Universitas Andalas, Padang
silvia_rosa2003@yahoo.com
Pidato Pasambahan Adat Minangkabau (baralekdi.blogspot.com) |
Masyarakat
Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang masyarakatnya
dikenal suka merantau. Begitu kuat kesukaan itu sehingga merantau bagi
masyarakat tersebut bukan lagi sekedar aktivitas yang bersifat pribadi, yang
semata-mata didasarkan pada tuntutan kepentingan ekonomis, melainkan sudah
menjadi aktivitas kolektif dan merupakan imperatif kultural.
Kuatnya
kesukaan merantau telah turut mempengaruhi pandangan mereka tentang wilayah
tempat tinggal. Mereka membagi wilayah tempat tinggalnya menjadi dua bagian,
yaitu luhak dan rantau. Luhak adalah
wilayah kediaman asli mereka, sedangkan rantau
merupakan wilayah yang menjadi tujuan mereka dalam merantau. Luhak terletak di dataran tinggi, di
bagian pedalaman, sedangkan rantau di
dataran yang lebih rendah daripada luhak,
di pesisir. Wilayah yang pertama oleh masyarakat Minangkabau disebut juga darek (darat), sedangkan yang kedua pasisia (pesisir).
Meskipun
masyarakat Minangkabau suka merantau, hal ini tidak membuat mereka meninggalkan
begitu saja daerah asalnya. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai
ikatan yang kuat dengan kampung halamannya. Masyarakat Minangkabau merantau
untuk kembali lagi ke daerah asalnya dan menjadi bagian integral dari
masyarakat tersebut. Hal itu tampak pada banyaknya pantun, lagu-lagu
Minangkabau yang menggambarkan kerinduan masyarakat tersebut akan kampung
halaman sewaktu mereka berada di rantau.
Salah satu pantun yang menunjukkan kecenderungan demikian adalah “Hujan batu di nagari awak, hujan ameh di
nagari urang, walau bakmano miskin awak, tacinto juo badan nak pulang”
(Hujan batu di negeri kita, hujan emas di negeri orang, walau bagaimanapun
miskin kita, tercinta juga badan hendak pulang).
Berpantun
dengan cara seperti itu merupakan salah satu cara bagi para perantau
Minangkabau untuk tidak hanya mengobati kerinduan dan memelihara ikatan mereka
pada kampung halaman, melainkan juga bahkan menghadirkan dan menghidupkan
suasana kehidupan di daerah asal di rantau. Selain itu, masih banyak cara lain yang
mereka gunakan dengan hasil yang cenderung serupa misalnya, membangun sebuah
komunitas kecil merantau yang berasal dari daerah yang sama, menggunakan bahasa
Minangkabau dengan sesama anggota komunitas itu selama di rantau, mendengarkan kaset-kaset lagu berbahasa Minangkabau,
menyelenggarakan ritual-ritual adat yang biasa dijalani di kampung halaman, dan
sebagainya.
Penyelenggaraan
perkawinan dengan ritual adat Minangkabau yang antara lain berupa upacara
pemberian gelar adat kepada mempelai lelaki merupakan salah satu cara serupa
itu pula. Pemberian gelar adat kepada mempelai laki-laki adalah sebuah kegiatan
penting dalam rangkaian prosesi adat perkawinan di Minangkabau. Kegiatan itu dilakukan dalam sebuah upacara
yang disebut dengan upacara pidato Pasambahan
Batagak Gala (Persembahan Bertegak Gelar, selanjutnya disingkat menjadi
PBG). Upacara ini dilaksanakan di rumah keluarga marapulai (mempelai laki-laki) dihadiri oleh anggota kerabat yang
laki-laki.
Gelar
diwariskan menurut garis kekerabatan matrilineal, dari ninik mamak kepada kemenakan laki-lakinya yang akan dan atau sedang
menjadi marapulai. Dengan
diberikannya gelar kepada seorang laki-laki, itu berarti keberadaan nama
menjadi tiada baginya. Aturan itu terutama berlaku untuk pihak keluarga
isterinya. Mertua atau saudara-saudara isteri dari laki-laki yang telah
menikah, tidak akan memanggilnya dengan nama diri, tetapi akan menyapanya
dengan gelar yang telah diberikan kepadanya. Adalah suatu penghinaan jika
kerabat isteri tidak memanggilnya dengan gelar adat tersebut. Ada aturan adat
Minangkabau yang disampaikan melalui ungkapan yang berbunyi “Ketek Banamo Gadang Bagala” (Kecil
Punya Nama Besar Punya Gelar) yang menjadi pedoman dalam pemberian gelar itu.
Ungkapan itu bermakna bahwa bagi seorang anak laki-laki ketika kecil diberi
nama oleh orang tuanya dan dipanggil sesuai dengan namanya, tetapi ketika
dewasa, yang ditandai dengan pernikahan, kepadanya akan diberi gelar adat oleh ninik mamak. Dengan demikian, ia akan
dipanggil sesuai dengan gelar adat yang diwariskan kepadanya.
Tradisi
pemberian gelar ini hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Minangkabau,
baik yang tinggal di lingkungan luhak
maupun yang berdiam di lingkungan rantau.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan kultural antara kedua lingkungan itu. Di
lingkungan luhak adat istiadat
relatif lebih kental dibandingkan dengan di lingkungan rantau. Sebaliknya, di lingkungan rantau pengaruh Islam lebih kuat daripada di luhak. Sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan Minangkabau yang
berbunyi “Syarak mendaki, Adat menurun”.
Ungkapan itu bermakna bahwa agama Islam masuk melalui rantau yang berada di daerah pesisir pantai, lalu menyebar ke
lingkungan luhak yang berada di
daerah darek (dataran tinggi).
Sebaliknya, adat bermula di lingkungan luhak,
yaitu Luhak Nan Tigo (Luhak Yang
Tiga) kemudian menyebar ke lingkungan rantau.
Hal yang demikian itu mempengaruhi corak adat istiadat yang berlaku di kedua
lingkungan itu.
Perbedaan
kultur yang telah dikemukakan juga berdampak pada kebiasaan masyarakat yang
terdapat di kedua lingkungan itu. Terdapat beberapa perbedaan antara lingkungan
hidup di rantau dengan lingkungan
hidup di luhak. Pertama, kalau di luhak orang-orang Minangkabau hidup
dalam lingkungan keluarga luas, yang antara lain terhimpun dalam sebuah tempat
kediaman yang disebut rumah gadang,
di rantau mereka cenderung hidup
dalam lingkungan keluarga inti. Kedua, kalau di luhak masyarakatnya cenderung bekerja sebagai petani, di rantau mereka bekerja sebagai pedagang
atau di sektor jasa lainnya. Ketiga, kalau di tempat asal tersebut mereka hidup
dalam lingkungan sosial yang homogen, di rantau
mereka cenderung hidup di lingkungan sosial yang heterogen, baik secara etnis,
keagamaan, maupun atas dasar perbedaan dalam bidang pekerjaan.
Rantau adalah suatu istilah yang mengacu pada
lingkungan wilayah yang maknanya berkembang. Pada awalnya, istilah rantau mengacu ke daerah-daerah yang
berada di sepanjang pesisir timur dan barat pulau Sumatera. Kota Padang adalah
salah satu kota yang termasuk dalam daerah rantau
yang berada di pesisir barat pulau Sumatera itu. Pindah dari lingkungan luhak (Luhak Nan Tigo) menuju kota Padang, pada
mulanya adalah pergi merantau . Akan tetapi, konsep itu selalu berkembang
sesuai dengan gerak merantau orang Minangkabau. Rantau tidak saja sebatas daerah pesisir timur dan barat pulau
Sumatera itu, tetapi menjadi lebih jauh, ke luar pulau Sumatera, bahkan keluar
wilayah nusantara, dan ke berbagai penjuru dunia.
Sebagaimana telah dikemukan terdahulu bahwa terdapat perbedaan-perbedaan
kebiasaan masyarakat dan adat istiadat yang terdapat di lingkungan rantau dengan di lingkungan luhak. Dengan adanya perbedaan-perbedaan
di atas, usaha masyarakat Minangkabau untuk memelihara ingatan dan ikatan
mereka dengan kampung halaman, usaha mereka untuk menghidupkan dan menghidupi
kebudayaan asli mereka, menjadi problematis. Artinya, terbuka kemungkinan
adanya bias rantau dalam usaha-usaha
mereka tersebut. Hal ini tampak dalam usaha mereka melaksanakan upacara
pemberian gelar adat kepada laki-laki yang akan menikah sebagai bagian dari
upacara perkawinan secara adat seperti yang sudah dikemukakan. Kemungkinan
adanya bias inilah yang menjadi persoalan utama tulisan ini, khususnya dalam
pelaksanaan upacara pemberian gelar adat di kota Padang sebagai salah satu kota
rantau.
Untuk
menjawab permasalahan yang telah diungkapkan terdahulu, penelitian ini
menggunakan teori semiologi[1] Roland Barthes.
Pengertian
Roland Barthes mengenai mitos berbeda dari pengertian mitos yang biasa
digunakan dalam antropologi ataupun bahasa sehari-hari.[2] Baginya, semua hal dapat menjadi
mitos bila hal itu dikatakan, dituturkan, dan digunakan secara sosial (Barthes
1993: 109). Dengan demikian, ia menempatkan mitos sebagai tutur. Namun, yang
dimaksudkannya dengan tutur pun bukan hanya pernyataan yang bersifat kebahasaan
dan lisan. Mitos dapat berupa wacana tertulis, fotografi, film, laporan, olah
raga, pertunjukan, publisitas. Semuanya, menurut Barthes (1993:110), dapat
berfungsi sebagai penopang tutur mitis. Akan tetapi, sesuatu itu akan berhenti
menjadi mitos apabila ia tidak lagi diucapkan, dituturkan, dan digunakan secara
sosial. Dengan kata lain, menurut Barthes (1993: 110), eksistensi mitos sangat
tergantung kepada sejarah sosial yang menjadi penopangnya. Sejarah sosiallah
yang menentukan kapan sesuatu diucapkan dan kapan tidak lagi diucapkan.
Barthes
(1993:111—112) memahami mitos dengan perspektif semiologi Saussurean. Karena
itu, seperti halnya cara pemahaman yang digunakan Saussure terhadap bahasa, ia
memahami mitos dalam kerangka tiga istilah (term)
yang saling berhubungan, yaitu tanda, penanda, dan petanda. Menurutnya, ketiga
istilah itu bersifat formal dan dapat diberi isi yang bermacam-macam seperti
halnya juga bahasa. Namun, kata Barthes (1993: 114—115), mitos tidak sama
dengan bahasa walaupun berhubungan dengannya. Ia menyebut mitos sebagai sistem
penandaan kedua karena terbangun di atas dasar sistem penandaan yang sudah ada
sebelumnya, terutama sistem penandaan bahasa. Artinya, sebagai sistem penandaan
kedua, mitos menggunakan bahan-bahan yang ada di dalam sistem penandaan
pertama, antara lain tanda-tanda bahasa.
Oleh karena
bahan-bahan yang digunakan berasal dari sistem penandaan yang ada sebelumnya,
bahan-bahan mitos itu tidak netral, melainkan sudah mengandung makna di dalam
dirinya sendiri (Barthes 1993: 115—117). Bahan-bahan itu merupakan
penanda-penanda yang sudah mengandung petanda-petanda sendiri dalam sistem
semiotik pertama. Hanya saja, di dalam mitos bahan-bahan itu tidak lagi terikat
pada sistem penandaan pertama yang menjadi asalnya, melainkan mengabdi atau
patuh pada sistem penandaan mitos itu sendiri sebagai sistem penandaan yang
kedua. Dalam mitos, bahan-bahan itu sudah menjadi penanda-penanda dari
petanda-petanda yang lain. Oleh karena itu, menurut Barthes (1993: 115—117),
perhatian yang diberikan terhadap bahan-bahan itu tidak lagi perlu dilakukan
secara rinci sebagaimana yang terdapat dalam sistem penandaan pertama yang
menjadi asalnya, melainkan hanya secara global, hanya sejauh bahan-bahan itu
mendukung mitos yang menggunakannya, mendukung sistem penandaan yang kedua yang
oleh Barthes disebut sebagai metabahasa.
Penanda mitos ada dengan cara yang mendua: di satu pihak berupa makna, di
lain pihak bentuk, di satu pihak penuh/berisi, di lain pihak kosong (Barthes
1993: 117). Penanda-penanda itu dikatakan penuh/berisi karena ia sudah
mengandung makna bawaan dari sistem semiotik pertama yang menjadi asalnya.
Penanda-penanda itu dikatakan kosong karena makna bawaan itu kemudian
dikosongkan oleh sistem semiotik kedua untuk diisi dengan makna mitos itu
sendiri. Pada saat sebagai makna, penanda sudah mengandaikan sebuah
pembacaan/penafsiran, sudah lengkap dalam dirinya sendiri, sebelum mitos
mengosongkannya. Makna sudah lengkap
dalam dirinya, mengisyaratkan sejenis pengetahuan, sebuah masa lalu, sebuah
kenangan, sebuah tatanan komparatif fakta-fakta, gagasan-gagasan,
keputusan-keputusan.
Pada saat sebagai bentuk, makna kehilangan kekayaan historisnya, dimensi
geografisnya, moralitasnya. Semuanya oleh bentuk dijauhkan untuk memberi tempat
bagi tuntutan dan bangunan makna baru dari sistem kedua. Akan tetapi, bentuk
tidak menghapuskan makna secara menyeluruh, ia hanya memiskinkannya karena dari
makna yang tersisa itulah justru makna mitos tumbuh dan berkembang. Makna hanya
harus bersembunyi di balik bentuk. Dalam permainan yang konstan antara
bersembunyi dan mencari di antara makna dan bentuk itulah, mitos membentuk
dirinya. Bentuk bukan sebuah simbol: gambar Negro yang memberi hormat sangat
nyata, sebuah citra yang kaya, teralami sepenuhnya, lugu-seadanya, tak
terbantah. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, kehadirannya/keberadaannya
dijinakkan, dijauhkan, dibuat transparan; ia menyurut sedikit, menjadi
kaki-tangan sebuah konsep: imperialitas Perancis. Sekali digunakan, ia menjadi
artifisial (Barthes 1993:118).
Sejarah yang dikeringkan dari bentuk akan diserap oleh konsep. Konsep
terdeterminasi, sekaligus historis dan intensional. Inilah yang mendorong mitos
dinyatakan. Imperialitas Perancis merupakan pendorong di belakang mitos. Konsep
itulah yang membentuk kembali rantai sebab-sebab dan akibat-akibat, motif-motif
dan intensi-intensi. Berbeda dari bentuk, konsep tidak abstrak. Ia bersituasi.
Melalui konsep, sebuah sejarah baru ditanamkan ke dalam mitos. Sebagai bentuk,
makna negro memberi hormat dicekungkan. Akan tetapi, sebagai konsep mengenai
imperialitas Perancis, seorang Negro memberi hormat terikat kembali pada
totalitas dunia, pada sejarah Perancis pada umumnya, pada petualangan
kolonialnya, pada kesukaran-kesukarannya di masa kini (Barthes 1993: 118-119).
Mitos membuka dirinya terhadap sejarah dengan dua cara, yaitu dengan
bentuknya yang hanya sebagian bermotivasi dan dengan konsepnya yang memang
bersifat historis. Studi diakronis mengenai mitos dapat bersifat retrospektif
dan prospektif (Barthes 1993: 137). Borjuis, misalnya, sepanjang sejarahnya
cenderung menyembunyikan dirinya, mengganti dirinya dengan nama-nama lain,
melakukan kegiatan es-nominating,
sehingga ia seakan-akan tidak ada. Istilah borjuis tiba-tiba hilang dalam
sejarah, berganti antara lain dengan istilah nasionalisme, istilah bangsa, dan
sebagainya. Akan tetapi, dengan cara demikian, ideologinya justru masuk
kemana-mana, menghuni hampir seluruh aspek dan level kehidupan masyarakat
(Barthes 1993: 137-142).
Penelitian ini memahami upacara pemberian gelar sebagai sebuah mitos dalam
pengertian Roland Barthes di atas. Sesuai dengan rumusan masalahnya, penelitian
ini, dengan demikian, mencoba memahami korelasi antara penanda dengan petanda
mitis dari upacara tersebut beserta kemungkinan ideologisnya. Untuk memahami
persoalan tersebut, penelitian ini menempuh metode sebagai berikut.
Pertama, mengidentifikasi satuan-satuan penanda mitis dari upacara di atas,
baik satuan-satuan penanda verbalnya maupun non-verbalnya. Identifikasi ini
dilakukan dengan cara mengelompokkan penanda-penanda bahasa ke dalam satu
kelompok baru yang dianggap signifikan secara mitologis. Signifikasi penanda-penanda itu ditentukan atas dasar kemungkinan
hubungan analogis dan motivasinya dengan intensi
masyarakat perantau sebagai penyelenggara upacara tersebut.
Kedua, mengidentifikasi konsep atau petanda mitologis yang menjadi intensi penyelenggara di atas.
Identifikasi ini dilakukan dengan cara mengelompokkan petanda-petanda bahasa
yang terdapat di dalam upacara yang bersangkutan ke dalam satu kesatuan petanda
yang baru, yaitu petanda mitologis di atas. Pengelompokan itu sendiri dilakukan
dengan melihat kesejajarannya dengan berbagai informasi yang diperoleh dari
berbagai kepustakaan mengenai sejarah dan situasi dan kondisi kehidupan dan
cara berpikir perantau Minangkabau.
Ketiga, mengidentifikasi implikasi ideologis dari hubungan antara penanda
dengan petanda mitis di atas. Implikasi ideologis ini ditentukan dengan menguji
kemungkinan distorsi atau amputasi atas hubungan antara penanda dengan petanda
semiotik tingkat pertama (pra-mitis).
Semiologi
Barthes tersusun atas dua tingkatan sistem bahasa. Pada sistem semiotik tingkat
pertama, bahasa dipahami sebagai objek. Pada sistem semiotik tingkat kedua
sebagai metabahasa. Metabahasa berfungsi memberikan makna terhadap penanda
visual. Hubungan antara metabahasa dengan penanda-penanda visual memberikan
makna yang lebih jelas dan kongkret terhadap penanda-penanda yang telah
dibicarakan pada level denotasi. Makna yang jelas dan kongkret dari sistem
semiotik tingkat pertama hanya menjadi bahan bagi mitos untuk membentuk
penanda-penanda baru. Hal itu karena mitos dibentuk oleh rangkaian sistem
semiotik tingkat pertama.
Sebagaimana yang telah dikemukan pada landasan teori, penanda-penanda baru
yang terbentuk pada sistem semiotik tingkat kedua, atau disebut pada level
konotasi, hadir dengan cara mendua (ambigu): di satu pihak berupa makna, di
lain pihak berupa bentuk. Di satu pihak ia penuh atau berisi, di lain pihak
kosong. Pada saat sebagai makna, penanda sudah memiliki kekayaan historis.
Sementara itu, pada saat sebagai bentuk, penanda sudah kehilangan kekayaan
historis, dikeringkan dari sejarahnya. Yang mengeringkannya adalah mitos. Akan
tetapi, bentuk tidak menghapus makna, melainkan hanya memiskinkannya. Makna
bersembunyi di balik bentuk. Maknanya penuh, tetapi bentuknya kosong,
sebaliknya bentuknya penuh, tetapi maknanya kosong. Sejarah yang telah
dikeringkan oleh mitos diserap oleh konsep. Kemudian makna itu dikembalikan
lagi oleh mitos dalam keadaan yang berbeda dari yang semula, tetapi ia ditaruh
di tempat lain, sehingga melahirkan makna yang lain. Hal ini yang dimaksudkan
Barthes dengan mitos merupakan sejenis tuturan yang dicuri dan lalu
dikembalikan lagi. Namun, makna yang dikembalikan itu seakan tampak universal,
abadi, netral, dan lugu seadanya.
Sedangkan relasi yang menyatukan konsep dengan maknanya adalah hubungan
deformasi.
Ternyata, sebagai makna, secara keseluruhan penanda-penanda yang ditemukan
dalam upacara pidato PBG, pada level denotasi, mengimplikasikan makna-makna
mengenai suatu kegiatan kolektif masyarakat Minangkabau dalam mendukung ritual
pemberian gelar adat kepada laki-laki yang akan menikah, dan kemudian
dilegitimasikan dengan aturan-aturan adat matrilineal.
Sementara itu, sebagai bentuk, secara keseluruhan, penanda-penanda itu
dijauhkan dari sejarahnya. Bentuk itu diperoleh berdasarkan hukum paradigmatik
dan sintaktik (the paradigmatic and
syntactic rules). Artinya, kemampuan (fleksibilitas)
upacara pemberian gelar adat untuk menjadi bentuk (form) sangat tergantung pada keluasan hubungan paradigmatik dari
gelar adat dengan stok simbol-simbol keminangkabauan yang direpresentasikan
oleh ritual pidato PBG.
Dari keluasan hubungan itu, terbangun suatu bentuk yang paling cocok untuk
konsep. Semakin jauh bentuk ini dari makna (meaning)
sistem semiotik tingkat pertama, maka semakin tinggi tingkat distorsinya.
Dengan demikian, tampak bahwa makna sudah
sangat jelas, tetapi sangat labil menghadapi kebutuhan orang akan bentuk yang dikehendaki. Artinya, dengan makna
tentang kegiatan kolektif masyarakat Minangkabau dalam pemberian gelar adat
kepada laki-laki yang akan menikah itu, orang akan dapat mendeformasi tanda
semiotik tingkat pertama untuk menghasilkan bentuk dalam sistem mitis. Proses
inilah yang membuat mitos sebagai “bahasa curian” .
Berdasarkan analisis penanda-penanda visual dan auditif yang ditemukan
dalam ritual pidato PBG, yang sudah jelas maknanya, lalu mitos mendeformasinya
menjadi makna dan bentuk pada level konotasi. Bagaian berikut merupakan
penjelasan lebih lanjut tentang makna dan bentuk tersebut.
Makna
Seperti sudah dikemukakan, penanda pada level konotasi hadir secara mendua:
sebagai makna dan sebagai bentuk. Makna berisi, sedangkan bentuk kosong. Makna
kaya dengan nilai historis, sedangkan bentuk lebih miskin nilai historisnya
karena mitos telah mencurinya sebagian, telah mengeringkannya atau telah
mengamputasi makna itu.
Sebagai makna, secara keseluruhan, penanda-penanda visual dan auditif yang
ditemukan dalam ritual pidato PBG, mengimplikasikan makna mengenai suatu
kegiatan kolektif masyarakat Minangkabau dalam mendukung ritual pemberian gelar
adat kepada laki-laki yang akan menikah, dan kemudian melegitimasinya dengan
aturan-aturan adat matrilineal.
Ritual pidato PBG menjadi sebuah event
penting karena melalui prosesi tersebut seorang laki-laki di Minangkabau diakui
eksistensinya. Pengakuan diri seorang laki-laki itu, ditandai dengan memberikan
atau mewariskan gelar adat kepadanya.
Gelar adat hanya diberikan kepada laki-laki yang telah dewasa. Kriteria kedewasaan adalah telah mempunyai
gelar, sedangkan gelar itu sendiri, hanya diberikan ketika laki-laki itu akan
menikah. Alasannya, karena lelaki yang
belum menikah dianggap sebagai orang yang belum berguna, belum dianggap, hanya
sebagai anak kecil, hanya punya nama saja. Bagi anak laki-laki yang belum
berguna, adat Minangkabau mengajarkan agar membuat dirinya menjadi berguna,
menjadi orang, yaitu dengan cara pergi merantau, yang telah menjadi tradisi kultural
orang Minangkabau. Hal itu ditegaskan
dalam ungkapan Minangkabau yang berbunyi sebagai berikut,
Babuah babungo balun
Ka rantau bujang daulu
Di rumah baguno balun
terjemahannya
Berbuah berbunga belum
Ke rantau bujang dahulu
Di rumah berguna belum
Jika telah
menjadi orang, menjadi berguna, lalu kembali pulang ke kampung halaman dan
menikah. Sebagai tanda penghargaan dan penerimaan atas dirinya yang telah
menjadi orang berguna maka ninik mamak
mewariskan gelar adat kepadanya secara sah dan diketahui oleh masyarakat luas.
Dengan begitu, laki-laki itu akan diterima di seluruh lapisan masyarakat,
diterima pikiran-pikirannya, didengar kata-katanya. Kesemuanya itu karena ia
telah dewasa, telah menikah, telah mempunyai gelar adat.
Orang yang
belum punya gelar dianggap belum ada, hanya sebagai anak kecil yang cuma punya
nama saja, meskipun dari segi usia mungkin sudah dewasa. Sebagaimana diajarkan
adat melalui ungkapan “Ketek Banamo
Gadang Bagala” (Kecil Punya Nama, Besar Punya Gelar). Agar tidak dianggap
hanya sebagai anak kecil, maka ketika akan menikah ia diberi gelar. Pada saat
ia telah mempunyai gelar itulah, seorang laki-laki masuk sebagai orang sumando ke rumah kerabat
isterinya. Dengan mempunyai gelarnya seorang laki-laki yang menjadi orang sumando, maka arti nama menjadi
tiada bagi dirinya. Laki-laki itu akan dipanggil dengan gelar yang telah
diberikan kepadanya. Dengan demikian, ia akan dihargai, dianggap ada, dipandang
tinggi oleh anggota kerabat isterinya.
Begitu
pentingnya gelar bagi seorang laki-laki supaya ia dianggap ada, maka prosesi
pemberian atau pewarisan gelar itu kepadanya, didukung oleh sebuah ritual yang
sarat dengan aturan-aturan adat. Berbagai atribut yang menunjukkan identitas
keminangkabauan direpresentasikan dalam ritual tersebut. Kesemuanya itu untuk
mendukung gagasan agar laki-laki yang tadinya hanya dianggap sebagai anak
kecil, yang tidak punya apa-apa dan kewajiban apa-apa, yang cuma punya nama
saja, supaya menjadi orang yang
bergelar, punya kewajiban kelak sebagai mamak dan urang sumando,
dan memperoleh tempat terhormat di mata seluruh khalayak Minangkabau.
Identitas
keminangkabauan dibangun dengan pencitraan tentang sistem kekerabatan matrilineal, sistem pewarisan harta pusaka
menurut garis ibu, hidup yang bersuku-suku (pentingnya suku), perkawinan lintas suku (eksogami), pola tempat tinggal yang bersifat komunal, tradisi musyawarah dan mufakat untuk meraih
sebuah keputusan penting, falsafah Alam Terkembang Jadi Guru, prinsip tentang
pentingnya harmoni dalam hidup, tradisi mitologi yang kuat, berkelindan eratnya
adat dengan agama Islam, dinamika
perubahan yang selalu terjadi dalam masyarakat, kegiatan kolektif masyarakat
Minangkabau, dan gelar adat.
Keseluruhan
identitas itu disimbolkan melalui kode-kode budaya yang direpresentasikan dalam
ritual pidato PBG. Sistem kekerabatan matrilineal dicitrakan melalui hadirnya
dua elemen penting ninik mamak, dan kemenakan, secara visual dan auditif.
Sistem
pewarisan harta pusaka menurut garis ibu (matrilineal) dicitrakan secara visual
dan diperkuat oleh pencitraan secara auditif bahwa gelar adat sebagai salah
satu bentuk harta pusaka, yaitu yang dinamakan sako, hanya diwarisi berdasarkan sistem kekerabatan matrilineal,
yaitu dari “ninik turun ke mamak, dan dari mamak turun ke kemenakan”, bukan
kepada kepada anak.
Pentingnya
suku bagi orang Minangkabau dicitrakan melalui hadirnya “orang lima suku”, baik secara visual maupun secara auditif. Secara
sederhana, pencitraan untuk “orang lima
suku” telah mengimplikasikan minimal ada lima suku yang berbeda dalam nagari itu. Suku menandai garis
kekerabatan yang berbeda dalam sebuah nagari. Suku diwarisi dari garis ibu,
bukan dari garis ayah. Perkawinan lintas suku dicitrakan dengan kehadiran urang sumando secara visual dan auditif.
Sebutan “urang sumando” sebagaimana
sudah dijelaskan terdahulu, memiliki makna kutural, yaitu laki-laki yang
berasal dari suku lain, dan masuk ke rumah kerabat si perempuan yang menjadi
isterinya. Ini mengimplikasikan bahwa perkawinan bersifat eksogami.
Pola tempat
tinggal yang bersifat komunal dicitrakan
melalui banta gadang , (hiasan kursi
pelaminan yang berupa tanduk kerbau, tenda-tenda di luar rumah yang salah satu
bagiannya dibentuk menyerupai tanduk kerbau. Ketiganya itu merupakan ikon rumah
gadang. Rumah gadang adalah tempat tinggal bersama orang-orang yang berasal
dari ibu yang sama, nenek yang sama, bahkan ninik
yang sama, dimiliki dan menjadi hak
para perempuan saja.
Tradisi
musyawarah dan mufakat dalam mencapai kesamaan pendapat dalam mengambil suatu
keputusan dicitrakan melalui adanya dialog antara tuan rumah dengan ninik mamak, urang sumando, dan orang lima suku. Musyawarah itu untuk
menentukan kesamaan pendapat mengenai saat dimulai dan diakhirinya pelaksanaan
acara pidato PBG. Ini tampak secara visual ketika acara dilaksanakan. Juga
dicitrakan pada saat pengambilan keputusan, siapa yang akan membantu memakaikan
pakaian si marapulai antara orang
yang hadir, sebelum ia diwarisi gelar. Pencitraan tradisi musyawarah dan
mufakat juga diimplikasikan dengan dialog antara janang dengan ninik mamak
di bagian akhir pidatonya, yang menanyakan apa gelar yang akan diwariskan
kepada marapulai. Semuanya ini
mengimplikasikan suatu komunikasi yang bersifat musyawarah kolektif, yang tidak
menempatkan hadirin sebagai objek melainkan juga subjek.
Falsafah
Alam Terkembang Jadi Guru yang merupakan filosofi hidup orang Minangkabau
dicitrakan melalui kain putih yang membentang di tengah-tengah hadirin di
ruangan tempat ritual pidato PBG dilaksanakan. Kain putih seperti sudah
dikemukakan menjadi ikon penyatuan
dari unsur yang berbeda-beda kadar, peran dan posisinya. Akan tetapi, meskipun
berbeda mereka disatukan oleh kain persegi empat dan berwarna putih. Beragam
perbedaan dan persamaan tiap unsur yang hadir di tempat dan waktu pelaksanaan
ritual pidato PBG, seperti bermacam warna, motif, ukuran, dan corak kain-kain
yang menghiasi tempat acara dilaksanakan, orang-orang yang berbeda-beda suku,
masing-masingnya sudah punya eksistensi sendiri-sendiri, tetapi hadir serempak
untuk mewujudkan sebuah keutuhan, kebersamaan, dan kesatuan untuk menjaga
harmoni. Ini adalah implementasi ajaran falsafah Alam Terkembang Jadi Guru. Meskipun alam terdiri dari berbagai
unsur, dan tiap unsur berbeda kadar dan perannya, tetapi masing-masingnya
saling berhubungan, namun tidak saling mengikat, saling berbenturan, tetapi
tidak saling melenyapkan dan saling mengelompok namun juga tidak saling
meleburkan. Tiap unsur-unsur itu masing-masing hidup dengan eksistensinya dalam
suatu harmoni, tetapi dinamis sesuai dengan dialektika alam yang mereka namakan
dengan bakarano bakajadian (bersebab
dan berakibat).
Tradisi
mitologi yang kuat terimplementasikan secara auditif, dengan dikutipnya
kisah-kisah tambo Minangkabau,
terutama tentang kisah-kisah asal usul keturunan nenek moyang. Kisah asal usul
itu ditandai dengan hadirnya cerita-cerita tentang Iskandar Zulkarnain[3], bahkan dimulai lebih jauh lagi,
yaitu dari anak bungsu Nabi Adam A.S. Mitologi tentang asal usul nenek moyang
diperkuat lagi dengan mitologi tentang kisah penciptaan nabi Muhammad melalui
kisah “Nur Muhammad”[4]
Berkelindan
eratnya adat dengan agama Islam,
dicitrakan secara auditif melalui teks pidato. Pernyataan-pernyataan
yang mengatakan bahwa adat dari Mekah, adat dan agama saling tolong menolong,
bahwa antara adat dan agama silih berganti dan saling melengkapi bagai siang
dengan malam, bahkan terjadinya bumi pun adalah untuk penjalankan hukum oleh
Nabi Muhammad guna menjalankan adat dengan syarak. Pernyataan-pernyataan itu,
semuanya mengimplikasikan betapa
kentalnya hubungan adat dengan agama Islam. Kedekatan hubungan adat dengan
agama Islam dinyatakan juga dalam sebuah ungkapan Minangkabau yang berbunyi “Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah, syarak mangato, adat mamakai” (adat bersendi syarak, syarak
bersendi kitabullah, agama mengatakan, adat memakaikan). Ungkapan ini bermakna
bahwa adat menjalankan apa yang telah digariskan oleh agama, dan agama mengatur
apa yang telah dilaksanakan oleh adat.
Dinamika
perubahan yang selalu terjadi dalam masyarakat dicitrakan secara visual melalui
warna pakaian marapulai, pelaminan,
kursi pengantin, banta gadang, tirai,
tabir, dan permadani. Marapulai
memakai baju roki berwarna biru, ini mengimplikasikan sebuah perubahan. Sejak
dulu, baju pengantin Minangkabau hanya berwarna merah dan bersulam benang emas.
Akan tetapi, kini, berbagai trend
warna yang lagi aktual dalam dunia mode, mempengaruhi warna pakaian mempelai.
Akhirnya kini, baju marapulai dan anak daro ada yang berwarna biru, merah
jambu, jingga, kuning gading, putih perak, dan juga kuning emas. Hal demikian
juga terjadi pada warna-warna pelaminan,
banta gadang, tirai, tabir dan pelaminan. Semula, kesemuanya didominasi
oleh warna merah dan kuning emas, tetapi kini semua warna dirangkai menjadi
satu untuk membangun sebuah citra tentang kemewahan dan kemeriahan pada
perlengkapan pelaminan adat Minangkabau. Kesemuanya ini merupakan implementasi
perubahan dan dinamika yang selalu terjadi dalam masyarakat Minangkabau[5].
Kegiatan
kolektif masyarakat Minangkabau dicitrakan melalui simbol-simbol yang hadir
sebagai perlengkapan ritual, seperti sirih lengkap dalam carano, nasi kunyit dalam
dulang, semua perlengkapan pelaminan adat, mikrofon, tenda-tenda, kursi-kursi
dalam jumlah besar, kartu domino, dan gelas-gelas berisi kopi. Semuanya itu Nmerupakan ikon adanya suatu kegiatan kolektif
masyarakat Minangkabau yang dibingkai oleh ruang, waktu dan tempat tertentu
atau khusus.
Gelar adat
dicitrakan secara visual melalui sebuah botol berisi air putih. Marapulai mengangkat dan mengacungkan
botol berisi air putih itu di depan
wajahnya. Hal itu dilakukan marapulai
bersamaan dengan diucapkannya permintaan agar hadirin memanggil gelar yang
telah diberikan kepadanya. Pencitraan visual ini didukung secara auditif
melalui teks pidato, yaitu dengan mengikuti kata-kata janang yang diejakan kepada marapulai.
Keseluruhan
pencitraan tentang identitas keminangkabauan itu didukung oleh kode-kode budaya
yang mengimplikasikan makna kematrilinian masyarakat Minangkabau.
Bentuk
Bentuk adalah makna yang telah dijauhkan dari sejarahnya, sehingga menjadi
lebih miskin nilai historisnya, dimensi geografisnya, dan juga moralitasnya.
Bentuk menjauhkan semuanya itu untuk memberi tempat bangunan makna yang baru
pada level konotasi
Secara
umum, bentuk (form) dalam ritual
pidato PBG, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bentuk visual dan bentuk
auditif. Bentuk visual merupakan bentuk yang terbangun dari tanda-tanda
denotasi yang bersifat non tekstual, yang maknanya telah diamputasi,
dicekungkan, dan dikeringkan nilai historisnya. Bahannya dibangun oleh
penanda-penanda yang secara langsung mengacu pada pertunjukan ritual pidato
PBG. Bentuk auditif merupakan bentuk yang terbangun dari tanda-tanda denotasi
yang bersifat tekstual, yang maknanya sudah diamputasi, dicekungkan,
dikeringkan dari nilai historisnya. Bahannya dibangun oleh penanda-penanda yang
mengacu pada teks pidato PBG.
Secara
keseluruhan, penanda-penanda visual dan auditif yang ditemukan dalam ritual
pidato PBG, hadir dalam beberapa kemungkinan bentuk. Ada beberapa kemungkinan
bentuk yang dimaksudkan, yaitu sebagai berikut.
1. bentuk ritual khusus untuk menandai
proses inisiasi seorang laki-laki di
Minangkabau. Bentuk ini masih dapat diperluas lagi menjadi,
2. pemberian gelar adat kepada
laki-laki yang sedang menjalani acara inisiasi menghadapi masa perkawinannya di
Minangkabau. Bentuk ini masih dapat diperluas lagi menjadi,
3. masuknya kode-kode masyarakat
patrilineal dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal. Dari beberapa
kemungkinan bentuk, itu yang paling cocok dengan konsep yang telah mendistorsi
makna adalah kemungkinan ketiga yaitu masuknya kode-kode budaya masyarakat
patrilineal ke dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal. Bentuk yang
ketiga dipandang cocok karena mitos telah mencuri sebagian makna yang sudah
ada, sudah jelas, lalu membawanya menjauh dan berputar-putar, untuk kemudian
mengembalikannya lagi menjadi bentuk dengan makna subversi kode-kode budaya
masyarakat patrilineal. Dengan begitu, bentuknya hadir sebagai sebuah ritual
yang merepresentasikan budaya Minangkabau sebagaimana adanya, tetapi maknanya
sesungguhnya bukan budaya Minangkabau, melainkan ada kode-kode masyarakat dan
budaya patrilineal yang mencengkram masuk melalui mitos pemberian gelar
itu.
Ketika
bentuk subversinya tampak sangat kabur, makna yang merepresentasikan subversi
itu sangat kaya, sebaliknya ketika bentuk subversinya jelas, makna yang
merepresentasikan keminangkabauan penuh. Masuknya kode-kode masyarakat
patrilineal ini dapat dijelaskan atau disampaikan dengan bermacam-macam bentuk.
Masuknya
kode-kode budaya masyarakat patrilineal ke dalam masyarakat Minangkabau yang
matrilineal ini, dimungkinkan untuk diamati karena mitos telah bekerja di
dalamnya. Mitos telah mengeringkan, mengamputasi, dan lalu mengambil makna yang
mengimplikasikan identitas keminangakabauan itu sebagian saja, dan kemudian
mengembalikannya lagi dalam bentuk yang mirip dengan makna yang seakan
mengimpilasikan keminangkabauan, tetapi sesungguhnya bukan lagi alamiah, telah
ada jejak-jejak atau kode-kode budaya masyarakat patrilineal masuk ke dalam
makna itu. Bentuk subversi itu diimplementasikan melalui ikon-ikon masyarakat
patrilineal yang membaur dengan ikon-ikon masyarakat matrilineal dalam ritual
pidato PBG.
Yang
memungkinkan terjadinya subversi yang dimaksud karena bahasa yang dipakai oleh janang untuk mengantarkan pidatonya
adalah bahasa sastra, khususnya bahasa dan sastra Minangkabau. Sebagaimana
dikatakan Barthes, bahasa, termasuk bahasa sastra, tidak berdaya melawan mitos
yang telah menjarahnya. Hal demikian juga, karena bahasa itu sendiri mempunyai
kecenderungan mitis.
Identitas
masyarakat patrilineal dibangun dengan pencitraan tentang penempatan posisi
laki-laki menjadi lebih penting, penolakan terhadap posisi laki-laki dalam
struktur kekerabatan matrilineal, intervensi agama Islam, dan bias dari
ideologi rantau.
Keseluruhan
identitas itu disimbolkan melalui kode-kode budaya yang direpresentasikan dalam
ritual pidato PBG. Penempatan posisi laki-laki menjadi lebih penting dicitrakan
dengan ketidakhadiran perempuan dalam ritual pidato PBG itu, membuat marapulai menjadi seperti raja, dan lalu
mempersembahkan sebuah gelar adat kepadanya. Secara visual, hal ini terbukti
dengan hanya kaum laki-laki saja yang menghadiri ritual PBG itu. Tak seorangpun
kaum perempuan hadir di tempat acara dilangsungkan. Secara auditif, tak satu
baris pun dari kalimat-kalimat prosa teks pidato PBG yang menyebut-nyebut
tentang kaum ibu (di Minangkabau disebut dengan Bundo Kanduang). Marapulai
juga diposisikan sebagai seorang raja, dengan didudukkannya pada tempat yang
lebih tinggi dari hadirin yang lain, yaitu pada sebuah kursi di depan kursi
pelaminan, sedangkan yang lainnya duduk di lantai. Kemudian, gelar adat
diberikan atau diwariskan kepada si laki-laki, sedangkan perempuan tidak pernah
diwarisi gelar apapun secara adat yang berlaku.
Penolakan
terhadap posisi laki-laki dalam struktur kekerabatan matrilineal dicitrakan
melalui pengaburan eksistensi urang
sumando dalam ritual pidato PBG. Pengaburan itu dilakukan secara auditif,
melalui bahasa. Secara visual, urang
sumando hadir di tempat acara dilaksanakan. Akan tetapi, ia seakan tidak
dianggap. Secara auditif, tidak ada “sembah” ditujukan atas kehadirannya itu.
Sembah hanya ditujukan kepada ninik
mamak, marapulai, dan orang lima
suku. Sedangkan urang sumando
tidak disebut, tidak dipanggilkan, tidak diberi penghormatan atau “sembah”.
Meskipun ia menjadi salah satu anggota di rumah marapulai, yang juga rumah isterinya sendiri, tetapi ia tetap
menjadi orang luar. Tempat duduk urang
sumando berada di ruangan dalam rumah sebelah keluar. Ia duduk
berseberangan atau berhadapan dengan ninik
mamak yang duduk di ruangan dalam rumah sebelah ke dalam. Posisi tempat
duduk seperti itu mengimplementasikan bahwa urang
sumando tetap saja sebagai orang luar, sedangkan ninik mamak adalah orang dalam. Urang
sumando tetap sebagai orang yang tidak punya wewenang atau tidak punya hak
mengambil keputusan apapun di rumah kerabat isterinya.
Intervensi
agama Islam dicitrakan secara auditif melalui kuatnya dan banyaknya unsur-unsur
agama Islam dikutip dan dimasukkan ke dalam teks pidato PBG.
Pernyataan-pernyaatan yang menyatakan adat dan agama saling tolong menolong,
bahwa adat itu dari Mekah, adat dan agama bagai siang dikandung malam dan bagai
malam dikandung siang, dan lainnya yang senada dengan itu. Kesemuanya
pernyataan-pernyataan itu mengimplikasikan sebuah bentuk intervensi agama Islam
yang cukup kuat dalam ritual pidato PBG. Tradisi Islam yang patrilineal berbeda
bahkan cenderung berlawanan dengan tradisi Minangkabau yang matrilineal.
Tradisi masyarakat patrilineal, memusat kepada laki-laki, sebaliknya tradisi
masyarakat matrilineal, memusat kepada perempuan.
Secara
visual, terlihat ada gelar yang diberikan atau dipasangkan kepada kemenakan
laki-laki oleh ninik mamak, yang
disimbolkan melalui sebuah botol beirisi air putih. Botol itu diberikan oleh janang, yang merupakan perpanjangan
tangan ninik mamak, kepada kemenakan
laki-lakinya yang pada saat itu akan menikah (menjadi marapulai). Botol tersebut dipegang dan diangkat tinggi di depan
wajahnya oleh marapulai, bersamaan
dengan diumumkannya gelar marapulai oleh janang kepada seluruh hadirin. Kemudian, marapulai itu sendiri mengikuti perintah janang agar mengulangi kata-kata pengumuman gelar yang diejakan
oleh janang. Kata-kata janang yang diulangi oleh marapulai adalah seperti yang sudah
dikemukakan juga dalam kutipan sebagai berikut :
“Hamba yang bernama Mukhlis, yang bergelar
Rajo Bungsu. Minta dihimbaukan oleh ninik mamak . Dari ujung
sampai ke pangkal. Serta dengan orang lima suku”.
Akhirnya,
seluruh hadirin, menyetujui dan mengakui pemberian gelar itu dengan cara
memanggilkan gelar itu bersama-sama dengan suara yang keras dari setiap penjuru
rumah Marapulai menyatakan kesediaannya dipanggil dengan gelar “Rajo
Bungsu”, dengan cara menjawab panggilan seluruh hadirin tersebut. Hal itu
tampak dalam kutipan berikut ini:
Hadirin :Rajo Bungsu!
Marapulai :Ya , hamba.
Hadirin :Rajo Bungsu !
Marapulai :Ya, hamba.
Hadirin :Rajo Bungsu !
Marapulai :Ya, hamba.
Secara
auditif, juga dinyatakan dalam teks pidato PBG bahwa si kemenakan ketika kecil
telah punya nama, tetapi kini ia akan diberi gelar karena ia akan menjadi orang
dewasa, yaitu memasuki dunia pernikahan. Gelar itu sendiri adalah warisan yang
ia terima dari mamak-nya.
Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa melalui representasi bentuk “dunia mini” Minangkabau
yang dituturkan kembali secara visual dan auditif melalui ritual pidato PBG,
orang seakan “dipaksa” menerima dan setuju bahwa ritual pemberian gelar itu
lugu seadanya, alamiah, tanpa beban ideologis.
Bentuk ini
terimplementasikan secara visual dan auditif dalam seluruh rangkaian ritual
pidato PBG. Secara visual, semua perlengkapan pelaminan, benda-benda peralatan
yang dipakai dalam upacara, pakaian, warna-warna yang menyemarakkan ruangan
tempat pelaksanaan upacara, orang-orang yang terlibat dalam prosesi upacara
tersebut, tata ruang dan waktu yang membingkai pelaksanaan upacara menjadi
bentuk-bentuk visual.
Bahasa yang
dipakai dalam ritual itu menjadi bentuk auditif untuk sistem semiotik tingkat
kedua. Ragam bahasa yang dipakai janang
dalam menyampaikan pidatonya adalah ragam bahasa yang berbeda dengan ragam
bahasa Minangkabau yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Janang memakai ragam bahasa sastra,
bahasa yang kaya dengan ungkapan, kiasan, pepatah, petitih, dan metafora yang
tidak biasa ada dalam percakapan sehari-hari. Ragam bahasa sastra, khususnya
dalam bahasa Minangkabau, seringkali tampak tidak logis, gampang berubah.
Ketidaklogisan dan perubahan itu akibat pemendekan, pemindahan, atau pembelokan
makna yang sering dilakukan dalam membuat dan membaca ungkapan-ungkapan dalam
bahasa Minangkabau. Seperti dalam membaca ungkapan Minangkabau berikut ini,
(Tegang
beruntai-untai, kendor berdenting-denting).
Dibaca
sepintas saja, ungkapan itu sangat tidak masuk akal. Secara logis, jika seutas
tali atau benang yang dikatakan tegang adalah yang lurus, horizontal atau
vertikal, tanpa lekuk. Akan tetapi, ungkapan itu menyatakan tegangnya
beruntai-untai, kendornya berdenting-denting, atau tidak dapat digoyang. Maksud
berdenting-denting adalah bunyi dentingan yang muncul ketika tali atau
benang diregangkan dengan kencang. Jelas
hal itu tidak masuk akal. Namun, ternyata ungkapan itu sangat fleksibel cara
membacanya dan mempunyai logika khusus. Pada ungkapan itu, bisa dilakukan
penyisipan kata-kata tertentu untuk membacanya, seperti kata “boleh” ditambahkan di bagian awal dan
“tetapi” setelah kata pertama setiap klausa. Dengan begitu, membacanya menjadi
“Boleh tegang, tetapi beruntai-untai, boleh kendor, tetapi berdenting-denting.
Dengan cara membaca seperti ini, ungkapan itu
menyatkan bahwa sifat tegas
dibolehkan, tetapi tetap dengan
meninggalkan ruang untuk bermusyawarah atau memahami pihak lain.
Sifat-sifat seperti ini adalah yang diidealkan bagi seorang pemimpin adat di
Minangkabau. Cara pembacaan seperti ini sering dijumpai dalam ragam bahasa dan
sastra Minangkabau yang kaya ungkapan-ungkapan dan kiasan. Dimungkinkannya cara
pembacaan demikian juga disebabkan oleh sifat fleksibel yang dimiliki oleh
bahasa (linguistik). Sebagaimana dikatakan oleh Barthes (dalam Sunardi, 2002:
123) bahwa sistem linguistik bersifat fleksibel atau disebutnya juga dengan
istilah “staggerd” (tidak kokoh).
Kasus seperti ini juga dijumpai dalam teks pidato PBG. Lihat saja
kutipan-kutipan yang telah disajikan pada Bab II terdahulu, terdapat banyak
kata-kata sisipan yang mungkin dan bisa saja ditambah atau bahkan dikurangi
oleh janang dalam mengucapkannya.
Fleksibilitas
bahasa sastra, khususnya bahasa yang dipakai
janang untuk menyampaikan pidatonya,
memungkinkan suatu tanda dideformasi
sesuai dengan konsep yang sudah disiapkan. Kata Barthes, bentuk (form) memang dibuat sedemikian rupa agar
menjadi lebih mudah dan cocok dengan konsep. Jika perlu pendeformasian itu
mendistorsi makna pada sistem semiotik tingkat pertama. Tindakan itu dapat
dimungkinkan mengingat bentuk pada level mitis, dalam dirinya sendiri mengandung
dua unsur ganda, yaitu sebagai bentuk (form)
dan sebagai makna (substance).
Dengan
begitu, penanda-penanda visual dan auditif pada level denotasi, yang maknanya
telah dikemukakan, dideformasi oleh mitos. Lalu disesuaikan dengan konsep yang
telah disiapkan untuk mendistorsi makna itu.
Konsep
Konsep
memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah,
dan melaluinya dunia lingkungan menyerbu sistem tersebut. Konsep, disebut juga
sebagai “fragmen ideologi”. Jadi, ideologi menjadi konsep, sedangkan retorika
menjadi bentuknya. Dikatakan oleh Barthes, konsep ini historis, tidak stabil
(rentan terhadap sejarah) dan dapat berubah-ubah sesuai situasi, dan konsep
lebih miskin dari bentuk. Konsep tidak pernah abstrak. Sejarah masuk ke dalam
mitos lewat konsep.
Dengan
begitu, bentuk yang telah dikemukan terdahulu, yaitu sebagai subversi kode-kode
masyarakat patrilineal ke masyarakat matrilineal, sesungguhnya sangat historis,
sangat kaya gagasan. Secara historis, subversi itu terkait erat dengan tradisi
merantau dalam masyarakat Minangkabau. Sejarah perkembangan rantau dan
perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh ideologi rantau, dimasukkan mitos
melalui konsep. Jadinya, ideologi tentang pemberian gelar adat kepada laki-laki
Minangkabau yang akan menikah terkait erat dengan ideologi rantau. Dengan
demikian perbincangan mengenai tradisi merantau dan pengaruhnya pada orang
Minangkabau berikut ini, menjadi penting. Kepentingannya terletak pada ideologi
rantau yang meresap ke dalam konsep. Kemudian mitos mengembalikan makna itu
kembali dalam bentuk yang berbeda, dan dengan maksud yang lain, yaitu
memasukkan makna berupa “fragmen-fragmen ideologi” tentang rantau ke dalam
ritual pidato PBG.
Etika
Etika
berbicara bergantian antara seorang dengan lawan bicaranya, dan lalu
masing-masingnya mengulangi sebahagian isi pembicaraan yang disampaikan oleh
lawan bicara, mengimplikasikan adanya
tradisi musyawarah, dialog, saling berbalas pantun, perumpamaan, dan saling
berbalas maksud dan tanggapan. Ini tidak terjadi pada teks PBG di daerah
Pauh. Perbedaan tekstual kedua teks
tersebut juga mengimplikasikan bahwa orang rantau
lebih independen dalam etika berpidato, tidak taat “pakem”, lebih ekspresif. Kesemuanya ini merupakan bias dari
ideologi rantau yang lebih terbuka
terhadap pembaharuan, dan cenderung independen.
Estetika
Perbedaan
etika yang tercermin dalam kedua teks PBG itu, menyebabkan munculnya estetika
yang berbeda pula. Teks PBG di rantau,
yang cenderung monolog, membuka ruang kreativitas janang dalam menyampaikannya, yaitu dengan cara memberi irama,
aksentuasi, intonasi yang cenderung melodius dibandingkan dengan teks pidato
PBG di darek yang cenderung dialogis,
dan tanpa irama yang melodius, tetapi bukan tanpa aksentuasi dan intonasi.
Aksentuasi dan intonasi lebih bergerak pada pola berbicara sehari-hari dalam
ragam bahasa adat Minangkabau yang lazim dipakai dalam acara-acara adat di balairung (balai adat) dan atau
musyawarah adat lainnya.
Teks PBG di
daerah Pauh, tidak memakai pola perulangan seperti yang terjadi dalam teks PBG
di daerah darek. Teks PBG di Pauh
cenderung berupa prosa liris, sebaliknya yang di darek bersifat dialogis.
Perbedaan Kultural
Secara
kultural, perbedaan itu mengimplikasi ideologi yang tidak sama. Ideologi darek sarat dengan kultur yang dialogis,
menurut aturan-aturan adat matrilineal. Kultur itu tercermin dari tradisi
musyawarah dan mufakat yang telah melembaga dalam adat istiadat yang mereka
anut. Tradisi musyawarah dan mufakat itu merupakan bagian terbesar dari
pikiran-pikiran adat, yang diwarisi oleh orang Minangkabau dari para
leluhurnya. Misalnya, secara filosofis, adat mereka mengajarkan untuk selalu
seiya sekata dalam setiap perkataan dan perbuatan yang menyangkut
tindakan-tindakan kolektif dalam masyarakat adat Minangkabau. Ajaran itu
dibakukan dalam adat mereka melalui ungkapan-ungkapan seperti:
1. Ka bukik samo mandaki
Ka lurah samo manurun
2. Barek samo dipikua
Ringan samo dijinjiang
3. Bulek aia dek pambuluah
Bulek kato dek mufakat
4. Bulek lah dapek digolongkan
Picak lah dapek dilayangkan
Selain itu,
masih banyak lagi ungkapan serupa yang mirip dengan ungkapan-ungkapan di atas
yang mencerminkan prinsip musyawarah dan mufakat yang menjadi ajaran penting
dalam adat Minangkabau. Di dalam teks PBG di darek ditemukan juga ungkapan-ungkapan yang bernuansa sama dengan
tiga ungkapan terdahulu. Secara tekstual, dituliskan dalam kutipan teks PBG di darek berikut ini:
Anak nan duo parkaro
manuruik adaik nan lamo pusako nan usang,
ketek dibari banamo,
gadang dibari bagala.
Ketek nan mambari
banamo, kumbali bapak jo mandehnyo.
Gadang nan mambari
bagala, kumbali kapado nagari nan bapangulu,
kampuang nan batuo,
kamanakan nan bamamak.
Mako sabab itulah,
baiyo babukan kami silang nan bapangka karajo
nan bajunjuang, urang
nan bamamak bakamanakan, nan baranak babapak.
Pihak manolah nan kami
paiyo pabukankan, iyolah mancari bulek nan
sagiliang pipih nan
satapiak. Dek uliah kamujuran, di kami silang nan
bapangka karajo nan
bajunjuang, dapeklah bulek nan sagiliang, pipiah
nan satapiak. Bulek
buliah digolongkan, pipiahlah buliah dilayangkan.
Hanyolah bulek nan
digiliang, pipiah nan ditapiak, di kami silang nan
bapangka karajo nan
bajunjuang, nan banamo si Ali digalai St. Mangkuto.
(dikutip dari teks dokumentasi
PDIKM, 1983).
Sebaliknya,
pada teks PBG di Pauh (rantau)
tercermin ideologi rantau yang sarat
dengan kultur yang monolog, hegemonik, bahkan patriarkis. Kultur yang demikian
(monolog) tergambar melalui mulai melemahnya tradisi musyawarah dan mufakat di
kalangan masyarakat Minangkabau di daerah rantau.
Juga tercermin melalui etika berpidato pasambahan yang berbeda, yang sekaligus
memperlihatkan perbedaan estetika berpidato PBG di rantau dengan di darek.
Melemahnya
tradisi bermusyawarah dan mufakat tercermin dalam teks pidato PBG yang terdiri
dari 722 baris, hanya beberapa baris (tepatnya 12 baris) saja yang memberi
ruang untuk berdialog. Beberapa baris itu berada pada bagian akhir teks pidato
PBG. Ruang itupun tidak dalam pola musyawarah, melainkan berupa pertanyaan saja
dari janang kepada ninik mamak, yang
jawabannya telah disiapkan oleh salah seorang ninik mamak yang hadir, tanpa
perlu bertanya dan bermusyawarah lagi dengan ninik mamak dan hadirin yang
lainnya.
Bagian
terbesar dari baris-baris teks pidato itu, hanyalah penceritaan kembali kisah tambo Minangkabau, yang dicuplik secara
bebas oleh janang untuk menunjang
estetika pidatonya. Janang dengan
sesuka hati ‘memaksa’ pendengarnya untuk percaya bahwa yang disampaikannya
adalah ‘benar’ menurut tambo
Minangkabau.
Ruang untuk
‘pemaksaan’ oleh janang sangat
dimungkinkan karena janang adalah
sebagai seorang ahli dalam berpidato lisan. Ia tidak membacakan teks ketika
menyampaikan pidatonya, melainkan mengingat kerangka pidato yang telah menjadi
kekayaan ingatannya sebagai seorang ahli berpidato lisan dalam ragam bahasa
adat Minangkabau. Kerangka pidato yang diingatnya itu tidak terlepas dari
formula-formula yang telah dikuasainya dengan sangat baik di sepanjang
pengalamannya berpidato lisan. Penguasaannya yang baik terhadap formula-formula
yang relevan dengan kepentingan pidato pemberian gelar adat kepada laki-laki
Minang, seringkali membuat setiap penampilan pidatonya selalu berbeda.
Senantiasa ada penggubahan atau penciptaan kembali dalam setiap penampilannya.
Keahliannya itu membuka kesempatan baginya untuk selalu diundang dalam berbagai
kesempatan pelaksanaan pidato pemberian gelar adat di beberapa tempat yang
berbeda.
Ninik mamak
dan hadirin lainnya diposisikan sebagai orang atau pendengar yang tidak
mempunyai ruang untuk mempertanyakan lagi tentang kisah-kisah tambo yang disampaikan oleh janang. Dengan demikian, teks pidato PBG
menjadi satu arah. Bertolak belakang dengan teks pidato PBG yang ditemukan di
daerah darek.
Pola
komunikasi yang demikian, mengimplikasikan sebuah hegemoni. Janang yang pada kesempatan upacara itu
ditugaskan untuk menyampaikan keputusan yang telah dibuat oleh ninik mamak si marapulai, menjadi perpanjangan tangan
ninik mamak. Ninik mamak adalah penguasa
atas ‘gelar sako’ (gelar pusaka) yang
akan diturunkan kepada marapulai. Ninik
mamak tidak memandang perlu untuk berunding lagi dengan hadirin lainnya dalam
acara pemberian gelar itu, khususnya dengan urang sumando yang hadir, dan juga ‘orang lima suku’. Hadirin tidak
dilibatkan dalam proses musyawarah pemilihan nama atau gelar apa yang akan
diwariskan kepada marapulai. Hadirin
seakan ‘dipaksa’ setuju dengan gelar yang telah dipilihkan untuk si marapulai. Dan tindakan ‘pemaksaan’ itu
secara sempurna dijalankan oleh janang
kepada hadirin atau pendengarnya. Ini gambaran yang ada dalam teks pidato PBG
di daerah rantau.
Pola
komunikasi yang searah dan cenderung hegemonik adalah cerminan kultur yang
sentralistik dan paternalistik. Kultur seperti ini merupakan imbas dari
semangat feodalisme budaya, yang menjadi aura dari struktur masyarakat
patriarki. Pidato PBG di rantau yang
monolog, hegemonik adalah salah satu upaya membangun semangat feodalisme
budaya. Kebebasan janang mencuplik dan ‘memaksakan’ bagian kisah-kisah tambo yang diinginkannya dalam kerangka
pidatonya, mengimplikasikan pengukuhan gambaran dan imajinasi kekuasaan yang
kraton sentris di tengah masyarakat Minangkabau, khususnya di daerah rantau.
Hegemoni
juga tercermin dari pernyataan sanksi-sanksi adat yang dikemukakan janang di bagian akhir pidatonya, bila
gelar yang telah diwariskan kepada si marapulai,
tidak dipanggilkan oleh yang telah mengetahuinya. Adat memberi sanksi yang
keras kepada orang yang tidak mentaati gelar yang telah diwariskan itu. Baik
terhadap si marapulai itu sendiri,
maupun orang lain yang telah mengetahui gelar si marapulai tersebut, tetapi tidak memanggilkannya. Ada metafora
khusus yang dipakai adat untuk menyatakan sanksi itu, yaitu sebagai berikut
yang dikutip melalui teks PBG di rantau berikut
ini:
manulak atau ndak suko manarimo gala ko, nan
tuo-tuo
kito daulu maninggaan sangsi. Aa sangsinyo,
kalau ati
indak suko manarimo gala, dek kada ciek
sahari, cegak
ciek sataun. Itu bana pusako ko turun tamurun.
Jadi
ati kito manarimo handaknya, supayo gala ko
nanti.
turun tamurun pulo ka bawah. Lai batarimo
sangsi
tu haa ? Nah, mudah-mudahan kito tarimo.
(baris 53 s/d 60, bagian epilog)
Bagian-bagian
seperti ini tidak ditemukan dalam teks pidato PBG di daerah darek. Tidak ada sangsi-sangsi adat
apapun yang tercantum secara tekstual dalam teks pidato PBG di daerah darek tersebut. Juga tidak ada
bagian-bagian teks pidato yang mengimplikasikan ‘pemaksaan’ kehendak tiap
personil yang turut berbicara selama pidato persembahan pemberian gelar adat
itu. Situasi yang ditampilkan secara tekstual lebih cenderung berupa
perundingan dan permusyawarahan untuk memperoleh suatu permufakatan tentang
gelar yang akan diwariskan..
Signifikasi
Berdasarkan
uraian terdahulu tentang makna, bentuk, dan konsep maka korelasi antara konsep
mitis dengan bentuk mitis terjadi karena hubungan deformasi. Makna yang
mengimplikasikan tentang kegiatan kolektif masyarakat Minangkabau dalam
menandai masa inisiasi seorang laki-laki, yaitu dengan cara memberinya gelar adat, kemudian dideformasi
oleh konsep yang terkait erat dengan ideologi rantau. Konsep hanya mendistorsi makna itu, karena ia berisi,
penuh, sedangkan bentuk tidak didistorsi oleh konsep karena ia kosong. Akan
tetapi, pendistorsian itu tidak menyebabkan makna menjadi hilang, hanya
dilepaskan dari kenangannya, diamputasi atau dimiskin saja.
Setelah
makna dideformasi, kemudian dikembalikan ke bentuk yang berbeda, yaitu menjadi
sebuah ritual adat Minangkabau yang memperlihatkan subversi kode-kode budaya
masyarakat patrilineal, dengan makna yang juga berbeda dari semula. Makna yang
baru itu adalah hasil pendistorsian makna sebelumnya. Dengan demikian, menjadi
makna yang terkait erat dengan masuknya kode-kode budaya masyarakat
patrilineal. Kesemuanya itu terangkum dalam sebuah fragmen ideologi rantau, yang berbeda dengan ideologi darek.
Dengan
begitu, tradisi pemberian gelar adat kepada laki-laki yang akan menikah itu
adalah sebuah konstruksi dari budaya patrilineal yang masuk ke budaya matrilineal di Minangkabau. Maka,
ketika yang ditampilkan dalam ritual pidato PBG representasi yang utuh tentang
dunia Minangkabau, sesungguhnya bukan dunia Minangkabau seutuhnya. Sebaliknya,
ketika tampak sebagai sebuah konstruksi budaya bukan Minangkabau, ia seakan
tampak menjadi sebuah gambaran utuh tentang dunia Minangkabau.
Proses
begini terjadi karena keberhasilan mitos memutarbalikan sesuatu yang bukan
alamiah, menjadi tampak seakan alamiah. Signifikasi mitos dibangun oleh sejenis
pintu berputar yang terus menerus bergerak, sekali waktu menghadirkan makna
tentang Minangkabau, tetapi bentuknya bukan; sekali waktu menghadirkan bentuk
tentang Minangkabau, tetapi maknanya bukan. Itu berlangsung terus menerus,
secara bergantian. Suatu ketika orang akan sadar bahwa yang direpresentasikan
adalah dunia Minangkabau, tetapi kemudian,
orang akan sadar kembali bahwa itu bukan gambaran utuh dunia
Minangkabau.
Kesimpulan
Bahasa pada sistem semiotik tataran pertama adalah sebagai bahasa objek,
sedangkan pada tataran kedua sebagai metabahasa. Secara analogis dan simbolik
semua penanda visual dan auditif yang ditemukan pada sistem semiotik tataran
pertama mengimplikasikan makna upacara kolektif masyarakat Minangkabau yang
heterogen dalam suku dan luar suku, dalam nagari dan luar nagari. Keterlibatan
semua orang dalam upacara tersebut didukung oleh aturan-aturan adat Minangkabau
yang berlaku di tempat pelaksanaan upacara.
Keseluruhan makna itu pada sistem semiotik tataran kedua menjadi bahan
untuk membentuk penanda dan petanda baru. Pada level inilah mitos berada. Pada
tahap analisis mitos, makna itu dikeringkan, diamputasi nilai historis
keminangkabauan. Pengamputasian dilakukan oleh konsep yang mengimplikasikan
ideologi masyarakat patrilineal.
Upacara pidato PBG, secara bentuk mencitrakan tentang masyarakat dan budaya
Minangkabau, tetapi sarat dengan makna yang bukan Minangkabau, yaitu hadirnya
unsur-unsur budaya patrilineal. Tampak ada subversi kode-kode budaya masyarakat
patrilineal. Jejak subversi itu terimplementasikan melalui ikon-ikon masyarakat
patrilineal yang berbaur dengan matrilineal dalam pelaksanaan upacara pidato
PBG.
Upacara pidato PBG memuat hal-hal yang masyarakat matrilineal di
Minangkabau tak biasa menemukannya secara biasa. Umpamanya, laki-laki
dirajakan, pola kehidupan individual, kepemimpinan sentralistik, dan tindakan
lain yang bercirikan kode budaya masyarakat patrilineal. Mitos mengeringakan
makna keminangkabauan pada level denotasi, mencekungkan, menjauhkan. Konsep
menyerap makna itu, mengisinya dengan motivasi, fragmen ideologi (ideologi).
Kemudian mengembalikan makna yang telah dikeringkan itu lagi dalam bentuk yang
sudah berbeda, bentuk yang telah disesuaikan dengan konsep yang dipengaruhi
oleh ideologi masyarakat rantau. Ideologi rantau yang identik dengan
perubahan-perubahan, dengan pembaharuan, dan tradisi Islam. Semuanya itu
menjadi motivasi atau fragmen ideologis yang mendorong upacara pemberian gelar
tersebut.
Pemberian gelar adat melalui upacara pidato PBG adalah mitos kolektif yang
mengambil dalih “menurut ketentuan adat” seperti yang tercantum dalam teks
pidato PBG.
Kekuatan ungkapan “Ketek Banamo
Gadang Bagala” (Kecil Punya Nama Besar Punya Gelar) yang melandasi upacara
pidato PBG merupakan metabahasa. Kekuatannya ungkapan itu sebagai metabahasa
didukung oleh seperangkat kode yang lahir dari konflik ideologis yang dihadapi
oleh laki-laki Minangkabau dalam struktur kekerabatan matrilineal. Ungkapan itu
dipakai untuk mengunci reference atau
realitas yang dikatakan lewat ungkapan itu. Seterusnya, diarahkan untuk
menggunakan kode-kode masyarakat matrilineal yang memang sudah berkembang di
Minangkabau. Dengan demikian, yang muncul adalah sesuatu yang alamiah.
Dengan menerapkan semiologi Roland Barthes, penelitian ini menyimpulkan
bahwa pemberian gelar adat kepada laki-laki melalui upacara pidato PBG, sama
sekali tidak alami, lugu seadanya. Kesemuanya itu merupakan konstruksi dari
suatu wacana kebudayaan patrilineal yang ada di belakangnya. Wacana ini ada
sebagai bentuk bawah sadar yang terkait dengan sejarah.
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 1974. S/Z.(translated
by Richard Miller). Basil Blackwell.
------------ 1993. Mythologies
(translated from French by Jonathan Cape Ltd)). London: Paladin
Budiman, Kris. 1999. Kosa
Semiotika. Yogyakarta: LKIS.
Chamamah, Siti-Soeratno. 1991. Hikayat
Iskandar Zulkarnain, Jakarta: Balai Pustaka.
Culler, Jonathan. 1981. The
Pursuit of Sign: Semiotics, Literature, Deconstruction,
London: Routledge & Keagen Paul.
Diradjo, Datuk Sangguno. 1987. Curaian
Adat Alam Minangkabau. Bukitinggi: Pustaka Indonesia.
Djamaris, Edwar. 1991. Tambo
Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
Eco, Umberto. 1979. A Theory of
Semiotics. Blomingtoon: Indiana University Press.
Finnegan, Ruth. 1992. Oral
Traditions and the verbal arts : A Guide to Research Practices. London:
Routledge.
H. T, Faruk. 1999. Hilangnya
Pesona Dunia: Siti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosial Kolonial.
Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
---------------, 2001. Beyond
Imagination : Sastra Mutakhir dan Ideologi.Yogyakarta: Gama Media.
Indraningsih, 1996. Eksistensi
Manusia Dalam Rafilus dan Olenka Karya Budi Darma
: Sebuah Kajian Semiotik. Yogyakarta: Tesis S2 UGM.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland
Barthes. Magelang: IndonesiaTera.
Larrain, Jorge. 1996. Konsep
Ideologi (penerjemah Ryadi Gunawan). Yogyakarta: LKPSM.
Lord, A.B. 1981. The Singer
of Tale.(cetakan ke-4). Harvard
University.
Masinambow, E.K.M. (editor). 2000.
Semiotik: Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
M. S, Amir. 1999. Adat
Minangkabau: Pola Hidup Orang Minangkabau. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Moleong, 2000. Metode Penelitian
Kualitatif.(cetakan ke-11). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Musfeptial. 1997. Sastra Lisan
Pasambahan Batagak Gala. Padang: Skripsi pada Fakultas Sastra Universitas
Andalas.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola
Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nasroen, M. 1971. Dasar-Dasar
Falsafah Alam Minangkabau. Djakarta: Bulan Bintang.
Navis, A.A. 1986. Alam Terkembang
Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.
Thaib, M gelar St. Pamoentjak, St. 1935. Kamoes Bahasa Minangkabau Bahasa Melajoe-Riau.Batavia: Balai
Poestaka.
Saleh, Muhammad. 1995. Menyurat
Pada Dengung : Lipatan Lisan Pada Sastra Tulis dalam Warta ATL, edisi perdana, Maret 1995.
Soemanto, C. Soebakdi. 1985. Pengakuan Pariyem Analisis Semiotik.
Yogyakarta: Tesis S2 UGM.
Sudjiman, Panuti dan A.A van Zoest (editor). 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sunardi, St. 2002. Semiotika
Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Sweeney, Amin. 1987. A Full
Hearing : Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley: University
of California Press.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu
Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
------------- 1981. Tergantung
Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Dipaparkan dalam PILNAS
HISKI VIII di Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
[1]
Dengan teorinya itu, Roland Barthes meneliti mitos-mitos yang ada dalam
masyarakat modern di Paris yang diterapkan pada berbagai bentuk budaya media
(lihat Sunardi, 2002).
[2]
Sebagai perbandingan, Heddy Shri Ahimsa Putra (2001) dalam “Strukturalisme Levi
Strauss” menyatakakan bahwa mitos dalam konteks strukturalismeLevi-Strauss
tidak lain adalah dongeng, sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil
imajinasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan itu
berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin agak berbeda
dengan pengertian mitos menurut Mircea Eliade. Menurutnya, mitos merupakan
realitas kultural yang kompleks. Mitos mengungkapkan cara beradanya di dunia.
Bagi Eliade, mitos merupakan usaha manusia arkhais untuk melukiskan lintasan
yang supra-natural ke dalam dunia (dalam Susanto, 1987)
[3] Hal ini menarik juga dikaitkan dengan studi
Chamamah (1991). Menurutnya, keterlibatan unsur Hikayat Iskandar Zulkarnain
dalam teks-teks Melayu (tambo
Minangkabau salah satunya), secara tematis menunjukkan dua aspek: geneologi dan
ajaran. Aspek geneologi terdapat pada teks yang menyajikan sejarah, asal usul,
silsilah, dan undang-undang. Bentuk teksnya adalah naratif (tambo masuk dalam kategori ini). Aspek
ajaran pada dasarnya terdapat pada teks yang menyajikan ajar- an, terutama yang terkait dengan urusan
pemerintahan, kerajaan, dan kehidupan agama. Bentuk teksnya adalah kitab
pelajaran.
[4] Tentang keberadaan tradisi anak bungsu Nabi
Adam dalam tambo Minangkabau, lebih
lanjut lihat Chamamah (1991:150).
[4] Salah seorang pengusaha panyedia paket
pernikahan adat Minang, Elly Kasim, mantan penyanyi era 60-an
[5] Salah seorang pengusaha panyedia paket
pernikahan adat Minang, Elly Kasim, mantan penyanyi era 60-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar