OLEH H. Kamardi
Rais Dt. P. Simulie
Pada penghujung
tahun 1957 situasi tanah air semakin panas. Seakan-akan bara api yang siap
nyala membakar daun-daun kering yang berserakan di persada tanah air. Belum
setahun gerakan-gerakan daerah mengambilalih
jabatan Gubernur Sumatera Tengah oleh Ketua Dewan Banteng A. Husein dari tangan
Gubernur sipil Ruslan Muljohardjo, (20 Desember 1956) Gubernur Sumatera Utara St.
Komala Pontas diambilalih oleh Simbolon (22 Desember 1956). Kolonel Simbolon kemudian didaulat oleh Letkol
Djamin Gintings. Gubernur Sumatera Selatan Winarno oleh Panglima Barlian (9
Maret 1957).
Kabinet Ali II
memang sudah jatuh digantikan oleh Kabinet Djuanda yang dibentuk oleh formatur
tunggal Bung Karno. Keadaannya semakin tidak berdaya menyelesaikan kemelut
tanah air yang chaos di segala bidang
: politik, ekonomi, sosial, keamanan dan pemerintahan.
Tokoh
Proklamator Bung Hatta yang sudah menjadi orang partikelir, (mengundurkan diri
dari Wakil Presiden sejak 1 Desember 1956) mengecam Pemerintah Djuanda yang
sudah reot dan peot. Bagaimana Kabinet Djuanda akan menjadi suatu pemerintahan
yang kuat jika pembetukannya saja menyalahi konstitusi yang sedang berlaku.
Ingatlah Pasal 51 UUDS (UUD 1950) yang mengamanatkan bahwa Presiden menunjuk
seorang atau lebih untuk menjadi formatur kabinet. Kenyataannya, Presiden yang
kebetulan adalah Ir. Soekarno menunjuk pribadi Soekarno sebagai formatur
kabinet (4 April 1957) mengganti kabinet Ali yang telah jatuh.
Betul-betul
bodohkah rakyat Indonesia yang telah merdeka dari kungkungan penjajahan
kolonial sebagai hasil perjuangan rakyat dengan pengorbanan harta, jiwa dan
raganya?
Tindakan
Presiden itu dapat digambarkan dalam sebuah karikatur. Presiden Soekarno
seolah-olah berdiri di depan kaca lalu ia menunjuk bayangan pribadi Soekarno
yang ada dalam kaca itu untuk menjadi formatur kabinet.
Padahal di dalam
UUD Sementara 1950 pasal 51 dikatakan bahwa Presiden (yang Presiden itu sudah
jelas orangnya) menunjuk seseorang atau lebih (artinya orang lain, bukan
bayangan Soekarno dalam kaca) untuk menjadi formatur kabinet.
Daerah-daerah
bergolak semakin unjuk gigi. Sebutlah suara Dewan Banteng dari Padang, Dewan
Gajah dari Sumatera Utara, meski Panglimanya Kolonel M. Simbolon telah didaulat
oleh Letkol Djamin Gintings. Suara dari Dewan Garuda antara lain Panglima TT II
Sriwijaya, Letkol Barlian langsung mengendalikan pemerintahan karena Gubernur
Sumatera Selatan Winarno telah meninggalkan bumi Sriwijaya. Barlian mengingatkan
penduduk Sumsel waktu itu kalau pergi ke luar daerah hanya boleh membawa uang
sebanyak Rp. 2.500/orang dan Rp. 5.000/keluarga. Letkol Ventje Sumual dari
Permesta tampil di depan ribuan rakyat Sulawesi Utara di Manado. Tomohon dan
Tondano tentang tujuan perjuangan daerah seperti Dewan Banteng, Dewan Garuda,
Permesta, dan lain-lain.
Kongres Ulama dan Adat
Kongres Alim
Ulama se-Sumatera di Bukittinggi (17 Maret 1957) dan Kongres Kaum Adat
se-Sumatera juga di Bukittinggi (19 Maret 1957)
dihadiri para utusan mulai dari Aceh sampai ke Lampung menyerukan kepada
segenap pihak, mulai dari Presiden sampai ke rakyat bawah harus patuh dan taat
kepada konstitusi, undang-undang dan peraturan yang berlaku. Jangan daerah
bergolak saja yang diminta taat kepada atasan, tapi Presiden Soekarno, Kabinet
Djuanda, Pimpinan Militer, Pimpinan Parpol harus sama-sama taat kepada konstitusi
dan harus memberikan teladan yang baik.
Suara Kongres
Alim Ulama se-Sumatera dengan tokoh utamanya Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh
Sulaiman Ar. Rasuli Candung, H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo dan Kongres Adat
se-Sumatera di Bukittinggi bergema di
seluruh Indonesia disiarkan oleh seluruh radio dan surat kabar. Hanya surat
kabar Harian Rakyat (terompet PKI), Suluh Indonesia (terompet PNI) dan Harian
Bintang Timur yang bernada sumbang terhadap suara koreksian yang marak waktu
itu di seluruh penjuru tanah air.
Mr. St. Takdir
Alisyahbana seorang budayawan, ikut memberikan prasarannya (makalah) di depan
Kongres Adat se-Sumatera itu mendapat sambutan hangat dari peserta kongres.
Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia oleh Kabinet Djuanda dikecam Bung
Hatta. Menurut Bung Hatta suatu bangsa yang akan mengangkat perjuangan besar
tidaklah memulainya dengan memiskinkan rakyatnya. Sekarang kehidupan
perekonomian rakyat amat morat-marit. Beras sulit, rakyat terpekik. Di
mana-mana ada hanya hangerudem (busung lapar, dan lain-lain). Setelah
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda ternyata tenaga pribumi belum bisa
menggantikan tenaga asing. Akibatnya perusahaan-perusahaan itu stagnan, tak jalan, macet. Kapal-kapal
KPM milik Belanda yang dinasionalisasi ditambatkan saja di Tanjung Periok
sehingga hubungan menjadi terputus ke berbagai daerah. Ini keadaan yang sangat
fatal terhadap perekonomian. Dengan apa barang-barang diangkut? Hatta
memperingatkan.
Dalam bidang
pemerintahan, Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi yang dipimpin
oleh Letkol Ventje Sumual meresmikan Propinsi Sulawesi Utara di Manado, 27 Juni
1957. Pemerintahan Djuanda melongo saja. Anehnya Kolonel Dahlan Djambek yang
Deputy III KSAD hadir dalam acara tersebut.
Sementara itu,
Ketua Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein yang menguasai Sumatera Tengah (sipil
dan militer) meresmikan Propinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi menjadi tiga
propinsi. Untuk Riau diangkatnya Mayor Syamsi Nurdin jadi gubernurnya.
Sedangkan untuk Gubernur Jambi ditetapkannya Djamin Dt. Bagindo (seorang tenaga
sipil senior). Sedangkan untuk Propinsi Sumatera Barat Mayor Sofyan Ibrahim
sebagai KSS (Kepala Staf Sipil) dengan Mr. Abu Bakar Jaar (pamong senior)
sebagai pelaksana. Ketiganya di bawah Ketua Dewan Banteng, Letkol A. Husein.
Setelah
Pemerintah Pusat dikritik lamban, mungkin juga karena sudah malu, maka Djuanda
mulai bertindak dengan meresmikan pula Propinsi Riau versi Pusat dengan ibu
kotanya Tanjung Pinang. Gubernur pertamanya adalah Mr. S.M. Amin. Djuanda juga
memecah Sumatera Barat dengan memasukkan V Koto Bangkinang ke Propinsi Riau dan
daerah Kerinci dimasukkannya ke Propinsi Jambi. Sebelumnya daerah V Koto yang
terdiri dari Kuok, Bangkinang, Salo, Air Tiris dan Rumbio masuk ke wilayah
Kabupaten 50 Koto dengan ibu kotanya Payakumbuh, artinya masuk Sumatera Barat.
Sementara daerah
Kerinci sebelumnya termasuk Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK) dengan ibu kotanya Sungai
Penuh. Pernah salah seorang Bupati PSK yang bernama Bachtiar Datuk Pado
Panghulu orang Koto nan Ampek (Payakumbuh) disebut sebagai Bupati Atom.
Rapat-rapat
akbar atau rapat raksasa sering digelar di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh,
Solok, Pariaman, dan lain-lain, yang intinya
menentang kebijakan Pemerintah Pusat yang tidak becus. Rapat-rapat
raksasa tersebut diorganisir oleh BARST (Badan Aksi Rakyat Sumatera-Tengah)
yang dipimpin oleh Letkol Yazid Abidin.
Di Bandung rapat
raksasa SUNDA TUNGGAL dengan Front Anti Komunis (FAK) dengan pembicara Isa
Anshari (Bomber Masyumi). Di Kalimantan Panglima Tentara dan Teritorium Tanjung
Pura mengganti namanya dengan TT VI Lambung Mangkurat. Kemudian masyarakat
Tapanuli serentak membangun Dewan Sisingamangaraja. Sementara Letkol Wahab
Makmur menyiapkan diri untuk jadi Panglima TT I menggantikan Simbolon membuat
repot Panglima TT I Bukit Barisan, Letkol Djamin Gintings. (Kepala Staf TT I
Bukit Barisan yang sudah berhasil mendaulat Panglimanya Kolonel M. Simbolon)
Daerah-daerah
bergolak yang pada umumnya daerah luar Jawa menentang kebijaksanaan Presiden
Soekarno dan Djuanda. Aksi-aksi daerah-daerah bergolak tersebut pada mulanya
hanya mengoreksi tindakan Pusat yang tidak benar. Tak semiangpun berbau
desintegrasi, tapi benar-benar hendak menegakkan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan republik Indonesia (NKRI) tercinta.
Adanya lembaga
Dewan Nasional menurut konsepsi Presiden tidak ada dalam konstitusi
(Undang-Undang Dasar Negara R.I.) Protes keras yang dialamatkan kepada Presiden
Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda adalah Pasal 44 UUDS tentang Alat
Perlengkapan Negara yang hanya ada lima yakni : Presiden dan Wakil Presiden,
Kabinet (menteri-menteri), Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat), Mahkamah Agung
dan Dewan Pengawas Keuangan (DPK). Dalam UUD 1045 DPK disebut Bapeka) Badan
Pemeriksa Keuangan).
Ketua Dewan
Banteng, Letkol A. Husein menegaskan bahwa yang dibangun hanya Jakarta saja
seperti membangun jalan Thamrin. Sedangkan asrama prajurit semuanya jadi reot
tak layak huni. Kemana saja devisa negara yang dihasilkan oleh daerah-daerah?
Tanya Ahmad Husein. Pantun Ahmad Husein yang terkenal adalah Pinjaik panjuluak bulan/tibo di bulan patah
tigo/di langik hari nan hujan/ di bumi satitiak tido.
Musyawarah Nasional
Jalan ke luar
dari kemelut Tanah Air pada waktu itu maka oleh Presiden dan PM Djuanda diadakan
Munas (Musyawarah Nasional) di Jakarta. Munas juga dimaksudkan untuk merekat dan
memposisikan kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta yang sudah menjadi Dwi Tanggal.
Untuk menghadapi
Munas pada bulan September 1957 itu para Pimpinan Daerah Bergolak seperti Dewan
Banteng (Sumteng), Dewan Gajah (Sumut), Dewan Garuda (Sumsel) dan Permesta
bertemu di Palembang, tanggal 7-8 September 1957 untuk menyatukan sikap.
Koran-koran yang
jadi terompet PKI dan pendukung Soekarno melansir berita dengan judul
huruf-huruf “banner” bahwa Ahmad
Husein takut datang ke Jakarta menghadiri Munas tanggal 10-14 September 1957.
Apa yang terjadi
?
Ternyata Ketua
Dewan Banteng itu nongol di Jakarta.
Bahkan dengan wajah berseri-seri dan dalam keadaan segar bugar, berkaca mata
hitam turun dari pesawat. Ia melambaikan tangannya seraya tersenyum kepada
penyambutnya di Bandara Kemayoran. Ia disambut dengan pencak-silat Kumango,
silat Piaman dan Lintau. Pada waktu itu
belum terbiasa penyambutan dengan tari gelombang atau tari pasambahan. Di
belakangnya nampak Penasihat delegasi Dewan Banteng Engku Moh. Sjafei
Kayutanam, Mr. Abu Bakar Djaar, Ramawi Izhar (Komisaris Dewan Banteng Jakarta),
Gubernur Jambi Djamin Dt. Bagindo. Sementara Penasihat Dewan Banteng lainnya, Kolonel
TB. Simatupang (ex KSAP) bergabung dalam Munas. Dari Permesta juga hadir Letkol
Ventje Sumual dan rombongan. Letkol Barlian dari Dewan Garuda Palembang juga
hadir.
Pidato Ketua
Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein berkali-kali mendapat aplaus tepuk tangan dari peserta Munas. Menurut laporan pers pada
waktu itu yang saya catat Husein tidak sungkan-sungkan berbicara blak-blakan di
depan Panglima Tertinggi APRI Bung Karno yang melihat tajam kepada Husein yang
sedang berpidato di mimbar. Sementara tokoh Proklamator Bung Hatta
tersenyum-senyum saja yang duduk di sebelah Bung Karno. Sedangkan PM Djuanda
dan KSAD Nasution dilaporkan pers menekor penuh arti.
Berkata Husein :
“Ketika
orang menaikkan bendera putih ketundukan kepada musuh, ketika itu kami tetap
berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwa untuk menyelamatkan Negara Republik
Indonesia yang tercinta ini di bawah pimpinan PDRI (Pemerintah Darurat Republik
Indonesia) yang berkantor di bawah pohon-pohon kayu dalam rimba raya
Sumatera.”
Tepuk
tangan panjang sekali dari hadirin menyambut tekanan pidato Ahmad Husein.
Laporan pers dalam buku harian saya “Acta Diurna” saya cocokkan lagi dengan menanyakan kepada
Bapak Moh. Sjafei pada tahun 1958 karena beliau sebagai Penasihat delegasi
Dewan Banteng.
Sedikit
pengalaman penulis ketika operasi badai pasukan APRI yang mengepung Lintau
bulan Juni 1958, kami menghindar sekitar 11 orang di tepi batang Sinamar
Kenagarian Halaban, 50 Kota. Saya tanyakan langsung kepada Bapak M. Sjafei
jalannya sidang Munas yang berlangsung 10-14 September 1957 di Jakarta.
Kami
yang menghindar menyelamatkan diri di tepi batang Sinamar pada tahun 1959 itu adalah
M. Sjafei (Menteri Pendidikan dan Kesehatan PRRI), Prof. Dr. Idris (Dekan
Fakultas Pertanian Unand di Payakumbuh) dokter Musbar (Kepala RSU Payakumbuh),
Mayor Makinuddin HS (Komandan Pertempuran Lima Puluh Kota), A. Chatib Bupati Militer
50 Kota beserta Ibu Tuti Chatib, Kapten CPM Ramli, Zainit (sekarang bergelar
Dt. Muncak masih hidup di Situjuh Batur). Dia adalah ajudan Bapak Makinuddin HS
dan sekitar 5 orang prajurit PRRI dari Kompi IV Batalion 2009 dan sejumlah
pemuda Halaban yang mengawal di Ateh Koto (dekat jalan Payakumbuh-Lintau), kemudian
ada staf Pak Sjafei, staf Bupati 50 Kota, staf Prof. Dr. Idris dan staf dokter
Musbar.
Buku
Harian saya “Acta Diurna” tersebut saya bacakan di depan Bapak M. Sjafei.
Beliau mengangguk membenarkan catatan saya itu bahwa memang begitu yang
disampaikan Ahmad Husein dalam Munas. Lalu beliau berkomentar : “Ada yang
menarik lagi,” katanya. Pada sidang Munas hampir akan ditutup, Ahmad Husein
interupsi : “Saya mengusulkan kata Husein “agar peserta Munas ini pergi ziarah
ke makam Jenderal Soedirman di TMP Semaki di Yogya,” katanya dengan suara
lantang. Lalu hadirin menjawab : “SETUJU”!, Yang tak pergi : Soekarno, Hatta,
Djuanda dan saya sendiri karena kurang sehat. Selebihnya berangkat ke Yogya,
ulas Pak Sjafei.
Husein Tasirobok
Yang
lebih menarik lagi tambah M. Sjafei setelah sidang pertama Munas ditutup,
Letkol A. Husein termasuk saya, dan lain-lain tentu meninggalkan ruangan.
Setelah memperhatikan Bung Karno, Hatta dan Djuanda telah menuju pintu, maka
kami berusaha melalui jalan lain. Ternyata “basirobok”
juga dengan Bung Karno, Bung Hatta dan PM Djuanda. Saya yang sudah tua, kata
Bapak Sjafei (waktu itu usia sudah lebih 60 tahun) kaget begitu mendengar suara
A. Husein dalam keadaan berdiri tegap sempurna secara militer : “Siaaap!
Hormaat!” katanya menghormati Presiden. Lalu Presiden Soekarno membalas
penghormatan Letkol A. Husein. Seperti
seorang bapak kepada anaknya, Presiden menepuk bahu Ahmad Husein seraya berkata
: “Eh, Overste! Kau pintar pidato, ya?” Lalu dijawab Husein tegas : “Siap! Kan
Bapak yang mengajar!” Nampak Nasution senyum di belakang Djuanda. Kemudian Bung
Karno berpaling kepada Hatta lalu berkomentar pula : “Engku!” Bung Karno
memanggil M Sjafei yang pernah menjadi Menteri Pengajaran Republik Indonesia
dalam Kabinet Sjahrir kedua tahun 1946.“Lihat! Bung Hatta stelan jasnya baru.
Masih ada benangnya yang tertinggal,” kata Bung Karno sembari mengipaskan
saputangannya ke baju Bung Hatta. Bung Hatta tak hilang akal : “Waduh! Harumnya
saputangan Bung Karno,” semuanya tertawa, kemudian berlalu.
Suasana
sidang Munas tersebut menghilangkan sejenak atmosfir hantam menghantam, hujat
menghujat dan pembangkangan daerah-daerah bergolak yang oleh koran-koran
Jakarta disebut perwira-perwira nakal seperti A. Husein, Sumual, Simbolon,
Barlian, D.I. Somba, Saleh Lahade, Dahlan Djambek, Zulkifli Lubis, dan
lain-lain. Rasanya tidak akan terjadi perang saudara antara Pusat dan Daerah
beberapa bulan kemudian.
Ada yang
berpendapat bahwa peristiwa kecil dialog seorang Presiden yang cukup berwibawa
dan punya kharisma dengan seorang bawahannya Ahmad Husein ketika basirobok di salah satu gang Gedung Proklamasi (tempat Munas) menggambarkan “jiwa
belah” atau bermuka dua Pemerintah Pusat khusus dalam menghadapi Sumatera Barat
plus Ahmad Huseinnya.
Pada tanggal 22
Desember 1956 (dua hari setelah Ahmad Husein mengambil alih jabatan Gubernur
Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo), maka Kolonel Maludin Simbolon juga
mengikuti jejak Ahmad Husein dengan mendaulat Gubernur Sumatera Utara St.
Komala Pontas. Ternyata Pusat punya instruksi rahasia agar Kepala Staf TT I
Letkol Djamin Gintings mendaulat Panglimanya Simbolon. Jika Djamin Gintings tak
berhasil maka Letkol Wahab Makmur (Komandan Resimen II) TT I Bukit Barisan
telah dipersiapkan pula. Maka pada tanggal 26 Desember 1956 Djamin Gintings
berhasil mendaulat Kolonel Simbolon dan Simbolon menghindar ke daerah Dewan
Banteng mungkin dengan pertimbangan agar tak terjadi pertumpahan darah dalam
satu korps.
Tapi tindakan
Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein mulus saja pada 20 Desember 1956 itu di Gedung
Nasional Bukittinggi.
Bahkan pidato
sambutan Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo menegaskan, inilah jalan
sebaik-baiknya agar pembangunan daerah dapat terlaksana di republik ini, kata
Ruslan.
Tak ada yang
mendaulat Ahmad Husein, misalnya Mayor Sofyan Ibrahim yang Kepala Staf Resimen
IV atau Mayor Nurmathias yang Komandan Sektor di Bukittinggi. Malah Letkol
Ahmad Husein yang disebut salah seorang perwira nakal itu dilantik lagi sebagai
Komandan KDMST (Komando Daerah Militer Sumatera Tengah). Padahal Pemerintah
Pusat nampak memperlihatkan muka masam kepada Kolonel Simbolon, Sumual, D J
Somba, dan lain-lain.
Namun ada juga
yang berpendapat mungkin karena daerah Sumatera Barat tempat lahirnya Bung
Hatta, salah seorang Proklamator R.I, Bapak Bangsa bersama Bung Karno.
Tapi ketika di Padang
dicetuskan PRRI, Pusat pulalah yang lebih dulu menghantam dan memborbardir
Sumatera Barat dibandingkan dengan daerah bergolak lainnya.
Komentar orang
pula karena Bung Karno melihat Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Prof.
Soemitro ada di samping Husein. Partai Islam Masjumi dan PSI menolak Konsepsi
Presiden termasuk I. J. Kasimo dari Partai Katholik. Semua tokoh itu
lawan-lawan politik Bung Karno
Natsir, Sjafruddin, Djambek di Padang
Pada penghujung
tahun 1957 itu para tokoh politik nasional yang beroposisi dengan Presiden
Soekarno dan Djuanda banyak yang hengkang dari Jakarta.
Mohammad Natsir
yang Ketua Umum Partai Islam terbesar Masjumi berdua dengan Mr. Moh. Roem
berada di Medan menghadiri Dies Natalis UISU (Universitas Islam Sumatera
Utara). Kebetulan Mr. Moh. Roem adalah Ketua Dewan Kurator Universitas Islam
tersebut.
Sehabis acara
Dies, kedua tokoh Islam itu tidak langsung terbang ke Jakarta, tapi mampir di Padang. Di Padang keduanya mengadakan pertemuan
dengan tokoh Masjumi daerah seperti Buya Duski Samad yang menggantikan H.
Mansur Daud Dt. Palimo Kayo sebagai Ketua Masjumi Sumatera Tengah karena Dt.
Panglimo Kayo sebagai Dubes RI di Irak. H. Darwis Taram Dt. Tumanggung (Koordinator
Masjumi se-Sumatera), Zamzami Kimin (anggota konstituante), Sjarif Said (tokoh
Masjumi Sumbar), Buchari Tamam, dan lain-lain.
Dua hari setelah
itu, Mr. Moh. Roem kembali ke Jakarta, sedangkan Natsir tetap tinggal di
Padang. Dalam pernyataannya kepada pers dikatakannya bahwa ia tidak akan
kembali ke Jawa. Laut jawa airnya keruh karena sungai-sunaginya banyak membawa
lumpur. Lagi pula kapal yang saya tompang tak ada lagi di Teluk Bayur, katanya.
Ketika ditanya pendapatnya tentang Kabinet Djuanda, Natsir berkomentar singkat:
“Pemerintah semakin merancah ke dalam rawa”, katanya.
Tak lama setelah
itu Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara sampai di Palembang setelah
melakukan peninjauan ke Stanvac
Sungai Gerong.
Besoknya terbit
tulisannya berupa surat terbuka nasional di dalam sk. Batanghari Sembilan
Palembang dan koran-koran tanah air lainnya. Dijelaskannya mengapa ia
meninggalkan Jakarta. Jakarta sekarang sedang mengalami chaos yang amat sangat. Dan saya tak mau mati konyol dimangsa oleh
binatang-binatang buas dalam tubuh manusia. Jakarta sekarang adalah battle of conflicting interest and powers
(pertempuran antara berbagai kepentingan dan kekuasaan) ucapnya kepada pers.
Setelah melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh Sumatera Selatan dan Dewan
Garuda, lusanya Sjafruddin Prawiranegara sudah berada pula di Padang di daerah
Dewan Banteng. Nampak pula Amelz, Sjarif Usman, dan lain-lain.
Kolonel Dahlan
Djambek Deputy KSAD yang rumahnya digranat ketika kolonel itu sedang mandi dan
diberitakan koran bahwa Pamen asal Sumatera Barat itu mengejar orangnya sampai
ke jalan depan rumahnya kini Djambek sudah
nampak pula di Padang.
Dalam suatu
pertandingan bola di lapangan Banteng, sekarang lapangan Imam Bonjol. Dahlan
Djambek duduk sederet dengan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein, Sjarif Usman dan
Ketua PSSI Pusat Mr. Maladi eks Kepala RRI Pusat dan eks Menteri Olagraga RI.
Baiklah kita
kutipkan keterangan Mr. Maladi yang datang ke Padang pada tahun 1990-an dan memberikan
makalah dalam seminar PDRI di aula IKIP Padang tentang peranan Radio dalam era
PDRI, 1949. Walaupun saya (Maladi) orang Pusat dan kebetulan Ketua PSSI waktu
itu saya aman saja di daerah Dewan Banteng. Saya duduk berdampingan dengan
Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein dan makan malam bersama Ahmad Husein. Ini
bukti bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan perang kesukuan, bukan anti Jawa.
Saya tahu, tambah Maladi, bahwa Sekjen Dewan Banteng adalah Sulaiman yang juga
orang Jawa. Ada Prof Soemitro, juga dari Jawa, sementara Mr. Sjafruddin dari
Banten.
Keterangan Mr.
Maladi di luar teks tersebut mendapat sambutan dan simpati dari peserta
Seminar. Pemakalah lainnya yang saya catat adalah Prof. Dr. Amura, Hubertus
Victor Soedjono, eks KSAU PDRI dulu, Azwar Dt Mangiang dan Dr Mestika Zed.
Yang menarik
pula dari keterangan Maladi adalah sehabis pertandingan sepak bola sore itu
yang dikerubungi orang bukan pemain bola atau seorang Maladi yang orang Jawa,
tapi seorang Sersan yang berkumis dan berjenggot. Orang bilang bahwamiliter
berpangkat sersan itu adalah Kolonel Zulkifli Lubis, wakil KSAD yang menghilang
dari Jakarta. Tapi saya tak lihat wajah Kolonel Lubis, kata Maladi, S.H.
Rapat Sungai Daerah
Menjelang awal
tahun 1958 ini tak ada tanda-tanda situasi politik akan mereda. Begitu pula
situasi keamanan dalam negeri. Di Palembang kantor Redaksi SK Harian Batanghari
Sembilan di Jalan Pagar Alam, Palembang, di mana Penulis artikel ini sebagai
salah seorang wartawannya digranat orang tak dikenal. Untung saja tak ada
korban jiwa. Kebetulan Harian Batanghari Sembilan dipimpin oleh Rasyad Nawawi
salah seorang tokoh Dewan Garuda dan seorang tokoh Masjumi Sumatera Selatan
dengan Pemrednya AC. Bawaihi dan Hamdani Said yang juga penyokong Dewan Garuda.
Sama dengan situasi Dewan Banteng dengan Sk Haluan Padang di mana Pemrednya
Bung Darwis Abbas adalah Ketua Seksi F Dewan Banteng.
Wartawan Annas
Lubuk sering mengontak saya dengan titip pesan via pedagang yang pulang-balik
Padang-Palembang pedagang agar saya segera meninggalkan Kota Mpek-Mpek.
Panglima anda Barlian nampaknya ragu-ragu menghadapi situasi yang sudah
memuncak, pesannya Letkol Barlian memang banyak pertimbangan a.l. karena secara
geografis Palembang dekat dengan Jakarta.
Memangnya
Panglima TT II Sriwijaya, Letkol Barlianlah yang mengusulkan kepada Letkol
Ahmad Husein supaya Dewan Perjuangan yang diketuainya mengundang Ventje Sumual
(Permesta), Kolonel Simbolon, Dahlan Djambek, dan lain-lain ditambah dengan
tokoh-tokoh politik seperti Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Natsir, Burhanuddin
Harahap dan lain-lain untuk bertemu di Jambi atau tempat yang ditunjuk dan
dirasa aman.
Maksud Barlian
agar Dewan-dewan Daerah tidak terlanjur dengan sikap siap perang dengan pusat.
Usul Letkol
Barlian itulah yang direspons oleh Ahmad Husein. Kebetulan pada tanggal 20
Desember 1957 itu Husein akan bertemu dengan Ventje Sumual di Singapura. Husein
menunjuk Sungai Dareh di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Sawahlunto
Sijunjung (sekarang Kab. Dharmasraya) untuk tempat rapat.
Siap perayaan
natal di Singapura, Ventje Sumual terus ke Tokyo, sedangkan Husein kembali ke
Padang.
Pulang dari
Singapura, Husein memberitahu Barlian bahwa pertemuan Sungai Dareh akan
dilangsungkan pada tanggal 8 Januari 1958 yang akan dihadiri para senior
militer, seperti Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel
Maludin Simbolon, Letkol Ventje Sumual. Juga diundang para politisi, Natsir,
Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Mr. Burhanuddin
Harahap, Sjarif Usman, Amelz dan lain-lain.
Pertemuan
rahasia tersebut berlangsung dua hari bertempat di Gedung Pasanggerahan lama di
tepi sungai Batanghari, Sungai Dareh di seberang Pulau Punjung.
Hari pertama 8
Januari 1958 khusus militer dan pada hari kedua gabungan antara tokoh politisi
dan militer.
Tokoh Masyumi
dari Aceh, Amelz, Residen H. Darwis Taram dan Kapten CPM Ramli Komandan
Detasemen Polisi Militer di tempat pengungsian (1959) menceritakan bahwa dalam
pertemuan di Sungai Dareh itu, Ketua Dewan Banteng merangkap Ketua Dewan
Perjuangan Letkol A. Husein yang jadi tuan rumah menekankan bahwa gerakan
daerah baik Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Permesta,
Sisingamangaraja, Lambung Mangkurat, Sunda Tunggal, dan lain-lain adalah
gerakan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Tak ada
semiangpun dalam hati dan jiwa kita untuk bertindak desintegrasi untuk memecah
negara ini. Gerakan kita adalah gerakan koreksian. Koreksian terhadap para
pemimpin kita yang bercokol di Pusat yang menyimpang dari garis revolusi.
Kemerdekaan itu adalah jembatan bagi rakyat menuju kesejahteraan, kemakmuran
dan keadilan.
Tapi
kenyataannya sekarang, kata A. Husein, Pemerintah Pusat tak hendak mendengarkan
kebenaran yang kita suarakan. Apa yang dikatakan oleh A. Husein dari Dewan
Banteng tersebut tak obahnya dengan ungkapan orang Minang “barabab ka talingo kabau”, artinya betapapun seronoknya gesekan
rabab di telinga kerbau, namun kerbau tak akan ambil peduli. Yang menarik
baginya adalah rumput tebal yang ada di depannya.
Kemudian rapat Sungai Dareh tersebut menyatukan sikap bahwa perlu
diingatkan lagi Pemerintah Pusat untuk kembali ke jalan yang benar sesuai
dengan konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku. Jika tidak, masyarakat yang
adil dan makmur sesuai dengan tujuan Proklamasi Kemerdekaan tidak akan tercapai
sampai hari kiamat.
Gerakan-gerakan daerah menolak konsepsi Presiden Soekarno berupa Kabinet Gotong-Royong
dan Dewan Nasional yang tak ada dalam konstitusi. Presiden bilang : “Alle leden van de familie aan tafel, aan en
eet tafel en werk tafel”! semua keluarga berada di depan meja, makan
bersama dan bekerja bersama. Inilah yang
gotong royong.
Dewan Nasional itu bersumber dari pemikiran yang bersifat diktator, otak
yang kacau balau. Anggota Denas ditunjuk oleh Presiden menurut kemauannya
sendiri. Padahal negara dan Pemerintahan kita demokratis.
Ada di antara anggota Dewan Nasional seorang anggota militer yang
berpangkat rendah. Lalu bagaimana menegakkan disiplin padanya? Kalau yang
bersangkutan ditegur karena melanggar disiplin, dia akan lari sebagai anggota
Denas yang berfungsi memberi nasehat kepada Presiden baik diminta atau tidak?
KSAD, KSAU dan KSAL jadi anggota Denas. Kalau para Kepala Staf itu tidak
sejalan dengan Menteri Pertahanan yang membawahinya, maka para Kepala Staf Angkatan
itu akan berlindung di bawah Denas.
Sementara Kabinet Gotong Royong menurut konsepsi Presiden juga ditolak.
Presiden, katanya, tak mau menunggangi kuda berkaki tiga. Kaki yang satu itu
adalah PKI. Padahal PKI sudah pernah mengkhianati Republik ini dengan
pemberontakan Madiun 18 September 1948. Lagi pula orang-orang komunis itu berkiblat
ke Moskow dan mereka adalah Atheis, anti Tuhan.
Dengan lidah tidak bertulang tokoh komunis Tiongkok Chou En Lai
terang-terangan mengatakan begitu mendarat di Kemayoran, Jakarta dulu, bahwa :
“We are Communist, Atheist (kami orang komunis adalah Atheis). Sudah jelas hal
itu bertentangan dengan Pancasila yang berketuhanan Yang Maha Esa.
Yang menarik dari rapat Sungai Dareh tersebut adalah kehadiran Letkol
Ventje Sumual dari Permesta. Akhir Desember 1957, Sumual dan A. Husein
sama-sama berada di Singapura. Minggu pertama Januari 1958 Sumual dari
Singapura ke Pekanbaru menyewa kapal kecil bersama Prof. Dr. Soemitro
Djoyohadikusumo, Tokoh PSI yang Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
yang telah meninggalkan jabatannya. Di Pekanbaru ditunggu oleh Dewan Banteng untuk
terus ke Padang dan Sungai Dareh. Perjalanan rahasia itu lepas dari intel Pusat
dan luput dari pengamatan pers di Singapura, Pekanbaru dan Padang.
Rapat Sungai Dareh menyimpulkan bahwa gerakan daerah sebagai gerakan moral,
gerakan koreksian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di NKRI ini tak boleh
mundur. Diberi tempoh dalam masa satu bulan ini, kiranya Presiden bersedia
kembali kepada UUDS (1950), mencabut konsepsinya dan membubarkan Kabinet
Djuanda yang inkonstitusional. Bagi gerakan daerah berlaku peribahasa “Raja
alim raja disembah, Raja lalim raja disanggah”.
Ultimatum 5 x 24 jam
Berselang waktu satu bulan, 8 Januari-8 Februari 1958 ternyata persoalan
tanah air semakin kusut. Sudah nampak blokade terhadap daerah-daerah bergolak,
Sumatera dan Sulawesi Utara pada umumnya. Hubungan udara Jakarta ke daerah
bergolak ditutup. Begitu juga hubungan laut dihentikan. Satu-dua orang dari
Jakarta ke Padang ada yang jalan darat Jakarta-Lampung-Palembang. Kemudian
dengan susah payah mencapai Padang dan Bukittinggi. Sebagian yang sudah pulang
kampung tak hendak kembali ke Jawa, baik orang-orang sipil dan militer.
Orang-orang daerah merisaukan anak-anaknya yang sedang belajar pada
berbagai perguruan tinggi di Jawa. Kontak hanya dengan telepon, tapi dengan
surat tak akan pernah sampai. Tidak diantar ke alamat atau disensor dengan
alasan negara dalam SOB (Staats van Orlog en van Bleg), negara dalam bahaya.
Di Jakarta dilakukan penangkapan/penahanan terhadap siapa yang berpihak
kepada daerah bergolak. Ramawi Izhar (Komisaris Dewan Banteng Jakarta) ditahan
KMKB-DR di bawah Letkol E. Dachyar. Letkol E. Dachyar adalah perwira militer
yang condong ke kiri. Begitu juga terhadap diri Kapten Sabaruddin Sjamsuddin,
Bc Hk, seorang pama di Jakarta yang
berasal dari Minang, dan lain-lain.
Surat kabar Haluan Padang, Batanghari Sembilan Palembang, Mingguan Pelopor Sibolga meski masih
terbit, tapi oleh Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya dilarang beredar. RRI
Padang, Bukittinggi, Pekanbaru, Manado tak boleh didengar. Putra-putra daerah
yang ada di Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang dan Surabaya terpaksa mengecilkan
volume radionya bila hendak mendengarkan berita dari daerah.
Di Palembang dibentuk Batalion Sumatera direkrut dari para pemuda, pelajar
dan mahasiswa. Kemudian Batalion Sumatera itu jadi Detasemen Waringin.
Di Padang para pemuda yang tergabung dalam PPP (Pemuda Pelopor Pembangunan)
yang tadinya diterjunkan ke kabupaten-kabupaten sebagai tenaga bantuan setelah
Dewan Banteng membagi-bagikan dana Rp. 1 juta masing-masing kabupaten, setelah
melihat gelagat Pusat dengan policy keamanannya, lalu PPP direkrut Dewan
Banteng jadi tentara. Sementara para mahasisiwa Sumatera Tengah yang sempat
pulang kampung membentuk Tentara Pelajar (TP) dan Kompi Mahasiswa. Partai PKI,
PNI, Partindo, dan lain-lain semakin berani berteriak agar Pemimpin Besar
Revolusi Bung Karno bertindak tegas, terhadap daerah bergolak.
Sebetulnya menurut pengamatan Penulis sebagai seorang wartawan waktu itu dalam
situasi hubungan antara Pusat dan daerah yang telah semakin memburuk maka akan beralih menjadi cetusan api peluru dan bom
dalam serang-menyerang, saya lihat daerah tidaklah siap.
Betapapun ada upaya merekrut anggota militer baru seperti Detasemen
Waringin di Palembang atau Pemuda Pelopor Pembangunan di Sumatera belumlah
cukup menurut pendapat saya untuk menghadapi perang fisik yang sesungguhnya.
Kita tahu berapalah kekuatan Tentara dan Teritorium II Sriwijaya di
Palembang, Resimen IV di Sumatera Tengah, Sulawesi Utara dengan Permestanya yang
sudah terbelah di Teritorium VII Hasanuddin di Makassar. Kekuatan mantan
Panglima Simbolon dengan pengikut yang setia padanya.
Meski Husein, Sumual dan Prof.
Soemitro Djojohadikusumo mengusahakan bantuan senjata dari Amerika Serikat,
bila personil kemiliteran itu tidak cukup dan tidak terlatih tak akan mungkin
diandalkan dalam perang terbuka walaupun untuk mempertahankan diri. Belum lagi
kita perhitungkan dengan pasukan di udara dan di laut di mana pihak Pusat punya
AL dan AU dengan persenjataannya yang sudah mulai lengkap. Waktu itu saya lihat
“angek tadah dari cangkienyo”.
Artinya akibat kebencian rakyat di daerah bergejolak yang mendidih kepada Bung
Karno dan PKI maka mereka mau saja perang.
Sampai pada tanggal 10 Februari 1958 pada pukul 10.00 WSU para perwira
militer dan Politisi itu berkumpul di Gubernuran Padang. Yang memegang peran
utama adalah Ketua Dewan Perjuangan Letkol Ahmad Husein, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap, Kolonel Dahlan Djambek,
Kolonel Maluddin Simbolon, dan lain-lain.
Diumumkanlah tuntutan dari daerah-daerah bergolak yang sudah bergabung
dalam Dewan Perjuangan ditujukan kepada Pemerintah Pusat.
Koran-koran dan RRI kemudian menyebutkan tuntutan Dewan Perjuangan itu
sebagai ultimatum 5 x 24 jam. Tuntutan itu intinya antara lain :
1.
Menuntut
kepada Presiden R.I supaya dalam waktu 5 x 24 jam terhitung dari tanggal
tuntutan ini :
a)
Kabinet
Djuanda mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
b)
Atau
Prsiden mencabut kembali mandat Kabinet Djuanda.
2.
Setelah
tuntutan 1 a atau 1 b tersebut
terlaksana, supaya Presiden menunjuk Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX
untuk membentuk Zaken Kabinet Nasional sesuai dengan konstitusi (UUDS) 1950
yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang jujur, cakap, disegani serta bersih
dari atheis dengan tugas :
a)
Untuk
menyelamatkan negara dari desintegrasi dan kekacauan serta bekerja sesuai
konstitusi (UUDS) sambil menunggu UUD yang sedang dibahas oleh Majelis
Konstituante Bandung.
b)
Membangun
bangsa dan negara RI yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
3.
Apabila
tuntutan pada angka 1 dan 2 tidak dipenuhi, maka dengan ini kami nyatakan bahwa
kami terbebas dari wajib taat kepada DR. Ir. Soekarno sebagai Presiden/Kepala
Negara RI.
Demikianlah antara lain inti tuntutan Dewan Perjuangan tersebut yang
ditandatangani oleh Ketuanya Letkol Ahmad Husein, 10 Februari 1958
Bebas dari Wajib Taat
Waktu tuntutan itu dicetuskan di Padang, yang dipopulerkan pers ultimatum Presiden
Soekarno sedang tetirah di luar
negeri (Tokyo).
Kabinet Djuanda yang bersidang malam itu dengan KSAD Nasution sebagai
bintangnya dalam statemennya tanggal 11 Februari menolak tuntutan Padang
tersebut. KSAD memecat Ahmad Husein dan Simbolon, Djambek, Sumual serta
pimpinan militer lainnya yang membangkang.
Setelah waktu tenggang 5 x 24 jam habis, maka Ketua Dewan Perjuangan Letkol
Ahmad Husein mengundang lagi para politisi dan tokoh-tokoh militer yang ada di
Padang, seperti Moh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan
lain-lain. Kemudian Dahlan Djambek serta para Pamen dan anggota Dewan Banteng lainnya.
Sebuah kabinet tandingan dipersiapkan dan wajib taat kepada Bung Karno
habis. Ahmad Husein mengumunkan lahirnya PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tanggal 15 Februari
1958 itu.
Kabinet PRRI terdiri dari : Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana
Menteri merangkap Menteri Keuangan. Menteri Dalam Negeri (Dahlan Djambek),
kemudian diserahkan kepada Mr. Assaat Dt. Mudo, Menlu (Maluddin Simbolon),
Menteri Perhubungan dan Pelayaran (Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo), Menteri
PPK dan Kesehatan (Moh. Syafei), Menteri Pembangunan (J.F Warrow), Pertanian
dan Perburuhan (Saladin Sarumpaet), Menteri Agama (Muchtar Lintang), Menteri
Penerangan (Saleh Lahade), Menteri Sosial (Ayah Gani Usman) dan Menteri Pos dan
Telekomunikasi (Dahlan Djambek) setelah Mr. Assaat sampai di Padang.
Kepala Staf Angkatan Perang PRRI diangkat Kolonel Alex Kawilarang (Mantan
Atase Militer di Washington yang meninggalkan posnya dan memihak kepada PRRI).
Permesta di Sulawesi Utara segera mengeluarkan pernyataan mendukung penuh
Proklamasi PRRI di Padang tersebut.
Tanggal 16 Februari 1958 Presiden Soekarno pulang tetirah dari luar negeri.
Di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma Presiden memberikan pernyataan keras
terhadap “Peristiwa Padang” tersebut. “Kita akan hadapi dengan tegas. Kita akan
gunakan kekuatan yang ada pada kita untuk menumpas segala bentuk
penyelewengan”, ucapnya kepada pers.
Koran-koran terompet PKI Harian
Rakyat, Bintang Timur dan media yang anti-Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan
Garuda, Permesta, dan lain-lain mengulas berita itu dengan gencar. Tumpas
gerombolan Ahmad Husein cs sampai ke akar-akarnya. Dalangnya sudah jelas
orang-orang Masjumi dan PSI serta para perwira TNI yang nakal seperti Zulkifli
Lubis, Dahlan Djambek, Husein, Simbolon, Barlian, Sumual, dan lain-lain.
Tokoh-tokoh Permesta di Ujung Pandang seperti Menteri Penerangan PRRI Saleh
Lahade dan Muchtar Lintang, Menteri Agama PRRI ditangkap.
Sementara itu, Mr. St. Moh. Rasjid, Dubes RI di Italia di kabarkan
meninggalkan posnya di Roma lalu menyatakan diri sebagai Dubes keliling PRRI di
Eropa. Rasjid adalah salah seorang pejuang kemerdekaan pernah jadi Residen
Sumatera Barat dan Gubernur Militer Sumatera Tengah di zaman PDRI (1948 – 1949).
Pantow dan Walandow di Philipina dan Hong Kong serta Des Alwi merupakan
tokoh-tokoh PRRI di luar negeri. Semua tokohnya adalah para pejuang
kemerdekaan, pendiri dan pembela NKRI.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ahmad Husein dalam rapat Penguasa Militer di
Istana Negara April 1957. Landasan perjuangan
daerah tetap Republik Proklamasi dan berkewajiban untuk menyelamatkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia tercinta.
Sebutlah para tokoh nasional Moh. Natsir yang sejak mudanya berjuang untuk
kemerdekaan bangsanya dan berjasa besar menjadikan kembali NKRI dengan mosi
integralnya. Sjahrir, siapa yang tak kenal padanya sebagai seorang pejuang yang
tangguh. Burhanuddin Harahap, Prof. Soemitro, Sjafruddin Prawiranegara, Ketua
PDRI yang beristana di hutan Sumatera, Mr. Assaat, mantan Ketua KNIP, acting
Presiden RI dalam negara RIS. Begitu juga tokoh-tokoh militernya.
Pada dasarnya PRRI/Permesta bukanlah “pemberontak” dengan pengertian hendak
menghancurkan negara yang telah dibangun dengan harta, jiwa dan raga para
pejuang bangsa. Tapi sungguh-sungguh hendak menyelamatkan negara yang kita
cintai ini.
Tapi apa yang terjadi? Tanggal 21 Februari 1958 enam hari setelah
Proklamasi PRRI, kota Painan di Pessel dan sebuah jembatan di Muara Mahat di
bombardir.
Gerakan koreksian atau gerakan penyelamat negara yang tumbuh di daerah ini
dipukul habis oleh Pusat “di hajar” sedemikian rupa dengan pengerahan pasukan
darat, laut dan udara ke Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara.
Dewan-Dewan di daerah dengan pasukan kecil walau ada tambahan dari Tentara
Pelajar yang sukarela, tidak terlatih bukan
prajurit profesional sebagaimana pasukan yang digunakan dalam operasi militer
menundukkan PRRI, maka sebagai harga diri tentu saja melawan. Semut pun kalau
diinjak akan melawan. Entah berapa korban tewas, cacat, harta benda yang habis
kikis lindang akibat “dihajar” Pusat. Sampai sekarang tak ada datanya selama
tiga setengah tahun (1958 – 1961) .
Komandan operasi 17 Agustus, Kolonel A. Yani begitu sampai di Padang 17
April 1958 berucap : “They can only talk” (mereka hanya pandai bicara). Memang
bicara itulah yang dipakai untuk menegakkan kebenaran menegakkan Republik
Proklamasi. Itulah PRRI/Permesta. Tapi kenapa kok dihajar?. Jelas para pemimpin
di Pusat negara yang jadi tumpuan harapan dari daerah-daerah bergolak kurang
arif dan kurang bijak!
Tulisan ini pernah dimuat di “Mesin Ketik Tua: Catatan Wartawan Tua”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar