Menunggu Godot (asbarez.com) |
Pertunjukan teater (mhtaufikspd.blogspot.com ) |
Namun, di antara penulis teks-teks lakon tersebut,
terdapat dua nama yang sangat menonjol dalam mengusung warna lokal dalam karya–karya mereka, yakni Riantiarno dan Wisran Hadi.
Riantiarno dikenal sebagai penulis yang banyak mengangkat idiom-idiom wayang
Jawa dalam teks lakonnya. Selain itu, Riantiarno dikenal pula sangat lentur
memasukan berbagai pola penganggungan teater tradisional lain seperti pola sintren, lais, calung, tarling dalam
tekstur pementasannya. Adapun karya Wisran Hadi banyak mencerminkan tradisi
Minang (berupa randai dan bakaba) dan Melayu (berupa hikayat).
Karya-karya kedua penulis drama tersebut mempunyai
persamaan yang menarik. Pada umumnya, hasil karya mereka tidak hanya
mendapatkan sambutan luas berupa penghargaan, tetapi sekaligus langganan
kontroversi. Sambutan berupa penghargaan itu bisa dilihat dari begitu seringnya
keduanya tercatat sebagai pemenang festival naskah lakon tingkat nasional.
Tanggapan negatif terhadap karya mereka itu bisa berujud pembredeilan
pementasan oleh aparat negara; hujatan oleh “pemilik tradisi”; hingga “ancaman sidang” oleh
lembaga adat tertentu (bdk. Esten, 1999:249; Dewajati, 1999:17; Dewajati
2003:5). Hal tersebut tentu saja menjadi menarik karena berbagai tekanan atas
proses kreatif mereka tersebut ternyata tidak pernah menyurutkan langkah proses
kreatif mereka dalam menyampaikan gagasannya dalam “memperalat” dan “mengeksploitasi” tradisi.
Beberapa karya Riantiarno yang fenomenal dan dapat
sambutan yang luas ketika mengusung idiom wayang Jawa misalnya terdapat dalam Konglomerat Burisrawa, Semar Gugat, Suksesi,
dan Republik Bagong. Adapun latar
Minang dan Melayu karya Wisran Hadi antaranya tercermin dalam Imam Bonjol, Nan Rennceh, Cindua Mato, Malin
Kundang, Puti Bungsu, Dara Jingga, Gading Cempaka, dan Senandung Semenanjung (bdk
Adilla, 1996:3; Esten,1999:249; Dewajati, 2003:4). Selanjutnya, dalam makalah
ini akan difokuskan pada pembicaraan warna lokal dalam karya kedua pengarang
tersebut.
Suara Lokal
dan Ideologi Pengarang
Suara lokal yang muncul dalam karya lakon, seperti halnya
pada genre sastra sastra laninnya, pada umumnya tidak bisa dilepaskan dari
dialektika pengarang dengan sistem budaya dan berbagai teks tradisi1 yang
merupakan produk masa lampau. Teks tradisi masa lampau itu pada umumnya
diresepsi pengarang mutakhir melalui karya baru mereka.. Hal ini sejalan dengan
Iser yang menyatakan bahwa teori resepsi sesungguhnya melihat makna sebagai
hasil interaksi antara teks dengan “pembacanya” (bdk Riffaterre, 1978:1)
Pembicaraan
mengenai tradisi ini penting karena baik Riantiarno maupun Wisran Hadi secara
sadar mentransformasikan tradisi, baik wayang Jawa, tradisi hikayat-hikayat
Melayu, maupun cerita rakyat Minang dalam karya mereka. Transformasi yang
mereka gunakan pun pada umumnya bukan dalam tataran formal, melainkan dalam
tataran abstrak. Adapun yang dimaksud dengan proses transformasi secara formal
apabila pemindahan atau penjelmaan pola, alur cerita, karakter, dialog, tema,
dan sebagainya, dari suatu teks ke teks lain dapat ditangkap dengan jelas.
Transformasi secara abstrak terjadi apabila ide atau wacana suatu teks meresap
ke dalam teks lain (Junus 1985:87).
Selain itu, dalam proses transformasi ini, biasanya, terjadi
modifikasi yang berupa pengubahan, penyesuaian, perbaikan, dan pelengkapan
terhadap teks yang ditransformasikan itu. Transformasi juga sering disertai
dengan demitefikasi, yakni berupa penentangan atau pengubahan secara radikal
terhadap teks atau bagian teks yang ditransformasikan. Dengan demikian, teks
atau bagian teks yang dihasilkan itu berbeda dengan teks asal.
Menurut Fokkema dan Elrud Ibsch (1992: 99—100), munculnya transformasi, modifikasi, dan
demitefikasi dapat dijelaskan secara estetis, ideologis, dan kultural. Secara
estetis, perubahan tersebut terjadi apabila ungkapan estetis yang dominan
dianggap tidak lagi memadai atau dianggap usang. Adanya eksplorasi estetis dan
interpretasi baru yang berbeda ini memunculkan inovasi untuk pencapaian estetis
tertentu. Adapun dari segi ideologis, perubahan itu terjadi apabila bentuk yang
sudah ada perlu diubah karena tidak sejalan lagi ideologi yang dianut. Ideologi
dalam pengertian ini meliputi nilai, norma, filsafat, kepercayaan, religi,
sentimen, etos, atau wawasan tentang dunia (Kaplan dan Albert A. Manners,
1999:154, bdk Soedibyo 2001:45)
Persoalan transformasi sebagai wujud dari sambutan teks
seperti yang dikemukakan di atas, sesungguhnya, sejalan dengan gagasan
intertekstual yang dinyatakan oleh Barthes. Menurut Barthes (1981:31-32),
intertekstualitas adalah himpunan atau kombinasi berbagai teks dalam sebuah
teks. Dalam keadaan tertentu hasil karya yang ditulis itu melahirkan lagi
sebuah genre atau bentuk yang baru. Bentuk baru itu mungkin merupakan percobaan
atau eksperimen penyambutnya dalam menghasilkan karya yang berbeda dari apa
yang pernah ditulis pengarang sebelumnya. Barthes juga mengatakan, bahwa sebuah
karya sastra menjadi dasar intertekstualitas karena karya sastra itu pada
prinsipnya tidak pernah hanya mempunyai makna yang satu, tetap, dan tidak
berubah. Dengan demikian, kajian intertekstualitas bukan saja memberi makna
yang berbeda, tetapi dapat juga melahirkan makna baru (1981:33—35).
Tranformasi, modifikasi, dan demitefikasi dalam drama mutakhir
di Indonesia itu pada umumnya tidak hanya di dorong oleh romantisme kultural
dan semangat primordial semata, melainkan muncul karena pertimbangan ideologis
dan estetis pengarangnya. Paling tidak, fenomena yang demikian ini secara umum
juga terlihat pada karya-karya Riantiarno dan Wisran Hadi.
Dalam karya Riantiarno, pertimbangan ideologis yang
dimaksud, biasanya dikaitkan dengan upaya pembrangusan karya sastra dan
pementasan drama pada masa rezim Soeharto. Pada masa itu, karya sastra dan
pementasan drama yang kritis dianggap suatu kegiatan “subversif” yang potensial
yang dapat menggoyahkan status quo Orde Baru. Hal itu disebabkan karya drama
dianggap sebagai alat kontrol sosial masyarakat atas penguasa yang sangat
efektif karena mampu menarik perhatian publik. Atas pertimbangan idiologis
inilah pengarang membangun trend
drama yang “aman” dengan cara mentransformasikan idiom-idiom lokal dalam
karyanya. Hal ini mereka lakukan dalam upaya menghindari tekanan penguasa waktu
itu.
Selain pertimbangan ideologis seperti di atas, dalam
karya Wisran Hadi, pertimbangan ideologis itu juga meliputi hal lain.
Pertimbangan ideologis itu seperti interpretasi baru terhadap nilai, norma,
filsafat, dalam tradisi lama. Beberapa pandangan dalam tradisi lama, menurut Wisran
Hadi, banyak yang tidak lagi relevan dan perlu pemikiran kritis dalam
menyikapinya. Hal yang demikian ini begitu jelas tercermin dalam
karya-karyanya.
Adapun yang dimaksud dengan pertimbangan estetis ialah
pertimbangan pengarang dalam pengambilan idiom lama didasari oleh keyakinan
bahwa bentuk atau idiom lokal tersebut merupakan media estetis yang paling
tepat dan komunikatif untuk menyampaikan gagasan-gagasan pengarang pada
audiensnya.
Suara Lokal
dalam Drama-drama Wisran Hadi
Hal penting yang harus disadari dalam setiap upaya
analisis drama bahwa pada hakikatnya sebuah teks lakon tidak pernah berhenti
pada konsep atau simbol-simbol verbal yang berupa jagat kata (a verbal world)
seperti pada puisi atau novel. Akan tetapi, teks drama juga berisi jagat yang seolah-olah bisa terlihat (visual), terdengar (audible), bahkan terasakan (tangible)
(Soemanto, 2002:6). Dengan kata lain, sebuah teks lakon hanya dapat dinikmati
secara sempurna apabila dipanggungkan. Oleh karena itu, analisis sebuah teks
drama harus memperhatikan pula pentingnya kehadiran teks samping (nebentext) yang terdapat dalam drama
tersebut.
Melalui analisis teks samping atau petunjuk lakon itulah,
seorang pembaca dapat membayangkan pementasannya sekaligus memperoleh petunjuk
warna lokal seperti apa yang tengah dihadirkan pengarangnya. Suara lokal, pada
umumnya, ditransformasikan pengarang secara cerdik, lentur, cair, dan meresap
dalam struktur maupun tekstur karya dramanya. Struktur drama sendiri, menurut
Kernodle, meliputi plot, karakter, dan tema2. Adapun
dialog, mood3, dan
spectacle4, masuk dalam
gugus tekstur drama (Kernodle,1966:344; Whiting 1961:130).
Beberapa karya Wisran Hadi yang menonjol dalam latar
Minangnya, misalnya Wanita Terakhir (Puti
Bungsu). Dalam lakon tersebut tergambar pemahaman Wisran Hadi tentang
budaya Minangkabau. Selain itu, karyanya tersebut juga mengungkapkan adanya
transformasi drama Wisran Hadi ini terhadap teks kaba yang hidup di masyarakat Minangkabau. Adapun tradisi yang
menjadi latar drama Wanita Terakhir ini
adalah kaba Malin Kundang dan kaba Malin Deman dan mitos Sangkuriang. Ada
ada beberapa hal penting yang terlihat dalam drama tersebut, yaitu (1)
perbedaan persepsi dari dua generasi; (2) kerenggangan hubungan suami-isteri
yang disebabkan oleh beberapa faktor sosio-budaya; (3) anak seayah yang tak
saling mengenal, bahkan saling memusuhi; (4) kerenggangan orang tua dengan
anaknya; (5) keterkaitan perempuan Minangkabau terhadap tirani laki-laki.
Keseluruhan itu digambarkan melalui tiga mitos yang dipadukan dalam drama
tersebut, yaitu Malin Kundang, Malin
Deman, dan Sangkuriang. Ketiga
mitos itu dilepaskan dari ikatan kongkretnya dan didemistefikasi. Demitefikasi
dilakukan dengan mengkonfrontasikan dua hal yaitu latar belakang Minangkabau
dan kehidupan manusia modern ( bdk. Junus, 1981:110—127; Adilla, 1996 ).
Karya lain Wisran Hadi lain yang dapat di kemukakan
adalah Cindua Mato (selanjutnya disebut
CM). Sandiwara yang pernah menjadi penelitian disertasi Mursal Esten ini,
mengangkat mitos Minangkabau Cindua Mato sebagai
latar gagasan lakonnya. Dalam
penelitiannya, Esten (1990) memakai beberapa edisi kaba sebagai pembanding, yakni edisi Van der Toorn (1886), edisi
manuskrip yang tersimpan di Universitas Leiden (tanpa tahun), edisi M. Rasyid
Manggis Dt. Rajo Penghulu (1980), dan edisi Syamsudin St. Rajo Endah (1987).
Dalam lakon CM,
terdapat aspek struktur dan tekstur yang menyimpangi hipogramnya, di antaranya,
meliputi genre sastranya, tokoh, plot, peristiwa dan presentasinya. Drama CM ini merupakan suatu perenungan
kreatif terhadap tradisi di era modernisasi, tidak saja menghasilkan sejumlah
agenda tindakan pembaharuan (inovasi),
tetapi sekaligus memberi kontrol sejauh mana pembaharuan harus dilakukan Hal
demikian pulalah yang terjadi dalam karya-karya Wisran Hadi. Karya ini tidak
hanya mengungkapkan permasalahan “di sini dan kini” tetapi juga menggunakan idiom masa lalu yang diambil
dari kaba Cindua Mato. Pola lakon
yang terdapat dalam Cindua Mato
tersebut juga ditemui dalam Senandung
Semenanjung.
Dalam Senandung
Semenanjung (selanjutnya disebut SS) Wisran
Hadi secara sadar mentransformasikan tradisi Melayu, yakni Hikayat Hang Tuah,
dalam teks lakonnya. Melalui karya transformasinya itu, pengarang ingin
menyampaikan sikap keprihatinan terhadap kondisi bangsa “Melayu” (baca:
Indonesia) yang pada saat lakon itu ditulis masih mabuk dan terobsesi oleh
kebesaran masa lalunya. Kondisi demikian itu membuat bangsa Indonesia rapuh dan
tidak pernah mampu berbuat sesuatu untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
tengah dihadapinya. Semangat pembaruan itulah yang menjadi salah satu “pemikiran” atau tema lakon
ini, seperti yang terlihat dalam prolog lakon SS sebagai berikut.
Tentang Hang Tuah
Tak hanya berhikayat
tentang Hang Jebat
….
Tentang kehidupan mengapung
Di buih semenanjung
Kepunahan yang terselubung
Jua kan berpantun
Tentang dunia bertamaddun
Melayu turun menurun
Berkaum dan serumpun
Juga kan beribarat
Tentang bangsa angsa yang sekarat
Hidup abdi akhirat
Semakin jadi melarat
Sementara itu, menurut pandangan pengarang, Hikayat Hang Tuah sebagai sastra lama
yang berisi jalinan kisah sejarah, filosofi, dan kebudayaan Melayu lama
tersebut, memang disusun dengan cita rasa zamannya. Hang Tuah yang disebutkan
perkasa, gigih menuntut ilmu, memiliki kesetiaan terhadap raja yang luar biasa,
diplomat ulung, serta mempunyai rasa setia kawan yang dalam adalah tokoh yang
memang dibutuhkan dalam masanyaa.
Melalui transformasi struktur karakter, Wisran Hadi telah
membuat interpretasi baru dengan meruntuhkan mitos dan legenda Hang Tuah yang
telah tertanam selama ratusan tahun di bumi Melayu. Karakter Hang Tuah tidak
lagi diterima sebagai pahlawan yang tanpa cacat. Dengan demikian, Hang Tuah
sebagai messianic type yang berfungsi
sebagai savior, sang penyelamat atau
juru selamat, tidak terdapat lagi pada karya drama ini. Wisran Hadi dapat
dikatakan telah melakukan demitefikasi terhadap keberadaan Hang Tuah sebagai
pahlawan Melayu seperti yang terdapat dalam Hikayat
Hang Tuah. Dalam hubungan ini, Wisran Hadi secara tegas dan berani telah
menolak kepahlawanan Hang Tuah, karena Hang Tuah dianggap sebagai tokoh yang
tidak relevan lagi dijadikan anutan untuk generasi masa kini. Berikut ini
adalah kutipan dialog Hang II (Hang Jebat) yang memuat pandangan pengarang
terhadap mitos tokoh Melayu tersebut.
Segala yang
bukan milik kita, kau ubah menjadi kebanggaan bangsa!
Keris Tameng
Sari katamu! Keris Majapahit itu bukan tatahan anak negeri kita!
Keris Sang
Sapurba ayahanda Raja, itupun keris dari Sriwijaya!
Meriam yang
kau banggakan, senjata buatan benua Rum!
Gajah dari
benua Keling!
Kain sutra
dari Cina!
Mainan dari
Jepun!
Semuanya kau
bawa dari luar! Negeri ini telah menjadi keranjang sampai barang-barang buatan
kerajaan negeri lain!
Sewaktu kau
jadi Laksamana, kenapa tidak kau anjurkan agar semua itu dibuat di sini.
Dikerjakan sendiri oleh anak negeri. Kenapa tidak tangan kita sendiri menjahit
pakaian yang akan kita pakai?
Hang Tuah.
Itulah
sebabnya aku mengukir ukiran baru di atas ukiranmu.
Berhikayat
di atas hikayatmu. Hikayatmu yang memalukan itu akan dapat menenggelamkan
bangsa ini sepanjang zaman.
Di samping itu, pemilihan tokoh Hang Jebat sebagai tokoh
utama, berkaitan dengan pemilihan bentuk parodi pada drama SS. Di dalam parodi, digunakan simbol lama yang telah ada, dan
diberi makna baru. Simbol itu tidak hanya merupakan tiruan, tetapi sekaligus
pembalikan karakter simbol lama secara ironis. Tokoh Hang Tuah dianggap sebagai
simbol dan nilai lama, sedangkan Hang Jebat dianggap sebagai nilai baru. Oleh
karena dalam parodi berlaku adanya pembalikan karakter secara ironis, maka
dapat dipahami jika tokoh Hang Jebat dalam SS
justru dipilih pengarang sebagai tokoh utamanya. Pembalikan karakter tersebut
tidak bermaksud untuk mengejek makna tokoh simbol lama, tetapi pembalikan itu
mempunyai fungsi untuk mengejek, menyindir, dan menggugat realitas
sosial-politik yang ada di masa sekarang.
Jagat Wayang
dalam Karya Riantiarno
Warna lokal dalam struktur drama Riantiarno pada umumnya
di dominasi oleh latar wayang. Idiom-idiom wayang, baik berupa cerita,
karakter, dan latar, begitu mudah diidentifikasi dalam teks-teks lakonnya
seperti pada Konglomerat Burisrawa
(1990), Suksesi (1992), Semar Gugat (1995), dan Republik Bagong (2001).
Akan tetapi, dalam tekstur dramanya, Riantiarno memasukkan berbagai unsur pola
teater tradisional seperti tarling, sintren, calung, ludruk, dan pola
pementasan macam Komedi Stamboel
ataupun Dardanella.
Dalam Konglomerat
Burisrawa (KB), Riantiarno memotret
keserakahan para penguasa Indonesia pada masa Orde Baru melalui tokoh
Burisrawa. Dalam KB ini pengarang mentransformasikan cerita wayang Sumbadra Larung menjadi parodi yang
kenyal dan sarat kritik sosial. Melalui tokoh Burisrawa, pengarang seolah-olah
menyindir para penguasa waktu itu yang selalu menekankan prinsip keselarasan
dan harmoni, namun, di sisi lain justru melanggarnya sendiri.
Secara umum, budaya Jawa memang menganut prinsip-prinsip
keselarasan. Interaksi di berbagai lingkungan sosial diatur dalam tata krama
Jawa untuk mencegah timbulnya konflik. Setiap individu di dalam masyarakat
dituntut untuk menjamin kepentingan-kepentingan dan hak-haknya sendiri agar
jangan sampai mengganggu keselarasan sosial. Prinsip keselarasan memuat
larangan usaha untuk bertindak hanya atas dasar kesadaran dan kehendak seorang
diri saja (Greetz,1983).
Keserakahan dalam pandangan moralitas Jawa jelas
bertentangan dengan prinsip keselarasan itu. Perbuatan serakah di dalam
masyarakat Jawa tidak hanya mengganggu interaksi beberapa individu yang
terkait, tetapi sudah dapat berarti merusak irama dan norma kehidupan
masyarakat karena dianggap telah mengambil posisi yang rawan konflik. Sebab,
secara sosial, individu dilarang mengungkapkan perasaan, keinginan, atau
kehendaknya. Masyarakat Jawa tabu menonjolkan diri. Bila ia bernasib baik, ia
harus membaginya. Ia tidak boleh membanggakan keberhasilan materinya, membuat
dirinya lebih penting dan luar biasa, kecuali ia adalah seorang pemimpin
(Mulder, 1984).
Meskipun ide keserakahan ini berasal dari konvensi lama,
tetapi pada KB keserakahan itu
bersentuhan dengan berbagai objek aktual. Penggambaran Burisrawa sebagai tokoh
stereotip konglomerat dalam karya Riantiarno itu, sebenarnya sudah mewakili
gagasan pengarang mengenai motif keserakahan itu sendiri. Berikut ini adalah
kutipan dialog yang menggambarkan karakter Burisrawa tersebut.
Burisrawa :
. . . .
Bisnisku
sudah mencakup macam-macam barang. Dari mulai produksi tusuk gigi sampai dengan
satelit di angkasa. Dari mulai katering sampai dengan tambak udang. Dari mulai
biro iklan sampai dengan jalan layang. Tanya, komoditi apa saja yang ada di
Mandaraka dan Madyapura, cuma Burisrawa yang memegang monopolinya. Kekayaanku
berlimpah, tak habis dimakan oleh 21 keturunan. Pustaka aset dan omset milikku
saja sekarang sudah memasuki jilid ke-23. . . . . (KB : 33)
Contoh karya Riantiarno yang lain yang memuat warna lokal
wayang adalah Semar Gugat
(selanjutnya disebut SG) dan Republik Bagong (selanjutnya disebut
RB). Dalam dua dramanya itu, Riantiarno menempatkan tokoh punokawan sebagai
tokoh utamanya.
Semar yang dalam dunia pewayangan merupakan tokoh sesepuh
punakawan yang selalu dihormati para satria.Tokoh ini merupakan penasihat
sekaligus pendamping setia satria Pandawa. Akan tetapi, dalam lakon SG, tokoh tersebut justru digambarkan
sebagai tokoh yang terhina dan kehilangan martabatnya. Semar yang dipaksa oleh
Arjuna untuk menyerahkan “kuncung” legendarisnya sebagai mas kawin pernikahan
dengan Srikandi itu, merasa sangat terluka. Dengan demikian, karakter Semar
dalam SG merupakan simbol rakyat
jelata yang menjadi korban arogansi penguasa. Dalam uro-uro dan tangisnya, Semar akhirnya merasa dirinya hanya dianggap
sebagai budak hina, handuk mandi, tisu pembersih ingus, air cebok, karpet
ompol, sampo ketombe, korek telinga, perban koreng-kudis satria, keset dan
kasut kaki para pejabat istana, dan kambing hitam yang siap dijagal penguasa.
Hal tersebut berbeda nasibnya dengan tokoh-tokoh istana
yang sering mengaku sebagai “Semar”. Sindiran tentang munculnya Semar
“jadi-jadian” yang merupakan ironi kondisi sosial politik di Indonesia itu
tercermin dalam dalam kutipan berikut.
Berjuta
Semar punya pabrik dan naik mersi
Berjuta
Semar jadi pahlawan demokrasi
Berjuta
Semar berwujud konglomerat dan monopoli
Berjuta Semar
gemar melukis dan membaca puisi
Berjuta
Semar tak sanggup bikin kentut lagi
Ada pula
Semar yang punya takhta dan kuasa
(SG, 1995 :
108)
Lakon Riantiarno yang lain yang bertutur tentang dunia
punokawan adalah Republik Bagong(2001).
Lakon Republik Bagong ini
(selanjutnya disebut RB) seperti
halnya Semar Gugat, mempunyai
keistimewaan yakni menempatkan tokoh trah punakawan, yakni Bagong, sebagai
tokoh sentral dalam lakon ini.
Dalam jagad
pewayangan, pusat kebaikan, keluhuran budi, keperkasaan, kepahlawanan, dan
berbagai bentuk keteladanan lainnya, hanya ada pada tokoh-tokoh ksatria
Pandawa. Pada drama RB, segala
sesuatu yang selama ini dipercaya sebagai pusat segala kebaikan itu mengalami
pembongkaran. Tidak selamanya tokoh yang kurang beruntung baik secara
penampilan fisik, kedudukan, maupun kelas sosial, harus selalu ada pada posisi
pinggiran. Sebaliknya tokoh satria, bangsawan yang tampan, juga tidak selalu
digambarkan mempunyai nasib baik ataupun mempunyai watak terpuji.
Keputusan Riantiarno untuk tidak memilih judul Republik Pandawa atau Republik Amarta misalnya, membuktikan
bahwa pengarang memang ingin mengaburkan batas antara pusat dan pinggiran. Republik Bagong juga dapat
diinterpretasikan sebagai republik “rakyat” atau masyarakat madani, atau bisa juga justru merupakan
satir yang berarti “republik lelucon” atau “negara dagelan”.
Karakter Bagong yang secara konvensonal dikenal
masyarakat luas seperti yang digambarkan pada beberapa adegan monolog diatas,
oleh pengarang RB pada babak
selanjutnya didekonstruksi menjadi tokoh gado-gado,
campur-aduk, bahkan menjadi tokoh yang sama sekali baru. Tokoh Bagong dalam RB tidak harus selamanya menjadi abdi
dalem, tapi bisa pula berperan menjadi raja bahkan menjelma semacam dewa yang
dikultuskan rakyatnya. Tokoh Bagong pun dalam RB bahkan tidak hanya berjumlah seorang saja, akan tetapi bisa
kembar dua, tiga, bahkan lima.
Munculnya lima pemeran Bagong dalam teks ini seolah ingin
menyadarkan pembaca atau penontonnya, tentang “kebenaran” yang tidak harus
selamanya tunggal /seragam; bahwa kebenaran itu juga bisa bermacam-macam.
Rakyat juga mempunyai karakter, cita-cita, dan harapan yang tidak selalu satu,
tunggal, atau homogen. Pada babak pertama pada adegan pembuka, dilukiskan dalam
teks samping (neben text) tentang
kemunculan lima tokoh Bagong yang menyanyi dan menari di atas panggung.
Selalu diburu-buru belati nasib
Rakyat kecil adalah Bagong
Jadi buangan, mati berkali-kali
Politik raja, kejam dan licik
Para satria jadi buta dan tuli
Rakyat cuma tumbal tanpa harga
Dihisap habis tulang sumsumnya
Oo, rakyat kecil adalah Bagong
Rakyat kecil memang cuma bagong (RB:71)
Konglomerat Burisrawa, Semar Gugat, dan Republik Bagong ,
pada akhirnya hanya merupakan sample kecil dari kecerdasan Riantiarno dalam
“memperalat” tradisi untuk menyampakan gagasan-gagasan kritisnya.
Kesimpulan
Suara lokal dalam drama mutakhir Indonesia yang menjadi trend dua puluh tahun terakhir telah
memperkaya khazanah sastra Indonesia. Suara lokal berupa tranformasi tradisi
itu, pada umumnya tidak hanya di dorong oleh romantisme kultural dan semangat
primordial semata. Akan tetapi, hal tersebut biasanya muncul karena
pertimbangan ideologis dan estetis pengarangnya.
Pada karya-karya Wisran Hadi dan Riantiarno, transformasi
tradisi itu pada umumnya dipakai sebagai alat untuk menyampaikan kritik
terhadap kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang terjadi di Indonesia
pada saat teks itu ditulis.
DAFTAR PUSTAKA
Adilla, Ivan. 1996. “Puti Bungsu (Wanita Terakhir):
Analisis Struktural dan Hubungan Intertekstual.” Tesis S2 Program Pasca Sarjana
UGM. Yogyakarta.
Altenbernd, Lynn dan Leslie L. Lewis. A Handbook for The Study of Drama. 1966.
New York: Macmillan Company
Barthes, Roland. 1981. “Theory of the Text”. Dalam Robert
Young, ed. Untying the Text: A Post-
Structuralist Reader. Boston: Rouledge & Kegan Paul.
Bradbury, Macolm. 1972. The Social Contex of Modern English Literature. London: Basil
Blackwell & Mott Limited.
Dewajati, Cahyaningrum. 1999. “Wacana Kritik Sosial dalam
Drama-Drama Riantiarno”. Penelitian M.A.K UGM, yogyakarta. Tidak Diterbitkan.
Dewajati, Cahyaningrum. 2003. “Senandung semenanjung:
Sebuah Analisis Intertekstual”. Tesis S-2 Program Pascasarjana UGM. Tidak
diterbitkan.
Esten, Mursal. 1999. Kajian
Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa.
Fokema, D.N. dan Ibsch. E.K. 1977. Theories of Literature in Twentieth Century. London. London:C.
Hurst and Company
Hadi, Wisran. 2000. Empat
Sandiwara Orang Melayu. Bandung: Angkasa.
Hasanuddin ws. 1991. “Mitos dan Kontra Mitos dalam
Kreativitas Sastra.” Dalam Horizon No
7 Th.XXV. Jakarta.
----------------.1996. Drama dalam Dua Dimensi. Bandung:Angkasa
Iser, Wolfgang.1974. The
Implied Reader. Baltimore and London: The John Hopkins University Press.
Junus, Umar. 1981. Mitos
dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
-----------. 1985. Resepsi
Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia
Kaplan, David dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Diterjemahkan oleh Landung
Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kernodle, George R. 1961. The Invitation to The Theatre. New York: Harcourt, Brace &
World.
Kristeva, Julia. 1980. Desire In Language: A Semiotic Approach to Literature And Art.
Oxford: Basil Blackwell.
Napiah, Abdul Rahman. 1982.“Aspek Stilistik Dalam Drama Modern Malaysia”.Dalam Stilistik Simposium Keindahan
Bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Kementrian Pelajaran Malaysia.
Riffaterre, Michael. 1984. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Riantiarno, N. 1990. Konglomerat
Burisrawa. Jakarta: Teater Koma.
Riantiarno, N. 1992. Suksesi.
Jakarta: Teater Koma.
Riantiarno, N. 1995. Semar
Gugat.. Bandung:Angkasa.
Riantiarno, N. 2001. Republik
Bagong. Yogyakarta:Bentang
Sham, Abu Hassan. 1993. Pemahaman dan Penghayatan Beberapa Aspek Hikayat Hang Tuah. Kajang:
Massa Enterprise.
Soebadio, Haryati. 1983.”Seniman dan Seni di Indonesia”
dalam Analisis Kebudayaan. Th. II,
No.2.
Soemanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.
---. 2002. “Membaca Naskah Lakon, Membayangkan Pentas,
dan Berada di antara Suatu Kondisi Masyarakat Tertentu”. Makalah yang
disampaikan pada Dialog Ilmiah Dwi Bulanan II. Unit Pengkajian dan Pengembangan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada, 2
September 2002.
Whiting, Frank M.1961. An Introduction to The Theatre. New York: Harper & Row
Publisher.
Worton, Michael and Judith Still, (ed).1992. Intertextuality: Theories and Practices
(Introduction). Mancester: Mancerter University Press.
1 Tradisi secara umum dapat diartikan sebagai kebiasaan
turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang
bersangkutan. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah
laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang
bersifat gaib atau keagamaan. Di dalam tradisi, telah diatur bagaimana manusia
berhubungan dengan manusia yang lain, atau satu kelompok manusia dengan
kelompok manusia yang lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya,
dan bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Dengan demikian,
tradiasi berkembang menjadi suatu sistem, memiliki pola dan norma sekaligus,
serta mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan
penyimpangan (Soebadio,1983:18; bdk Esten 1999:36).
3 Mood oleh Aristoteles diartikan sebagai
musik. Setelah masa kejayaan opera berlalu, mood lebih diartikan sebagai
suasana (Kernodle, 1966:365).
4 Spectacle
dalam drama adalah berbagai peralatan yang disebutkan dalam teks, khususnya
pada nebentext (Soemanto,2002:5). Spectacle dapat disebut pula sebagai
aspek-aspek visual sebuah lakon, terutama action
fisik para tokoh di atas panggung. Spectacle
juga dapat mengacu pada pembabakan, tata kostum, tata rias, tata lampu, dan
perlengkapan yang lain sehingga membuat sebuah teks lakon menjadi visible, audible,dan tangible (Soemanto, 2001:24).
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di Universitas
Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar