Sabtu, 02 November 2013

REFLEKSI UNTUK REPUBLIK INDONESIA: Bagaimana Kita Menilai PRRI?


OLEH H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie

Pada penghujung tahun 1957 situasi tanah air semakin panas. Seakan-akan bara api yang siap nyala membakar daun-daun kering yang berserakan di persada tanah air. Belum setahun gerakan-gerakan daerah  mengambilalih jabatan Gubernur Sumatera Tengah oleh Ketua Dewan Banteng A. Husein dari tangan Gubernur sipil Ruslan Muljohardjo, (20 Desember 1956) Gubernur Sumatera Utara St. Komala Pontas diambilalih oleh Simbolon (22 Desember 1956).  Kolonel Simbolon kemudian didaulat oleh Letkol Djamin Gintings. Gubernur Sumatera Selatan Winarno oleh Panglima Barlian (9 Maret 1957).

Kabinet Ali II memang sudah jatuh digantikan oleh Kabinet Djuanda yang dibentuk oleh formatur tunggal Bung Karno. Keadaannya semakin tidak berdaya menyelesaikan kemelut tanah air yang chaos di segala bidang : politik, ekonomi, sosial, keamanan dan pemerintahan.


Tokoh Proklamator Bung Hatta yang sudah menjadi orang partikelir, (mengundurkan diri dari Wakil Presiden sejak 1 Desember 1956) mengecam Pemerintah Djuanda yang sudah reot dan peot. Bagaimana Kabinet Djuanda akan menjadi suatu pemerintahan yang kuat jika pembetukannya saja  menyalahi konstitusi yang sedang berlaku. Ingatlah Pasal 51 UUDS (UUD 1950) yang mengamanatkan bahwa Presiden menunjuk seorang atau lebih untuk menjadi formatur kabinet. Kenyataannya, Presiden yang kebetulan adalah Ir. Soekarno menunjuk pribadi Soekarno sebagai formatur kabinet (4 April 1957) mengganti kabinet Ali yang telah jatuh.

Betul-betul bodohkah rakyat Indonesia yang telah merdeka dari kungkungan penjajahan kolonial sebagai hasil perjuangan rakyat dengan pengorbanan harta, jiwa dan raganya?

Tindakan Presiden itu dapat digambarkan dalam sebuah karikatur. Presiden Soekarno seolah-olah berdiri di depan kaca lalu ia menunjuk bayangan pribadi Soekarno yang ada dalam kaca itu untuk menjadi formatur kabinet.

Padahal di dalam UUD Sementara 1950 pasal 51 dikatakan bahwa Presiden (yang Presiden itu sudah jelas orangnya) menunjuk seseorang atau lebih (artinya orang lain, bukan bayangan Soekarno dalam kaca) untuk menjadi formatur kabinet.

Daerah-daerah bergolak semakin unjuk gigi. Sebutlah suara Dewan Banteng dari Padang, Dewan Gajah dari Sumatera Utara, meski Panglimanya Kolonel M. Simbolon telah didaulat oleh Letkol Djamin Gintings. Suara dari Dewan Garuda antara lain Panglima TT II Sriwijaya, Letkol Barlian langsung mengendalikan pemerintahan karena Gubernur Sumatera Selatan Winarno telah meninggalkan bumi Sriwijaya. Barlian mengingatkan penduduk Sumsel waktu itu kalau pergi ke luar daerah hanya boleh membawa uang sebanyak Rp. 2.500/orang dan Rp. 5.000/keluarga. Letkol Ventje Sumual dari Permesta tampil di depan ribuan rakyat Sulawesi Utara di Manado. Tomohon dan Tondano tentang tujuan perjuangan daerah seperti Dewan Banteng, Dewan Garuda, Permesta, dan lain-lain.

Kongres Ulama dan Adat

Kongres Alim Ulama se-Sumatera di Bukittinggi (17 Maret 1957) dan Kongres Kaum Adat se-Sumatera juga di Bukittinggi (19 Maret 1957)  dihadiri para utusan mulai dari Aceh sampai ke Lampung menyerukan kepada segenap pihak, mulai dari Presiden sampai ke rakyat bawah harus patuh dan taat kepada konstitusi, undang-undang dan peraturan yang berlaku. Jangan daerah bergolak saja yang diminta taat kepada atasan, tapi Presiden Soekarno, Kabinet Djuanda, Pimpinan Militer, Pimpinan Parpol harus sama-sama taat kepada konstitusi dan harus memberikan teladan yang baik.

Suara Kongres Alim Ulama se-Sumatera dengan tokoh utamanya Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sulaiman Ar. Rasuli Candung, H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo dan Kongres Adat se-Sumatera  di Bukittinggi bergema di seluruh Indonesia disiarkan oleh seluruh radio dan surat kabar. Hanya surat kabar Harian Rakyat (terompet PKI), Suluh Indonesia (terompet PNI) dan Harian Bintang Timur yang bernada sumbang terhadap suara koreksian yang marak waktu itu di seluruh penjuru tanah air.

Mr. St. Takdir Alisyahbana seorang budayawan, ikut memberikan prasarannya (makalah) di depan Kongres Adat se-Sumatera itu mendapat sambutan hangat dari peserta kongres.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia oleh Kabinet Djuanda dikecam Bung Hatta. Menurut Bung Hatta suatu bangsa yang akan mengangkat perjuangan besar tidaklah memulainya dengan memiskinkan rakyatnya. Sekarang kehidupan perekonomian rakyat amat morat-marit. Beras sulit, rakyat terpekik. Di mana-mana ada hanya hangerudem (busung lapar, dan lain-lain). Setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda ternyata tenaga pribumi belum bisa menggantikan tenaga asing. Akibatnya perusahaan-perusahaan itu stagnan, tak jalan, macet. Kapal-kapal KPM milik Belanda yang dinasionalisasi ditambatkan saja di Tanjung Periok sehingga hubungan menjadi terputus ke berbagai daerah. Ini keadaan yang sangat fatal terhadap perekonomian. Dengan apa barang-barang diangkut? Hatta memperingatkan.

Dalam bidang pemerintahan, Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi yang dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual meresmikan Propinsi Sulawesi Utara di Manado, 27 Juni 1957. Pemerintahan Djuanda melongo saja. Anehnya Kolonel Dahlan Djambek yang Deputy III KSAD hadir dalam acara tersebut.

Sementara itu, Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein yang menguasai Sumatera Tengah (sipil dan militer) meresmikan Propinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi menjadi tiga propinsi. Untuk Riau diangkatnya Mayor Syamsi Nurdin jadi gubernurnya. Sedangkan untuk Gubernur Jambi ditetapkannya Djamin Dt. Bagindo (seorang tenaga sipil senior). Sedangkan untuk Propinsi Sumatera Barat Mayor Sofyan Ibrahim sebagai KSS (Kepala Staf Sipil) dengan Mr. Abu Bakar Jaar (pamong senior) sebagai pelaksana. Ketiganya di bawah Ketua Dewan Banteng, Letkol A. Husein.

Setelah Pemerintah Pusat dikritik lamban, mungkin juga karena sudah malu, maka Djuanda mulai bertindak dengan meresmikan pula Propinsi Riau versi Pusat dengan ibu kotanya Tanjung Pinang. Gubernur pertamanya adalah Mr. S.M. Amin. Djuanda juga memecah Sumatera Barat dengan memasukkan V Koto Bangkinang ke Propinsi Riau dan daerah Kerinci dimasukkannya ke Propinsi Jambi. Sebelumnya daerah V Koto yang terdiri dari Kuok, Bangkinang, Salo, Air Tiris dan Rumbio masuk ke wilayah Kabupaten 50 Koto dengan ibu kotanya Payakumbuh, artinya masuk Sumatera Barat.

Sementara daerah Kerinci sebelumnya termasuk Kabupaten Pesisir Selatan dan  Kerinci (PSK) dengan ibu kotanya Sungai Penuh. Pernah salah seorang Bupati PSK yang bernama Bachtiar Datuk Pado Panghulu orang Koto nan Ampek (Payakumbuh) disebut sebagai Bupati Atom.

Rapat-rapat akbar atau rapat raksasa sering digelar di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Solok, Pariaman, dan lain-lain, yang intinya  menentang kebijakan Pemerintah Pusat yang tidak becus. Rapat-rapat raksasa tersebut diorganisir oleh BARST (Badan Aksi Rakyat Sumatera-Tengah) yang dipimpin oleh Letkol Yazid Abidin.

Di Bandung rapat raksasa SUNDA TUNGGAL dengan Front Anti Komunis (FAK) dengan pembicara Isa Anshari (Bomber Masyumi). Di Kalimantan Panglima Tentara dan Teritorium Tanjung Pura mengganti namanya dengan TT VI Lambung Mangkurat. Kemudian masyarakat Tapanuli serentak membangun Dewan Sisingamangaraja. Sementara Letkol Wahab Makmur menyiapkan diri untuk jadi Panglima TT I menggantikan Simbolon membuat repot Panglima TT I Bukit Barisan, Letkol Djamin Gintings. (Kepala Staf TT I Bukit Barisan yang sudah berhasil mendaulat Panglimanya Kolonel M. Simbolon)

Daerah-daerah bergolak yang pada umumnya daerah luar Jawa menentang kebijaksanaan Presiden Soekarno dan Djuanda. Aksi-aksi daerah-daerah bergolak tersebut pada mulanya hanya mengoreksi tindakan Pusat yang tidak benar. Tak semiangpun berbau desintegrasi, tapi benar-benar hendak menegakkan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI) tercinta.

Adanya lembaga Dewan Nasional menurut konsepsi Presiden tidak ada dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara R.I.) Protes keras yang dialamatkan kepada Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda adalah Pasal 44 UUDS tentang Alat Perlengkapan Negara yang hanya ada lima yakni : Presiden dan Wakil Presiden, Kabinet (menteri-menteri), Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat), Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan (DPK). Dalam UUD 1045 DPK disebut Bapeka) Badan Pemeriksa Keuangan).

Ketua Dewan Banteng, Letkol A. Husein menegaskan bahwa yang dibangun hanya Jakarta saja seperti membangun jalan Thamrin. Sedangkan asrama prajurit semuanya jadi reot tak layak huni. Kemana saja devisa negara yang dihasilkan oleh daerah-daerah? Tanya Ahmad Husein. Pantun Ahmad Husein yang terkenal adalah Pinjaik panjuluak bulan/tibo di bulan patah tigo/di langik hari nan hujan/ di bumi satitiak tido.

Musyawarah Nasional

Jalan ke luar dari kemelut Tanah Air pada waktu itu maka oleh Presiden dan PM Djuanda diadakan Munas (Musyawarah Nasional) di Jakarta. Munas juga dimaksudkan untuk merekat dan memposisikan kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta yang sudah menjadi Dwi Tanggal.

Untuk menghadapi Munas pada bulan September 1957 itu para Pimpinan Daerah Bergolak seperti Dewan Banteng (Sumteng), Dewan Gajah (Sumut), Dewan Garuda (Sumsel) dan Permesta bertemu di Palembang, tanggal 7-8 September 1957 untuk menyatukan sikap.

Koran-koran yang jadi terompet PKI dan pendukung Soekarno melansir berita dengan judul huruf-huruf “banner” bahwa Ahmad Husein takut datang ke Jakarta menghadiri Munas tanggal 10-14 September 1957.

Apa yang terjadi ?

Ternyata Ketua Dewan Banteng itu nongol di Jakarta. Bahkan dengan wajah berseri-seri dan dalam keadaan segar bugar, berkaca mata hitam turun dari pesawat. Ia melambaikan tangannya seraya tersenyum kepada penyambutnya di Bandara Kemayoran. Ia disambut dengan pencak-silat Kumango, silat Piaman dan Lintau.  Pada waktu itu belum terbiasa penyambutan dengan tari gelombang atau tari pasambahan. Di belakangnya nampak Penasihat delegasi Dewan Banteng Engku Moh. Sjafei Kayutanam, Mr. Abu Bakar Djaar, Ramawi Izhar (Komisaris Dewan Banteng Jakarta), Gubernur Jambi Djamin Dt. Bagindo. Sementara Penasihat Dewan Banteng lainnya, Kolonel TB. Simatupang (ex KSAP) bergabung dalam Munas. Dari Permesta juga hadir Letkol Ventje Sumual dan rombongan. Letkol Barlian dari Dewan Garuda Palembang juga hadir.

Pidato Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein berkali-kali mendapat aplaus tepuk tangan dari peserta Munas. Menurut laporan pers pada waktu itu yang saya catat Husein tidak sungkan-sungkan berbicara blak-blakan di depan Panglima Tertinggi APRI Bung Karno yang melihat tajam kepada Husein yang sedang berpidato di mimbar. Sementara tokoh Proklamator Bung Hatta tersenyum-senyum saja yang duduk di sebelah Bung Karno. Sedangkan PM Djuanda dan KSAD Nasution dilaporkan pers menekor penuh arti.

Berkata Husein :

“Ketika orang menaikkan bendera putih ketundukan kepada musuh, ketika itu kami tetap berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwa untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang tercinta ini di bawah pimpinan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) yang berkantor di bawah pohon-pohon kayu dalam rimba raya Sumatera.”   



Tepuk tangan panjang sekali dari hadirin menyambut tekanan pidato Ahmad Husein. Laporan pers dalam buku harian saya “Acta Diurna”  saya cocokkan lagi dengan menanyakan kepada Bapak Moh. Sjafei pada tahun 1958 karena beliau sebagai Penasihat delegasi Dewan Banteng.

Sedikit pengalaman penulis ketika operasi badai pasukan APRI yang mengepung Lintau bulan Juni 1958, kami menghindar sekitar 11 orang di tepi batang Sinamar Kenagarian Halaban, 50 Kota. Saya tanyakan langsung kepada Bapak M. Sjafei jalannya sidang Munas yang berlangsung 10-14 September 1957 di Jakarta.

Kami yang menghindar menyelamatkan diri di tepi batang Sinamar pada tahun 1959 itu adalah M. Sjafei (Menteri Pendidikan dan Kesehatan PRRI), Prof. Dr. Idris (Dekan Fakultas Pertanian Unand di Payakumbuh) dokter Musbar (Kepala RSU Payakumbuh), Mayor Makinuddin HS (Komandan Pertempuran Lima Puluh Kota), A. Chatib Bupati Militer 50 Kota beserta Ibu Tuti Chatib, Kapten CPM Ramli, Zainit (sekarang bergelar Dt. Muncak masih hidup di Situjuh Batur). Dia adalah ajudan Bapak Makinuddin HS dan sekitar 5 orang prajurit PRRI dari Kompi IV Batalion 2009 dan sejumlah pemuda Halaban yang mengawal di Ateh Koto (dekat jalan Payakumbuh-Lintau), kemudian ada staf Pak Sjafei, staf Bupati 50 Kota, staf Prof. Dr. Idris dan staf dokter Musbar.

Buku Harian saya “Acta Diurna” tersebut saya bacakan di depan Bapak M. Sjafei. Beliau mengangguk membenarkan catatan saya itu bahwa memang begitu yang disampaikan Ahmad Husein dalam Munas. Lalu beliau berkomentar : “Ada yang menarik lagi,” katanya. Pada sidang Munas hampir akan ditutup, Ahmad Husein interupsi : “Saya mengusulkan kata Husein “agar peserta Munas ini pergi ziarah ke makam Jenderal Soedirman di TMP Semaki di Yogya,” katanya dengan suara lantang. Lalu hadirin menjawab : “SETUJU”!, Yang tak pergi : Soekarno, Hatta, Djuanda dan saya sendiri karena kurang sehat. Selebihnya berangkat ke Yogya, ulas Pak Sjafei.

Husein Tasirobok

Yang lebih menarik lagi tambah M. Sjafei setelah sidang pertama Munas ditutup, Letkol A. Husein termasuk saya, dan lain-lain tentu meninggalkan ruangan. Setelah memperhatikan Bung Karno, Hatta dan Djuanda telah menuju pintu, maka kami berusaha melalui jalan lain. Ternyata “basirobok” juga dengan Bung Karno, Bung Hatta dan PM Djuanda. Saya yang sudah tua, kata Bapak Sjafei (waktu itu usia sudah lebih 60 tahun) kaget begitu mendengar suara A. Husein dalam keadaan berdiri tegap sempurna secara militer : “Siaaap! Hormaat!” katanya menghormati Presiden. Lalu Presiden Soekarno membalas penghormatan  Letkol A. Husein. Seperti seorang bapak kepada anaknya, Presiden menepuk bahu Ahmad Husein seraya berkata : “Eh, Overste! Kau pintar pidato, ya?” Lalu dijawab Husein tegas : “Siap! Kan Bapak yang mengajar!” Nampak Nasution senyum di belakang Djuanda. Kemudian Bung Karno berpaling kepada Hatta lalu berkomentar pula : “Engku!” Bung Karno memanggil M Sjafei yang pernah menjadi Menteri Pengajaran Republik Indonesia dalam Kabinet Sjahrir kedua tahun 1946.“Lihat! Bung Hatta stelan jasnya baru. Masih ada benangnya yang tertinggal,” kata Bung Karno sembari mengipaskan saputangannya ke baju Bung Hatta. Bung Hatta tak hilang akal : “Waduh! Harumnya saputangan Bung Karno,” semuanya tertawa, kemudian berlalu.

Suasana sidang Munas tersebut menghilangkan sejenak atmosfir hantam menghantam, hujat menghujat dan pembangkangan daerah-daerah bergolak yang oleh koran-koran Jakarta disebut perwira-perwira nakal seperti A. Husein, Sumual, Simbolon, Barlian, D.I. Somba, Saleh Lahade, Dahlan Djambek, Zulkifli Lubis, dan lain-lain. Rasanya tidak akan terjadi perang saudara antara Pusat dan Daerah beberapa bulan kemudian.

Ada yang berpendapat bahwa peristiwa kecil dialog seorang Presiden yang cukup berwibawa dan punya kharisma dengan seorang bawahannya Ahmad Husein ketika basirobok di salah satu gang Gedung  Proklamasi (tempat Munas) menggambarkan “jiwa belah” atau bermuka dua Pemerintah Pusat khusus dalam menghadapi Sumatera Barat plus Ahmad Huseinnya.

Pada tanggal 22 Desember 1956 (dua hari setelah Ahmad Husein mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo), maka Kolonel Maludin Simbolon juga mengikuti jejak Ahmad Husein dengan mendaulat Gubernur Sumatera Utara St. Komala Pontas. Ternyata Pusat punya instruksi rahasia agar Kepala Staf TT I Letkol Djamin Gintings mendaulat Panglimanya Simbolon. Jika Djamin Gintings tak berhasil maka Letkol Wahab Makmur (Komandan Resimen II) TT I Bukit Barisan telah dipersiapkan pula. Maka pada tanggal 26 Desember 1956 Djamin Gintings berhasil mendaulat Kolonel Simbolon dan Simbolon menghindar ke daerah Dewan Banteng mungkin dengan pertimbangan agar tak terjadi pertumpahan darah dalam satu korps.

Tapi tindakan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein mulus saja pada 20 Desember 1956 itu di Gedung Nasional Bukittinggi.

Bahkan pidato sambutan Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo menegaskan, inilah jalan sebaik-baiknya agar pembangunan daerah dapat terlaksana di republik ini, kata Ruslan.

Tak ada yang mendaulat Ahmad Husein, misalnya Mayor Sofyan Ibrahim yang Kepala Staf Resimen IV atau Mayor Nurmathias yang Komandan Sektor di Bukittinggi. Malah Letkol Ahmad Husein yang disebut salah seorang perwira nakal itu dilantik lagi sebagai Komandan KDMST (Komando Daerah Militer Sumatera Tengah). Padahal Pemerintah Pusat nampak memperlihatkan muka masam kepada Kolonel Simbolon, Sumual, D J Somba, dan lain-lain.

Namun ada juga yang berpendapat mungkin karena daerah Sumatera Barat tempat lahirnya Bung Hatta, salah seorang Proklamator R.I, Bapak Bangsa bersama Bung Karno.

Tapi ketika di Padang dicetuskan PRRI, Pusat pulalah yang lebih dulu menghantam dan memborbardir Sumatera Barat dibandingkan dengan daerah bergolak lainnya.

Komentar orang pula karena Bung Karno melihat Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Prof. Soemitro ada di samping Husein. Partai Islam Masjumi dan PSI menolak Konsepsi Presiden termasuk I. J. Kasimo dari Partai Katholik. Semua tokoh itu lawan-lawan politik Bung Karno

Natsir, Sjafruddin, Djambek di Padang

Pada penghujung tahun 1957 itu para tokoh politik nasional yang beroposisi dengan Presiden Soekarno dan Djuanda banyak yang hengkang dari Jakarta.

Mohammad Natsir yang Ketua Umum Partai Islam terbesar Masjumi berdua dengan Mr. Moh. Roem berada di Medan menghadiri Dies Natalis UISU (Universitas Islam Sumatera Utara). Kebetulan Mr. Moh. Roem adalah Ketua Dewan Kurator Universitas Islam tersebut.

Sehabis acara Dies, kedua tokoh Islam itu tidak langsung terbang ke Jakarta, tapi mampir di  Padang. Di Padang keduanya mengadakan pertemuan dengan tokoh Masjumi daerah seperti Buya Duski Samad yang menggantikan H. Mansur Daud Dt. Palimo Kayo sebagai Ketua Masjumi Sumatera Tengah karena Dt. Panglimo Kayo sebagai Dubes RI di Irak.  H. Darwis Taram Dt. Tumanggung (Koordinator Masjumi se-Sumatera), Zamzami Kimin (anggota konstituante), Sjarif Said (tokoh Masjumi Sumbar), Buchari Tamam, dan lain-lain.

Dua hari setelah itu, Mr. Moh. Roem kembali ke Jakarta, sedangkan Natsir tetap tinggal di Padang. Dalam pernyataannya kepada pers dikatakannya bahwa ia tidak akan kembali ke Jawa. Laut jawa airnya keruh karena sungai-sunaginya banyak membawa lumpur. Lagi pula kapal yang saya tompang tak ada lagi di Teluk Bayur, katanya. Ketika ditanya pendapatnya tentang Kabinet Djuanda, Natsir berkomentar singkat: “Pemerintah semakin merancah ke dalam rawa”, katanya.

Tak lama setelah itu Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara sampai di Palembang setelah melakukan peninjauan ke Stanvac Sungai Gerong.

Besoknya terbit tulisannya berupa surat terbuka nasional di dalam sk. Batanghari Sembilan Palembang dan koran-koran tanah air lainnya. Dijelaskannya mengapa ia meninggalkan Jakarta. Jakarta sekarang sedang mengalami chaos yang amat sangat. Dan saya tak mau mati konyol dimangsa oleh binatang-binatang buas dalam tubuh manusia. Jakarta sekarang adalah battle of conflicting interest and powers (pertempuran antara berbagai kepentingan dan kekuasaan) ucapnya kepada pers. Setelah melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh Sumatera Selatan dan Dewan Garuda, lusanya Sjafruddin Prawiranegara sudah berada pula di Padang di daerah Dewan Banteng. Nampak pula Amelz, Sjarif Usman, dan lain-lain.

Kolonel Dahlan Djambek Deputy KSAD yang rumahnya digranat ketika kolonel itu sedang mandi dan diberitakan koran bahwa Pamen asal Sumatera Barat itu mengejar orangnya sampai ke jalan depan rumahnya  kini Djambek sudah nampak pula di Padang.

Dalam suatu pertandingan bola di lapangan Banteng, sekarang lapangan Imam Bonjol. Dahlan Djambek duduk sederet dengan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein, Sjarif Usman dan Ketua PSSI Pusat Mr. Maladi eks Kepala RRI Pusat dan eks Menteri Olagraga RI.

Baiklah kita kutipkan keterangan Mr. Maladi yang datang ke Padang pada tahun 1990-an dan memberikan makalah dalam seminar PDRI di aula IKIP Padang tentang peranan Radio dalam era PDRI, 1949. Walaupun saya (Maladi) orang Pusat dan kebetulan Ketua PSSI waktu itu saya aman saja di daerah Dewan Banteng. Saya duduk berdampingan dengan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein dan makan malam bersama Ahmad Husein. Ini bukti bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan perang kesukuan, bukan anti Jawa. Saya tahu, tambah Maladi, bahwa Sekjen Dewan Banteng adalah Sulaiman yang juga orang Jawa. Ada Prof Soemitro, juga dari Jawa, sementara Mr. Sjafruddin dari Banten.

Keterangan Mr. Maladi di luar teks tersebut mendapat sambutan dan simpati dari peserta Seminar. Pemakalah lainnya yang saya catat adalah Prof. Dr. Amura, Hubertus Victor Soedjono, eks KSAU PDRI dulu, Azwar Dt Mangiang dan Dr Mestika Zed.

Yang menarik pula dari keterangan Maladi adalah sehabis pertandingan sepak bola sore itu yang dikerubungi orang bukan pemain bola atau seorang Maladi yang orang Jawa, tapi seorang Sersan yang berkumis dan berjenggot. Orang bilang bahwamiliter berpangkat sersan itu adalah Kolonel Zulkifli Lubis, wakil KSAD yang menghilang dari Jakarta. Tapi saya tak lihat wajah Kolonel Lubis, kata Maladi, S.H.

Rapat Sungai Daerah

Menjelang awal tahun 1958 ini tak ada tanda-tanda situasi politik akan mereda. Begitu pula situasi keamanan dalam negeri. Di Palembang kantor Redaksi SK Harian Batanghari Sembilan di Jalan Pagar Alam, Palembang, di mana Penulis artikel ini sebagai salah seorang wartawannya digranat orang tak dikenal. Untung saja tak ada korban jiwa. Kebetulan Harian Batanghari Sembilan dipimpin oleh Rasyad Nawawi salah seorang tokoh Dewan Garuda dan seorang tokoh Masjumi Sumatera Selatan dengan Pemrednya AC. Bawaihi dan Hamdani Said yang juga penyokong Dewan Garuda. Sama dengan situasi Dewan Banteng dengan Sk Haluan Padang di mana Pemrednya Bung Darwis Abbas adalah Ketua Seksi F Dewan Banteng.

Wartawan Annas Lubuk sering mengontak saya dengan titip pesan via pedagang yang pulang-balik Padang-Palembang pedagang agar saya segera meninggalkan Kota Mpek-Mpek. Panglima anda Barlian nampaknya ragu-ragu menghadapi situasi yang sudah memuncak, pesannya Letkol Barlian memang banyak pertimbangan a.l. karena secara geografis Palembang dekat dengan Jakarta.

Memangnya Panglima TT II Sriwijaya, Letkol Barlianlah yang mengusulkan kepada Letkol Ahmad Husein supaya Dewan Perjuangan yang diketuainya mengundang Ventje Sumual (Permesta), Kolonel Simbolon, Dahlan Djambek, dan lain-lain ditambah dengan tokoh-tokoh politik seperti Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap dan lain-lain untuk bertemu di Jambi atau tempat yang ditunjuk dan dirasa aman.

Maksud Barlian agar Dewan-dewan Daerah tidak terlanjur dengan sikap siap perang dengan pusat.

Usul Letkol Barlian itulah yang direspons oleh Ahmad Husein. Kebetulan pada tanggal 20 Desember 1957 itu Husein akan bertemu dengan Ventje Sumual di Singapura. Husein menunjuk Sungai Dareh di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung (sekarang Kab. Dharmasraya) untuk tempat rapat.

Siap perayaan natal di Singapura, Ventje Sumual terus ke Tokyo, sedangkan Husein kembali ke Padang.

Pulang dari Singapura, Husein memberitahu Barlian bahwa pertemuan Sungai Dareh akan dilangsungkan pada tanggal 8 Januari 1958 yang akan dihadiri para senior militer, seperti Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maludin Simbolon, Letkol Ventje Sumual. Juga diundang para politisi, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Mr. Burhanuddin Harahap, Sjarif Usman, Amelz dan lain-lain.

Pertemuan rahasia tersebut berlangsung dua hari bertempat di Gedung Pasanggerahan lama di tepi sungai Batanghari, Sungai Dareh di seberang Pulau Punjung.

Hari pertama 8 Januari 1958 khusus militer dan pada hari kedua gabungan antara tokoh politisi dan militer.

Tokoh Masyumi dari Aceh, Amelz, Residen H. Darwis Taram dan Kapten CPM Ramli Komandan Detasemen Polisi Militer di tempat pengungsian (1959) menceritakan bahwa dalam pertemuan di Sungai Dareh itu, Ketua Dewan Banteng merangkap Ketua Dewan Perjuangan Letkol A. Husein yang jadi tuan rumah menekankan bahwa gerakan daerah baik Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Permesta, Sisingamangaraja, Lambung Mangkurat, Sunda Tunggal, dan lain-lain adalah gerakan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Tak ada semiangpun dalam hati dan jiwa kita untuk bertindak desintegrasi untuk memecah negara ini. Gerakan kita adalah gerakan koreksian. Koreksian terhadap para pemimpin kita yang bercokol di Pusat yang menyimpang dari garis revolusi. Kemerdekaan itu adalah jembatan bagi rakyat menuju kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan.

Tapi kenyataannya sekarang, kata A. Husein, Pemerintah Pusat tak hendak mendengarkan kebenaran yang kita suarakan. Apa yang dikatakan oleh A. Husein dari Dewan Banteng tersebut tak obahnya dengan ungkapan orang Minang “barabab ka talingo kabau”, artinya betapapun seronoknya gesekan rabab di telinga kerbau, namun kerbau tak akan ambil peduli. Yang menarik baginya adalah rumput tebal yang ada di depannya.

Kemudian rapat Sungai Dareh tersebut menyatukan sikap bahwa perlu diingatkan lagi Pemerintah Pusat untuk kembali ke jalan yang benar sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku. Jika tidak, masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan tujuan Proklamasi Kemerdekaan tidak akan tercapai sampai hari kiamat.

Gerakan-gerakan daerah menolak konsepsi Presiden Soekarno berupa Kabinet Gotong-Royong dan Dewan Nasional yang tak ada dalam konstitusi. Presiden bilang : “Alle leden van de familie aan tafel, aan en eet tafel en werk tafel”! semua keluarga berada di depan meja, makan bersama  dan bekerja bersama. Inilah yang gotong royong.

Dewan Nasional itu bersumber dari pemikiran yang bersifat diktator, otak yang kacau balau. Anggota Denas ditunjuk oleh Presiden menurut kemauannya sendiri. Padahal negara dan Pemerintahan kita demokratis.

Ada di antara anggota Dewan Nasional seorang anggota militer yang berpangkat rendah. Lalu bagaimana menegakkan disiplin padanya? Kalau yang bersangkutan ditegur karena melanggar disiplin, dia akan lari sebagai anggota Denas yang berfungsi memberi nasehat kepada Presiden baik diminta atau tidak?

KSAD, KSAU dan KSAL jadi anggota Denas. Kalau para Kepala Staf itu tidak sejalan dengan Menteri Pertahanan yang membawahinya, maka para Kepala Staf Angkatan itu akan berlindung di bawah Denas.

Sementara Kabinet Gotong Royong menurut konsepsi Presiden juga ditolak. Presiden, katanya, tak mau menunggangi kuda berkaki tiga. Kaki yang satu itu adalah PKI. Padahal PKI sudah pernah mengkhianati Republik ini dengan pemberontakan Madiun 18 September 1948. Lagi pula orang-orang komunis itu berkiblat ke Moskow dan mereka adalah Atheis, anti Tuhan.

Dengan lidah tidak bertulang tokoh komunis Tiongkok Chou En Lai terang-terangan mengatakan begitu mendarat di Kemayoran, Jakarta dulu, bahwa : “We are Communist, Atheist (kami orang komunis adalah Atheis). Sudah jelas hal itu bertentangan dengan Pancasila yang berketuhanan Yang Maha Esa.

Yang menarik dari rapat Sungai Dareh tersebut adalah kehadiran Letkol Ventje Sumual dari Permesta. Akhir Desember 1957, Sumual dan A. Husein sama-sama berada di Singapura. Minggu pertama Januari 1958 Sumual dari Singapura ke Pekanbaru menyewa kapal kecil bersama Prof. Dr. Soemitro Djoyohadikusumo, Tokoh PSI yang Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang telah meninggalkan jabatannya. Di Pekanbaru ditunggu oleh Dewan Banteng untuk terus ke Padang dan Sungai Dareh. Perjalanan rahasia itu lepas dari intel Pusat dan luput dari pengamatan pers di Singapura, Pekanbaru dan Padang.  

Rapat Sungai Dareh menyimpulkan bahwa gerakan daerah sebagai gerakan moral, gerakan koreksian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di NKRI ini tak boleh mundur. Diberi tempoh dalam masa satu bulan ini, kiranya Presiden bersedia kembali kepada UUDS (1950), mencabut konsepsinya dan membubarkan Kabinet Djuanda yang inkonstitusional. Bagi gerakan daerah berlaku peribahasa “Raja alim raja disembah, Raja lalim raja disanggah”.

Ultimatum 5 x 24 jam

Berselang waktu satu bulan, 8 Januari-8 Februari 1958 ternyata persoalan tanah air semakin kusut. Sudah nampak blokade terhadap daerah-daerah bergolak, Sumatera dan Sulawesi Utara pada umumnya. Hubungan udara Jakarta ke daerah bergolak ditutup. Begitu juga hubungan laut dihentikan. Satu-dua orang dari Jakarta ke Padang ada yang jalan darat Jakarta-Lampung-Palembang. Kemudian dengan susah payah mencapai Padang dan Bukittinggi. Sebagian yang sudah pulang kampung tak hendak kembali ke Jawa, baik orang-orang sipil dan militer.

Orang-orang daerah merisaukan anak-anaknya yang sedang belajar pada berbagai perguruan tinggi di Jawa. Kontak hanya dengan telepon, tapi dengan surat tak akan pernah sampai. Tidak diantar ke alamat atau disensor dengan alasan negara dalam SOB (Staats van Orlog en van Bleg), negara dalam bahaya.

Di Jakarta dilakukan penangkapan/penahanan terhadap siapa yang berpihak kepada daerah bergolak. Ramawi Izhar (Komisaris Dewan Banteng Jakarta) ditahan KMKB-DR di bawah Letkol E. Dachyar. Letkol E. Dachyar adalah perwira militer yang condong ke kiri. Begitu juga terhadap diri Kapten Sabaruddin Sjamsuddin, Bc Hk, seorang pama di Jakarta yang berasal dari Minang, dan lain-lain.

Surat kabar Haluan Padang, Batanghari Sembilan Palembang, Mingguan Pelopor Sibolga meski masih terbit, tapi oleh Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya dilarang beredar. RRI Padang, Bukittinggi, Pekanbaru, Manado tak boleh didengar. Putra-putra daerah yang ada di Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang dan Surabaya terpaksa mengecilkan volume radionya bila hendak mendengarkan berita dari daerah.

Di Palembang dibentuk Batalion Sumatera direkrut dari para pemuda, pelajar dan mahasiswa. Kemudian Batalion Sumatera itu jadi Detasemen Waringin.

Di Padang para pemuda yang tergabung dalam PPP (Pemuda Pelopor Pembangunan) yang tadinya diterjunkan ke kabupaten-kabupaten sebagai tenaga bantuan setelah Dewan Banteng membagi-bagikan dana Rp. 1 juta masing-masing kabupaten, setelah melihat gelagat Pusat dengan policy keamanannya, lalu PPP direkrut Dewan Banteng jadi tentara. Sementara para mahasisiwa Sumatera Tengah yang sempat pulang kampung membentuk Tentara Pelajar (TP) dan Kompi Mahasiswa. Partai PKI, PNI, Partindo, dan lain-lain semakin berani berteriak agar Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno bertindak tegas,  terhadap daerah bergolak.

Sebetulnya menurut pengamatan Penulis sebagai seorang wartawan waktu itu dalam situasi hubungan antara Pusat dan daerah yang telah semakin memburuk maka akan  beralih menjadi cetusan api peluru dan bom dalam serang-menyerang, saya lihat  daerah tidaklah siap.

Betapapun ada upaya merekrut anggota militer baru seperti Detasemen Waringin di Palembang atau Pemuda Pelopor Pembangunan di Sumatera belumlah cukup menurut pendapat saya untuk menghadapi perang fisik yang sesungguhnya.

Kita tahu berapalah kekuatan Tentara dan Teritorium II Sriwijaya di Palembang, Resimen IV di Sumatera Tengah, Sulawesi Utara dengan Permestanya yang sudah terbelah di Teritorium VII Hasanuddin di Makassar. Kekuatan mantan Panglima Simbolon dengan pengikut yang setia padanya.

 Meski Husein, Sumual dan Prof. Soemitro Djojohadikusumo mengusahakan bantuan senjata dari Amerika Serikat, bila personil kemiliteran itu tidak cukup dan tidak terlatih tak akan mungkin diandalkan dalam perang terbuka walaupun untuk mempertahankan diri. Belum lagi kita perhitungkan dengan pasukan di udara dan di laut di mana pihak Pusat punya AL dan AU dengan persenjataannya yang sudah mulai lengkap. Waktu itu saya lihat “angek tadah dari cangkienyo”. Artinya akibat kebencian rakyat di daerah bergejolak yang mendidih kepada Bung Karno dan PKI maka mereka mau saja perang.

Sampai pada tanggal 10 Februari 1958 pada pukul 10.00 WSU para perwira militer dan Politisi itu berkumpul di Gubernuran Padang. Yang memegang peran utama adalah Ketua Dewan Perjuangan Letkol Ahmad Husein, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maluddin Simbolon, dan lain-lain.  

Diumumkanlah tuntutan dari daerah-daerah bergolak yang sudah bergabung dalam Dewan Perjuangan ditujukan kepada Pemerintah Pusat.

Koran-koran dan RRI kemudian menyebutkan tuntutan Dewan Perjuangan itu sebagai ultimatum 5 x 24 jam. Tuntutan itu intinya antara lain :

1.       Menuntut kepada Presiden R.I supaya dalam waktu 5 x 24 jam terhitung dari tanggal tuntutan ini :

a)     Kabinet Djuanda mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

b)     Atau Prsiden mencabut kembali mandat Kabinet Djuanda.



2.   Setelah tuntutan 1 a atau  1 b tersebut terlaksana, supaya Presiden menunjuk Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet Nasional sesuai dengan konstitusi (UUDS) 1950 yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang jujur, cakap, disegani serta bersih dari atheis dengan tugas :

a)     Untuk menyelamatkan negara dari desintegrasi dan kekacauan serta bekerja sesuai konstitusi (UUDS) sambil menunggu UUD yang sedang dibahas oleh Majelis Konstituante Bandung.

b)     Membangun bangsa dan negara RI yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

3.   Apabila tuntutan pada angka 1 dan 2 tidak dipenuhi, maka dengan ini kami nyatakan bahwa kami terbebas dari wajib taat kepada DR. Ir. Soekarno sebagai Presiden/Kepala Negara RI.

Demikianlah antara lain inti tuntutan Dewan Perjuangan tersebut yang ditandatangani oleh Ketuanya Letkol Ahmad Husein, 10 Februari 1958

Bebas dari Wajib Taat

Waktu tuntutan itu dicetuskan di Padang, yang dipopulerkan pers ultimatum Presiden Soekarno sedang tetirah di luar negeri (Tokyo).

Kabinet Djuanda yang bersidang malam itu dengan KSAD Nasution sebagai bintangnya dalam statemennya tanggal 11 Februari menolak tuntutan Padang tersebut. KSAD memecat Ahmad Husein dan Simbolon, Djambek, Sumual serta pimpinan militer lainnya yang membangkang.

Setelah waktu tenggang 5 x 24 jam habis, maka Ketua Dewan Perjuangan Letkol Ahmad Husein mengundang lagi para politisi dan tokoh-tokoh militer yang ada di Padang, seperti Moh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan lain-lain. Kemudian Dahlan Djambek serta para Pamen dan anggota Dewan Banteng lainnya.

Sebuah kabinet tandingan dipersiapkan dan wajib taat kepada Bung Karno habis. Ahmad Husein mengumunkan lahirnya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tanggal 15 Februari 1958 itu.

Kabinet PRRI terdiri dari : Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Menteri Dalam Negeri (Dahlan Djambek), kemudian diserahkan kepada Mr. Assaat Dt. Mudo, Menlu (Maluddin Simbolon), Menteri Perhubungan dan Pelayaran (Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo), Menteri PPK dan Kesehatan (Moh. Syafei), Menteri Pembangunan (J.F Warrow), Pertanian dan Perburuhan (Saladin Sarumpaet), Menteri Agama (Muchtar Lintang), Menteri Penerangan (Saleh Lahade), Menteri Sosial (Ayah Gani Usman) dan Menteri Pos dan Telekomunikasi (Dahlan Djambek) setelah Mr. Assaat sampai di Padang.

Kepala Staf Angkatan Perang PRRI diangkat Kolonel Alex Kawilarang (Mantan Atase Militer di Washington yang meninggalkan posnya dan memihak kepada PRRI).

Permesta di Sulawesi Utara segera mengeluarkan pernyataan mendukung penuh Proklamasi PRRI di Padang tersebut.

Tanggal 16 Februari 1958 Presiden Soekarno pulang tetirah dari luar negeri.

Di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma Presiden memberikan pernyataan keras terhadap “Peristiwa Padang” tersebut. “Kita akan hadapi dengan tegas. Kita akan gunakan kekuatan yang ada pada kita untuk menumpas segala bentuk penyelewengan”, ucapnya kepada pers.  

Koran-koran terompet PKI Harian Rakyat, Bintang Timur dan media yang anti-Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Permesta, dan lain-lain mengulas berita itu dengan gencar. Tumpas gerombolan Ahmad Husein cs sampai ke akar-akarnya. Dalangnya sudah jelas orang-orang Masjumi dan PSI serta para perwira TNI yang nakal seperti Zulkifli Lubis, Dahlan Djambek, Husein, Simbolon, Barlian, Sumual, dan lain-lain.

Tokoh-tokoh Permesta di Ujung Pandang seperti Menteri Penerangan PRRI Saleh Lahade dan Muchtar Lintang, Menteri Agama PRRI ditangkap.

Sementara itu, Mr. St. Moh. Rasjid, Dubes RI di Italia di kabarkan meninggalkan posnya di Roma lalu menyatakan diri sebagai Dubes keliling PRRI di Eropa. Rasjid adalah salah seorang pejuang kemerdekaan pernah jadi Residen Sumatera Barat dan Gubernur Militer Sumatera  Tengah di zaman PDRI (1948 – 1949).

Pantow dan Walandow di Philipina dan Hong Kong serta Des Alwi merupakan tokoh-tokoh PRRI di luar negeri. Semua tokohnya adalah para pejuang kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di Istana Negara April 1957.  Landasan perjuangan daerah tetap Republik Proklamasi dan berkewajiban untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta.  

Sebutlah para tokoh nasional Moh. Natsir yang sejak mudanya berjuang untuk kemerdekaan bangsanya dan berjasa besar menjadikan kembali NKRI dengan mosi integralnya. Sjahrir, siapa yang tak kenal padanya sebagai seorang pejuang yang tangguh. Burhanuddin Harahap, Prof. Soemitro, Sjafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI yang beristana di hutan Sumatera, Mr. Assaat, mantan Ketua KNIP, acting Presiden RI dalam negara RIS. Begitu juga tokoh-tokoh militernya.

Pada dasarnya PRRI/Permesta bukanlah “pemberontak” dengan pengertian hendak menghancurkan negara yang telah dibangun dengan harta, jiwa dan raga para pejuang bangsa. Tapi sungguh-sungguh hendak menyelamatkan negara yang kita cintai ini.

Tapi apa yang terjadi? Tanggal 21 Februari 1958 enam hari setelah Proklamasi PRRI, kota Painan di Pessel dan sebuah jembatan di Muara Mahat di bombardir.

Gerakan koreksian atau gerakan penyelamat negara yang tumbuh di daerah ini dipukul habis oleh Pusat “di hajar” sedemikian rupa dengan pengerahan pasukan darat, laut dan udara ke Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara.

Dewan-Dewan di daerah dengan pasukan kecil walau ada tambahan dari Tentara Pelajar yang sukarela,  tidak terlatih bukan prajurit profesional sebagaimana pasukan yang digunakan dalam operasi militer menundukkan PRRI, maka sebagai harga diri tentu saja melawan. Semut pun kalau diinjak akan melawan. Entah berapa korban tewas, cacat, harta benda yang habis kikis lindang akibat “dihajar” Pusat. Sampai sekarang tak ada datanya selama tiga setengah tahun (1958 – 1961) .

Komandan operasi 17 Agustus, Kolonel A. Yani begitu sampai di Padang 17 April 1958 berucap : “They can only talk” (mereka hanya pandai bicara). Memang bicara itulah yang dipakai untuk menegakkan kebenaran menegakkan Republik Proklamasi. Itulah PRRI/Permesta. Tapi kenapa kok dihajar?. Jelas para pemimpin di Pusat negara yang jadi tumpuan harapan dari daerah-daerah bergolak kurang arif dan kurang bijak!



Tulisan ini pernah dimuat di “Mesin Ketik Tua: Catatan Wartawan Tua”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...