang terus-menerus.9
Dialog yang
dibayangkan novel ini rupanya tanpa akhir. Pada satu titik dalam salah-satu
mimpinya, si pembawa cerita menemukan diri di tengah kebun luas yang
pohon-pohonnya berdaun dengan huruf-huruf Arab-Melayu. Karena lapar dan haus,
pembawa cerita mulai makan huruf-huruf Arab-Melayu itu. Anehnya, makin lama dia
makan lapar-hausnya tidak menyusut, melainkan tambah besar sehingga dia mau
makan terus (151). Adegan ini seperti melambangkan baik kebutuhan pembawa
cerita untuk pengetahuan (makan huruf) maupun untuk mencernakan identitas
Melayu (huruf Arab-Melayu) yang tak pernah akan selesai. Implikasinya ada,
kalau proses pencernaan identitas kedaerahan tak pernah selesai, dialog daerah
dan negara akan senantiasa berlangsung juga. Baik indentitas daerah, maupun
identitas nasional ditarik di luar kurungan konsep kaku dan selesai menjadi
sebuah proses yang harus berlangsung terus.
Namun, dengan semua
kekerasan dan keteganangan yang dilukiskan teks novel ini, pemecahan ini
mungkin hanya bisa dialami sebagai sebuah imbauan atau permohonan, yang penuh
kekhwatiran dan kepiluan, supaya Indonesia bisa membayangkan diri kembali
secara baru sebagai sebuah negara, menciptakan diri kembali supaya mundur
setapak demi setapak dari jurang kehancuran. Ketidakpastian yang tersirat dalam
ketegangan novel ini hanya dilihat secara tidak sempurna dalam kiasan kerajaan
Riau-Lingga (sebab pertentangan negara-daerah tidak persis sama dengan
pertentangan kerajaan-penjajah dalam kiasan Riau-Lingga), dan khususnya, dalam
ketidakpastian Abu Muhammad Adnan, yang meskipun sudah ambil keputusan untuk tetap
tinggal di Riau di bawah penjajahan Belanda, secara terus-menerus terpaksa
menimbang kembali keputusan itu dalam pengadilan pikirannya sendiri, dan yang
hanya bisa mencari pelarian dari "kecamuk pikirannya yang memburu
hari-harinya" dengan kekuasaan dan kreativitas pematungan sederet patung
perempuan telanjang yang indah (130).
Tetapi dibandingkan
dengan kesenian Abu Muhammad Adnan yang merupakan pelarian dari persoalan
nyata, novel Taufik Ikram Jamil ini berusaha memanfaatkan kreativitasnya
sebagai alat untuk memecahkan persoalan. Atau paling tidak, untuk memberi
petunjuk ke arah yang lebih sehat. Jadi, dalam Gelombang Sunyi
penggambaran warna lokal sudah berubah jadi lain lagi. Daripada serentetan
teknik untuk melukiskan tatanan kehidupan sehari-hari keluarga dan komunitas,
atau untuk menggambarkan kepercayaan, upacara, dan kebiasaan rohani sebuah
komunitas seperti dalam sebagian besar novel-novel warna lokal tahun-tahun
70-an dan beberapa novel warna lokal yang baru (misalnya, Tarian Bumi),
karya Taufik Ikram Jamil ini sudah mengajukan sebuah makna baru untuk novel
warna lokal. Dalam novel ini, warna lokal dirubah menjadi sebuah identitas
linguistik, budaya, dan sejarah yang jelas sebagian merupakan ciptaan bebas
manusia yang akan selalu berkembang dan berubah. Perinci-perinci kehidupan dan
tatanan keluarga atau kebiasaan rohani tidak digambarkan secara etnografis, dan
hampir tidak ada sama sekali. Melainkan, ke-Melayu-an digambarkan sebagai hadir
dalam bahasa, dalam struktur novel ini (dengan perhatiannya kepada mimpi dan
keadaan kemasukan roh halus), dan dalam penggambarannya pengalaman sejarah. Ini
juga menunjukan semacam konsep identitas yang lebih lincah, lebih fleksibel,
lebih gampang disesuaikan dengan keadaan yang berubah.
Dengan begini, kalau
dikaitkan dengan tanda-tanda baru seperti diuraikan di atas, kita bisa lihat
bahwa sastra nasional Indonesia sedang menegaskan otonomi dari ideologi negara
dan sebagian besar para politikus, dengan perintisan sebuah gagasan baru
tentang nasionalisme dan identitas lokal. Konsep yang mana yang paling arif
untuk masa depan masih perlu diuji coba.
Allen, Pamela. 2001.
"Beauty and the brahmana: Oka Rusmini's Tarian Bumi," Coast Lines I/01: 27-32.
Bodden, Michael. 2001.
"Indonesian Local Color Novels and the Tensions of Modernity," Coast Lines I/01: 7-16.
Bourchier, David.
1997. `Totalitarianism and the "national personality"; Recent
controversy about the philosophical basis of the Indonesian state', in Jim
Schiller and Barbara Martin-Schiller (eds), Imagining
Indonesia, pp. 157-185. Athens, Ohio: Ohio University Center for
International Studies [Southeast Asian Monographs No. 97].
Derks, Will. 1997.
"Malay Identity Work," Bijdragen
tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde 153: 699-716.
-----. 1998.
"`Because I'm a Malay'; Taufik Ikram Jamil between nation and
region," in Paul van der Velde and Alex McKay, (eds.), New Developments in
Asian Studies; An Introduction, pp.
228-44. London: Keegan Paul.
Harun, Chairul. 1979.
Warisan. (Jakarta: Pustaka Jaya)
Jamil, Taufik Ikram.
2001. Gelombang Sunyi. (Jakarta: Kompas)
Jasmi, Khairul. Ketika
Jenderal Pulang. (Padang: Citra Budaya Indonesia).
Mangunwijaya, Y.B.
1981. Burung-burung Manyar. (Jakarta: Jembatan)
-----. 1983. Ikan-ikan
Hiu, Ido, Homa. (Jakarta: Jembatan)
Moenir, Darman. 1983.
Bako. (Jakarta: Balai Pustaka)
Poso, Nurhidayat.
1999. Gerundelan Wong Tegal. (Tegal: Forum Dialog Budaya Tegal)
Rampan. Korrie Layun.
1978. Upacara. (Jakarta: Pustaka Jaya)
-----. 1999. Api Awan
Asap. (Jakarta: Grasindo)
Rusmini, Oka. 2000.
Tarian Bumi. (Magelang: Indonesiatera)
Tohari, Ahmad. 1982.
Ronggeng Dukuh Paruk. (Jakarta: Gramedia)
-----. 1985. Lintang
Kemukus Dini Hari. (Jakarta: Gramedia)
-----. 1986. Jantera Bianglala.
(Jakarta: Gramedia)
Wijaya, Putu. 1971.
Bila Malam Bertambah Malam. (Jakarta: Pustaka Jaya)
Catatan Akhir
1 Kesenian, agama, dan pilihan pembawa cerita untuk menjadi
penulis dianggap hal-hal penting yang mendukung dan memajukan hasratnya untuk
mencari pengetahuan yang lebih sempurna (15, 68-70, 72-73, 74-76).
2 Missalnya, dalam Bila
Malam Bertambah Malam (1971), asosiasi tokoh Ngurah dengan sebuah perguruan
tinggi di Jawa membangun hubungan dengan ruang negara yang lebih luas dari
kampung halamannya di bali. Dalam karya-karya Umar Kayam "Bawuk" dan
"Sri Sumarah" (1973) ada peristiwa-peristiwa nasional tahun-tahun
60-an yang selalu menghantui bahkan sangat memengaruhi kehidupan para tokoh
utama--khususnya peristiwa-peristiwa coup September 30 1965. Upacara (1978), karya Korrie Layun
Rampan, berakhir dengan suara radio yang menyuarakan semboyan-semboyan
nasionalis yang disetujui sang pembawa cerita. Demikian juga, karya Chairul
Harun, Warisan (1979),
memperbandingkan tokoh Rafilus dan keluarganya, yang berdiam di Jakarta, dengan
sanak-famili mereka di Sumatra Barat; dalam perbandingan ini Jakarta dilukiskan
sebagai tempat di mana orang kerja keras, mandiri, dan maju, sedangkan budaya
lokal penuh kemunafikan dan parisitisme. Bako
(1980) Darman Moenir pun sempat memperlihatkan pengaruh ruang nasional dengan
kekaguman pembawa cerita akan tokoh-tokoh budaya tingkat nasional seperti
Chairil Anwar, dan dengan persamaan yang dibayangkan si "aku" di
antara Uminya dan Kartini. Dalam novel-novel Mangunwijaya seperti Burung-Burung Manyar (1981) dan Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1983), naratif
pembentukan negara dan kesadaran nasional, atau sebaliknya, sejarah lama sebuah
daerah yang kemudian terpinggirkan dalam negara Indonesia, jadi sangat penting.
Dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
(1982-86) kita bisa menyaksikan semacam pengagungan instansi negara (tentara)
sebagai penyelamat dari, atau alternatif terhadap, budaya desa yang primitif
dan cabul, meskipun pada akhirnya kita juga merasa kekecewaan si narrator
dengan jalur pembangunan negara dan instansi tentara sampai saat itu.
3 Lihat sekali lagi Bako Darman Moenir untuk satu contoh sikap seorang individu yang
mau menentukan jalan kehidupannya sendiri tanpa campur tangan warga sekampung
(Moenir 1983, 15, 71-74, 91)
4 Bahkan, bisa dinilai bahwa, meskipun modernisasi
didukung dalam karya Bako, belum tentu itu berarti modernisasi gaya Orde Baru.
Karena si "aku" jelas lebih senang berpendidikan untuk mencari
pengetahuan daripada pekerjaan tetap, "apalagi dengan pemerintah."
Semacam alternatif yang ditawarkan secara implisit oleh novel ini adalah
menjadi seorang cendekiawan yang masih kuat hubungannya dengan nilai-nilai
Islam.
5 Juga perlu dicatat bahwa pada saat yang kira-kira
sama, kedengaran dari berbagai daerah tuntutan untuk desentralisasi
pemerintahan.
6 Sebaliknya, meskipun novel ini menkritik keras
tradisi Bali yang menciptakan citra perempuan yang begitu menindas masih ada
keinginan untuk mempertahankan beberapa sifat budaya tradsional terpilih yang
dianggap sepatutnya dilestarikan karena merupakan budaya yang indah dan luar
biasa--seperti diakui orang asing (88). Sudut pandangan ini paling ditonjolkan
lewat tokoh Luh Kambren, yang sangat kesal terhadap orang asing. Kalau negara
tidak begitu kelihatan dalam novel ini, orang asing sanggat hadir sebagai
ancaman terhadap budaya dan perempuan Bali yang seberat tingkah-laku sebgaian
besar lelaki Bali sendiri. Mereka paling menonjol dalam cerita pengalaman hidup
Meme Kambren. Pada umumnya, Kambren merasa orang asing itu mengobyektifikasikan
badan dia sebagai lambangan keindahan Bali (86). Ada laki-laki Jerman yang
rakus, sadis, dan cabul yang menikah Luh Dampar dan menyebabkan dia untuk
menbunuh diri; ada perempuan Belanda yang sombong; ada juga cinta Kambren bagi
seorang Perancis yang tidak sampai (85-91). Ada kesan semua dari
"Barat" menjijikkan Kambren. Telaga juga merasa cemas waktu Wayan mau
berangkat pameran di Jepang karena takut dia akan pulang dengan permepuan Barat
(106-107). Kalau perempuan Bali menganggap "barat" dan dunia luar
sebagai sebuah ancaman yang menjijikkan, lain dengan Ketu dan Wayan,
pelukis-pelukis laki-laki yang justru membanggakan referensi dari dunia seni
lukis asing seperti Guernica Picasso
(107) atau Frida Kahlo (134). Ini satu lagi perbedaan gender dalam novel ini
yang patut diteliti lebih lanjut.
7 Sikap kekecewaan terhadap pusat bisa juga ditemukan
dalam karya-karya warna lokal baru seperti novel Gus tf Sakai, Tambo (2000), dan cerpen Chairul Jasmi, Ketika Jenderal Pulang (1999). Karya
Nurhidayat Poso, Gerundelan Wong Tegal
(1999) juga mengandung unsur ini. Dan semua karya ini juga menunjukan semacam
sikap kebanggan terhadap aspek-aspek terpilih budaya lokal, serta identitas
lokal, sebagai alat pengimbangan kepada pusat.
8 Ada hal-hal lain yang memperkuat kaitan ini. Dalam sebuah
bagian di mana pembawa cerita, di tengah mimpi berlari dari tahanan, ketemu
dengan orang-orang sedesa yang sedang dikejar tentara dan yang ceritakan bahwa
anggota-anggota keluarga mereka dibunuh, dikuburkan secara massal, dihilangkan,
diperkosa (135-145). Dalam bagian-bagian "sadar"pun, ada hal-hal yang
menjurus ke dunia mimpi dan gaib yang lebih kuat digambarkan dalam
bagian-bagian "bawah sadar". Mislanya, burung-burung diajarkan bicara
supaya bisa membawa berita kepada orang lain (4), atau wawancara dengan hantu,
pikiran tentang orang kerasukan roh halus (12-14). Di samping itu, waktu sadar
pembawa cerita juga masih ingat pembicaraan yang disertainya dalam bahasa yang
tak dikenalinya yang terjadi dalam dunia mimpi (99) dan percakapan para orang
sesama pertahanan mengangkat soal nasib dengan citra bahwa nama kita semua
ditulis di sehelai daun (95), satu hal ynag akan mengingatkan kita kepada
adegan-adegan kebun yang daun tanamannya merupakan huruf Arab-Melayu.
9 Dalam novel ini ada beberapa petunjuk bahwa proses ini
terjadi kalau orang memaknai dan menata kehidupan lewat hasrat, ideolgy, dan
cerita yang memanggil gagasan menjadi nyata. Lihat halaman-halaman 39, 54, 107.
Kalau ini bisa dianggap sebuah ide yang berbau "posmodernisme", perlu
diingat bahwa konsep mantra, yang plaing terkenal pada zaman Orde Baru dalam
puisi Sutardji Calzoum Bachri (tetapi yang juga sering dipakai dalam
puisi-puisi penyair lain di Pekanbaru--Derks 1997) sejak zaman purbakala dianggap
mempunya kekuatan gaib untuk memanggil sebuah roh halus untuk hadir lewat
gabungan manjur dan magis kata dan bunyi.
Dipaparkan dalam PILNAS
HISKI VIII di Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar