Bunga Tidur
asmara bersemayam
di kelopak mata
partikel-partikel waktu
memusar di lubuk dada
tujuh lingkaran
tujuh kehidupan
dibangkitkan
dari sebuah taman
lalu muncul daun-daun
tempat kumpulan embun
berselancar
seperti bocah
tujuh tahun
membuka kelopak mata
berkeriap
sekejap
sabda mengalun
di telinga yang terjaga
(06 April, 2011)
Penyimpan Gerbang
aku tulang rusuk
yang menyimpan gerbang
di mataku api berkobar
dari cerita purba yang sama
ribuan cuaca tertiup ke tubuhku
menghuni lembah-lembah dan bukit curam
yang tak pernah terjamah matahari
mengentalkan air-air suci
yang tak berhulu-hilir di lorong nadi
kau musafir pagi
yang membuka pintu demi pintu di dadaku
agar cahaya itu sampai
sementara malam tetap menyimpan
gerbang lain
yang tak akan pernah selesai
kau masuki
dan ketika mulutmu memuntahkan
cairan pekat yang serupa bulir-bulir cahaya
gerbang pertama akan terbuka
mahkota akan luruh
mataku menjelma subuh
barangkali kau akan terjatuh di lembah itu
lupa pada silsilah
atau menjadi begitu megah.
(September, 2011)
Jendela dan Cerita Perempuan
yang Menunggu
apa kiranya yang membuatku begini khusuk menunggumu di jendela.
sedangkan di luar, cuaca masih sama. kabar tentang sepasang lumba-lumba yang
riang berenang di tengah samudera terbawa angin, lalu menerpa wajahku, hingga
merona umpama warna sore yang menyentuh kawanan camar ketika merendah ke
dermaga, tempatmu melepaskan duka dan bahagia dalam gemuruh ombak yang kini
berdesir di dadaku.
dadaku, bukit-bukit terjal gurun sahara, telaga telah mengering
namun dua aliran sungai bening selalu melaju dengan tenang di mataku,
kedalamannya adalah lahan gersang di antara langit dan bumi. di sana tumbuh
sebatang pohon yang tak kunjung memekarkan bunga. dulu pernah pohon itu
berbuah, buahnya buah larangan yang diam-diam kau makan hingga kau sekarat
dalam lapar dan dahaga, tubuhmu menyerpih lalu terlontar ke ujung dermaga.
di dermaga, kau seperti terlahir kembali, tak ada yang kau
ingat selain seberkas cahaya pertama yang menyapamu ketika membuka mata. kau
puja matahari yang menawan di ketinggian langit, cahayanya kau rapatkan di
tulang rusukmu. alang-alang kuning rebah, gerak awan bersama angin teduh,
merengkuhmu.
berkali kuserukan namamu. datanglah! pandang aku dengan mata
menggebu. kita memang tak ditakdirkan untuk bersama, namun cuaca membiarkan
kita berjumpa dalam lingkarang.
apa sesungguhnya yang menyebabkan aku menunggu. ujung jalan
nampak mengabur pelan, lampu-lampu menyala sepanjang jalan. di luar jendela,
sekuntum bunga mekar perlahan.
(Tanjungkarang, 2011)
Cerita Lelaki di Ruang Keluarga
tahun-tahun berjalan
menyisakan banyak tanda
melekat serupa benalu
di pohon mangga
musim berganti
wajah
menjelma roda kereta
di manakah kamu?
di belantara kota orang-orang berjalan
dengan masker penutup mulut
tubuh mereka kehilangan pintu
sedangkan waktu membatu
di kepala mereka
langit sekeruh tembaga
udara berkoloni
menyesaki rongga dada
di manakah kamu?
kamu yang pernah mendiami
rumah beratap kuning
yang kerap menembangkan
syair-syair agung
mengapa tiba-tiba hilang
bagaikan gaung di seberang gunung
rindu tetap tumbuh
meski tubuh
kian rapuh
di manakah kamu?
anak-anak bermain di bawah pohon mangga
lengkingan kereta melewati lorong telinga
sementara berita-berita dari hasrat dan bahasa
berlintasan di ruang keluarga
menikamku yang tak kuasa menyimpan lara
(Tanjungkarang, 2011)
Ketika Menaiki Tangga
“di awal dan akhir langkah, seperti ada yang ingin aku naiki
kemudian aku turuni kembali”
aku akan menjadi penanda yang mengekalkan jejakmu
menjadi benda-benda masa lalu di dadamu yang menghitam
di sela-sela nafasmu, ada kalimat yang membeku
menjelma ingatan yang berlapis-lapis
setiap lapisannya akan memaksamu menerka sindiran cahaya
di lantai lembab,
hingga engkau terus-menerus menuntun kakimu
agar segera tiba di tempat yang lebih tinggi
(2009-2011)
Ilusi Daun
sore itu kata-kata mengalir
seperti langit selepas hujan
yang menyimpan gemuruh lain.
jalan pun terbentang
dan mengantar kita pada batas paling jauh
dari taman musim semi.
kita seperti dipisahkan garis-garis hujan
yang turun tergesa-gesa
kau berjalan ke utara
sementara aku berlari ke selatan
kau menghindari air hujan
aku didekap gigilnya
padahal engkaulah cahaya yang mengawali
seluruh pagiku, akulah tungku
yang menjaga api di dadamu
namun kita terlanjur dihisap daun-daun
yang kian rimbun, serimbun kata-kata
di dalam kepala.
(2011)
Lingkaran Kepergian
suara-suara di kelopak bunga
suara-suara
para bocah yang bermain
di pekarangan
menjadi igauan
yang mengusik
diri sendiri
kala berjalan
menuju yang cahaya
seperti harapan
yang kering
di puncak gunung
seperti dedaunan
yang
gugur
di telapak kaki:
tanpa suara.
(2011)
Lingkaran Laut
ada yang hilang lalu tiba-tiba muncul
menjadi keriuhan
ada yang jatuh lalu dibangkitkan lagi
ada burung-burung lapar yang berburu
ada mahluk yang sembunyi di balik batu
katakan padaku, laut, katakan!
adakah sama bagimu terang dan gelap
dalam ratusan lingkaran
yang kau ciptakan
kau biarkan mereka bertualang
susul-menyusul menciptakan kelokan
lalu kau terima kembali
mereka pulang ke haribaanmu
kabarkan padaku, laut, kabarkan!
mengapa tubuhmu
kerap menjadi tempat tenggelam
bagi jutaan kerinduan
(2011)
Seekor Burung
ia berusaha mengepakkan sayapnya
sebab pedih dan dendam terpelihara
amat sentosa
kuku-kukunya meruncing
matanya setajam ilalang
hari demi hari, waktu demi waktu
ia obati luka di dalam dadanya
luka yang sehitam tengah malam
ia selalu percaya
apa yang dirawatnya pasti akan dewasa
dan cahaya tak pernah terjatuh sia-sia
hari demi hari, waktu demi waktu
sayapnya makin sempurna
sementara di langit
awan-awan menjanjikan perjalanan
yang tenang
(Juli, 2011)
TENTANG FITRI YANI
Fitri Yani, lahir 28
Februari 1986. Alumnus FKIP Universitas Lampung. Puisi-puisinya tersiar di
berbagai media cetak dan antologi. Diundang pada Pertemuan Penyair Nusantara V, Ubud Writers and Readers Festival 2011, dan Temu Sastrawan
Indonesia 2011. Buku kumpulan puisinya “Dermaga Tak Bernama” (2010). Ia tinggal
di Bandarlampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar