Sabtu, 16 November 2013

Catatan Dasein pada Festival Monolog Kenthut-Roedjito Solo: mesin Eksistensialis dalam Perangkap Virtual



OLEH Delvi Yandra
Penggiat Teater dan Pendongeng

Dasein [berarti ‘berada di dalam’; bahasa Jerman: da zain] merupakan suatu istilah yang sangat karib dalam karya besar filsuf Martin Heidegger (1889-1976) berjudul Being and Time. Ia memakai istilah tersebut untuk menjelaskan kemampuan manusia dalam eksistensinya atau kemampuan ‘menetap’ dan memaknai hidupnya di dunia.
Istilah tersebut juga menjadi judul dari naskah drama yang sekaligus disutradarai oleh Bina Margantara pada rangkaian Festival Monolog ‘Kenthut-Roedjito’ di Solo, Kamis (5/7) malam lalu. Pentas tersebut dilakukan untuk mengenang dua tokoh teater: Bambang Widoyo SP (Kenthut) dan Roedjito (Mbah Jito).
Dalam pentas yang ke 29 tersebut, lewat Dasein, kelompok Teater Rumah Teduh tampil di Kelurahan Danukusuman, Kecamatan Serengan, Solo-Surakarta. Setelah sebelumnya pada Rabu (4/7) malam semua peserta melakukan upacara keprihatinan budaya di Lapangan Danukusuman Tanggul Budaya (tanggul di pinggiran sungai), bersama Butet Kertarejasa, Didik Nini Thowok, Slamet Gundono, Tony Broer, Yusril (Katil), Anastasya dan tokoh-tokoh teater lainnya. Hadir juga kelompok teater dari pelbagai kota seperti Padang, Banjarmasin, Makassar, Palu, Bali, Surabaya, Solo, Pekalongan, Jepara, Bandung, dan Jakarta. Upacara tersebut diadakan mengingat terancamnya 49 mata air apabila di Danukusuman didirikan pabrik semen oleh pemerintah.

Berbeda dengan konsep monolog sebelumnya, kali ini Festival Monolog Kenthut-Roedjito diadakan di perkampungan warga, yang mana perkampungan tersebut telah menjadi rumah budaya yang dibangun sejak tahun 1994 oleh Teater Ruang sekaligus sebagai penyelenggara kegiatan tersebut. Peristiwa teater semacam ini tentu menjadi sesuatu hal yang luar biasa yang pernah diikuti oleh Teater Rumah Teduh mewakili Sumatera Barat. Panggung prosenium sederhana dibangun dengan memanfaatkan barang-barang bekas. “Ketika kami bikin pementasan, bahkan anak-anak mau ikut nonton dengan tertib walaupun hanya dengan membayar Rp.1000,-. Mereka juga tidak takut saat lampu panggung padam, enggak ada yang berteriak,” ujar Helmy, penggiat di Teater Ruang.
Bunyi lonceng sebanyak empat kali menandai bermulanya Dasein. Saat lampu merah menyala, di sana pula Mukar (dimainkan oleh Hatta Saputra) muncul. Pada dengung lonceng terakhir, Mukar tampak sedang duduk pada sebuah kursi lalu menyalakan rokok sambil selonjor di atas meja. Maka, tampaklah sudut panggung terdiri dari satu meja dengan sebuah kursi dan kain panjang yang membelit kaki meja, sebuah kayu pancang sedemikian rupa dengan jam dinding di tengahnya dan sebuah cermin yang tegak pada bidang kayu. Tidak benar-benar dapat ditangkap dengan jelas, tempat seperti apa yang seyogyanya dihadirkan oleh sutradara di atas panggung.
“Mengapa kau bertingkah seolah sedang berpikir Mukar? Masih punya otak toh, masih percaya nurani?” ujar sesuara di luar yang mendadak membuat Mukar memberikan reaksi berlawanan. Kemudian Mukar melepas sebelah sepatunya dan meletakkannya di atas meja, “aku lebih mengetahui siapa diriku sebenarnya,” katanya.
Mukar berpindah ke bagian sudut panggung lain dengan langkah yang tampak pincang—meskipun pada dasarnya melepaskan sebelah sepatu hanya merupakan kebiasaannya. Lalu ia kembali ke meja dan duduk di atasnya. Ia mengambil surat kabar di sana dan membawanya ke sudut yang lain. Tetapi laku demikian tidak ajek dengan dialognya yang sepintas membaca dan mengetahui suatu peristiwa yang tertulis di surat kabar tersebut.
Pada adegan lain ia juga melakukan hal yang sama. Membaca surat kabar, menghunus pisau, mematikan rokok lalu menginjaknya dengan sepatu, gerakan senam dan peregangan, mengayunkan kain panjang seperti permainan lompat tali, me-ninabobok-kan bayi, menyeret kursi ke tengah panggung, memakai dan melepaskan pakaian, tersungkur karena tercekik kain sendiri, termasuk berdialog dengan properti seolah benda tersebut menjadi hidup—segalanya tampak tak tuntas. Kejutan-kejutan yang muncul seperti berlalu begitu saja.
Kurang jelinya aktor dalam menguasai karakter yang dimainkannya membuat pertunjukkan yang berlangsung sekitar setengah jam menjadi tampak sedikit membosankan. Tawaran-tawaran yang dihadirkan aktor tampak kurang ‘gereget’. Pemanfaatan properti tak maksimal meskipun perwujudan musik mampu memperkuat pertunjukkan secara keseluruhan.
Mukar berupaya melakukan interaksi dengan keadaan di sekitarnya, termasuk sesuara yang datang dari luar (atau dari dalam kepalanya sendiri). Tetapi upaya tersebut kurang didukung oleh motif aktor yang tampak tak lebih seperti buang-buang tenaga. Mukar, dalam pandangan saya, seseorang yang ingin mengetahui bagaimana dirinya dan kehidupannya. Ia terperangkap antara dunia virtual di dalam kepalanya dan dunia nyata yang mengembalikannya kepada jati dirinya yang sebenarnya. Pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan, termasuk seputar unsur-unsur paling mendasar bagi dirinya. Lalu, Mukar memutuskan untuk bunuh diri tetapi gagal tersebab sesuara tadi muncul kembali menghantuinya.
Antara kesadaran dan waktu, demikian pula hal yang diungkapkan Heidegger. Mukar dan dirinya merupakan aktivitas yang tidak pasif sehingga berbeda apabila dibandingkan dengan benda-benda yang ada begitu saja secara nyata tanpa mampu berbuat apapun terhadap dirinya sendiri. Mukar berupaya merenungkan dan merefleksikan tentang makna hidupnya sehingga dapat mengubah hidup yang kurang baik menjadi lebih baik.
Mukar memperlakukan benda-benda di sekitarnya seolah bernyawa. Ia pasangkan sebelah sepatunya pada kayu penyangga di cermin. Ia ajak benda itu bercakap-cakap. Lalu ia tersadar tentang dirinya. Ia berontak. Ia menari-nari tak jelas. Lalu sesuara datang lagi. Di sinilah kemampuan eksistensi yang sesungguhnya.
“Benar, mungkin aku terlalu lelah akhir-akhir ini,” lanjutnya dengan lirih seraya musik menyayat. Lampu pun padam.
Kemampuan yang secara nyata diperlihatkan oleh manusia dalam menyangkal dirinya sendiri dan dalam berhubungan dengan lingkungan di sekitarnya. Mukar merupakan tokoh ciptaan yang dapat memikirkan benda-benda, alat-alat, dan beraktivitas sesuai dengan keinginan yang sudah dipilihnya. Tetapi sayang, ia terperangkap dunia virtual ciptaannya sendiri.
Yusril, salah satu juri pertunjukkan mengatakan bahwa Dasein telah melakukan teknik muncul yang mengesankan, tapi tidak konsisten dengan akhir pementasan. “Naskah dipengaruhi oleh Albert Camus, namun ia belum merasakan kesepian yang disampaikan oleh aktor,” sambung juri yang lain, A.B  Asmarandana.
Namun demikian, semangat permainan yang diperlihatkan oleh kelompok Teater Rumah Teduh yang notabenenya merupakan kelompok teater kampus di depan tokoh-tokoh teater Indonesia patut mendapat apresiasi. Selanjutnya, dalam pertunjukan yang sama, kelompok Teater Rumah Teduh akan tampil di Purwokerto dalam rangkaian acara Temu Teater Mahasiswa Nusantara X pada 10 Juli mendatang. Tahniah! n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...