OLEH Soediro Satoto
Guru Besar pada Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pendahuluan
Baik Seni Teater maupun Seni Film, keduanya m
erupakan jenis-jenis
seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kompleks, rumit, dan (paling) akrab
dengan publiknya, yaitu ‘masyarakat seni teater dan film’, ‘masyarakat seni
pertunjukan’. Yang dimaksud ‘masyarakat seni pertunjukan’ di sini, antara lain:
pencipta seni, para pekerja seni, karya seninya itu sendiri, manager
(pengelola, atau pemimpin) kelompok (group)
seni, pengayom atau maesenas seni, alam semesta (universe) dan lingkungan seni (poleksosbud hankam, iptek dan seni)
yang bisa dijadikan bahan atau sumber inspirasi bagi seniman untuk melakukan
proses kreatif seni, lembaga pengelolaan atau managemen seni (lembaga swasta
atau pemerintah, lembaga sekolah atau kampus, baik lembaga formal maupun
nonformal, sanggar, kelompok, paguyuban, dsb.), penikmat, pemerhati, kritikus
atau peneliti seni, pelatih atau pengajar seni, baik guru, dosen, maupun empu
seni, dan jangan lupa penonton karya seni, baik menggunakan sarana visual,
auditif, audiovisual, dan sebagainya. Baik melalui media panggung pementasan
atau pergelaran, media cetak, elektronik, audiovisual atau teve, maupun
komputer, Khusus penonton, menurut
hemat saya bukan sekadar berkedudukan sebagai faktor penunjang, melainkan merupakan komponen atau unsur bagi
setiap seni pertunjukan. Tanpa penonton, penyebutan istilah ‘seni pertunjukan’
menjadi aneh, sebab lalu dipertunjukkan atau dipertontonkan kepada siapa?
Pementasan Teater Koma (Dok) |
Kedunya, seni teater dan seni film, merupakan
lembaga-lembaga sosial, dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial,
eksperimen sosial, sistem sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun
semiotik budaya yang amat kaya akan nuansa makna yang terkandung dalam
tanda-tanda yang terbangun oleh kedua jenis seni pertunjukan tersebut, baik
secara ikonik, indeksikal, maupun secara simbolik menurut tipologi Peirce.
Dalam proses dramaturgi dan sinematografi, sebagai
‘proses teater’ dan ‘proses film’, seni teater dan seni film merupakan tempat
pertemuan, kolaborasi, bahkan ‘persetubuhan’, hampir seluruh cabang seni dan
seniman di dalamnya (bahkan termasuk nonseni dan nonseniman sekali pun), untuk
mewujudkan sebuah karya seni yang bulat utuh (unified whole), ansambel, dan harmonis. Maka, proses penciptaan dan
proses pengkajiannya bersifat hirarkis (formula dramaturgi), memerlukan kerja
keras dan nyali yang tinggi, bersifat multi dan atau interdisipliner, lintas
budaya, serta menggunakan metode, pendekatan, teknik, strategi, dan atau
analisis yang tepat guna dan berdaya guna sesuai dengan sifat atau karakter,
objek kajian, dan tujuannya.
Tulisan ini dimaksudkan untuk membicarakan selayang pandang karakteristik, struktur, peranan, fungsi, arti, dan
makna, serta problematik Seni Teater dan Film Indonesia sebagai seni
pertunjukan, dalam perspektif Semiotika Sosial dan Budaya.
Tulisan ini terkesan sangat ambisius karena ingin
membicarakan dua jenis seni pertunjukan yang bukan saja (diperlukan)
keterlibatan banyak faktor dan komponen atau unsur, termasuk penonton (apa pun
motivasi dan sifatnya) atau publiknya, namun juga sangat rumit dan kompleks.
Dalam pembicaraan ini tidak hanya melibatkan dua disiplin jenis seni teater dan
seni film, tetapi, lagi-lagi, bersifat multi dan atau interdisipliner, lintas
budaya, seperti telah dikemukakan di atas. Itulah sebabnya, pembicaraannya di
sini hanya selayang pandang. Namun diharapkan masih ada dalam konteks seni
pertunjukan, dalam perspektif
semiotika sosial budaya sebagaimana tercantum dalam judul tulisan ini.
Bahasa, Sastra, dan
Seni
Sastra adalah seni bahasa. Seni sastra adalah seni bahasa
plus. Artinya, setiap kegiatan melakukan pengkajian terhadap seni sastra,
paling tidak diperlukan pemahaman tentang tiga sistem kode yang saling
mendukung dan melengkapi. Ketiga sistem kode yang dimaksud adalah kode bahasa,
kode sastra, dan kode budaya.
Bahasa yang terdapat di dalam karya seni sastra adalah
bahasa yang khas (bahasa sastra) karena telah dieksploitasi dan disiasati oleh
pengarang dalam proses kreatif seninya (lebih-lebih seni sastra jenis puisi).
Bahasa dalam karya seni sastra jenis puisi, prosa, dan drama atau teater memiliki
karakteristiknya masing-masing. Model yang digunakan untuk melakukan pengkajian
dan analisis terhadap bahasa di dalam karya seni sastra menggunakan pendekatan
stilistika.
Dalam kaitannya dengan faktor budaya, karya seni sastra
sejak awal kehadirannya tidak dalam keadaan kosong. Artinya, kondisi sosial
budaya sangat berpengaruh terhadap karakteristik seni sastra. Tanpa memahami
kondisi sosial budaya di mana karya seni sastra itu lahir dan berada,
penelitian sastra tidak akan memperoleh hasil yang maksimal, atau bahkan bisa
keliru. Maka, kondisi dan karakteristik sosial budaya tempat karya seni sastra
itu dilahirkan perlu dipahami oleh setiap pengkaji, kritikus, atau peneliti
seni sastra.
Seperti halnya terhadap jenis-jenis seni lainnya, seni
sastra sering dipertanyakan, sebagai ilmu apa sebagai seni. Jawabnya tentu saja
kedua-duanya, yaitu sebagai ilmu dan sebagai seni. Konvensi-konvensi yang
digunakan dalam mengkaji dan menganalisis seni sastra menggunakan konvensi ilmu
sastra dan konvensi seni. Tidak bisa dipungkiri bahwa hingga kini, konvensi
sastra dari ‘Barat’ masih sering digunakan sebagai acuan analisis dalam
penelitian sastra. Saya kira, hegemoni konvensi ‘Barat’ tidak hanya ada dalam
penelitian seni sastra, tetapi juga pada jenis-jenis seni lainnya; terutama
juga terhadap bidang-bidang kajian nonseni, misalnya sosial, politik, ekonomi,
dan iptek.
Sastra bisa ditulis oleh siapa
saja yang latar belakang disiplin ilmu pengetahuan, latar belakang sosial
budaya dan pandangan hidupnya berbeda-beda. Sastra juga bisa bicara tentang apa saja. Maka konvensi sastra untuk acuan
analisisnya bisa dilihat dari segi intrinsik atau ekstrinsik (Wellek, 1979).
Secara intrinsik sastra diperlakukan secara otonom, dikaji berdasarkan struktur
dalam atau mikro struktur. Secara ekstrinsik, sastra dikaji dalam kaitannya
dengan hal-hal di luar dirinya, misalnya aspek sosial, politik, ekonomi, hukum, filsafat, agama,
hankam, dan sebagainya. Kritikus sastra dan peneliti sastra harus punya wawasan
yang cukup tidak hanya sastra, tetapi juga bidang-bidang seni dan ilmu-ilmu
lainnya sebagai pembantu analisisnya.
MH. Abrams (1979:6; 1981:36—37), (lihat juga Teeuw
1984:49—50; Satoto 1995:118—120) memberikan sebuah kerangka (frame work) yang sederhana tetapi cukup
efektif untuk melakukan kritik seni:
(Semesta) Universe Work
(Karya) Author
(pencipta), Artist Audience (pembaca, pendengar, penonton)
Model di atas mengandung pendekatan kritis yang utama
terhadap karya sastra sebagai produk kreatifitas seni, sebagai berikut:
1. Pendekatan
yang menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini disebut pendekatan objektif atau pendekatan struktural;
2. Pendekatan
yang menitikberatkan pada pencipta. Pendekatan ini disebut pendekatan ekspresif;
3. Pendekatan
yang menitikberatkan pada alam semesta. Pendekatan ini disebut pendekatan mimetik; dan
4. Pendekatan
yang menitikberatkan pada audience.
Pendekatan ini disebut pendekatan
pragmatik atau pendekatan reseptif.
Sedangkan pendekatan yang menitikberatkan kepada seluruh
aspek di atas (no. 1—4) secara keseluruhan disebut pendekatan holistik.
Sastra sebagai materi kuliah dan objek kajian di Fakultas
Sastra pada berbagai perguruan tinggi di Indonesia, umumnya lebih dilihat atau
dipandang sebagai ilmu-ilmu susastra daripada sebagai salah satu cabang seni.
Hal ini jelas-jelas mengingkari definisi klasik tentang sastra yang mengatakan
bahwa ‘sastra adalah salah satu cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya, bersifat imajinatif, dan estetikanya dominan (Wellek, 1976). Yang
dimaksud seni sastra di sini baik sastra tulis maupun sastra lisan yang
akhir-akhir ini dirasakan betapa lebih kaya akan jenis, ragam, dan gaya
penyajiannya sebagai sastra Nusantara di wilayah Indonesia sehingga justru
menjadi primadona untuk dilakukan pengkajian dan penelitian. Maka saya sering
mengatakan, jika Fakultas Sastra tidak
menempatkan sastra ke dalam habitatnya sebagai salah satu cabang seni,
dan tidak segera meluruskan pemahaman-pemahaman yang bisa disesatkan oleh
kurikulum-kurikulum dan silabus-silabus yang tidak mampu mengembalikan sastra
ke habitatnya sebagai salah satu cabag seni, Fakultas Sastra tersebut bisa
dituduh atau disebut sebagai “fakultas sastra minus sastra dan sekaligus minus
seni”. Ironinya, masalah sastra justru lebih digauli, dihayati, dan
dimanfaatkan secara luas oleh kalangan masyarakat non Fakultas Sastra daripada
Fakultas Sastra itu sendiri. Lalu apa yang dikerjakan oleh Fakultas Sastra
selain mencetak sarjana-sarjana sastra yang miskin akan wawasan sastranya,
sekaligus, lebih-lebih, miskin akan wawasan seninya, sebab seni sastra adalah
salah satu cabang seni.
Dilihat dari segi pengkajiannya, sastra meliputi Sejarah
Sastra, Teori Sastra, dan Kritik Sastra. Ada yang memasukkan Apresiasi Sastra,
Sastra Perbandingan, Pengajaran Sastra, Sosiologi Sastra, Psikologi Sastra,
Antropologi Sastra, Etnologi Sastra, Religiositas Sastra, Teknologi Sastra, dan
sebagainya.
Jika dilihat dari segi genre atau jenisnya, ada sastra jenis puisi, prosa atau fiksi (ingat bahwa semua jenis sastra
adalah fiksi), dan drama atau teater. Baik sastra klasik, sastra lama,
sastra baru, sastra modern, sastra populer, sastra kontemporer, sastra
tradisional, sastra daerah atau lokal, sastra nasional, sastra regional, sastra
global atau universal, dan lain sebagainya. Kenyataan demikian umumnya berlaku
juga bagi cabang-cabang atau jenis-jenis seni yang lain – Di wilayah Nusantara
dan Indonesia memang kaya akan jenis dan ragam keseniannya. Sehingga masalah
sastra adalah masalah lintas budaya.
Karena film menyajikan kisahnya secara lengkap dalam
bentuk dramatik dan teatrik, maka film memiliki banyak kesamaan dengan teater.
Baik teater maupun film, keduanya memiliki
komponen-komponen utama yang sama, misalnya bahasa, sastra (script, naskah
lakon atau skenario), projuser, sutradara (director),
art director, stage director, aktor dan aktris, penata panggung, penata dekor
(interior dan eksterior), penata lampu, sinar dan atau cahaya, penata musik
atau suara, penata properti, penata rias, penata busana. Keduanya memainkan
atau menjabarkan dengan gerak dan suara atau mendramatisasikan kisah, arti, dan
makna. Keduanya lebih banyak memperlihatkan daripada menceritakan. Keduanya
adalah seni pertunjukan, meskipun kadar seninya dalam teater lebih kental
daripada dalam film. Hal ini disebabkan dalam sinematografi (proses pembuatan
film) nilai artistiknya sudah banyak dicampuri, dieksploitasi atau dimanipulasi
oleh kecanggihan teknologi alat-alat penunjangnya, misalnya perkameraan atau
fotografis, perlampuan, persinaran atau pencahayaan, permusikan, perpanggungan, perdekorasian,
ilustrasi, grafis, dan sebagainya. Hal-hal atau efek-efek yang tidak bisa
dilakukan oleh cabang-cabang seni yang lain, termasuk teater, dapat dilakukan
dalam film. Itulah sebabnya Boggs (1991) mengemukakan bahwa seni film hampir
tidak mungkin tertandingi oleh cabang-cabang seni yang lain termasuk seni
teater. Sebaliknya kadar artistik dalam film juga tidak setinggi jika
dibandingkan dengan teater. Film lebih berorientasi ke masalah bisnis atau
ekonomi daripada seni teater. Hampir dapat dipastikan bahwa biaya produksi seni
teater yang baik tidak mungkin bisa kembali setelah dipertunjukkan. Hal ini
berbeda dengan film yang baik. Setiap akan membuat film, projuser pasti telah
membuat kalkulasi bahwa biaya produksi harus bisa kembali ditambah dengan
untung-untung bersihnya jika sudah dipotong dengan seluruh pengeluaran,
termasuk bunga-bunga bank, broker, atau sponsor yang mendanainya. Jika
pembuatan film memerlukan perhitungan kalkulasi jangka panjang, maka dalam seni
teater memerlukan perhitungan kalkulasi jangka pendek. Naskah lakon yang sama,
dipentaskan oleh kelompok teater yang sama, dalam kurun waktu atau kondisi yang
berbeda, memerlukan penggarapan yang berbeda. Akibatnya, setiap proses teater
memerlukan biaya produksi yang berbeda. Namun dalam film tidaklah demikian.
Sebuah film yang bisa diputar beberapa kali di tempat-tempat yang berbeda,
dalam kurun waktu bertahun-tahun lamanya, hanya memerlukan sekali biaya
produksi. Film bisa diputar dan dipertunjukkan atau ditayangkan di atas layar
beberapa kali sebab yang dipertunjukkan adalah gambar (dua dimensi). Sedangkan
pertunjukan teater dilakukan di atas panggung (tiga dimensi). Menjadi pemain
dalam film relatif lebih mudah daripada dalam teater. Sebelum dipertunjukkan,
pemain (aktor dan aktris) dalam film bisa dibantu oleh alat-alat teknologi
canggih, dan prosesnya dapat disempurnakan berulang kali (proses editing)
sebelum siap ditayangkan. Sedangkan dalam teater tidak bisa dibantu, dibetulkan
atau diperbaiki manakala sudah tampil di atas panggung pertunjukan. Jika dalam
pembuatan film, orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak harus seniman atau
punya wawasan seni yang cukup, maka lain halnya dalam seni teater. Dalam seni
teater, seluruh orang yang terlibat dalam proses dramaturgi (proses teater)
adalah seniman-seniman yang berwawasan seni teater sebagai seni pentas minimal
cukup.
Teater, film, dan sastra, ketiganya menggunakan bahasa
sebagai medium untuk mengisahkan cerita, ide-idenya, atau pesan-pesannya.
Kepandaian bercerita, baik yang dilakukan dalam cerita pendek, novel, drama
atau teater, dan film selalu tergantung pada struktur dramatik yang kuat, yaitu
penataan bagian-bagian secara logis dan estetis untuk menghasilkan dampak
emosional intelektual dan dramatik yang maksimum. Kebanyakan film fiksi
mengikuti dua pola struktur umum yang memiliki tahapan-tahapan yang sama,
yaitu: paparan, komplikasi, klimaks dan resolusi (penyelesaian) atau
kesimpulan. Dua pola struktur yang dimaksud di atas yaitu (1) Permulaan
ekspositoris atau kronologis; dan (2) Awal In medias res (di tengah-tengah
action). Kedua pola struktur dramatik tersebut hanya berbeda dalam soal
penataan atau pengaturan unsur-unsur tersebut, dan diidentifikasikan menurut
cara cerita itu dimualai.
Film, teater, dan novel atau cerita pendek dalam sastra
juga memiliki komponen-komponen yang sama yaitu cerita, alur (plot), tokoh,
latar, ruang, waktu, suasana, gaya, tema dan amanat. Itulah sebabnya banyak karya
sastra terutama jenis novel yang telah digarap dan dilayarputihkan menjadi
sebuah karya film. Pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke
dalam film tersebut disebut ekranisasi.
Pemindahan novel ke dalam film mau tidak mau pasti mengakibatkan timbulnya
pelbagai perubahan. Maka dapat dikatakan bahwa ekranisasi adalah proses perubahan. Ekranisasi berarti perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara
individual menjadi sesuatu yang dihasilkan cerara kolektif. Proses perubahan
itu bisa berupa penciutan, penambahan, atau perubahan bervariasi (lihat
Eneste 1991). Itulah sebabnya ketika
Trisno Yuwono, pengarang novel “Pada
Kawat Berduri”, memberi komentar atas pertanyaan penulis artikel ini
tentang pengangkatan dan pelayarputihan terhadap novelnya tersebut ke dalam
jenis seni film, “ Itu tidak sama dan tidak mewakili novel saya meskipun
judulnya sama, “Pagar Kawat Berduri”.
“Saya tidak pernah dimintai izin oleh produsernya ketika ia akan mengangkat
novel saya tersebut ke dalam jenis seni film”. Contoh lain, beberapa orang yang
telah membaca novel “Siti Nurbaya”,
misalnya, ketika mereka menyaksikan film dengan judul yang sama “Siti Nurbaya”, ternyata keduanya (yang
berjenis novel dan film) terdapat beberapa perbedaan, meskipun ada banyak
kesamaannya. Yang jelas, sebagai sebuah karya seni, keduanya adalah dua jenis
seni yang berbeda, terutama, dalam proses kreatifnya.
Sosiologi Seni
Teater dan Film
Dalam pandangan Sosiologi Seni, karya seni diyakini
banyak bergantung atau berkorelasi dengan faktor-faktor sosial yang
melingkupinya. Faktor-faktor sosial yang melingkupi tersebut meliputi sosiologi
pencipta seni (sosiologi seniman), sosiologi karya seninya itu sendiri, dan
sosiologi audience atau publiknya
(‘masyarakat seni’). Dalam seni pertunjukan seperti seni teater dan seni film,
sosiologi seni termasuk juga di dalamnya sosiologi pekerja atau pelaku seni
teater dan film, pemimpin kelompok (group)
seni, pengelola atau pengayom seni, broker
seni, dan sebagainya. Sosiologi seni bisa dilihat sebagai bidang kajian atau
sebagai salah satu jenis metode atau pendekatan penelitian seni. Dalam
praktiknya, wilayah kajian sosiologi seni tidak hanya menyangkut aspek sosial,
melainkan juga aspek-aspek ekstrinsik lainnya, misalnya aspek psikologi,
historis, ideologi, politik, ekonomi, pariwisata, hukum, budaya dan seni,
hankam, pendidikan, agama, filsafat, dan cabang-cabang seni lainnya (lihat Arnold Hauser 1982; Milton C.
Albrecht 1970); dan Serial “Seminar Seni
Pertunjukan” yang diselenggarakan STSI Surakarta sejak tahun 2000 s.d. 2004
nanti. Hingga kini, 22 Juli 2003, telah berlangsung sebanyak 12 kali pertemuan,
dan hingga akhir tahun 2004 nanti direncanakan akan berlangsung sebanyak 16
kali pertemuan.
Pengaruh transformasi dan globalisasi di segala bidang,
termasuk bidang budaya dan seni, masyarakat Indonesia kini bagaikan sedang ‘digodhog’ dan ‘diudhak’ di dalam ‘kawah
condrodimuko’. Apakah ia bernasib seperti Tetuko untuk menjadi Raden
Gathutkaca yang sangat digdaya, bagaikan ‘otot
kawat balung wesi, sungsum gegolo, tan tedhas tapak paluning gurenda’, apa
bernasib ‘hancur lebur sewalang-walang’
(disintegrasi). Masyarakat Indonesia yang multietnis, multikultur, pluralis,
bisa menjadi saling berbenturan antarperadaban manakala proses lintas dan
antarbudaya tidak memperoleh bentuknya yang kondusif. Belum lagi bisa saling
berbenturan antar- lokal – nasional – regional – global. Globalisasi yang cenderung diartikan ‘pembaratan’ (westernisasi)
bisa menimbulkan pandangan dikotomis yang sudah kurang atau bahkan tidak
relevan lagi, misalnya antara Barat dan Timur, global dan lokal, modern dan
tradisional, realistis dan emosional. Akibatnya hingga kini masih terasa adanya
hegemoni konvensi-konvensi Barat (termasuk dalam bidang seni) atas konvensi
lokal. Globalisasi memang telah menjadi kenyataan yang tak terelakkan, dan
tidak perlu dielakkan, apa lagi ditentang atau ditantang. Problema globalisasi
tidak hanya merambah di bidang budaya dan seni, melainkan juga ke seluruh
bidang, misalnya bidang politik, sosial, ekonomi, teknologi, hukum, dan agama.
Dalam kondisi demikian, I Made Bandem menganggap masih sangat relevan untuk
melacak identitas di tengah budaya global (Bandem dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. X – 2000). Sebuah paradoks
memang, mengejar identitas, dan sekaligus kehilangan identitas. Namun, kita
harus menyikapinya sebagai upaya untuk memahami realitas yang penuh paradoks
seperti sekarang ini. Identitas baru yang dibangun melalui pergulatan dan
ketegangan dalam menentukan pilihan dan komunitas. Di satu sisi berusaha masuk
dalam percaturan global. Di sisi lain justru muncul semangat untuk kembali pada
etnisitas, lokalitas. Dengan kata lain, kita menjunjung tinggi eksistensi
budaya lokal yang bisa berbicara dalam forum percaturan global. Saya sependapat
dengan rumusan Panitia Pengarah PILNAS
XIV HISKI dalam brosurnya bahwa, “dibutuhkan kreativitas dan pemikiran yang
canggih untuk dapat mengangkat suara-suara lokal yang membumi namun dinamis,
berkarakter namun terbuka dan bersifat lintas batas, yakni suara lokal yang
mampu dengan lantang dan jernih berdialog pada tataran global.”
Kolaborasi budaya dan seni global-lokal demikian amat
sering dan biasa, lebih-lebih dalam seni pertunjukan jenis teater dan film
sebagai produk-produk kebudayaan kontemporer (bahkan yang tradisional sekali
pun) karena jenis kesenian ini amat banyak berpotensi dan mengandung
tanda-tanda dan sistem tanda yang berlimpah ruah yang harus dipahami maknanya.
Dalam proses kreatif seni (proses penciptaan dan proses penggarapan hingga
proses penyajiannya, bahkan sampai proses evaluasinya) terlibat banyak individu
beserta wawasan seni budayanya, psikologi, anggota sosial dengan anekaragam
pribadi dan karakter yang memungkinkan terjadinya silang budaya dan pendapat
dan ekses-ekses yang menyertainya misalnya intra-kultural, inter-kultural,
multi-kultural, cross-cultural,
hibrida-budaya, dan istilah-istilah lain yang semuanya mengacu pada proses
kerjasama atau kolaborasi, interaksi dan persilangan antar-kelompok budaya.
Dengan kata lain, seni teater dan film merupakan jenis seni pertunjukan yang
sangat akrab dengan publiknya (‘masyarakat seni’), potensial dan mampu sebagai
wahana untuk mencari paradigma-paradigma baru tentang konsep dan teori seni
pertunjukan yang relevan dengan problema globalisasi.
Semiotika adalah
cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi
penggunaan tanda (Zoest 1993:1). Sebagai suatu disiplin ilmu, semiotika berarti ilmu analisis tanda
atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi (Cobley 2002:4).
Dua bapak semiotika modern adalah Charles Sanders Peirce
(1839--1914) dan Ferdinand de Saussure (1857—1913). Mereka tidak saling
mengenal. Akibatnya terdapat perbedaan penting antara keduanya, terutama dalam
penerapan konsep-konsep yang kemudian dianut oleh para pengikut mereka
masing-masing. Perbedaan pokok antara Saussure dan Peirce adalah dalam hal
peranan yang diberikan kepada realitas. Bagi Saussure sekali realitas berdampak
pada batin (mind), atau pikiran, maka
eksistensinya berlanjut terlepas dari realitas itu dalam bentuk citra, dan
citra (image) pada gilirannya
berpengaruh pada persepsi dari realitas itu. Bagi Peirce realitas berada di
luar batin dan merupakan dua hal yang saling terpisah. Moris, yang memberikan
corak behavioristis pada teori Peirce, realitas eksternal diberikan pengaruh
yang dominan, artinya tidak ada dualisme antara yang eksternal dan yang
internal. Proses yang tampak secara eksternal tidak berbeda dari yang terjadi
secara internal (Masinambow 2001:3).
Ketidaksamaan antara keduanya mungkin disebabkan oleh
perbedaan yang mendasar. Peirce adalah ahli filsafat dan logika, sedangkan
Saussure adalah cikal bakal linguistik umum. Peirce lebih berorientasi pada
semiotika signifikasi, sedangkan Saussure pada semiotika komunikasi. Namun,
pada dasarnya, semiotika berurusan dengan masalah-masalah baik signifikasi
maupun komunikasi. Keduanya tidak harus direduksi dan dipasangkan sebagai
oposisi biner seperti signifikasi vs komunikasi, statis vs dinamis,
konvensional vs progresif, dogmatis vs revolusioner, reproduksi vs produksi, langue vs parole, teori vs praksis (lihat
Zoest 1991, 1992, dan 1993; Sobur 2003).
Semiotika mengkaji semua proses sosial budaya sebagai
proses komunikasi. Sebaliknya, tiap proses itu dimungkinkan oleh sistem
signifikasi yang mendasarinya. Perbedaan antara semiotika komunikasi dan
semiotika signifikasi mutlak sekali, tetapi tidak bertentangan. Dengan kata
lain bahwa sosial budaya adalah merupakan sistem tanda. Dalam tulisan ini, saya
lebih mengacu pada semiotika signifikasi pandangan Peirce.
Peirce membedakan tiga macam tanda menurut sifat
penghubungan tanda dan denotatum, yaitu (1) ikon,
(2) indeks, dan (3) simbol (lambang), yang oleh Aart van
Zoest disebut ‘tipologi tanda’ Peirce
yang sangat terkenal (Zoest 1993).
Pertama, tanda ikonis
ialah tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada
adanya sebuah denotatum, tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial
dimilikinya. Berdasarkan definisi ini segala sesuatu merupakan ikon, sebab dapat dikaitkan dengan
sesuatu yang lain baik karena adanya kemiripan,
kesamaan, atau kebersamaan. Kedua, tanda indeksikal
adalah sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya
denotatum. Dalam hal ini, hubungan antara tanda dan denotatum adalah bersebelahannya Sebuah petunjuk atau segala sesuatu yang
memusatkan perhatiannya pada sesuatu merupakan sebuah indeks. Semua perkataan deiktis
(pola: ‘di sini’, ‘hari ini’, ‘ini’, dan ‘itu’) adalah indeks. Ketiga, tanda simbolis (lambang) adalah tanda yang hubungan antara tanda dan denotatumnya
ditentukan oleh suatu peraturan atau konvensi yang berlaku umum. Dalam
praktiknya, ketiga tanda tersebut saling tumpang-tindih, saling melengkapi.
Semiotika
Seni Teater
Seni teater adalah sebuah teks atau wacana yang membangun
sebuah sistem tanda yang berfungsi dan bermakna. Ada dua jenis teks pada setiap
seni teater yaitu teks dramatik (dramatic
text) dan teks pertunjukan (performance text). Kajian yang dilakukan
di Fakultas Sastra terhadap seni drama, umumnya hanya terbatas pada kajian teks
dramatik. Sedangkan kajian yang dilakukan oleh Jurusan Teater, lebih-lebih oleh
kelompok (group) teater atau kritikus
teater, umumnya hanya terbatas pada kajian teks pertunjukan, itu pun terbatas
hanya pada aspek-aspek tertentu yang langsung bisa dilihat. Akibatnya, lingkup
kedua jenis atau bentuk kajian tersebut juga berbeda. Begitu juga wawasan dan
atau pandangan semiotika terhadap kedua jenis atau bentuk kajian tersebut
berbeda pula.
Dalam kesimpulannya, Keir Elam dalam The Semiotics of Theatre and Drama (1980) menyadari adanya hubungan
kedua jenis teks di atas (teks dramatik
dan teks pertunjukan), namun ia belum
berhasil menemukan bagaimana bentuk-bentuk kontak antara kedua jenis teks
tersebut. Sebaliknya, Aston dalam Theatre
as Sign-System: A Semiotics of Text and Performance (1991) telah berhasil
menemukan hubungan signifikasi antara teks dramatik dengan teks pertunjukan.
Teks
dramatik (dramatic text)
adalah sebuah sistem tanda semiotik. Unsur-unsur yang membangun teks dramatik
seperti wujud dramatik (dramatic shape), tokoh (character), dialog (dialogue), dan petunjuk-petunjuk
pemanggungan (stage directions I)
adalah sebuah sistem tanda-tanda semiotik. Begitu pula teks pertunjukan (performance
text) dan juga unsur-unsur yang membangunnya seperti sutradara (director), para pemain (actors), para pekerja (crew)
teater, misalnya penata panggung,
penata dekor, penata lampu dan cahaya, penata
musik dan suara, penata properti,
penata busana, penata rias, dan seluruh hasil karyanya merupakan sistem
tanda-tanda semiotik. Dengan membaca dan atau menganalisis tanda-tanda tersebut
kita bisa memahami makna yang terkandung dalam seni pertunjukan teater yang
bersangkutan.
Hubungan signifikasi antara dua teks teater di atas,
menurut Aston, misalnya jika teks dramatik ibarat teks, maka teks pertunjukan
adalah konteksnya (meskipun masing-masing teks memiliki konteks antar dan
inter-strukturnya. Jika teks pertama merupakan mikro-struktur maka teks
pertunjukan adalah makrostrukturnya. Jika teks dramatik adalah ide atau konsep,
maka teks pertunjukan adalah aplikasinya.
Ikonisitas, indeksikalitas, dan simbolisitas memainkan
perannya dalam komunikasi dan signifikasi yang dimungkinkan oleh teks atau
unsur-unsur teks, dalam hal ini teks dramatik dan teks pertunjukan – Seni
Teater Tradisional jenis Wayang Kulit Purwa Jawa, misalnya, merupakan lahan
kajian semiotika yang tidak kering-keringnya, baik secara ikonik, indeksikal,
lebih-lebih simbolis.
Jika penulis naskah lakon bertanggungjawab atas naskah
lakon yang diciptakan, maka yang bertanggung jawab atas keberhasilan atau baik
buruknya teknik, garap, dan gaya pementasan teater adalah sutradara beserta
seluruh pekerja teater. Baik penulis naskah lakon maupun sutradara yang
mementaskan naskah lakon tersebut, masing-masing adalah tanda-tanda indeksikal,
sumber ide dan penafsir makna teks masing-masing. Segala sesuatu yang
dipertunjukkan kepada penonton dalam kerangka teatrikal adalah tanda, apakah ia
dipersiapkan terlebih dahulu atau yang dapat ditonton, meskipun kehadirannya
berlangsung secara arbitrer. Kesalahan yang tidak diduga sebelumnya apabila
telah tampil dalam kerangka teatrikal adalah tanda yang signifikan. Dalam film
bisa diminimalkan, sedangkan dalam teater sulit diabaikan.
Semiotika
Seni Film
Berdasarkan UU RI No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Bab I, Pasal 1:
Ayat 1: yang dimaksud Film
adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada
pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan
teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses
kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang
dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,
elektronik, dan/atau lainnya;
Ayat 2: Perfilman
adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan, jasa teknik,
pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan, dan/atau penayangan film;
Ayat 3: Jasa Teknik
Film adalah penyediaan jasa tenaga profesi, dan/atau peralatan yang
diperlukan dalam proses pembuatan film serta usaha pembuatan reklame film;
Ayat 4: Sensor Film
adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk
menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan
kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara
tertentu.
Pengutipan UU RI No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Bab
I Ketentuan Umum, Pasal 1 yang terdiri dari 4 ayat di atas memberi catatan
kepada kita bahwa setidaknya, pertama, yang dimaksud film, perfilman, jasa teknik film, dan sensor film, secara hukum formal harus
pengacu pada bunyi Ayat 1 s.d. 4, Pasal 1, Bab I, UU RI No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Kedua, film adalah karya seni dan produk
budaya, hendaknya diartikan dalam pengertian tidak sempit, bukan sekadar seni,
melainkan meliputi aspek Iptek: sosial, politik, ekonomi, hukum, filsafat,
agama, dan sebagainya. Ketiga, film dan/atau reklame film hanya boleh
ditayangkan bila telah lolos dari Badan Sensor Film. Artinya, film-film yang
kita analisis dan evaluasi adalah film-film yang telah dipertunjukkan atau
ditayangkan kepada umum (audience).
Dengan kata lain, apa yang kita teliti, analisis, dan kritisi atau nilai
terhadap film tertentu adalah analisis terhadap hasil penelitian, analisis, dan
penilaian Badan Sensor Film terhadap objek kajian yang sama. Jika hasilnya
berbeda adalah sah-sah saja. Latar belakang wawasan tentang perfilman beserta
seperangkat metode, pendekatan, dan teori-teori dari berbagai ilmu pengetahuan
pendukungnya (misalnya sosial, budaya, seni, politik, ekonomi, komunikasi,
teknologi, filsafat, dan sebagainya) setiap anggota Badan Sensor Film dengan
para peneliti lain sesudahnya terhadap film yang sama bisa saja berbeda. Maka
hasil kajian, analisis, dan penilaiannya pun bisa berbeda pula. Semua komponen
dan atau faktor yang menyertai dalam proses analisis dan penilaian terhadap
film yang sama adalah masalah-masalah semiotika. Setidaknya Semiotika Sosial
Budaya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa film merupakan bidang
penerapan semiotika. Film dibangun melulu dengan tanda dan sistem tanda dalam
rangka untuk memperoleh efek yang dikehendaki. Film adalah media audiovisual.
Berbeda dengan teater, yang penting dalam film adalah gambar dan suara (kecuali
film bisu). Atau kata yang diucapkan
ditambah dengan suara atau musik yang serentak mengiringi (baik sebagai unsur
maupun sekadar faktor penunjang) gambar-gambar yang terus bergerak. Sistem
semiotika paling penting dalam film adalah yang proses kerjanya, timbul dan
silih bergantinya gambar-gambar. Gambar-gambar tersebut merupakan rentetan
peristiwa kehidupan yang bermakna. Maka film sering juga disebut ‘gambar
hidup’. Bersamaan dengan tanda-tanda pada arsitekstur, terutama indeksikal,
pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang
menggambarkan sesuatu. J.M. Peters, dalam disertasinya, De taal van de film (1950) mengatakan, “kita hampir dapat
mengatakan bahwa semua penelitian kita telah menjadi suatu teori mengenai tanda
ikonis”.
Teater, Film, dan Sastra, ketiganya adalah produk seni
dan budaya. Jadi, ketiganya adalah jenis-jenis seni dan lembaga-lembaga sosial.
Ketiganya menggunakan bahasa sebagai medianya. Di samping bahasa, teater dan
film menggunakan media dramatikal dan teatrikal; dan film juga menggunakan
media audio visual dan gambar. Dengan kata lain, bahwa baik bahasa, sastra,
teater, dan film punya hubungan yang signifikan. Baik teater maupun film,
keduanya memiliki komponen-komponen utama yang sama misalnya bahasa, sastra,
projuser, sutradara (director),
pemimpin seni (art director),
pemimpin panggung (stage director),
aktor dan aktris, serta para pekerja teater atau film.
Seni Teater dan Film, keduanya adalah lembaga-lembaga
sosial, dokumentasi sosial, eksperimentasi sosial, cermin sosial, moral sosial,
dan atau sistem sosial. Di samping itu, Seni Teater dan Film adalah juga
merupakan sistem semiotik. Salah satu aspeknya adalah Semiotika Sosial Budaya.
Dalam perspektif sosial budaya, Seni Teater dan Film
adalah produk seni dan budaya dalam pengertian tidak sempit. Sebagai seni
pertunjukan, keduanya adalah jenis-jenis seni yang sangat akrab dengan
publiknya (masyarakat seni teater dan film). Pengaruh transformasi dan
globalisasi di bidang sosial, seni teater dan film, dan budaya di Indonesia
yang multietnis, multikultur, dan pluralis menjadikan seni teater dan film
sangat berpotensi sebagai wahana untuk melakukan kolaborasi, interaksi lintas
batas antarbudaya lokal-nasional-regional-global. Dengan demikian diharapkan
bisa menghasilkan paradigma-paradigma alternatif tentang, khususnya, konsep dan
teori seni pertunjukan yang relevan dengan problema globalisasi seni dan
budaya, dan dalam kerangka mencari identitas bangsa dan negara.
Dalam pandangan sosiologi seni, Seni Teater dan Film
dapat dikaji, dianalisis, dan dinilai
dari aspek: (1) sosiologi para seniman (sosiologi seniman) yang terlibat baik
langsung maupun tak langsung dalam proses dramaturgi dan sinematografi Seni
Teater dan Film yang bersangkutan, bahkan yang nonseniman sekali pun; (2)
sosiologi seni teater dan film itu sendiri (sosiologi karya seni); dan (3)
sosiologi ‘masyarakat seni teater dan film’ sebagai publiknya.
Dalam pandangan semiotika sosial budaya, seni teater dan
film sangat kaya akan makna. Makna itu bisa diteliti, dikaji, dan dianalisis
pada teks yang bersangkutan, baik teks dramatik maupun teks pertunjukannya.
Terdapat korelasi antara teks dramatik dengan teks pertunjukannya, bagaikan
terdapatnya korelasi yang signifikan antara ‘struktur dalam’ (terdapat dalam
struktur karya seninya itu sendiri, seni teater dan film) dan ‘struktur
luarnya’ (terdapat dalam struktur ‘masyarakat seni teater dan film’, sebagai
publiknya). Terdapat korelasi antara ‘mikrostruktur’ dan ‘makrostrukturnya’.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa, sastra, teater, dan
film merupakan penerapan bidang semiotika sosial budaya.
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di Universitas
Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dkk. (ed.). 1993. Film Indonesia. Jakarta: Dewan Film Nasional.
Adeney, Bernard T. 2000. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Akwan, C. 1984. Beberapa
Aspek Teater Tradisional di Daerah Kebudayaan Biak-Numfor. Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia.
Albrecht, Milton C.
(eds). 1970. The Sociology of Art
and Literature: A Reader. New York: Praeger Publisher.
Amura. 1989. Perfilman
di Indonesia dalam Era Orde Baru. Jakarta: Lembaga Komunikasi Massa Islam
Indonesia.
Aston, Elaine and George Savona. 1991. Theatre as Sign-System: A Semiotics of Text
and Performance. London and New York: Routledge.
Auburn/Burkman. 1977. Drama
Through Performance. London: Houghton Mifflin Co.
Awuy, Tommy F. 1999. Teater
Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema.
Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Bandem, I Made & Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Bandem, I. Made. 2000. “Melacak Identitas di Tengah Budaya Global”. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. X/2000. Halaman 29—33.
Bandung: MSPI.
Becker, Alton L. 1978. “Textual Coherence in Wayang: Plot as Symbolic Action”. Dalam Linguistik dan Analisis Sastra. Antologi
Stilistika. Jakarta: Pusat Bahasa.
Berry, John W dkk. 1999. Psikologi Lintas-Budaya: Riset dan Aplikasi. Alih bahasa Edi
Suhardono. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Boggs, Joseph M. 1991. The Art of Watching Films. Third edition. London, Toronto: Mayfield
Publishing Company.
Budianta, Melani. 2002. “Sastra dan Interaksi Lintas Budaya”. Dalam forum Seminar Bahasa dan Sastra MABBIM dan MASTERA
di Makassar, 11—12 Maret 2002. Jakarta, Makassar: Pusat Bahasa Depdiknas.
Burns, Tom & Elizabeth. 1973. Sociology of Literature & Drama. Harmondsworth, Middlesex,
England: Penguin Books Ltd.
Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Sign: Semiotics, Literature, Deconstruction. London:
Routledge & Kegan Paul.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: sebuah pengantar ringkas. Jakarta: Pusat Bahasa.
Damono, Sapardi Djoko (ed.). 2000. Direktori
Seni dan Budaya Indonesia 2000. Surakarta: Yayasan Kelola.
Dahana, Radhar Panca. 2000. Homo Theatricus. Magelang: IndonesiaTera.
--------------------------- 2001. Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia. Magelang: IndonesiaTera.
Deleuze, Gilles. 1989. Cinema 2. Translated by Hugh Tomlinsan and Robert Galeta.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Dewan Film Nasional. 1995. Himpunan Peraturan di Bidang Perfilman. Jakarta: Dewan Film
Nasional (DFN).
Dimyati, Khudzaifah (eds.). 2002. Problema Globalisasi: perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, & Agama.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Eilers, Franz-Josef. 1995. Berkomunikasa Antara Budaya. Ende: Nusa Indah.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Ende, Flores: Nusa Indah.
Elam, Keir. 1980. The
Semiotics of Theatre and Drama. London and New York: Methuen & Co Ltd.
Esten, Mursal (ed.). 1988. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan.
Bandung: Penerbit Angkasa.
------------------------
1992. Tradisi dan Modernitas dalam
Sandiwara. Jakarta: Intermasa.
Faruk. 1994. Pengantar
Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Geertz, Clifford. 2000. Negara Teater. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Ghiselin, Brewster. 1960. The Creative Process: A Symposium. Fifth printing. California:
Published as a Mentor Book – University of California Press.
Hauser, Arnold. 1982. The
Sociology of Art. Chicago and London: The University of Chocago Press.
Hodgson, John and Ernest Richards. 1979. Improvisation. New York: Grove Press,
Inc.
Holt, Claire. 2000. Melacak
Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Alih Bahasa Prof. Dr. R.M.
Soedarsono. Bandung: arti.line. untuk MSPI.
Irawanto, Budi. 1999. Film,
Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Iskandar, Eddy D. 1987. Mengenal Perfilman Nasional. Bandung: CV. Rosda
Ismail, Usmar. 1983. Usmar
Ismail Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan.
Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. IX-1998/1999. Keragaman dan silang Budaya: Dialog Art
Summit. Bandung: MSPI.
Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. X-2000. Global/Lokal. Bandung: MSPI.
Kanwil DEPDIKBUD Prop. DIY (eds.). TT. Tuntunan Seni Kethoprak: Yogyakarta:
Proyek Pengembangan Kesenian DIY.
Kayam, Umar. 1984 a. Semangat
Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya: Jakarta: PT Gramedia.
-----------------. 1984 b. Seni, Tradisi, Masyarakat.
Jakarta: Sinar Harapan.
------------------ 1989. Transformasi Budaya Kita. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Sastra UGM.
Yogyakarta:UGM.
Kleden, Ninuk – Probonegoro. 1996. Teater Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Kresna, Sigit B (ed.). 2001. Putu Wijaya: Sang Teroris Mental. Jakarta: Yayasan Obor.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya
dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
---------------- 2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan.
Lileweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar
Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer: Sebuah Studi tentang Seni Pertunjukan Jawa.
Terjemahan Nin Bakdi Sumanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Malaon, Tuti Indra (eds.). 1986. Menengok Tradisi Teater Indonesia. Jakarta: Dewan Kesenian Jawa.
Mangunhardjana,
S.J, A. Margija. 1976. Mengenal
Film. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Marinis, Marco De. 1993. The Semiotics of Performance. Translated by Aine O’Healy.
Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Melalatoa, M. Junus. 2001. Didong: Pentas Kreativitas Gayo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Asosiasi Tradisi Sastra Lisan.
MSPI. 1999 a. Direktori
Seni Pertunjukan Tradisional. Bandung: MSPI-art.line.
MSPI. 1999 b. Direktori
Industri Sinematografi. Bandung: MSPI – art.line
Mulyana, Deddy dan Idi Subandy Ibrahim (eds.). Bercinta dengan Televisi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Oemarjati, Boen S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Prakosa, Gatot. 1997. Film
Pinggiran: Antologi Film Pendek, Film Eksperimental & Film Dokumenter.
Jakarta: FFTV–IKJ dan YLP.
Puteh, Mansor. 1989. Glosari
Perfileman. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan
Malaysia.
Reisz, Karel and Gavin Millar. 1968. The Technique of Film Editing. London and New York: Focal Press.
Rendra, W.S. 1983. Mempertimbangkan
Tradisi. Jakarta: PT Gramedia.
---------------- 1999. Memmberi Makna pada Hidup yang Fana. Jakarta: Penerbit Pabelan
Jayakarta.
Rendra, W.S. 2000. Rendra
dan Teater Modern Indonesia. Yogyakarta: Kepel Press.
Sahid, Nur (ed.). 2000. Interkulturalisme (dalam) Teater. Yogyakarta: Yayasan untuk
Indonesia.
Said, Salim. 1982. Profil
Film Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers.
--------------- 1991 a. Shadows
on the Silver Screen: A Social History of Indonesian Film. Jakarta: Lontar.
--------------- 1991 b. Pantulan
Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Sani, Asrul. 1992. Cara
Menilai Sebuah Film. Terjemahan dari The
Art of Watching Film(s). Jakarta: Yayasan Citra.
Satoto, Soediro. 1998. Tokoh dan Penokohan dalam Caturlogi Drama “Orkes Madun” Karya Arifin C
Noer. Disertasi. Jakarta: Program Pascasarjana UI.
Sena Wangi (Tim Penyusun). 1999. Ensiklopedi Wayang Indonesia. Ada 6 jilid (1936 halaman). Bandung: Sena Wangi
Schechner, Richard. 1985. Between Theater & Anthropology. Philadelphia: University
of Pennsylvania Press.
--------------------
1988. Performance Theory. New
York and London: Routledge.
Sihombing, Wahyu (eds.). 1980. Pertemuan Teater 80. Jakarta: DKJ.
Sobur, Alex. 2003. Semiotika
Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soedarsono, RM. 1974. Living
Traditional Theaters in Indonesia. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.
Storey, John. 1998. Cultural
Theory and Popular Culture. London, New York: Prentice Hall.
Sumanto, Bakdi. 2001. Jagat
Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.
Supriyanto, Henri. 2001. Ludruk Jawa Timur. Surabaya: Dinas P dan K Propinsi Jawa Timur.
Warnaen, Suwarsih. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta: Mata
Bangsa.
Wibowo, Fred. 1997. Dasar-Dasar
Produksi Program Televisi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Withers, Robert S. 1983. Introduction to Film. New York, London, Sydney: Barnes & Noble
Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar