CERPEN Alwi Karmena
Dia sama sekali tidak
ingin semuanya berakhir sedih. Tidak menyesal, apa lagi sampai membuahkan tangis.
Dia ingin menguji hati nya, hati laki-laki yang seharusnya keras. Bukan seorang
yang lembek dan bukan pula seorang yang sentimen. Meski telah beranjak tua . Ia
rasa urat urat darahnya masih liat menahan dera perasaian. Tapi entah kenapa, hentak
kenyataan, kali ini lain. Di rumah tangganya beban moral sudah demikian berat.
Belakangan, bahkan dia merasa seperti telah terinjak-injak. Dan kiranya hal itu
seperangkat kekeliruan, ianya sudah tak bisa memaafkan lagi. Dia akan
bertindak, membuat semacam perlawanan hebat pada realita. Bagaimana pun
akibatnya nanti.
Betapa kini, Imah
istrinya sudah amat berubah, tak ketulungan. Sebagai perempuan yang mulai tua,
dia semakin mencengkamkan ego sok kuasanya.
Mungkin karena dia sadar benar dirinya seorang “bundo” orang Minang. Bundo yang
cenderung bertahta di atas gerumuk tumuk rasa bosan. Bundo yang ingin lepas. Melupa
makna atas status formalitas apapun. Ya, lepas sebagai isteri yang bertugas
menemani suami. Kasih sayang di dada perempuan itu sudah kering, sekering buah
dadanya yang semakin peot. Memasuki masa manupouse
yang kering, telah membuar sikapnya
berubah jadi begitu tajam, setajam kerut-kerut wajahnya yang banyak bermunculan.
Kata-katanya sudah jadi batu. Batu penarung rasa hormat pada suami. Barangkali,
lidahnyah pun sudah jadi pisau. Pisau penikam sejarah. Dimana suami ini,
dulu pernah dia dambakan. Dia cinta, dia
gayuti. Kini dia kasari.
Apa boleh buat.
Senja basah bergerimis ini, penghujung November, setelah hampir empat puluh
tahun melintasi ikatan perkawinan, dia harus memutuskan-semuanya selesai,
habis. Pergi saja lagi. Pergi. Entah kemanalah alamatnya nanti. Pergi, untuk
sebuah perjalanan panjang, yang dia tahu di hadapan berpendar kabut. Perjalanan
yang niscaya, memupus kenang kenangan dan perjanjian lama. Entahlah, apa namanya ini
kini. Perceraian atau berpisah atau menjauh sejauh-jauhnya. Entahlah. Yang
jelas, dia bertekad, tak akan pulang-pulang
kembali ke rumah itu lagi. Dia tidak akan membiarkan dirinya tinggal di situ
lagi.
Untuk apa? Di rumah
itu tak ada lagi kasih sayang. Tak ada rindu. Sesuatu yang pernah lama digenggam,
dibanggakan, dipertahankan, hampir setengah abad. Kini telah punah begitu saja.
Cuma saja, dia maklum, Imah istrinya ini, perempuan biasa, yang masih waras.
Orang yang hidup atas hitungan untung rugi perasaan. Dan dia bukanlah
pemelihara camar. Lelaki itu sejak muda dulu memang merasa dirinya seekor
burung camar. Burung pengembara yang
sederhana, tak biasa dipelihara siapa-siapa. Camar adalah burung sahabat badai.
Sahabat cakrawala, dalam sunyi maupun gemuruh. Karena itu, pantaslah Imah tak
betah. Sebagai Nenek, kini dia lebih lekat pada permainan baru yang lebih
menghibur. Cucu-cucunya, anak anak
Riesta yang manja.
Imah sama sekali
tidak berkhianat. Tidak. Hanya, dia tak
suka saja lagi berdua dua seperti dulu. Katanya–itu lagu lama. Kalau dia mampu mengungkapkannya
secara agak “berseni”. Ungkapannya, dia mengingkari bait bait sajak orang muda,
yang dulu pernah ia hafalkan berdua. Bahwa, selalu bersama, sehidup semati itu adalah
cinta yang abadi Kiranya sia-sia. Sia-sia.
Tak ada cinta lagi
di beranda. Di kamarpun, hanya sebuah bola lampu 15 wat. Cangkir almunium
berisi kopi dingin. Sepiring ubi rebus dan sebatang rokok kretek tanpa korek.
Tak ada lagi perintang-rintang waktu seperti dulu. Tak ada radio, apalagi televisi.
Koran sudah sejak dua tahun ini tak berlangganan lagi. Sejak Dipamarmo sang
menantu membawa anak biniya ke rumah real estat. Lelaki itu kehilangan banyak.
Di antaranya, yang paling berarti, Imah, sang istri dari dirinya,
lelaki tua yang memang sudah tua segala galanya.
Pahitnya, ketika kemaren
ini, Imah menganjurkan, agar dia pulang kampung saja. Beranjaklah. Atau tidur
di masjid, karena rumah ini akan segera dipersewakan. Lha. Apa-apaan ini?
Bukankah pada kenangan ada mencantumkan hak dan toleransi? Bahwa rumah itu hasil titik
peluh berdua ketika muda, selayaknya dihuni berdua. Kini, Imah kok mudah saja
menyapu dirinya agar lindang hapus? Bagai
abu di atas tunggul saja. Ya. Mungkin karena dirinya tak banyak berguna
lagi. Dan dia paham, sebentar lagi, dirinya segera akan dilupakan oleh musim.
Dilupakan oleh kebiasaan kebiasaan.
Makanya, senja itu
dia memberanikan diri. Berani, melangkahi garis batas sabar yang selama ini dia
jaga. Garis-garis imaji yang bergetar, sakral. Garis pertahanan. Garis gaib yang disegani, rupanya rapuh juga. Diam-diam
dibukanya buhul tali harapan di hubungan kasih.
Harapan untuk kemungkinan bisa berbaik, tak ada guna dipelihara. Dibuangnya
jejak betah diam di rumah. Untuk mengeraskan urat urat hati, ditariknya napas
dalam-dalam. Kemudian, bagai kesatria tua, dibusungkannya dadanya yang tipis.
Dada kurus, sarang batuk yang penuh berunjangan tulang iga, ditariknya hingga
mendongak ke belakang.
Ya. Dia pergi dengan
gagah. Itu pengakuan hatinya saja. Dan, sepi telah menunggunya di tikungan.
Jalan kerikil basah menjelang stasiun kecil di ujung kota adalah jalan yang
acap ditapakinya bila kalut, kini sudah di telapak kaki. Pohon-pohon nyiur,
cemara, flmboyan dan akasia, seperti menyerukan salam. Selamat jalan duhai pahlawan.
Sebenarnya, tak ada
jadwal kereta malam. Tapi , entah kenapa, dia percaya sekali, akan ada kereta
penghabisan lain yang akan datang dan berangkat. Percaya benar dia, kereta itu akan
menjerit dari kejauhan, menyoraki namanya pribadi, mengajak untuk segera berangkat.
Ya. Dia akan pergi meninggalkan kota ini jauh jauh. Meninggalkan orang-orang
yang tak lagi membutuhkaan dirinya. Putus sudah makrifatnya, berpisah. Telah
dia gigit keputusan, bahwa di sini dia sudah tamat. Pula, sebenarnya tak perlu
benar punya kenangan. Karena di sini, tak ada lagi sejemput asa pun. Dia betul-betul merasa tak punya secercahpun
lagi harapan. Beberapa nama orang tercinta dulu, mau tak mau, terpaksa dia
coret, pupus dari catatan .
Stasiun semakin sepi
melengkapi malam. Rel kereta dingin memanjang ke ujung, menusuk kelam. Senyap. Tak ada seorangpun selain dirinya, sendiri
yang menanggung canggung. Bahkan, bayang-bayang di peron semakin muram. Kabut
dan embun malam membungkuskan pusar lengang. Tapi, lelaki tua itu tak takut. Dia,
bahkan siap mati atau tergilas lumat oleh besi, batu, petir, atau kekuatan
apapun. Dia sudah demikian kalap. Meronta
pada kebiasaan , berkelahi dengan nasib, menikam apa saja yang menghalang. Dia
ingin jadi ganas, buas, menginjak-inijak jejak lembut ataupun benih-benih
rindu. Ini perlu, untuk sekadar
memadamkan makna kekalahan demi kekalahan rutin di hari tua begini. Pfuah…!
Matilah… Matilah, Mau apa? Aku melawan kalian.
Senyap dan hampa
luar biasa. Lelaki itu berdiri di sisi rel dengan kakinya yang mulai goyah.
Kali ini, dia tidak hendak berdoa apa apa. Dinikmatinya saja kekosongan ini
sedalam dalamnya. Dimakannya angin. Diminumnya ketiadaan. Dikunyahnya takdir.
Dan diapun kenyang dengan sepi. Apalagi kini, di kepalanya mulai ada getar-getar
yang ganjil, tapi, indah. Kemudian, perlahan lahan rasa ganjil itu mengantarkan
sesuatu padanya. Sesuatu, yang kiranya menggembirakan jiwa, sesuatu yang
menghiburkan sukma.
Bunyi kereta menyayat
pedih dari jauh. Dan memang, ada kereta dan asap merayap, melambat, dan
kemudian berhenti di depan matanya. Laki-laki itu ingin bersorak gembira. Tapi,
itu ditahannya. Ketika seorang penumpang turun membawa rangkaian bunga, mendekati
dirinya. Oh. Siapa? Dia ingin tak percaya. Tapi, ini benar-benar ada. Ada! Seorang
perempuan mengenakan mantel merah maron yang agak basah. Cantik. Masih sangat
muda, tersenyum, dan seakan menyiratkan permintaan, agar segera bercinta, atau
setidaknya berpelukan. Entah kenapa, kereta yang membawanya tadi, pergi saja
tanpa membunyikan peluit selamat jalan. Lelaki itu tak perduli pada alasan,
realita dan logika. Dia justru terpukau akan kehadiran perempuan muda secantik entah
ini. Perempuan pengganti “aduh”, perihnya luka. Kini menggayut ke pelukan.
“Lama kau menunggu
diriku saying!” Bisik perempuan itu dalam palunan. Laki-laki tua itu mengangguk
dan menggumam tak menentu. Rangkaian bunga tadi jatuh ke tumit sepatu. Hancur,
tapi, entah kenapa, dia merasa lututnya kembali saja kokoh. Urat-uratnya kembali
kencang. Dadanya bertalu talu. Siap benar dia untuk menggeleparkan tenaga,
mendukung atau bersanggama. Siap
bergumul habis-habisan sampai pagi tiba.
“Yay, Ya ya yaa. Balas
lelaki itu gelagapan karena digumul rasa haru yang sulit dipahami.”
“Eratkan pelukmu
kasih,” bisik perempuan itu sembari lebih dahulu mengeratkan dekapannya.
Keduanya bertindak, menggempur malam, bagai sepasang anjing gila liar yang
kawin bertali. Meraung. Bercium, meremas
dan menggigit...menyuntih…
“Siapa namamu?” Tanya lelaki tua itu tersedak
dan tak sengaja menyeka air mata.Tak tahu dia, begini…kenapa harus ada air
mata…? Nafasnya tersengal hanya untuk bertanya
sesederhana itu.. .Payah juga kiranya menahan sesuatu yang terlalu indah
begini….Udara terasa mahal.
“Namaku impian,”
Jawab si perempuan sambil mengelus mesra pipi tua si lelaki. Seketika, angin pun
jadi simponi. Gerimis jadi salju.
“Impian? Oh. Dari
tidurku di malam mana gerangan?” lelaki itu kini semakin pilu. Dia menangis
dalam rasa galau, atau amat bahagia? Rasa yang sulit dipahami. Betapa tidak? Sesuatu
yang tak mungkin menjadi mungkin. Ah. Biarlah, kalau ini yang namanya impian bahagia,
biar kusadap, kuisap. Indah juga. Agar lebih bernuansa, kalau mungkin, rasanya
dia ingin membisikkan agak sebait puisi cinta. Tapi tak ada puisi yang setaraf
dengan suasana seperti ini. “Dari mana datangnya impian seindah dirimu?’’
gumamnya lagi dengan tolol.
“Dari malam baying-bayang…”
jawab si kekasih agak bernyanyi.
“Ah…Kau tentu telah mengenal
aku sebelumnya…” balasnya dengan suara yang serak basah.
“Sudah lama… Sudah
bertahun-tahun…Sudah mendalam…”
“Lantas, kenapa aku
tak tahu, bahwa engkau… sebenarnya ada.…..Impian... Inpianku.
Kemana kini kita lagi? Kemana, kita bersenang-senang, bersayang-sayang? Kemana
kita pergi bertualang? Pergi, melupakan kenyataan yang mendera jiwa?”
Perempuaan muda yang
cantik itu membuka mantelnya. Tampaknya kini dia seperti akan bersiap telanjang?
Matanya yang lebar menerkam. Dan kini aneh, dia seperti berperan menjadi
seorang tukang sihir. Lelaki itu terhipnotis. Silau.
“ Ayo.
Bawalah diriku…kemana saja langkahmu pergi…Bawalah aku jauh jauh ke ujung
nafasmu….Ke batas penghabisan kebanggaanmu…”ucap perempuan bidadari itu dengan
mantap.
“Kita kawin
lari…Kawin Siri. Kawin kerbau. Kawin anjing.” Aneh lagi. Keduanya berucap
serempak bagai penyanyi duo. Tangan dan tangan saling berpegangan, mirip adegan
filem atau sinetron kacangan.
Lelaki tua itu seperti
bocah patuh, dibimbing oleh si perempuan ke sebuah tikungan kelam. Dengan
terseok seok dia mengikuti langkah si perempuan. Jantungnya berkipas. Darahnya
menderas.Nafasnya makin tak teratur. Dalam fikirannya, cinta baru telah menjelma.
Dan bersamaan dengan itu, sebingkah khianat akan segera ia tegakkan. Ini untuk
membayar hutang, membalas kelakuan Imah.
Hanya saja, itulah
soalnya. Sebuah lobang sudah tersedia saja di sudut sana. Masih baru. Bau tanah basah dan
bau papan yang spesifik, kemudian, bau bunga-bunga rampai, setanggi, dan kapur
barus yang tajam. Lelaki itu mulai berbaring mengatur nafas agar tenang. Dalam
menyiapkan hubungan badan dengan tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar