CERPEN Ramoun Apta
Lukisan Nasrul |
Pada suatu malam berdebu, di suatu Minggu
kota Gigolacur, trotoar tak pernah bercerita tentang apa dan bagaimana caranya
dua ekor tikus bisa saling kejar-mengejar, meningkahi kerikil yang berserakan,
menyusuri got-got yang bau, dan kemudian bergerumul seperti hendak saling
membunuh. Begitu juga dengan tiang listrik yang kesepian menimang embun—yang
sebenarnya tak patut juga disebut embun karena ia sedikit berminyak—di dekat
taman itu, seperti hendak melepaskan kabel-kabel yang terentang memberat.
Tong-tong kotor berbelatung dengan
sampah yang berserakan di luarnya, bangku-bangku kosong yang patah kakinya, dan
pecahan beling bekas botol minuman beralkohol. Segala yang tergambar
seakan-akan hendak mengisahkan sesuatu, sesuatu yang serupa gang buntu. Ya!
Sesuatu yang kemudian melambung dan merasuki ruh percintaan antara Kau dan Aku.
Malam itu, Kau dan Aku bertengkar.
“Aku benci kau sepenuh hati!”
“Kenapa benci? Karena aku gigolo,
begitu?”
“Bukan hanya itu. Kau menjalin hubungan
khusus dengan tante itu.”
“Wajar saja kalau aku menjalin hubungan
khusus dengan tante itu. Kau sendiri pun tahu. Bahwa sebagai gigolo, aku mesti
menjalin suatu hubungan yang spesial kepada semua pelangganku. Bahkan kepada setiap
penyewaku. Kalau tidak, aku mana bisa laku!”
Mendadak, Kau pun menjadi brutal.
“Kau jangan berkilah ucapan! Seperti
hiperbola puisi saja bahasa yang kau sampaikan. Kau pikir ini pelajaran menulis
sajak. Kita bukan lagi anak SMA. Pelajaran menulis sajak hanya ada di SMA. Aku
sudah memiliki banyak bukti, jangan berkilah, kau selingkuh!“
“Bukti? Dalam bentuk apa? Sajak?! Aku bukan
seorang nyinyir yang pandai mengelola bahasa buat menipu orang. Lagi pula,
memang sudah begini tuntutan aku pekerja. Mesti akrab dan berpura-pura setia
kepada setiap pelanggan. Kau sendiri, bukannya kau itu seorang pelacur? Tentu
kau juga memiliki hubungan khusus dengan setiap lelaki yang membokingmu. Bahkan,
mungkin lebih dari itu!”
“Aku menjadi pelacur bukan kerana aku
mencintai kelamin laki-laki. Tapi karena aku tahu diri. Sebagai perempuan
sejati aku mesti menemu kepuasan hidup. Dan melacur, selain dari pada aku mendapatkan
kepuasan, aku juga bisa meraup sejumlah uang. Uang adalah segalanya. Memang
cinta begitu sulit dimengerti. Tetapi, kau tahu, meskipun aku ini Pelacur, tiada
selain dari pada kau di hatiku. Aku tidak selingkuh!”
“Begitu juga aku. Bekerja sebagai gigolo
bukan berarti aku mesti menjadi budak tante-tante binal seperti yang kau
tuduhkan itu. Aku ini laki-laki sehat gizi dan penuh energi. Setiap malam butuh
ranjang. Bagaimana caranya kita bisa bermesraan sementara kau berkelana di
ranjang orang?! Itu sebabnya aku jadi gigolo. Selain bisa dengan bebasnya
bergaya di banyak ranjang, aku juga bisa mendapat gepokan uang. Bahkan lebih
banyak dari pada kau! Jangan kau sembarang menuduh aku berpaling terhadap kau. Mestinya
kau tahu, bahwa setiap malam di bukan ranjang kita itu, wajah kaulah yang
selalu terbayang di kepalaku. Kau adalah kekasihku!”
“Kau begitu pandai berkilah bahasa. Kau
adalah penyair generansi muda berbakat!”
“Ini bukan soal berkilah bahasa. Ini soal
kebenaran dan realita. Kenapa kau begitu nyinyir sebut aku penyair? Aku ini bukan
penyair! Memang banyak penyair yang bergaya seperti aku. Akan tetapi, kau tahu,
penyair itu, beraninya cuma merayu perempuan. Tetapi ketika ditanya perihal
kebenaran perasaan, ia malah tak berani ungkapkan cinta. Ketika diajak bercinta,
ia selalu mengelak sembari mengumbar alasan yang tak sesuai logika. Sedangkan
aku ...”
“Kenapa?”
Kau dan Aku pun sejenak berdiam.
Pertengkaran yang mengambang entah ke mana. Sesaat kemudian, Kau mendongak ke
atas. Di langit-langit kamar terlihat foto berukuran 2x2 Meter seorang tante yang
sedang menselonjorkan kakinya. Tubuhnya yang gelombang bebukitan, pinggulnya
yang lekuk pegunungan. Tampak begitu indah pahanya bila dilihat sambil tiduran.
Melihat foto itu, Kau pun marah sejadi-jadinya.
“Lihat! Lihat itu! Kau pajang foto
tante itu. Itu buktinya. Masih juga kau tidak mengaku perihal hubunganmu? Hanya
seorang yang terpaut dalam suatu ikatanlah yang mau berluang waktu memajang
foto seperti itu di langit-langit kamarnya. Kau pendusta. Kau selingkuh!”
“Sekali lagi kukatakan, aku tidak punya
hubungan spesial dengan tante itu selain dari pada antara seorang pekerja dengan
pelanggan. Di atas boleh ada foto, tetapi aku di bawah tak memiliki perasaan
apa-apa. Hanya kau! Jangan cuma karena foto itu lantas kau mendakwa aku
sekenanya. Kau dakwa aku selingkuh. Tetapi kau sendiri?”
“Kenapa, aku?”
“Kau sendiri... Aku pernah melihat di
dalam tasmu tersimpan selembar foto seorang lelaki. Setelah kuselidiki, aku tahu
lelaki itu sering memboking dan mengajakmu bercinta. Seringkali aku melihat kau
berangkulan tangan dengannya di sepanjang jalan selayaknya dulu kita kali pertama
pacaran. Bukankah kau itu yang berpaling dariku? Kau sembarang tuduh aku.
Tetapi ternyata, sebenarnya kaulah yang selingkuh.”
“Dasar, penyair! Penyair nyinyir!”
“Kau itu yang penyair nyinyir! Kau
tuduh aku, tetapi kaulah yang sebenarnya berpaling! Kau yang keliru menulis
sajak, tetapi kau salahkan aku si tinta yang tak berdaya!”
“Apa? Kau dakwa aku yang pandai
berkilah bahasa? Anjing kau! Binatang laknat kau! Segala sumpah serapah ada
pada kau! Kau kira aku sudi menukar posisiku sebagai pelacur menjadi seorang
penyair? Kau tahu, lebih mati sebagai babi dari pada menjadi penyair yang
sepanjang hidupku begitu miskin! Aku rela mati membenamkan diri di sungai musi
yang dari hari ke hari di sepanjang tepiannya semakin dipenuhi ceceran minyak
mentah itu. Kaulah yang penyair itu! Dasar, gembel hitam kau!”
“Sudah nyata terbukti bahwa kaulah yang
berpaling itu! Bukan aku!”
“Kau yang berpaling!”
“Kau itu!”
“Kau!”
“Kau!”
“Kau!”
“Kau yang selingkuh itu, Anjing!”
Kau pun semakin cemburu, dan mendakwa Aku
sebagai seekor Anjing yang tak setia.
“Apa? Kau sebut aku Anjing? Sekali lagi
kau sebut, kutampar kau!”
“Anjing!”
“Kau yang anjing itu, Anjing!”
“Bapak kau, ibu kau, Anjing semua!”
“Sekali lagi kau maki orang tuaku, Anjing,
kubunuh kau!”
“Bunuh! Ayo, bunuh aku!”
“Kau!”
“Ayo sini, maju kau, Anjing!”
“Mari kita lihat seberapa beraninya
kau!”
Kau
pun menantang Aku berkelahi.
“Ini, tinjuku ke wajahmu!”
“Lengan kiriku menangkis seranganmu. Kuhentak
perutmu dengan lututku!”
“Oh, kutangkis lututmu. Terimalah! Ini kakiku
di kepalamu. Mati kau!”
“Kutangkap kakimu. Tinjuku ke wajahmu.
Remuk!”
“Tinju sebesar tunggul ubi kayu itu kau
kira bisa meremukkan wajahku?”
“Meskipun kecil, ini tinju lajunya
seperti bus Medan-Jakarta. Kena hidungmu!”
“Oh, kau pikir kau bisa mengenai
hidungku? Ini tanganku, seperti ular yang lihai melingkar di pagar. Kupelintir kakimu,
menjerit kau! Jatuh kau! Kelamin kau kutendang! Perut kau kupijak! Mampus kau!
Mati anjing kau!”
“Kau hendak memelintir kakiku dan
menjatuhkanku sementara tangan kau yang satu terkunci di leherku? Kau itu yang
mati anjing! Ini tendanganku. Mati kau, penyair!”
“Kau?!”
Entah kebenaran terluka, entah karena
kecewa, tiba-tiba saja Kau menjadi diam. Seperti burung pungguk yang kehilangan
bulan, Kau memalingkan wajahmu. Dan menyembunyikannya dengan ke dua tangan. Sementara
itu, melihat Kau yang berubah tingkah begitu, Aku pun segera memilih menjadi
dungu.
“Kau selingkuh!”
“Kau, bukan Aku!”
“Aku ini pelacur!”
“Aku ini gigolo!”
“Tante itu buktinya!”
“Tante itu tak lebih dari seorang
pelangganku.”
“Pelanggan nenek kau. Foto itu
buktinya!”
“Kau sendiri, foto lelaki dalam tas
itu!”
“Ini bukan milikku!”
“Maksudmu? Milik istrinya yang
memintamu simpan foto itu? Kau pikir aku ini bodoh!”
“Memang bodoh!”
“Kau?!”
“Sudah kukatakan, foto ini bukan
milikku! Kau itu yang selingkuh!”
“Kenapa kau masih tak percaya aku?”
“Karena kau penyair!”
“Aku bukan penyair, nyinyir!”
“Lantas, siapa kau?”
“Anjing!”
Padang, 2012
Ramoun Apta. Lahir di Sungai Binjai, Muara
Bungo, Jambi, 26 Oktober 1991. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas
Andalas, Padang. Bergiat di LPK (Labor Penulisan Kreatif) Sajak Sore. Menulis
cerpen dan puisi. Beberapa tulisan berupa esai, opini, cerpen, dan puisi, pernah
dipublikasikan di berbagai media massa. Mencintai bahasa dan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar