Kamis, 28 November 2013

Sepotong Nyanyian Senja


CERPEN Alwi Karmena
Dia sama sekali tidak ingin semuanya berakhir sedih. Tidak menyesal, apa lagi sampai membuahkan tangis. Dia ingin menguji hati nya, hati laki-laki yang seharusnya keras. Bukan seorang yang lembek dan bukan pula seorang yang sentimen. Meski telah beranjak tua . Ia rasa urat urat darahnya masih liat menahan dera perasaian. Tapi entah kenapa, hentak kenyataan, kali ini lain. Di rumah tangganya beban moral sudah demikian berat. Belakangan, bahkan dia merasa seperti telah terinjak-injak. Dan kiranya hal itu seperangkat kekeliruan, ianya sudah tak bisa memaafkan lagi. Dia akan bertindak, membuat semacam perlawanan hebat pada realita. Bagaimana pun akibatnya  nanti.
Betapa kini, Imah istrinya sudah amat berubah, tak ketulungan. Sebagai perempuan yang mulai tua, dia semakin mencengkamkan ego  sok kuasanya. Mungkin karena dia sadar benar dirinya seorang “bundo” orang Minang. Bundo yang cenderung bertahta di atas gerumuk tumuk rasa bosan. Bundo yang ingin lepas. Melupa makna atas status formalitas apapun. Ya, lepas sebagai isteri yang bertugas menemani suami. Kasih sayang di dada perempuan itu sudah kering, sekering buah dadanya yang semakin peot. Memasuki masa manupouse  yang kering, telah membuar sikapnya berubah jadi begitu tajam, setajam kerut-kerut wajahnya yang banyak bermunculan. Kata-katanya sudah jadi batu. Batu penarung rasa hormat pada suami. Barangkali, lidahnyah pun sudah jadi pisau. Pisau penikam sejarah. Dimana suami ini, dulu  pernah dia dambakan. Dia cinta, dia gayuti. Kini dia kasari.
Apa boleh buat. Senja basah bergerimis ini, penghujung November, setelah hampir empat puluh tahun melintasi ikatan perkawinan, dia harus memutuskan-semuanya selesai, habis. Pergi saja lagi. Pergi. Entah kemanalah alamatnya nanti. Pergi, untuk sebuah perjalanan panjang, yang dia tahu di hadapan berpendar kabut. Perjalanan yang niscaya, memupus kenang kenangan dan  perjanjian lama. Entahlah, apa namanya ini kini. Perceraian atau berpisah atau menjauh sejauh-jauhnya. Entahlah. Yang jelas, dia  bertekad, tak akan pulang-pulang kembali ke rumah itu lagi. Dia tidak akan membiarkan dirinya tinggal di situ lagi.
Untuk apa? Di rumah itu tak ada lagi kasih sayang. Tak ada rindu. Sesuatu yang pernah lama digenggam, dibanggakan, dipertahankan, hampir setengah abad. Kini telah punah begitu saja. Cuma saja, dia maklum, Imah istrinya ini, perempuan biasa, yang masih waras. Orang yang hidup atas hitungan untung rugi perasaan. Dan dia bukanlah pemelihara camar. Lelaki itu sejak muda dulu memang merasa dirinya seekor burung camar. Burung  pengembara yang sederhana, tak biasa dipelihara siapa-siapa. Camar adalah burung sahabat badai. Sahabat cakrawala, dalam sunyi maupun gemuruh. Karena itu, pantaslah Imah tak betah. Sebagai Nenek, kini dia lebih lekat pada permainan baru yang lebih menghibur.  Cucu-cucunya, anak anak Riesta yang manja.
Imah sama sekali tidak berkhianat. Tidak. Hanya, dia  tak suka saja lagi berdua dua seperti dulu. Katanya–itu lagu lama. Kalau dia mampu mengungkapkannya secara agak “berseni”. Ungkapannya, dia mengingkari bait bait sajak orang muda, yang dulu pernah ia hafalkan berdua. Bahwa, selalu bersama, sehidup semati itu adalah cinta yang abadi Kiranya sia-sia. Sia-sia.
Tak ada cinta lagi di beranda. Di kamarpun, hanya sebuah bola lampu 15 wat. Cangkir almunium berisi kopi dingin. Sepiring ubi rebus dan sebatang rokok kretek tanpa korek. Tak ada lagi perintang-rintang waktu seperti dulu. Tak ada radio, apalagi televisi. Koran sudah sejak dua tahun ini tak berlangganan lagi. Sejak Dipamarmo sang menantu membawa anak biniya ke rumah real estat. Lelaki itu kehilangan banyak. Di antaranya,  yang  paling berarti, Imah, sang istri dari dirinya, lelaki tua yang memang sudah tua segala galanya.
Pahitnya, ketika kemaren ini, Imah menganjurkan, agar dia pulang kampung saja. Beranjaklah. Atau tidur di masjid, karena rumah ini akan segera dipersewakan. Lha. Apa-apaan ini? Bukankah pada kenangan ada mencantumkan hak  dan toleransi? Bahwa rumah itu hasil titik peluh berdua ketika muda, selayaknya dihuni berdua. Kini, Imah kok mudah saja menyapu dirinya agar lindang hapus? Bagai  abu di atas tunggul saja. Ya. Mungkin karena dirinya tak banyak berguna lagi. Dan dia paham, sebentar lagi, dirinya segera akan dilupakan oleh musim. Dilupakan oleh kebiasaan kebiasaan.
Makanya, senja itu dia memberanikan diri. Berani, melangkahi garis batas sabar yang selama ini dia jaga. Garis-garis imaji yang bergetar, sakral. Garis pertahanan.  Garis gaib yang disegani, rupanya rapuh juga. Diam-diam dibukanya buhul tali harapan di hubungan kasih.  Harapan untuk kemungkinan bisa berbaik, tak ada guna dipelihara. Dibuangnya jejak betah diam di rumah. Untuk mengeraskan urat urat hati, ditariknya napas dalam-dalam. Kemudian, bagai kesatria tua, dibusungkannya dadanya yang tipis. Dada kurus, sarang batuk yang penuh berunjangan tulang iga, ditariknya hingga mendongak ke belakang.
Ya. Dia pergi dengan gagah. Itu pengakuan hatinya saja. Dan, sepi telah menunggunya di tikungan. Jalan kerikil basah menjelang stasiun kecil di ujung kota adalah jalan yang acap ditapakinya bila kalut, kini sudah di telapak kaki. Pohon-pohon nyiur, cemara, flmboyan dan akasia, seperti menyerukan salam. Selamat jalan duhai  pahlawan.
Sebenarnya, tak ada jadwal kereta malam. Tapi , entah kenapa, dia percaya sekali, akan ada kereta penghabisan lain yang akan datang dan berangkat. Percaya benar dia, kereta itu akan menjerit dari kejauhan, menyoraki namanya pribadi, mengajak untuk segera berangkat. Ya. Dia akan pergi meninggalkan kota ini jauh jauh. Meninggalkan orang-orang yang tak lagi membutuhkaan dirinya. Putus sudah makrifatnya, berpisah. Telah dia gigit keputusan, bahwa di sini dia sudah tamat. Pula, sebenarnya tak perlu benar punya kenangan. Karena di sini, tak ada lagi sejemput asa pun.  Dia betul-betul merasa tak punya secercahpun lagi harapan. Beberapa nama orang tercinta dulu, mau tak mau, terpaksa dia coret, pupus dari catatan .
Stasiun semakin sepi melengkapi malam. Rel kereta dingin memanjang ke ujung, menusuk kelam. Senyap.          Tak ada seorangpun selain dirinya, sendiri yang menanggung canggung. Bahkan, bayang-bayang di peron semakin muram. Kabut dan embun malam membungkuskan pusar lengang. Tapi, lelaki tua itu tak takut. Dia, bahkan siap mati atau tergilas lumat oleh besi, batu, petir, atau kekuatan apapun. Dia sudah demikian kalap.  Meronta pada kebiasaan , berkelahi dengan nasib, menikam apa saja yang menghalang. Dia ingin jadi ganas, buas, menginjak-inijak jejak lembut ataupun benih-benih rindu. Ini perlu,  untuk sekadar memadamkan makna kekalahan demi kekalahan rutin di hari tua begini. Pfuah…! Matilah… Matilah, Mau apa? Aku melawan kalian.
Senyap dan hampa luar biasa. Lelaki itu berdiri di sisi rel dengan kakinya yang mulai goyah. Kali ini, dia tidak hendak berdoa apa apa. Dinikmatinya saja kekosongan ini sedalam dalamnya. Dimakannya angin. Diminumnya ketiadaan. Dikunyahnya takdir. Dan diapun kenyang dengan sepi. Apalagi kini, di kepalanya mulai ada getar-getar yang ganjil, tapi, indah. Kemudian, perlahan lahan rasa ganjil itu mengantarkan sesuatu padanya. Sesuatu, yang kiranya menggembirakan jiwa, sesuatu yang menghiburkan sukma.
Bunyi kereta menyayat pedih dari jauh. Dan memang, ada kereta dan asap merayap, melambat, dan kemudian berhenti di depan matanya. Laki-laki itu ingin bersorak gembira. Tapi, itu ditahannya. Ketika seorang penumpang turun membawa rangkaian bunga, mendekati dirinya. Oh. Siapa? Dia ingin tak percaya. Tapi, ini benar-benar ada. Ada! Seorang perempuan mengenakan mantel merah maron yang agak basah. Cantik. Masih sangat muda, tersenyum, dan seakan menyiratkan permintaan, agar segera bercinta, atau setidaknya berpelukan. Entah kenapa, kereta yang membawanya tadi, pergi saja tanpa membunyikan peluit selamat jalan. Lelaki itu tak perduli pada alasan, realita dan logika. Dia justru terpukau akan kehadiran perempuan muda secantik entah ini. Perempuan pengganti “aduh”, perihnya luka. Kini menggayut ke pelukan.
“Lama kau menunggu diriku saying!” Bisik perempuan itu dalam palunan. Laki-laki tua itu mengangguk dan menggumam tak menentu. Rangkaian bunga tadi jatuh ke tumit sepatu. Hancur, tapi, entah kenapa, dia merasa lututnya kembali saja kokoh. Urat-uratnya kembali kencang. Dadanya bertalu talu. Siap benar dia untuk menggeleparkan tenaga, mendukung atau  bersanggama. Siap bergumul habis-habisan sampai pagi tiba.
“Yay, Ya ya yaa. Balas lelaki itu gelagapan karena digumul rasa haru yang sulit dipahami.”     
“Eratkan pelukmu kasih,” bisik perempuan itu sembari lebih dahulu mengeratkan dekapannya. Keduanya bertindak, menggempur malam, bagai sepasang anjing gila liar yang kawin bertali.  Meraung. Bercium, meremas dan menggigit...menyuntih…
 “Siapa namamu?” Tanya lelaki tua itu tersedak dan tak sengaja menyeka air mata.Tak tahu dia, begini…kenapa harus ada air mata…? Nafasnya tersengal  hanya untuk bertanya sesederhana itu.. .Payah juga kiranya menahan sesuatu yang terlalu indah begini….Udara terasa mahal.
“Namaku impian,” Jawab si perempuan sambil mengelus mesra pipi tua si lelaki. Seketika, angin pun jadi simponi. Gerimis jadi salju.
“Impian? Oh. Dari tidurku di malam mana gerangan?” lelaki itu kini semakin pilu. Dia menangis dalam rasa galau,  atau amat bahagia?  Rasa  yang sulit dipahami. Betapa tidak? Sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin. Ah. Biarlah, kalau ini yang namanya impian bahagia, biar kusadap, kuisap. Indah juga. Agar lebih bernuansa, kalau mungkin, rasanya dia ingin membisikkan agak sebait puisi cinta. Tapi tak ada puisi yang setaraf dengan suasana seperti ini. “Dari mana datangnya impian seindah dirimu?’’ gumamnya lagi dengan tolol.
“Dari malam baying-bayang…” jawab si kekasih agak bernyanyi.
“Ah…Kau tentu telah mengenal aku sebelumnya…” balasnya dengan suara yang serak basah.
“Sudah lama… Sudah bertahun-tahun…Sudah mendalam…”
“Lantas, kenapa aku tak tahu, bahwa engkau… sebenarnya ada.…..Impian...  Inpianku.  Kemana kini kita lagi? Kemana, kita  bersenang-senang, bersayang-sayang? Kemana kita pergi bertualang? Pergi, melupakan kenyataan yang mendera jiwa?”
Perempuaan muda yang cantik itu membuka mantelnya. Tampaknya kini dia seperti akan bersiap telanjang? Matanya yang lebar menerkam. Dan kini aneh, dia seperti berperan menjadi seorang tukang sihir. Lelaki itu terhipnotis. Silau.        
“ Ayo. Bawalah diriku…kemana saja langkahmu pergi…Bawalah aku jauh jauh ke ujung nafasmu….Ke batas penghabisan kebanggaanmu…”ucap perempuan bidadari itu dengan mantap.
“Kita kawin lari…Kawin Siri. Kawin kerbau. Kawin anjing.” Aneh lagi. Keduanya berucap serempak bagai penyanyi duo. Tangan dan tangan saling berpegangan, mirip adegan filem atau sinetron kacangan.
Lelaki tua itu seperti bocah patuh, dibimbing oleh si perempuan ke sebuah tikungan kelam. Dengan terseok seok dia mengikuti langkah si perempuan. Jantungnya berkipas. Darahnya menderas.Nafasnya makin tak teratur. Dalam fikirannya, cinta baru telah menjelma. Dan bersamaan dengan itu, sebingkah khianat akan segera ia tegakkan. Ini untuk membayar hutang,  membalas kelakuan Imah.
Hanya saja, itulah soalnya. Sebuah lobang sudah tersedia saja di  sudut sana. Masih baru. Bau tanah basah dan bau papan yang spesifik, kemudian, bau bunga-bunga rampai, setanggi, dan kapur barus yang tajam. Lelaki itu mulai berbaring mengatur nafas agar tenang. Dalam menyiapkan hubungan badan dengan tanah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...