CERPEN Delvi Yandra
Sejak pemberontakan meletus
empat hari yang lalu, anak-anak dan kaum perempuan tidak ada yang berani keluar
rumah sehingga kampung kami sungguh mengalami masa-masa sulit; sawah dan ladang
tak menghasilkan apa-apa, akses ke kampung sebelah hanya dapat dilewati melalui
sungai dengan perahu atau rakit, dan pengajian ditiadakan untuk sementara
waktu.
Bala tentara musuh semakin
rajin berkeliaran keluar masuk kampung seraya membawa bedil. Mereka menguasai
Batu Hampar hingga ke Kurai. Kami geram melihat manusia jangkung berkulit pucat
dan berambut pirang dengan hidung mencuat itu, sehingga kami bertekad
menghancur-leburkan mereka.
Tetapi kami tak butuh
arloji. Athar telah menjadi waktu bagi kami. Ketika malam tiba, itulah saatnya
bagi kami untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan seruan dari Athar.
Di bawah temaram lampu
badai, tiga pasang mata kami mengintai ke arah jalan. Desir angin yang melewati
jendela memainkan kerah baju kami. Zubir, salah satu dari kami, hanya
mengenakan singlet dan celana pendek selutut. Dia duduk paling ujung, dekat
jendela. Sebelah kakinya bertumpu di atas bangku kayu. Sementara, sepasang
matanya tetap mengawasi ujung jalan ini.
“Istriku mengidam jagung
manis dan kopi murni. Aneh-aneh saja permintaannya. Aku tak dapat meluluskannya
lantaran situasi macam sekarang ini. Aku berpikir untuk masuk ke ladang Tuan
Digul. Tetapi kita cuma punya bedil, kalau serdadu lewat, bisa mampus kita!”
“Engkau gila Zubir, mau
masuk ke sana dan mengambil jagung manis untuk istrimu. Bagaimana nanti kalau
Tuan Digul tahu? Kita dikatakannya berkomplot dan mau mencuri…”
“Ah, jangan terlalu engkau
dengar istrimu itu. Dia pasti akan mengerti.”
“Eh—katanya Athar akan
pergi ke Belanda ya? Dia akan jadi orang besar. Ibunya, Siti Saleha benar-benar
memiliki kesabaran yang tinggi.”
“Tempo hari, aku mendengar
orang-orang di lepau membicarakannya. Mereka mendiskusikan karangannya yang
berkisah tentang janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah
ditinggal mati suaminya—Brahmana, datanglah musafir dari barat bernama
Wolandia, yang kemudian meminangnya.”
“Tapi Wolandia terlalu
miskin sehingga lebih mencintai hartanya dan menyia-nyiakan anak-anak janda
itu.”
“Oh, ‘Namaku Hindiana’ ya…”
kata kami serempak.
Nyala api dari lampu badai
di langit-langit ruangan bergoyang sedemikian rupa sehingga bayang-bayang kami
menari-nari di lantai yang temaram. Percakapan kami kembali merendah. Saking
asyiknya mengobrol, kami hampir melupakan berita tentang Athar.
“Mana surat kabar itu?”
“Sudah dapat dipastikan,
bala bantuan akan segera datang.”
“Dua kali purnama lagi
mereka akan merapat di Teluk Bayur, dan menurunkan sekitar seratusan serdadu.”
“Bacakan yang di halaman
pertama De Expres itu. Biar didengar Zubir juga.”
Kami tidak ingin pertemuan
ini diketahui siapapun. Mansur yang bekerja di bawah tekanan penjajah telah
membelot dan ikut berjuang bersama kami. Dia hanya ingin keselamatan anak dan
istrinya tetap terjaga. “Karena Athar, kita ada di sini. Jadi, cepat putuskan,”
kata dia.
Seminggu yang lalu, kami
menerima surat kabar yang entah dikirim oleh siapa tiba-tiba saja sudah ada di
tangan kami. Hal-hal aneh yang demikian itu sudah sering kami alami. Tempo
hari, Mansur mendapati gulungan peta yang tergeletak di depan rumahnya. Sebulan
yang lalu, Zubir menerima sepucuk bedil yang ditaruh entah oleh siapa di dekat
gudang tempat dia bekerja.
Begitulah. Kami kerap
mendengar kisah Athar, pemuda dari kampung kami yang terjun ke medan laga, dan
melawan penjajah dengan kecerdasannya.
“Dia sudah di Haarlem!”
Tidak seorang pun dari kami
yang memperlihatkan air muka kesedihan, gelora semangat yang membara telah
merasuki sukma kami. Athar telah membangkitkan gairah pertempuran di dada kami.
Belum selesai kami membaca surat kabar itu, kami memutuskan untuk mengadakan
pertemuan selanjutnya.
Dan di bawah temaram lampu
badai, kami tepis rasa takut. Kami sangat yakin bahwa tak seorang pun yang
melihat kami datang ke tempat ini.
Yang pertama datang ialah
Mansur. Dia membawa lampu badai, peta pergerakan, dan surat kabar dari Batavia.
Kami tak dapat melepaskan kesan yang agak berbeda terhadapnya. Atas permintaan
Athar, kami percaya bahwa Bahder Djohan telah memindahkannya ke sini.
Mansur menggantungkan lampu
badai itu di langit-langit ruang. Dia duduk di atas meja, dan membiarkan cahaya
lampu menimpa kepalanya. Beberapa saat kemudian, dia mendengar suara pintu
diketuk. Dia berdiri di atas meja dan menghembus lampu badai sehingga sirna
segala cahaya, dan gelap melingkupi.
“Siapa?” Mansur menuju
pintu dan berbisik dari celahnya.
“Orang Sakit dari Eropa.”
Ia lekas membukakan pintu, dan Zubir telah berdiri di
depannya. Dengan dengus napas tak beraturan, dia bergegas masuk dan menutup
pintu perlahan.
“Ada apa?”
“Hampir ketahuan,” jawab Zubir seraya mengeluarkan
sepucuk bedil dari balik bajunya.
“Mana Tahar?”
“Dia yang membikin janji.”
Mansur dan Zubir menyingkap tirai jendela dan memastikan
tak ada seorang pun yang lewat di jalan itu. Hanya desir angin dan desis daun
yang saling bergesekan terdengar sehingga tanpa terencana suasana memang terasa
mencekam.
“Cepat bukakan pintu!” teriak sesuara.
“Siapa?”
“Orang sakit dari Eropa.”
Maka, lengkaplah kami bertiga di dalam ruangan itu. Tahar
datang dengan pakaian mencolok yaitu setelan jas putih dan topi bundar yang
sering dia pakai. Katanya, dia mendapatkan pakaian itu dari koperasi yang
dikelolanya secara kolektif bersama teman sejawatnya di kota.
Kami pun merapat ke dekat meja, dan Mansur membentangkan
peta di atasnya. Zubir menyalakan lampu badai agak redup. Di atas meja,
semangat kami berkobar, seperti membakar meja itu hingga berkeping-keping.
Saking bergeloranya, Zubir rela meninggalkan istrinya yang sedang hamil di
rumah. Tampak jelas dari matanya yang menyala-nyala tak mau padam itu.
Tetapi lama kami diam, tak seorang pun berani berujar. Di
antara kami, Zubir mendengus panjang. Dia surut ke bangku paling ujung, dan
menjatuhkan tubuhnya di sana.
“Tiga tokoh Indische Partij berada dalam basis Perhimpunan
Hindia.”
“Apakah Tjipto juga?”
Zubir melompat dari bangkunya dan meraih surat kabar De
Expres dari tangan Mansur. Dia merasakan angin segar baru saja berhembus ke
kepalanya sesaat setelah membaca isinya. Kami pun mengangguk pasti. Tahar
senyum-senyum kecil dengan gaya membenarkan terhadap apa yang tertulis di sana.
“Kau tidak mencurigai Dekker?”
“Dia salah satunya. Percayalah.”
“Keterlaluan.”
“Apa maksudmu?”
“Jaga bicaramu!”
“Kita harus menghargai keputusan Athar.”
“Terserah kalian.”
Zubir menggamit bibir bawahnya seraya menatap tajam ke
arah Mansur dan Tahar secara bergantian. Cahaya dari lampu badai telah
menciptakan bayangan hitam di pelipis matanya sehingga wajahnya lebih tampak
menyeramkan ketimbang keyakinannya.
“Athar telah memercayainya.”
“Tidak diragukan lagi.”
“Sutomo sudah tidak menjabat lagi.”
Tanpa maksud menepis pernyataan itu, Zubir menggeser
kursinya sedikit dan lengannya bertumpu di atas meja. Kami pun kembali diam.
Lembaran peta di hadapan kami menjadi sia-sia belaka. Angin mendesir dan menampar
pipi kami yang dingin.
“Kita harus segera menulis surat.”
“Penamaan sangat penting dalam situasi politik sekarang
ini.”
“Tulis surat itu sekarang dan Mansur akan berangkat untuk
mengikuti forum itu.”
“Kita harus menyatakan untuk membangun Indonesia dan
meniadakan Hindia atau Netherland Indie!”
“Pelankan suaramu.”
Mansur mendekati jendela, dan menyingkap tirai sedikit.
Pandangan matanya jatuh ke ujung jalan yang gelap. Kami saling melirik dan
menghela napas panjang.
“Basis ini harus kita pertahankan sebelum serdadu-serdadu
itu datang.”
“Masih ada waktu dua kali purnama lagi.”
“Aku temani kau ke Padang, Mansur.”
“Tidak usah repot-repot. Aku tidak ingin kelihatan
mencolok.”
Oh, suara gaduh yang mendadak terdengar berasal dari luar
membuat kami bergidik. Mansur menggulung petanya, dan menepi ke dekat pintu.
Tahar berdiri di atas meja dan bergegas menghembus cahaya dari lampu badai,
sehingga gelap kembali menguasai.
Tiga pasang mata kami mengintai dari balik tirai.
Sekelebat bayangan melintas di jalanan. Kami melihat puluhan serdadu
berlari-lari kecil seraya membawa bedil. Tiba-tiba beberapa di antaranya
berhenti, dan salah satunya menjatuhkan pandangan ke arah kami. Dia mendekat
perlahan, tubuhnya sedikit membungkuk. Matanya menyala seakan-akan mencurigai sesuatu
yang bergerak dari sebalik jendela.
Zubir tak kuasa menahan geram sehingga naik darahnya ke
ubun-ubun. Dengan cepat, dia genggam bedilnya seperti seorang pemburu yang
lihai, lalu didobraknya pintu sekeras-kerasnya.
“Demi Athar dan kemerdekaan yang sejati!” teriaknya
seraya merangsek ke kerumunan serdadu itu.
“Celaka! Zubir!”
Karena tak ingin meneruskan kecerobohannya, kami berlari
ke belakang rumah. Kami tembus semak belukar di sekitar kebun. Sekonyong-konyong
rentetan letusan berlesatan. Pelor-pelor serta merta menerjang tubuh Zubir. Saat
bau mesiu merebak, dia pun tersungkur tanpa mampu meletuskan bedilnya.
Serdadu-serdadu itu berhamburan, dan mengejar kami. Di
bawah terpaan cahaya bulan yang temaram, kami terus berlari. Berlari lagi.
Menjauh dari serdadu-serdadu itu.***
Padang, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar