:Malam
Malam,
Seperti kacang goreng
Laku keras dibeli kupu-kupu
Datangnya ditunggu membawa madu
Hilangnya meninggalkan kabar tak sedap, seperti
keringat-keringat yang bercucur dari kulit-kulit berbalut bedak dan debu panas
Malam, laksana darah bagi nyamuk nakal
Segar dan sedap
Dan merah membakar sayap
:Cerita
Bola Mata
Kau masakkan makanan, terasa asin dan
kau memberengut ketika menghidang di meja berseprai abu-abu. Aku duduk dibelakangnya. Kau diam saja
seperti ada usus dalam perutmu melilit belit jantung dan hatimu.
Ku tatap matamu. Aku bisa membaca,
kisah burung dalam sangkar emasmu. Kau bilang, sebenarnya matamu yang mengadu
padaku, bahwa kau seharusnya keluar pagi tadi. Mengukur jalan lalu memelintir
nasib. Dan kau pikir, aku yang harus menghidang di meja berseprai abu-abu (?)
Bola matamu tak berkedip menantangku.
Samar-samar, diputar gambar bayang-bayang peluh menyembul dari pori kulit
lembutmu yang kemudian dalam sekejap mengelupas, berdarah-darah. Badanmu bukan
langsing lagi, tapi kurus keras. Gedung bertingkat tujuh terselip dipangkal
lenganmu. Sedang aku, keasyikan tidur-tiduran berlulur susu. Sesekali
mondar-mandir ke dapur membuatkan teh hangat untukmu.
Itu cerita bola matamu. Atau kau memang
ingin?
:Sang
Pembawa Pesan
Saat senja menjelang
Ada ruang yang mengembang di antara gelap dan terang
pias;
Setitik cahaya mengumbar senyum dalam remang
Mengantar kata tentang pesan alam pada sang bintang
Yang
tiba-tiba muncul di balik langit yang kesepian
Lalu menjelmalah kerajaan malam
Dengan
pangeran dan permaisurinya yang baru bangun dari tidur
Di
sela-sela nafas yang dihembuskan angin
Percayalah pada seruan malam,
Yang timbul tenggelam diantara fajar dan petang
Malam tidak hanya sekedar datang tak diundang
Namun lebih kepada pembawa pesan tentang kunang-kunang
Yang
menjadi pesolek disela-sela kelam
Mengedip
menggoda
Malam bukanlah pecundang seperti kata orang-orang
Bukanlah sarang kupu-kupu
Bukanlah permainan sembunyi dan temukan
Namun, sebentuk keadaan untuk mengenang bayang yang telah
hilang dan pergi
Menemukan rupa baru untuk esok pagi
Malam, seperti sebagian orang bilang
Menjadi guru bagi kehidupan
Tentang salah, untuk tak diulang
Tentang duka, agar tak dikenang
Tentang khilaf, untuk pelajaran
Tentang tawa bahagia, untuk bersyukur pada Tuhan
Tentang rencana
Jadi apa
dan untuk apa kita ada di masa depan.
:Benar-Benar
Kau datang membawa pisau dapur
Mata sisinya mengkilat dan ujungnya
runcing bambu.
Tergopoh-gopoh kau berlari kearahku.
“Aku ingin mati,” kata kau. Tak ada
angin, tapi kau bergoyang kemayu kemudian terbang dan terban seketika.
Tak ada hujan, namun kau basah oleh air
merah yang memancur-mancur dari pusarmu
Kau mati, seperti yang kau bilang
Aku belum melakukan apa-apa.
:Berkeliling
Bawa bintang ke mata kaki, mainkan
layaknya sepak raga.
Lantun-lantunkan bekel ke tanah keras.
Semakin kuat, semakin terang bintang
bola bekel.
Kian tinggi, kian riuh suara para
pengembara angkasa.
Rumah-rumah yang terbaring di
pucuk-pucuk sinar mentari.
Mobil-mobil yang melaju di lintasan
neptunus.
Batu-batu permata bersinar seperti bola
lampu di sekitaran Venus.
Dan harapmu menggantung di ekor komet.
:Ceritamu
Cerita punya cerita, kau adalah cerita yang tak patut ku
ceritakan
Layaknya cerita orang dewasa yang tak seharusnya menjamur
digantungan-gantungan pikiran bocah ingusan.
Ceritamu seperti bangau, yang punya dua kaki namun
berdiri hanya dengan yang satunya. Cerita tentangmu seperti pelacur malam. Kaum
homoseksual. Germo dan mucikari. Seperti belatung dan cacing. Seperti kucing
beranak kambing.
Atau ceritamu bagaikan penggambaran manusia liar. Tanpa
tuhan.
Entah bagaimana kau akan lari, tetap saja Tuhan akan
mengejarmu,
Ah, tidak. Kau akan membutuhkan Tuhan. Tepatnya.
Gelisahmu adalah cerita kesepian. Sedihmu berupa buram
dengan hujan dan kilat yang bersahut-sahutan.
Ceritamu bagai lelaki tanpa perempuan.
:Seperti
yang Sudah-Sudah
I
Seperti yang sudah-sudah. Tak ada
cangkir yang kosong. Piring-piring penuh. Jamuan hiruk. Denting sendok. Slurup
minuman dari kerongkongan yang dahaga. Suara-suara penuh cerita dan bual.
Pesta. Surga. Merah-merah di sana-sini. Ada kemerlap di balik selubung malam.
Lagi-lagi keramaian itu menyembab dari kulit-kulit rapuh. Mudah saja menggembung.
Gelak tawa seketika limpah ruah, mencebur-cebur hingga melentingkan percikan
binar riang dari wajah-wajah berbedak tebal dan berpengharum sebotol.
II
Sesungging seringai melayang dari sudut
meja ke ujung jamuan, terlempar dengan sinis. Ada segunung buih menjelma di
antara dua bibir yang penuh gelegak kesombongan. Ada sedelik sorot bola mata
membelalakkan keangkuhan ke penjuru negeri. Peserta jamuan seperti lahir dari
rahim yang sama. Sama saja, seperti kembar siam. Semuanya menggelar tikar merah
sendiri di bawah pantat-pantat mereka. Melingkarkan bertingkat-tingkat gulung
emas di jari-jari tajam hingga berkilat-kilat dan memunculkan pendar seolah
menggoda jari lain untuk mengoyak sinarnya ke muka. Lalu, ada dua tiga lingkar
ular besar di leher-leher nan jenjang, juga di tempat-tempat lainnya, yang
rasanya mudah tersingkap.
III
Dunia seperti jamuan saudagar besar,
kawan. Satu hari dengan semalam pesta besar. Seunggunan makanan. Berkulah-kulah
minuman segar. Juga buah-buahan manis, merah, kuning, hijau mengkilat karena
dicuci dengan pembersih anti kuman ternama. Satu minggu dengan berpuluh-puluh
sapi yang dikorbankan untuk mengundang saudagar-saudagar lainnya. Sementara,
dibalik dinding dari kelambu tenda sang saudagar, berbaris-baris pengemis
meneguk air liur dengan sorot mata lapar yang ganas. Berjejer tulang-tulang
minta ditambah daging.
2010
TENTANG
Dedi Supendra
Lahir di Pekanbaru, 20 Maret 1989.
Mahasiswa Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Padang. Ia bergiat di Surat
Kabar Kampus Ganto UNP.
Karya-karyanya pernah dimuat di Haluan,
Padang Ekspres, Singgalang, Kompas.com, dan Harian Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar