CERPEN Sunlie Thomas
Alexander
Mengapa masih saja kau
cemaskan isyarat yang tumbuh pada matanya? Bukankah ia adalah takdir? Bagaimana
kau harus menghindarinya?
“Apakah lebaran nanti, Abang pulang?” tanyanya menatapmu
malu-malu. Kau melengos, berpaling ke arah surau kecil di belakangmu. Sejenak kau
bingung. Hendak menjawab ya, kau takut memberikan harapan sementara kau belum
memiliki kepastian soal itu. Bila menjawab tidak, mungkin akan mengecewakan.
Bagaimana kalau kau betul-betul pulang nantinya?
“Aku belum tahu,” jawabmu jujur akhirnya. Kau lihat
sepasang mata itu mengerjap. Lalu ia kembali mendongak ke atas pohon mangga
yang berbuah lebat di muka surau. Kau ikut mendongak melihat buah-buah kecil
yang bergantungan menarik hati itu. Kemudian kalian bersitatap.
Ah, sepasang mata itu semakin mencemaskan…
Atau hatimu yang terlampau bimbang? Melemparkan harap
tetapi begitu ragu. Ingin sekali sesungguhnya, kau selalu memberikan kepastian
pada perempuan di hadapanmu itu. Tetapi kau ingat kekasihmu, tepatnya
tunanganmu. Di tanah rantau. Seorang perempuan dengan jilbab lebar yang santun,
selalu bertutur kata halus meski tak jarang berani menyindir terutama soal
urusanmu dengan rokok. Kau mencintainya, tak ada kesangsian untuk hal ini.
Tetapi agaknya kau teramat sadar, kalau perempuan yang bersamamu di depan surau
itu sedikit demi sedikit mulai menguasai sekian tempat di hatimu. Tentu saja,
terlalu konyol dan mengelikan untukmu berpikir soal poligami! Kau ingat sebuah
tulisan Ayu Utami, bahwa lebih baik menyakiti Tuhan yang sudah begitu kuat
daripada menyakiti pasangan kita yang lemah. Dan kekasihmu itu terlampau
baik... Lagipula, kau tak yakin salah satu di antara mereka atau kedua-duanya
berkenan dimadu! Kau selalu percaya, tak bakal ada keadilan untuk rasa ingin
memiliki.
“Mangga-mangga ini pasti sudah ranum lebaran nanti,
Bang,” tukasnya lemah, seolah melemparkan sebuah penawaran menggoda bagimu.
Kalau saja kau belum memiliki seorang kekasih di rantau, mungkin dengan segera
kau akan menjawab, “Simpan untukku ya?”
Namun kau hanya diam, semakin gelisah. Udara diam-diam
menciut.
***
Kau mengenal perempuan itu belum lama sesungguhnya. Lima
bulan lalu, dalam sebuah acara sastra di pendopo rumah walikota ketika kau
hadir membacakan cerpen. Dia duduk di sebelahmu, dengan wajah yang terlalu
tenang untuk diajak berbincang. Tetapi kau nekat juga menawarkan kacang rebus
padanya. Awalnya ia hanya menjawab terima kasih, lalu jawaban-jawaban lain yang
sepotong-potong atas setiap pertanyaanmu. Sampai kau menanyakan asalnya, dan
jawabnya agak mengejutkanmu. Ternyata ia sekampung denganmu!
Kau bersorak, dan segera mengatakan kalau kau juga
berasal dari pulau kecil itu. Pulau yang selalu mengirimkan rindu, sekaligus
luka. Entahlah, tiba-tiba saja kalian sudah akrab. Dan ia berubah menjadi sosok
perempuan muda yang begitu ceriah, cerewet, dan manis. Pertukaran nomor telepon
dan janji untuk saling menghubungi, kalian buat menjelang acara usai. Dan janji
itu memenuhi kegenapannya, juga janji-janji lainnya kemudian. Kalian mulai
bersepakat untuk membuat pertempuan demi pertemuan. Di Obonk Steak, lalu di
tempat-tempat lain. Pertemuan-pertemuan yang pada awalnya begitu menggairahkan
sebelumnya akhirnya berubah menjadi sesuatu yang mencemaskan.
Lantaran kau merasa melihat isyarat itu tumbuh pada
sepasang matanya? Atau justru hatimu sendiri yang mulai melemparkan isyarat itu
dengan tak tenteram? Perasaan menyayangi, kau tahu adalah suatu yang luhur,
tetapi tidak demikian dengan perasaan ingin memiliki. Itu sesuatu yang menyiksa
buatmu. Dan ia terlalu manis untuk disakiti, atau barangkali kau sendiri yang
takut mengalami rasa sakit.
Kau mendongak sekali lagi, melihat mangga-mangga muda
yang menunggu ranum di atas kepalamu. Serupa isyarat. Begitu meresahkan.
***
Bapaknya seorang ustad kampung, seorang vegetarian dan
percaya pada takdir yang menjadi hak utuh Sang Pencipta. Hal mana yang kau tak
pernah menduga sebelumnya dari penampilan perempuan itu yang sedikit metropol.
Orang tua yang ramah itu berulang kali melemparkan pertanyaan tentang maksud
kedatanganmu dari jauh melintasi jarak hampir tiga ratus kilometer dengan
sepeda motor, baik secara terang ataupun secara tersirat yang membuatmu merasa
terjebak oleh situasi. Seperti tikus masuk perangkap, pikirmu naif. Kau hanya
tertawa kecut, mencoba menghindar atas setiap pertanyaan itu dan arah
tujuannya. Sementara perempuan itu melirikmu sambil tersenyum-senyum dari pintu
dapur, di mana ia sedang mengikat buah-buah kelengkeng. Kau tersedak, ketika
orang tua itu bercerita tentang makna pernikahan bagi seorang lelaki.
Persoalan keluarga yang mendadak, memang menuntutmu
pulang ke pulau kecil itu setelah sekian lama kau selalu mengacuhkan kerinduan
yang tumbuh untuk menjenguk ibumu, perempuan yang kau tahu, bertahun-tahun
dirajam kesepian. Selama penerbangan Yogya-Jakarta-Pangkalpinang, wajah ibumu
selalu membayangi benakmu, bergantian dengan wajah perempuan itu.
Akhirnya setelah urusan keluargamu mulai tampak jalan
keluarnya, kau tak tahan lagi untuk tidak mengontaknya. Kau dengar ia begitu
girang dalam suara ponsel. Ia segera menanyakan kapan kau akan main ke
rumahnya, dan ia berjanji akan mencarikan kepiting untukmu sebagaimana janjinya
di Yogya. Ya, ia sendiri baru sebulan kembali ke pulau kecil itu selepas wisuda
sarjananya di sebuah kampus swasta di Yogya.
“Ibuku memintaku pulang. Beliau kesepian, cuma berdua
dengan Bapak di rumah. Kau tahu, kakakku satu-satunya sudah berkeluarga di
Surabaya, dan aku memang sudah terlalu lama berpisah dengan beliau, sejak aku
SMA di Pangkalpinang lalu melanjutkan kuliah di sini,” tukasnya dengan nada
yang getir pada pertemuan terakhir kalian di kontrakannya, “Padahal aku lebih
betah di sini. Aku juga sudah dapat tawaran kerja dari seorang teman.”
Kau ingin sekali menyentuh tangannya, mengenggam
jari-jemarinya yang halus. Tapi gagal menghimpun keberanian. Ia melirikmu
dengan wajah sedih.
Ya, akhirnya kau mengunjunginya. Melahap jarak hampir
tiga ratus kilometer dari kota kecilmu Belinyu, di utara Pulau Bangka sampai ke
rumahnya di desa Perlang, sekitar lima belas kilo dari Koba, ibukota Bangka
Tengah. Dan rumah itu, dengan sebuah surau kecil di depannya, begitu sejuk.
Terletak di ujung kampung yang sepi dan banyak dipenuhi pepohonan. Kau merasa seperti menemukan sebuah oase
selepas menempuh perjalanan jauh yang terik, melewati jalan-jalan tanah kuning
dengan debu tebal berkepul.
Kerinduan itu membuncah seperti ombak. Menerpa batu-batu.
Karang kangen dan waktu. Dan senyumnya begitu manis menyambutmu, melenyapkan
segala rasa capek dan haus.
***
Ah, pernah kau merasa begitu gerah dengan pulau kecil
itu, dengan rumah. Dan dengan kepergian, kau ingin membasuh lukamu. Meskipun
kau sadar, kepergiaan itu justru bakal menciptakan luka baru di hatimu dan
menoreh luka yang lebih dalam di hati ibumu. Tetapi dendammu, pada bapakmu,
membuatmu garang mengemasi ransel lalu bertolak seperti serdadu ke medan perang
yang tak berharap kembali ke rumah. Ibumu hanya menangis diam-diam, dan di
wajahnya yang lelah, yang mulai keriput dimakan usia, kau melihat keikhlasan
yang sia-sia dibangun.
“Ke mana Bapak, Bu?” berulang-ulang dulu kau tanyakan hal
itu kepada perempuan yang melahirkanmu. Tetapi Ibu selalu saja menggeleng. Di
matanya, kau seolah melihat tungku dapur. Dan kau mengerti, hati perempuan itu
tabah sebagaimana batu tungku, dari api dan lelaki. Maka kau pun pergi
meninggalkannya, menggenapi kesepiannya. Seolah dengan itu kau melampiaskan
dendam pada Bapak dan kepergiannya. Sekalian mewujudkan kodratmu sebagai
laki-laki. Kata orang, kodrat lelaki muda adalah menjadi anak panah, melesat
lepas dari busurnya.
Ketika kau kembali akhirnya, adakah ibumu, perempuan yang
berkarib dengan bumbu dan tungku itu akan mengerti? Atau ia akan teramat
mafhum, kalau pada gilirannya seorang lelaki memang akan kembali juga. Bukan ke
pangkuannya, tetapi kepada seorang perempuan lain yang sempurna menggoda hati.
Seperti dulu ia menggoda hati lelakinya, bapakmu. Untuk menetap dan membangun
tungku. Tetapi toh, pada akhirnya Bapak tak sanggup bertahan pada
janjinya, pada batu tungku.
Ketika Bapak kemudian kembali lagi untuk kedua kali,
lelaki yang tak sanggup bersetia itu hanya tinggal nama, dendam, dan urusan
rumah warisan kakekmu yang pelik. Urusan yang menuntutmu pulang sebagai
satu-satunya anak lelaki darinya, meski kau ingin sekali menghindari segala
sengketa. Sekecil apapun dengan para paman dan bibimu. Tidak, tidak bukan
karena urusan harta. Kau sama sekali tak peduli itu. Tetapi kau merasa mereka,
paman dan bibi-bibimu, harus tahu kalau ibumulah yang bertahun-tahun merawat
rumah tua itu dengan kasih sayang, luka dan kesepiannya tanpa mereka mau
peduli. Dan rumah itu adalah segalanya bagi ibumu: kesepian, dendam, dan
kenangan cintanya yang manis. Dan itu tak boleh dirampas, karena sama saja
dengan merampas hidupnya.
Selebihnya adalah sebuah alasan yang malu untuk kau akui
ini: ya, perempuan itu! Perempuan yang menggoyang keraguanmu akan cinta, akan
kesetiaan. Sebagaimana seorang perempuan lain menggoyang keraguan Bapak akan
cinta dan kesetiaan.
***
Ya, perempuan yang mengantarmu ke ambang keraguanmu.
Membuatmu termangu, menatap buah-buah mangga muda yang menunggu ranum di muka
surau di depan rumahnya. Rumah yang seolah menawarkan kesejukan, juga hangat
tungku dan harum bumbu dapur.
“Adakah lebaran nanti, Abang pulang?” kau sedikit
terbadai oleh pertanyaan itu. Sementara wajah kekasihmu di rantau, perempuan
sederhana yang pernah membasuh rindumu pada Ibu lekat pada ruang benak. Tetapi
wajah perempuan di hadapanmu itu seperti takdir. Diciptakan untuk menjadi
nyata.
Betapa kau mencemaskan isyarat yang bertumbuh pada
sepasang matanya… Bagaimana kau menghindari takdir itu?
Kau tak tega memilih seperti Bapak. Tak tega. Lantaran
ingatan pada luka dan kesepian Ibu? Kau ingin menceritakan kecemasanmu itu
kepadanya, tapi mulutmu tak sanggup berkisah. Sebagaimana mulut Ibu yang selalu
saja bungkam untuk mengisahkan kesepian, dendam, dan lukanya.
Kini kau sudah sampai di batas keraguan yang menyiksa.
Ketika teman-temanmu mulai memesan tiket bis atau pesawat, ketika mereka
berkisah tentang rumah yang damai. Kau hanya diam, pun saat kekasihmu
menawarkan suasana lebaran yang bersahaja di rumahnya, sekaligus menawarkan
pemenuhan janji yang pernah kalian buat bersama di depan orang tuanya dan
sejumlah kerabat lain.
“Habis lebaran nanti kita akan segera menjadi
suami-isteri. Aku ingin jadi pengantin yang manis. Ibu Mas jadi datang kan?”
bisik kekasihmu dengan mesra selepas tarawih. Kau tidak menjawab, tetapi hanya
menatap senyumnya yang tampak begitu bahagia.
Sementara, di Perlang, kau tahu, mangga-mangga muda yang
bergantungan menggoda di depan surau itu mungkin sudah mulai ranum. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar