CERPEN R Yulia
Mereka
kembali berbisik-bisik. Di sudut. Menjauhkanku lewat tatapan setajam
clurit–seakan memberi ancaman tentang harga mahal yang harus kubayar jika coba
menguping atau memperpendek jarak terhadap mereka—lipatan dahi dan tarikan
garis mengetat pada bibir. Aku berpaling. Tak hendak mencuri lihat, mencuri
dengar atau bahkan mencuri hati.
Sekujur
tubuhku melekat erat pada jeruji besi, membatasi kehendak liar yang
menggelepar-gelepar dalam kepala, meronta-ronta seperti babi hutan yang
tertombak. Hawa dingin yang mengalir lewat genggaman tangan, kulit wajah, dada
dan pahaku, membekukan seluruh keinginanku pada temperatur nol absolut.
Termasuk keinginan menemuinya!
Sebenarnya,
tanpa kumaui pun bisik-bisik mereka singgah samar-samar. Bertandang bersama
liukan angin yang gemulai, menerobos liang pendengaran, meski pada akhirnya
keluar dari liang lainnya dengan sisa enggan yang menggumpal. Setengah
menggerutu pada penjaga benak yang tak mempan dirayu.
Kupikir,
ketimbang menyimak bisik-bisik separuh rahasia milik mereka yang bersila di
sudut lembab itu, lebih baik kukerahkan para pemanggil ingatanku untuk
mengembalikan wajahnya di hadapanku. Wajah lembut dengan bibir meranum tanpa
polesan, sepasang alis sabit yang tak terlalu tebal, hidung membulat—yang
membuat senyumku terlepas begitu saja saat melihatnya—dan geligi kelinci. Aku
seperti perawan yang berbaring telanjang di hamparan rumput surga bila
mengingatnya. Begitu lega dan bebas.
Sayang,
mengingat wajahnya tak sekadar menghadirkan bunga-bunga, sekaligus menarik
kumbang-kumbang, ulat dan dedaunan busuk yang tiarap di sekitarnya.
Kumbang-kumbang yang menyengat, ulat-ulat yang menyebar gatal dan dedaunan
busuk yang dengan cepat menularkan kebusukannya ke sekujur tubuhku. Kebusukan
yang mengamputasi akal dan nalarku, sehingga terdampar di balik jeruji besi
ini. Berkumpul bersama empat kepala di sudut sana—yang masih juga mengawasiku
di tengah kalimat-kalimat yang mereka keluarkan— dan menumpuk selapis demi
selapis kebusukan lain hari per harinya.
Meski
beberapa petik kalimat mereka singgah di kepalaku dan menggoda rasa ingin tahu,
entah kenapa ingatanku lebih memilih untuk singgah kembali ke masa lalu. Pada
wajah lembutnya, pada lelaki bertubuh kekar dengan tato sepasang angsa di
lengan, pada cengkeraman, peluk dan ciuman kasar, pada telunjuk yang menuding
lalu lunglai dan suara mengerang sekarat yang membuntuti mimpiku selama empat
puluh malam! Ah, kalau saja lelaki bertato itu tak menyakiti pemilik wajah
lembut yang kupuja, tentu badik di tanganku tak perlu mengakar di jantungnya.
Dan aku juga tak perlu terdampar di sini.
“Jadi,
kita akan melakukannya malam ini?” Suara-suara di belakang punggungku, singgah
begitu saja. Menindih wajah-wajah yang berkelebat sebelumnya di pelupuk mata.
“Ya
iyalah. Memangnya kau betah berlama-lama di sini?”
“Tapi
kalau rencana kita gagal, kan bisa gawat, Bang. Risikonya besar.”
“Itu
urusan belakangan. Jangan dipikirkan. Yang penting, semuanya sudah dipersiapkan dengan teliti. Dan aku yakin,
segalanya akan berjalan lancar. Sudah kupelajari situasinya. Nanti malam kita
bergerak.”
“Dia
gimana?” Aku tahu siapa “dia” yang dimaksudkan.
“Dia
kita kasih kenang-kenangan istimewa untuk tutup mulut.”
Tawa
sumbang sontak pecah memenuhi ruangan, memekakkan telinga. Aku tahu apa yang mereka maksudkan.
Malam
merambat perlahan dan menghadirkan dingin lebih dari sekedarnya. Tak hanya
kulit, aku bahkan merasakan gigil hingga ke tulang sumsum. Ruangan ini tak
terlalu luas. Bahkan menjadi sedikit sesak dengan kain sarung lusuh yang
disampirkan menutup jeruji. Pijar suram dua puluh lima watt, semakin
mengaburkan bayang-bayang yang ingin kubangun di tepi pelupuk mata. Berlima
tanpa sepatah kata, bagiku lebih menakutkan ketimbang terdampar di pekuburan.
Empat lelaki di belakangku seperti menghitung dengus napas mereka sendiri.
Sementara aku, sibuk memainkan sempoa di benak dan menimbang-nimbang, haruskah aku menemuinya?
Lalu
langkah-langkah malas perlahan mengisi ruang. Gemanya mendekatiku.
“Ayo
Han, beri kami sedikit penawar malam ini. Kau tahu, angin di luar begitu lembab
dan tajam. Jadi, kasihanilah kami…”
Aku
dapat merasakan ancaman dari suara yang berdesis di belakang telingaku. Sebuah
rengkuhan mengurungku. Kudukku berjaga. Napas yang memburu di belakangku
menghidupkan letupan-letupan yang secepat kilat menghanguskan sisi manusia di
diriku. Dan aku membiarkan semuanya berjalan seperti hantu-hantu yang
bergentayangan di luar sana.
Tak
kurasakan sama sekali cengkeraman yang menghunjam tajam pada belikat, tubuh
yang didorong dan terhempas berulang ke dinding, lenguhan kasar dan sebidang
dada kokoh yang menghimpitku. Bahkan, sejumput sesak pun tak kurasakan kali
ini. Padahal, malam-malam sebelumnya aku butuh suplai udara dalam jumlah besar
untuk mengatasi rasa jijikku pada lenguh dan kuyup peluh yang ikut membanjiri
tubuh. Tubuhku dan lelaki-lelaki di belakangku.
Malam
ini aku membatu, mengeras bersama tumbuhnya sulur-sulur harap di kepala. Aku
sudah memutuskan!
Jeda
beberapa waktu, membuatku menunggu. Wajahku datar mencium dinding kasar.
Sayup-sayup telingaku menangkap suara aba-aba di luar. Pergantian tugas jaga.
Aku masih menunggu, dengan tubuh separuh terbuka. Aku mencuri intai. Seorang
lelaki berbaring di dekat kakiku. Matanya terpejam–meski aku yakin ia tak
sedang terlelap—napasnya masih setengah memburu, lidahnya sesekali menjumput
gumpal liur di sudut bibir. Sementara tiga lelaki lain, berkumpul di sudut
ruangan yang remang-remang, tepat di bawah eternit yang menganga. Sesekali,
salah seorang dari ketiganya bergantian tengadah, menitipkan serabut-serabut
pertanyaan. Apa yang akan terjadi lepas malam ini?
“Ayo.”
Lelaki yang tadi berbaring, beranjak memberi perintah dalam bisik samar.
“Ingat!
Tutup mulut dan tidurlah dengan nyenyak.”
Meski
ia tak menatapku, aku paham kalau kalimat itu ditujukan padaku. Intonasi yang
tebal dan tajam adalah perintah mutlak. Tadinya aku akan mengangguk, namun
kemudian sesuatu mengubah gerak kepalaku menjadi sebuah gelengan. Empat dahi
yang mengernyit dan empat pasang mata penuh tanda tanya, kini mengarah
kepadaku.
“Apa
maksudmu?” tanya itu mencelat dari pemilik wajah tirus. Sekelebat bayangan
berkelebat. Wajah yang lembut, bibir ranum, alis sabit, hidung bulat dan geligi
kelinci, sempurna membingkai ingatan.
“Aku
ikut.”
Empat
sekawan itu terperangah. Ah mereka, mengapa selalu bereaksi seragam?
Manusia-manusia menjenuhkan, umpatku dalam hati.
“Sepertinya
dia mulai gila, Bang.”
“Ya,
si banci mulai gila.”
“Bukankah
hukumanmu tinggal dua bulan lagi? Sudahlah, kau tak perlu ikut-ikut. Di sini
saja dan tetaplah bungkam.”
“Ya.
Layani saja mereka-mereka yang membutuhkan bokongmu. Bukankah itu lebih
menyenangkan?” Gelak mereka berhamburan dengan liar.
Aku
menelan ludah yang terasa masam. Tapi tak ada alasan untuk mundur. Tidak
sedikitpun. Bukankah aku sudah terbiasa dengan neraka yang tercipta di balik
jeruji ini? Lantas, apa yang membuatku harus kecut menghadapi ancaman neraka di
luar sana?
Aku
menggeleng. Wajah lembut itu semakin merangsek dalam fikiranku. Dua bulan
memang tak lama. Tapi, enam puluh hari adalah waktu yang akan membentangkan
berbagai kemungkinan, termasuk kemungkinan untuk tak pernah melihatnya lagi selamanya.
“Kau
yakin?” Aku mengangguk.
Empat
lelaki di depanku saling berpandangan, lalu mengedikkan bahu dengan ragu.
“Terserah kaulah! Resiko tanggung sendiri.
Tapi ingat, jangan merepotkan! Hanya lelaki sejati yang terbiasa dengan
cara-cara seperti ini.”
Kalimat
itu diucapkan dengan cibiran dan tatapan sinis. Tak berpengaruh apa pun
untukku. Toh, sudah sejak lama aku kehilangan identitas dan harga diri sebagai manusia.
Bahkan aku pikun dengan kelelakianku sendiri. Mungkin, saat menemuinya nanti baru
aku akan kembali pada wujud semula, meski alpa seperti apa detilnya..
Derap
langkah petugas jaga baru lima menit menjauh. Raung anjing hutan yang menggema
dari kejauhan menjadi hitungan awal memulai segalanya dengan cepat dan tanpa
kesalahan. Dari kaos-kaos yang disobek dan dijalin kuat dengan empat lembar
kain sarung lusuh, lelaki-lelaki yang bergelantungan memanjat eternit, merangkak
perlahan di sepanjang loteng yang penuh hamparan sarang –laba-laba, semut,
nyamuk, cicak, dan lainnya-, genteng yang jebol, tembok tebal beruntai kawat
berduri karatan dan sebuah lompatan yang menjadi akhir dari rangkaian skenario
yang telah ditetapkan.
Aku
yang dianggap ‘bukan lelaki sejati’, sedikit diuntungkan dengan posisiku yang
tak berada di urutan terakhir. Sayangnya, aku tetap saja merepotkan mereka. Aku
bukan pelompat handal, meskipun mampu memanjat tembok dan tak berteriak ketika
hunjaman kawat berduri menggores beberapa bagian tubuh. Darah yang mengucur
mulai menggenapi ketegangan syaraf-syarafku. Dan itu buruk untuk memulai sebuah
lompatan terburu-buru. Aku mendarat dalam ketidaksempurnaan dan memercik gaduh.
Tiga lelaki di depanku sudah menghilang dalam gulita yang pekat. Hanya seorang
yang masih tersisa. Tapi ia pun menciptakan sial dengan kegaduhan berikutnya
saat menimpa tubuhku.
“Kau……!” Gerutunya tak berlanjut. Sirine yang
meraung-raung di belakang kami, memaksanya bangkit dengan susah-payah dan lari
terseok-seok menerobos kegelapan, menyusul tiga temannya. Meninggalkanku.
Aku
mencoba mengabaikan rasa sakit ketika beberapa lampu mulai menerangi sekitar
dan mengunciku. Raut lembut itu kembali berkelebat. Aku tersenyum, mengumpulkan
kekuatan untuk sekedar bangkit. Kegaduhan dan suara-suara mulai terdengar dari
balik tembok di belakangku. Kuseret langkah untuk berlindung dalam gulita yang
sedikit menjauh. Lumpur tebal yang melekat di kaki seperti gandul besi yang
sedemikian rupa menahan ayunan kakiku. Tapi kelebat raut lembut itu memberiku
kekuatan. Aku berjuang dengan seribu keyakinan. Yakin untuk bisa menemuinya,
menelusuri lekuk wajahnya, menjentik hidung bulatnya, menikmati senyum
bersahaja dari bibir ranumnya dan.
Salak
anjing yang bersahut-sahutan di belakangku, menepis bayang-bayang menggairahkan
yang menyesaki benak. Aku terjaga dan sadar, ini bukan saat yang tepat untuk
membayangkannya. Kuseret paksa langkahku, mengendap-endap di antara batang dan
daun-daun jagung yang gemulai. Salak anjing, kegaduhan dan berisik aba-aba
semakin mendekat. Aku mulai memaksa seluruh kekuatanku untuk berlari.
Berlari…berlari dan terus berlari. Salak anjing semakin riuh. Sahut-menyahut.
Sambut-menyambut, berselang-seling dengan satu dua letusan yang memecah hening
dan merobek langit.
Sebuah
teriakan menggelegar dari balik punggung. Derap langkah, gaduh yang semakin
memuncak dan akhirnya sebuah letusan menyalak garang. Sesuatu menerjang
pinggangku, memuncratkan cairan, merapikan distribusi hawa panas ke seluruh
tubuh. Dan berikutnya, aku seperti kayu lapuk yang roboh memeluk tanah. Kuyup
bersama peluh dan darah! Raut lembut di benakku, menggigil dan menguap dalam
sekejap. Aku lumpuh..
Ruangan
itu tak lebih baik dari sebuah kandang kuda. Papan-papan rapuh bercelah yang
menjadi dinding pembatas dengan dunia luar, tak mampu menghalangi masuknya
udara dingin yang menggigit. Terlebih dinihari begini. Seorang perempuan
–satu-satunya makhluk bernyawa di tempat itu- duduk terkulai di atas jerami
tebal yang tertutup secarik kain. Kain itu sudah terlalu lama kehilangan rupa.
Seperti pemilik tubuh yang telah beratus-ratus waktu menindihnya tanpa jeda.
Seuntai rantai besi yang tertanam di lantai, mengalungi pergelangan kakinya
yang menghitam.
Perempuan
itu tak ubahnya arca, diam, tanpa ekspresi dan suara. Rambut panjangnya yang
masai, berjuntai menutup paras. Hanya dengus samar napasnya yang memberi tanda
tentang seutas nyawa yang masih melekat di tubuh. Sesekali kepalanya
terangguk-angguk lunglai. Selebihnya, tak ada jejak kehidupan. Apalagi
riwayatnya sebagai manusia. Meski dalam ingatan yang semakin buram ia masih
bisa merasakan tentang seseorang di masa lampau, yang menguliti raut lembut,
bibir ranum, dan hidung bulatnya dengan tatapan penuh minat. Sangat berminat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar