Khalid Saifullah |
Investigasi
dilakukan Walhi Sumbar menemukan, setiap aktivitas pengambilan kayu secara ilegal di Sumatera Barat, selalu
melibatkan oknum dari kepolisan dan oknum dari TNI sebagai backing, bahkan ada juga yang menjadi aktor utamanya (cukong)
sebagai penyedia modal dan peralatan di samping itu ada juga oknum dari Dinas
Kehutanan. “Menumpas pembalakan hutan, sama persis beratnya dengan menumpas
korupsi di negeri ini. Ia sudah mendarah
daging,” kata Khalid Saifullah, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat. Berikut
petikan wawancaranya dengan Nasrul Azwar.
Bagaimana komentar WALHI tentang kondisi hutan Sumatra
Barat saat ini?
Jika
kita lihat secara kasat mata dari kejauhan maupun dengan menggunakan helicopter
kondisi kawasan hutan kita di Sumatera Barat sepertinya masih terlihat baik-baik
saja karena terlihat masih tertutup oleh hijaunya perbukitan.
Namun
dari hasil temuan investigasi kami ternyata telah terjadi deforestasi
(berkurangnya tutupan kawasan hutan) dan bahkan pada beberapa daerah justru
telah terjadi degradasi kawasan hutan yang cukup parah diantaranya adalah Kabupaten
Pasaman, Pasaman Barat, Solok, Solok Selatan, Pesisir Selatan dan Kota Padang.
Degradasi kawasan hutan ini terjadi sebagian besar karena aktivitas pembukaan
perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan juga perladangan.
Tak sampai dua bulan terjadi banjir bandang di Kota
Padang, dan menewaskan 4 orang warga, bagaimana pandangan Walhi dalam hal ini?
Pertama
kami turut prihatin buat saudara kami yang terkena hantaman banjir bandang dari
aliran sungai Batang Kuranji.
Terjadinya
banjir bandang 2 kali pada daerah dan titik yang persis sama, ini sebenarnya
membuktikan bahwa telah terjadinya penurunan kualitas dan daya dukung dari DAS
Kuranji, terutama di bahagian hulu. Memang secara topografi bahagian hulu
merupakan wilayah perbukitan dengan kelerengan mulai terjal sampai sangat
terjal dan merupakan daerah jalur patahan semangka (jalur gempa). Namun dengan
kelerengan terjal sampai sangat terjal tersebut kawasan hulu DAS Kuranji sangat
rentan terhadap aktivitas yang bisa mengurangi tutupan hutan pada daerah
tangkapan air di bahagian hulu tersebut. Karena daerah dengan kondisi
kelerengan terjal dan sangat terjal tersebut kemampuan menyerapnya sangat
rendah dan run off (aliran
permukaannya) besar.
Kawasan mana di Sumatra Barat yang kondisi hutannya sudah
sangat parah sehingga rawan terjadi bencana?
Secara
umum seluruh daerah tangkapan air dari aliran sungai-sungai besar di Sumatera
Barat sudah mengalami kerusakan yang cukup parah. Beberapa diantaranya sudah dalam
kondisi yang cukup mengkhawatirkan seperti bahagian hulu dari DAS Aie Dingin,
DAS Kuranji, DAS Arau, DAS Anai, DAS Kampar, DAS di Kabupaten Mentawai, DAS
Lakitan, DAS Surantih, DAS Silaut DAS Kambang, DAS Indrapura, DAS Batang Hari
terutama Sub DAS Sangir dan Sub DAS Gumanti. Kerusakan kawasan hutan yang
menjadi tangkapan air tersebut terutama karena aktivitas Pengambilan Kayu
(Pembalakan Liar), Alih Fungsi Lahan untuk Perkebunan dan Peladangan,
Pertambangan dan IUPHHKA (HPH).
Berapa luas hutan Sumbar yang masih “perawan” dan
terjaga, dan berapa hektare yang babak belur dan dialihkan ke perkebunan atan
pertambangan?
Luasan
dalam bentuk angka kami belum memiliki datanya, hal ini memang lebih pada
sangat terbatasnya sumberdaya untuk bisa memastikan berapa luasan kawasan hutan
yang masih “perawan” tersebut. Namun dari hasil investigasi kami di beberapa
tempat, hutan “perawan” hanya akan bisa kita temukan pada zona inti Taman
Nasional dan kawasan Cagar Alam.
Begitu
juga dengan luasan kawasan hutan yang sudah rusak (baik mengalami deforestasi
dan degradasi). Namun kami yakin sudah sangat luas yang mengalami kerusakan,
salah satu contoh misalnya berdasarkan hasil investigasi kami pada tahun 2006
di Pasaman Barat tepatnya di Air Bangis ditemukan sekitar 373 ha kawasan hutan
produksi yang dialihfungsikan untuk perkebunan kelapa sawit oleh Koperasi.
Kemudian juga terjadi penggunaan kawasan hutan terutama hutan lindung baik
secara legal (pinjam pakai kawasan hutan), maupun secara ilegal untuk aktivitas
pertambangan seperti untuk penambangan batu kapur PT. Semen Padang (pinjam
pakai kawasan hutan lindung).
Apa komentar Anda tentang SK Menhutbun No.
442/Kpts-II/1999 tentang penunjukan kawasan hutan Propinsi Sumatra Barat?
Yang
perlu sama-sama kita pahami adalah bahwa SK Menhutbun No. 442/Kpts-II/1999
tersebut baru penunjukan kawasan hutan belum lagi penetapan kawasan hutan,
sampai saat ini setahu kami masih belum ada penetapan kawasan hutan di Sumatera
Barat. Dari hasil investigasi kami pada beberapa kawasan di beberapa kabupaten
kota, ternyata ditemukan sudah terdapat alih fungsi kawasan secara ilegal baik
untuk perkebunan, peladangan dan pertambangan. Sehingga kami yakin dalam fakta
di lapangan luas kawasan hutan seperti yang disebutkan SK tersebut tidak sesuai
lagi. Apalagi dalam revisi RTRW Propinsi Sumatera Barat ada usulan penurunan
status kawasan yang kemudian juga sudah disetujui oleh Menteri Kehutanan lebih
kurang seluas 128.000 ha.
Penebangan hutan dan membalakan kayu secara liar terus
berlangsung. Dan belum terlihat upaya serius dari aparat untuk menghentikannya.
Bagaimana Walhi menyikapinya?
Menyangkut
aktivitas pengambilan kayu secara ilegal, dalam konteks penegakkan hukum memang
sampai saat ini belum ada upaya serius aparat untuk melakukan penegakkan
hukum terhadap pelaku, khususnya
terhadap cukong dan pembekingnya. Sampai saat ini aparat penegak hukum baru
mampu melakukan penegakkan hukum sebagian besar pada sopir truk dan atau tukang
becak motor pembawa kayu belum kepada cukong dan pembeking.
Namun
jika memang ingin mengurangi aktivitas pengambilan kayu secara ilegal didalam
kawasan hutan tidak bisa hanya dengan melakukan penangkapan apalagi yang
tertangkap juga baru pelaku dibawah belum actor utamanya, akan tetapi ada
persoalan mendasar yang lain yang harus juga menjadi prioritas untuk ditangani
seperti; masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan (inclaf) yang mayoritas
miskin, Perbedaan antara ketersediaan kayu yang legal secara administrasi dan
layak secara ekologis dengan permintaan (kebutuhan) kayu untuk pembangunan di
Sumatera Barat, lemahnya pengawasan dan control terhadap kawasan hutan termasuk
terhadap perusahaan yang sudah mendapatkan izin.
Sepanjang investigasi yang dilakukan Walhi, pihak mana
yang paling banyak berperan dalam “operasional” pembalakan kayu dan perusahaan
mana yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung?
Dari
hasil investigasi kami, setiap aktivitas pengambilan kayu secara ilegal, selalu
melibatkan oknum dari Kepolisan dan oknum dari TNI sebagai backing, bahkan ada
juga yang menjadi actor utamanya (cukong) sebagai penyedia modal dan peralatan
disamping itu ada juga oknum dari Dinas Kehutanan.
Tampaknya pemerintah berlomba-lomba mengalihfungsikan
hutan menjadi areal tambang dan kebun, sebenarnya bagaimana prosedur izinnya
dan apakah memang rawan “permainan” di pengurusan izin itu?
Secara
prosedur sesuai peraturan perundangan (UU No 41 tahun 1999 dan peraturan
pelaksananya) proses alih fungsi kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan
tidak mudah karena harus ada persetujuan dari DPR kemudian baru Menteri. Namun
yang banyak terjadi itu justru sebenarnya proses alih fungsi lahan baik untuk
perkebunan maupun pertambangan dilakukan tanpa izin. Ini terjadi karena
lemahnya pengawasan dan terjadinya konspirasi sehinga berlangsunglah pembiaran
terhadap aktivitas alih fungsi kawasan tersebut sampai ada yang mengusik dan
atau melaporkan.
Dinas Kehutanan Sumatera Barat mencatat kasus pembalakan
liar terjadi di sembilan dari 19 kabupaten/kota yang ada. Apa komentar Anda?
Dari
hasil investigasi kita, semua kabupaten yang memiliki kawasan hutan dipastikan
juga terjadi aktivitas pengambilan kayu secara ilegal dalam kawasan hutan
tersebut. Semakin luas kawasan hutanya makan semakin tinggi juga aktivitas
pengambilan kayu secara ilegal di daerah tersebut. Karena aktivitas disetiap
daerah tersebut terus melakukan pembangunan yang membutuhkan material
diantaranya kayu. Sementara pasokan kayu yang legal secara administrasi dan
layak secara ekologis tidak ada.
Jika dikategorikan, ada tiga pola kegiatan illegal logging dan penjarahan hutan
itu: penebangan liar, pengangkutan kayu tanpa dokumen, serta pendudukan lahan.
Bagaimana Anda menilai ini?
Dalam
aktivitas pembalakan liar ini ada beberapa modus yang biasa digunakan oleh para
pelakunya, yaitu Pertama: Legal–Ilegal,
dalam modus ini para pelaku mengemas praktek pembalakan liar dengan berkedok
Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) atau Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang sekarang
disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Secara prosedur
perizinan para pemilik izin telah melalui prosedur perizinan sesuai dengan
peraturan yang berlaku, akan tetapi dalam proses perizinan tersebut kemudian
terjadi manipulasi-manipulasi dokumen dan data, seperti pada saat pengecekan
kelayakan dan kesesuai lahan, lokasi, pemeriksaan batas areal kosesi yang
diajukan atau diberikan dan pada pelaksanaan cheking cruising. Sedangkan pada
tingkat operasional sering terjadi manipulasi dokumen/data seperti palu tok
pada setiap kayu bulat, pembuatan laporan hasil penebangan (LHP) dan penerbitan
SKSHH.
Kedua: Ilegal–Legal, dalam modus ini para pelaku/cukong mengupahkan pada
masyarakat sekitar kawasan hutan maupun dari daerah lain untuk melakukan
penebangan sesuai dengan pesanan. Kayu hasil tebangan dalam bentuk balok/kayu
olahan kemudian dibawa ke sawmil (atau ke perbatasan pesisir dengan Muko-muko
khusus di Kab. Pesisir Selatan), keluar dari sawmil atau sampai di perbatasan
kemudian dikeluarkan SKSHH-nya. Ketiga: Ilegal dalam modus ini para
pelaku/cukong menerima pesanan dari pemilik toko bangunan atau pemilik rumah
dan atau penanggung jawab proyek, kemudian pemilik Sawmil atau chinsaw
mengupahkan pada masyarakat untuk melakukan penebangan. Setelah kayu
dikeluarkan dari hutan dalam bentuk balok/kayu olahan kayu kemudian dibawa ke tempat
konsumen. Modus ini juga bisa dengan menggunakan dokumen SKAU (surat keterangan
asal usul), tapi jenis kayunya kayu hutan alam seperti, banio, merantih,
timbalun, marsawa dan balam yang sebenarnya tidak boleh menggunakan dokumen
SKAU.
Untuk
modus ke 2 dan 3 biasanya dalam perjalanan menuju sawmil, perbatasan atau ke
tempat konsumen biasanya truk-truk pembawa kayu dikawal oleh oknum aparat dari
kepolisian dan atau oknum TNI. Saat melewati pos-pos penjagaan, timbangan,
kantor-kantor aparat kepolisian maupun TNI truk-truk ini bisa lewat dengan
leluasa, bahkan di timbangan mereka tidak perlu masuk di timbangan cukup
dipinggir jalan, hanya kondektur yang datang ke timbangan dan menemui petugas
mereka bisa terus jalan. (Pewawancara: Nasrul Azwar)
Baca berita terkait penebangan hutan di Pesisir Selatan,
Agam, Tanah Datar, dan Solok Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar