OLEH Delvi Yandra
Penggiat
Teater dan Pendongeng
Dasein [berarti ‘berada di
dalam’; bahasa Jerman: da zain]
merupakan suatu istilah yang sangat karib dalam karya besar filsuf Martin
Heidegger (1889-1976) berjudul Being and
Time. Ia memakai istilah tersebut untuk menjelaskan kemampuan manusia dalam
eksistensinya atau kemampuan ‘menetap’ dan memaknai hidupnya di dunia.
Istilah tersebut juga
menjadi judul dari naskah drama yang sekaligus disutradarai oleh Bina Margantara
pada rangkaian Festival Monolog ‘Kenthut-Roedjito’ di Solo, Kamis (5/7) malam
lalu. Pentas tersebut dilakukan untuk mengenang dua tokoh teater: Bambang
Widoyo SP (Kenthut) dan Roedjito (Mbah Jito).
Dalam pentas yang ke 29
tersebut, lewat Dasein, kelompok
Teater Rumah Teduh tampil di Kelurahan Danukusuman, Kecamatan Serengan, Solo-Surakarta.
Setelah sebelumnya pada Rabu (4/7) malam semua peserta melakukan upacara keprihatinan budaya di Lapangan Danukusuman Tanggul
Budaya (tanggul di pinggiran sungai), bersama Butet Kertarejasa, Didik Nini Thowok,
Slamet Gundono, Tony Broer, Yusril (Katil), Anastasya dan tokoh-tokoh teater
lainnya. Hadir juga kelompok teater dari pelbagai kota seperti Padang, Banjarmasin, Makassar, Palu, Bali, Surabaya,
Solo, Pekalongan, Jepara, Bandung, dan Jakarta. Upacara tersebut diadakan
mengingat terancamnya 49 mata air apabila di Danukusuman didirikan pabrik semen
oleh pemerintah.
Berbeda
dengan konsep monolog sebelumnya, kali ini Festival Monolog Kenthut-Roedjito
diadakan di perkampungan warga, yang mana perkampungan tersebut telah menjadi rumah budaya yang dibangun sejak tahun 1994 oleh Teater
Ruang sekaligus sebagai penyelenggara kegiatan tersebut. Peristiwa teater semacam
ini tentu menjadi sesuatu hal yang luar biasa yang pernah diikuti oleh Teater
Rumah Teduh mewakili Sumatera Barat. Panggung prosenium sederhana dibangun
dengan memanfaatkan barang-barang bekas. “Ketika kami bikin pementasan, bahkan
anak-anak mau ikut nonton dengan tertib walaupun hanya dengan membayar
Rp.1000,-. Mereka juga tidak takut saat lampu panggung padam, enggak ada yang
berteriak,” ujar Helmy, penggiat di Teater Ruang.
Bunyi lonceng sebanyak
empat kali menandai bermulanya Dasein.
Saat lampu merah menyala, di sana pula Mukar (dimainkan oleh Hatta Saputra) muncul.
Pada dengung lonceng terakhir, Mukar tampak sedang duduk pada sebuah kursi lalu
menyalakan rokok sambil selonjor di atas meja. Maka, tampaklah sudut panggung
terdiri dari satu meja dengan sebuah kursi dan kain panjang yang membelit kaki
meja, sebuah kayu pancang sedemikian rupa dengan jam dinding di tengahnya dan
sebuah cermin yang tegak pada bidang kayu. Tidak benar-benar dapat ditangkap
dengan jelas, tempat seperti apa yang seyogyanya dihadirkan oleh sutradara di
atas panggung.
“Mengapa kau bertingkah
seolah sedang berpikir Mukar? Masih punya otak toh, masih percaya nurani?” ujar sesuara di luar yang mendadak
membuat Mukar memberikan reaksi berlawanan. Kemudian Mukar melepas sebelah sepatunya
dan meletakkannya di atas meja, “aku lebih mengetahui siapa diriku sebenarnya,”
katanya.
Mukar berpindah ke bagian
sudut panggung lain dengan langkah yang tampak pincang—meskipun pada dasarnya
melepaskan sebelah sepatu hanya merupakan kebiasaannya. Lalu ia kembali ke meja
dan duduk di atasnya. Ia mengambil surat kabar di sana dan membawanya ke sudut
yang lain. Tetapi laku demikian tidak ajek dengan dialognya yang sepintas
membaca dan mengetahui suatu peristiwa yang tertulis di surat kabar tersebut.
Pada adegan lain ia juga
melakukan hal yang sama. Membaca surat kabar, menghunus pisau, mematikan rokok
lalu menginjaknya dengan sepatu, gerakan senam dan peregangan, mengayunkan kain
panjang seperti permainan lompat tali, me-ninabobok-kan bayi, menyeret kursi ke
tengah panggung, memakai dan melepaskan pakaian, tersungkur karena tercekik
kain sendiri, termasuk berdialog dengan properti seolah benda tersebut menjadi
hidup—segalanya tampak tak tuntas. Kejutan-kejutan yang muncul seperti berlalu
begitu saja.
Kurang jelinya aktor dalam
menguasai karakter yang dimainkannya membuat pertunjukkan yang berlangsung
sekitar setengah jam menjadi tampak sedikit membosankan. Tawaran-tawaran yang
dihadirkan aktor tampak kurang ‘gereget’. Pemanfaatan properti tak maksimal meskipun
perwujudan musik mampu memperkuat pertunjukkan secara keseluruhan.
Mukar berupaya melakukan
interaksi dengan keadaan di sekitarnya, termasuk sesuara yang datang dari luar
(atau dari dalam kepalanya sendiri). Tetapi upaya tersebut kurang didukung oleh
motif aktor yang tampak tak lebih seperti buang-buang tenaga. Mukar, dalam
pandangan saya, seseorang yang ingin mengetahui bagaimana dirinya dan
kehidupannya. Ia terperangkap antara dunia virtual di dalam kepalanya dan dunia
nyata yang mengembalikannya kepada jati dirinya yang sebenarnya. Pertanyaan
demi pertanyaan terus bermunculan, termasuk seputar unsur-unsur paling mendasar
bagi dirinya. Lalu, Mukar memutuskan untuk bunuh diri tetapi gagal tersebab
sesuara tadi muncul kembali menghantuinya.
Antara kesadaran dan waktu,
demikian pula hal yang diungkapkan Heidegger. Mukar dan dirinya merupakan
aktivitas yang tidak pasif sehingga berbeda apabila dibandingkan dengan
benda-benda yang ada begitu saja secara nyata tanpa mampu berbuat apapun
terhadap dirinya sendiri. Mukar berupaya merenungkan dan merefleksikan tentang
makna hidupnya sehingga dapat mengubah hidup yang kurang baik menjadi lebih
baik.
Mukar memperlakukan
benda-benda di sekitarnya seolah bernyawa. Ia pasangkan sebelah sepatunya pada
kayu penyangga di cermin. Ia ajak benda itu bercakap-cakap. Lalu ia tersadar
tentang dirinya. Ia berontak. Ia menari-nari tak jelas. Lalu sesuara datang
lagi. Di sinilah kemampuan eksistensi yang sesungguhnya.
“Benar, mungkin aku terlalu
lelah akhir-akhir ini,” lanjutnya dengan lirih seraya musik menyayat. Lampu pun
padam.
Kemampuan yang secara nyata diperlihatkan
oleh manusia dalam menyangkal dirinya sendiri dan dalam berhubungan dengan
lingkungan di sekitarnya. Mukar merupakan tokoh ciptaan yang dapat memikirkan
benda-benda, alat-alat, dan beraktivitas sesuai dengan keinginan yang sudah
dipilihnya. Tetapi sayang, ia terperangkap dunia virtual ciptaannya sendiri.
Yusril, salah satu juri pertunjukkan mengatakan bahwa Dasein telah melakukan teknik muncul yang mengesankan, tapi tidak konsisten dengan akhir
pementasan. “Naskah dipengaruhi oleh Albert Camus, namun ia belum merasakan
kesepian yang disampaikan oleh aktor,” sambung juri yang lain, A.B Asmarandana.
Namun demikian, semangat permainan yang diperlihatkan
oleh kelompok Teater Rumah Teduh yang notabenenya merupakan kelompok teater
kampus di depan tokoh-tokoh teater Indonesia patut mendapat apresiasi.
Selanjutnya, dalam pertunjukan yang sama, kelompok Teater Rumah Teduh akan
tampil di Purwokerto dalam rangkaian acara Temu Teater Mahasiswa Nusantara X
pada 10 Juli mendatang. Tahniah! n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar