CERPEN Deddy Arsya
Dia hendak menuruni tangga kapal ketika ingatan pada
mimpinya tiba-tiba menghentikannya. Beberapa hari belakangan ini, dia terbayang
lagi leher-leher yang putus tertebas parang, decap bunyi anak panah menghujam
kulit tubuh, atau letusan meriam yang menyalak tiada henti. Bermula, dua malam
berturut-turut di Batavia, sejak itu, dia terus bermimpi lagi tentang perang melawan
pasukan Pangeran, kelepak terompah kuda, desing dan letusan balansa, besi-besi
yang berdentang, juga dentuman-dentuman yang memekakkan telinga. Dia mulai lagi
membayangkan nyalang mata musuh yang meregang nyawa menatapnya tak kejap-kejap,
bunyi daging-daging yang terkelupas dan gosong terpanggang, tubuh-tubuh yang
sungsang, juga kepala yang lepas dari badan.
Dalam lima hari perjalanan dari Batavia dia tak pernah
mandi. Dia merasakan seluruh tubuhnya dibaluri lumpur hitam dan bau. Lipatan-lipatan
tubuhnya seperti terisi dan melekat getah yang cair. Dan beberapa saat
kemudian, matanya telah dilayangkannya ke daratan. Di daratan, di mana dia melihat
pasukan yang dipimpinnya telah hampir seluruhnya turun dari kapal. Dia mulai
tersadar kalau dia telah jauh tertinggal. Dia melihat barisan prajurit-prajurit
bayaran itu dari atas kapal seperti kadal tua yang malas, bergerak pelan dan
perlahan.
Membayangkan lagi perang Jawa yang menakutkan, tubuhnya
semakin terasa berat. Prajurit-prajurit Pangeran Diponegoro yang tangguh telah
menewaskan sebagian besar pasukannya. Dia menduga dengan rasa kecut yang
tiba-tiba, prajurit-prajuritnya yang masih tersisa ini pun akan lenyap ditebas
parang padri di sini nanti, di Sumatera ini.
Dia tahu, seperti pertempuran-peretempuran sebelumnya,
Belanda menjadikan prajurit-prajurit bayaran sebagai umpan bagi
hulubalang-hulubalang pribumi yang terkenal tak takut mati. Dia telah
menyaksikan itu di perang Jawa yang dahsyat, bagaimana kapal-kapal Belanda
melepas jangkar di pantai, menurunkan pasukan yang banyak, pasukan-pasukan itu
sebagian besar terdiri dari prajurit-prajurit bayaran dari timur. Sementara
prajurit-prajurit Belanda dari Batavia baru akan dikirim setelah
prajurit-prajurit bayaran itu mulai membuka celah untuk menyerang
benteng-benteng Pangeran. Dan dengan taktik seperti itu, dia tahu, Belanda akan
menang tanpa mengorbankan terlalu banyak pasukan kulit putih.
Dua hari sebelum dikirim ke Sumatera, dia telah berlabuh
di Batavia untuk menghadap tuan Komandan, melaporkan pertempuran Jawa yang
mereka menangkan. Dan sebelum menerima pengalihan tugas pasukannya ke sini, ke
Sumatera ini, dia menerima tabik dari tuan, mendapat bayaran berkeping-keping
golden. Dan di hari berikutnya di Batavia, dia telah melepas prajurit-prajurit
bawahannya bersuka ria di luar batas kota. Sementara dia berjalan-jalan di kota
itu seorang diri.
Dia menyaksikan Batavia, bagaimana Eropa kulit putih
berwajah jernih, noni-noni cantik rupawan berkeliling kota menaiki dokar di
sore-sore hari, anak-anak mereka berlarian dengan gembira di taman-taman kota.
Jauh berbeda dengan nasib prajurit-prajurit di medan tempur, menderita malaria
dan kusta, rindu pada tanah kepulangan senantiasa.
Dan kini, mereka akan memasuki kancah pertempuran yang
lain lagi. Ke Sumatera, ke Sumatera, mereka akan berhadapan dengan
prajurit-prajurit Bonjol yang terkenal tak bisa dikalahkan. Benteng-benteng
yang tak mampu tertembus peluru-peluru meriam. Entah ruh macam apa yang telah
merasuki prajurit-prajurit berseragam putih-putih itu hingga mereka seperti tak
mengenal kata takut sedikitpun, begitu dia mendengar di Batavia.
Dia mengalihkan pandangnya lagi, ke langit kali ini,
menerawang jauh. Gelap mulai terasa ketika cahaya merah di ufuk barat tinggal
sedikit. Cahaya kemerahan itu membentuk awan-awan tipis dengan garis-garis
merah yang elok.
Dia juga telah mendengar di Batavia tentang keindahan
bandar Padang. Seperti teluk-teluk di barat pulau Andalas umumnya, dan dia
menyimpan takjub. Betapa, kapal-kapal dengan layar tergulung berserakan tak
beraturan di atas air. Tampak dari kejauhan, bukit Padang berdiri kokoh
ditampar-tampar ombak agak ke selatan. Perkampungan orang-orang keling dan Arab
berderet tak beraturan di pinggang bukit sebelah selatan itu. Sementara
lampion-lampion merah menyala di rumah-rumah orang Tionghoa di seberang,
seperti warna kuini yang paling matang.
Dia larut lagi dalam lena yang menyakitkan.
Aroma rempah-rempah mulai tercium ketika angin dari
daratan bertiup sempoyongan. Dia melepaskan pandang ke gudang-gudang
penampungan rempah-rempah milik Belanda di bandar itu, berpikir betapa nikmat
melinting tembakau dan melepaskan asap putihnya ke udara malam. Sekejap itu
pula kesadaran lain menyergapnya: dia telah jauh tertinggal,
prajurit-prajuritnya yang kelelahan itu telah lebih dulu menyisir muara sungai,
ke utara, ke utara, ke barak-barak pasukan bayaran yang telah disediakan,
mengikuti penunjuk jalan seorang peranakan Tionghoa.
Muara yang keruh airnya, muara yang konon menyimpan
buaya-buaya raksasa, begitu si peranakan itu bercerita di atas kapal dalam
perjalanan dari Batavia kepadanya. Dan air muara yang keruh itu pula kini, juga
hari yang mulai gelap, yang membuatnya semakin merasa sepi. Dan tungkai-tungkainya
semakin terasa bergetar diterpa dingin. Riak-riak muara masih terlihat dalam
gelap dan, seperti merayap ke hati. Dia tiba-tiba merasa ingin melihat wajahnya
di air itu, tetapi kakinya masih berat untuk dilangkahkan.
Dia telah menghabiskan usianya dari pertempuran ke
pertempuran. Dia mulai berpikir sejenak tentang gadis-gadis Padang dengan
rambut mereka yang panjang. Peranakan Tionghoa yang dikenalnya sedari Batavia
itu bercerita. Peranakan itu menyarankan kepadanya untuk tidak berhubungan
dengan perempuan-perempuan bandar. Dia tahu itu. Perempuan-perempuan bandar
menebarkan tuba kelamin yang tak bisa disembuhkan. Tetapi si peranakan
membisikkan padanya: masuklah ke pedalaman lebih jauh, ke daratan sana, kau
akan menemukan gadis-gadis berbaju kurung yang cantik rupawan.
Jika di tengah pertempuran, dia akan bersorak-sorak
gempita ke arah pasukannya, memberi semangat bertempur seperti terompet dan
tambur. Dia akan tampak perkasa di atas kuda perangnya yang garang meringkik.
Namun, dalam ketiadaan pertempuran seperti ini, dia (atau lelaki mana pun) akan
terlihat lebih murung.
Dia telah terjun dalam perang suku sejak masih remaja.
Sejak ayahnya, yang tetua kampung, tewas dalam sebuah pertempuran perebutan
wilayah berburu. Dia kemudian ikut melepaskan anak panah ke suku lawan. Dia
berteriak-teriak menuntut balasan. Sukunya ditaklukkan suku tetangganya yang
kuat. Hingga orang-orang kulit putih berdatangan ke pulau. Dengan kapal-kapal
besar, meriam-meriam, dan bedil-bedil. Sukunya menerima untuk meminta bantuan,
menyerang balik suku tetangga, dengan imbalan lada yang banyak tumbuh di pulau.
Dia dinobatkan si kulit putih menjadi panglima perang. Mereka menyerang, dan menang.
Tetapi kemudian, ketika perang usai, dia tidak bersedia menjadi tetua kampung
menggantikan ayahnya. Dia ingin bebas ke mana saja. Sejak itu, dia turut ke
mana si kulit putih mengirimnya bertempur. Ke luar pulau, ke negeri-negeri yang
tak terbayangkan sebelumnya.
Dia telah memasuki kancah pertempuran demi pertempuran,
namun dia tak pernah secemas ini kiranya. Apalagi, dia mulai terpikir kini:
orang-orang Sentot Alibasja yang dikirim sebulan yang lalu ke daerah ini telah
memasuki daerah tempur yang tidak masuk akal baginya. Mereka bergerak sendiri
tanpa mengindahkan komando dari Batavia. Mereka, dalam pikirannya, mungkin
telah membelot, bergabung dengan prajurit-prajurit padri dan para penghulu yang
telah lebih dahulu tak lagi mendukung Belanda.
Dia pernah berhadapan dengan pasukan Sentot dalam perang
Jawa. Mereka prajurit-prajurit yang hebat dan terlatih. Apalagi, perang Jawa
yang berlarut-larut akan membuat mereka semakin tangguh. Jika mereka
benar-benar membelot, tak terbayangkan, betapa kewalahan pasukan Belanda
menghadapi pertempuran ini. Apalagi, pasukan padri masih terlalu kuat.
Dia mematut-matut kemungkinan menang.
Jika kembali kampungnya sekarang, dia mungkin masih akan
diangkat jadi tetua, mewariskan gelar ayahnya yang sekarang disandang adiknya.
Jadi tetua, posisi yang dulu begitu dibencinya, tidak bebas dan terikat pada
peraturan adat, sementara dia ingin melanglang buana. Tapi kini, dia seperti
merindukannya kembali.
Matahari telah lepas ke dalam laut ketika pria hitam itu
memutuskan benar-benar turun dari kapal. Sebelum melangkah ke tangga pertama,
masih sempat dia layangkan kembali pandang mata yang jauh, tampak lampu-lampu
pada kapal dan gudang-gudang penampungan pala telah ramai menyala. Hingga angin
laut Hindia menampar ujung rambut keritingnya dengan kurang ajar, dia masih
larut dalam lengang yang menyakitkan.
(Padang, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar