CERPEN Alwi Karmena
“Sudah
jadi kau cuci topeng sama baju Badut itu Sam?” tanya Syair sambil menelan
sebutir obat sakit kepala.
“Ooo
yaa ya. Sudah, sudah,” k,ata Samiarni, istri Syair yang kurus pipih itu tak
bisa berdusta. Dia belum sempat mencuci topeng dan pakaian Badut, pakaian kerja
yang dipesankan suaminya kemarin. Cuma, dia tak ingin Syair marah. Agak lain
juga. Belakangan ini darah tingginya acap kumat. Untuk itu, sekali ini Samiarni
terpaksa berdusta.
Bergegas
dia kebelakang. Dengan gugup dilapnya topeng Badut bagian wajah dengan kain
basah. Baju kebesaran yang sejak sepuluh tahun ini menghidupi mereka. Syair,
yang sama sekali tidak seorang yang lucu, menjadi lucu bila mengenakan topeng
dan baju kedodoran yang berwarna-warni itu. Orang yang melihat, apalagi anak-anak,
tertawa terpingkal-pingkal melihat Badut, yang sebenarnya Syair mengenakan
topeng berwajah lucu itu.
Hidung
topeng Badut itu besar dan merah. Sementara sebenarnya hidung Syair kecil dan
agak hitam. Mata Badut itu besar dan juling, sementara mata Syair kecil dan
agak sayu. Perut dan bokong Badut itu besar. Sementara bokong dan perut Syair
kempes. Bahkan, kalau mau berjujur-jujur, perut Syair sebenarnya sering kempes
lapar karena terlambat makan.
Berhenti
bekerja di perikanan karena PHK sepuluh tahun yang lalu, betul betul membuat
Syair kolaps. Ndak tahu harus mencari kerja kemana. Samiarni, sang istri, dan
tiga anaknya perlu dinafkahi. Rumah Perumnas ini harus dicicil. Listrik,
ledeng, belum lagi beli obat kalau anak-anak
sakit.
Untunglah
perusahaan es krim keliling itu mau menerimanya. Dia mendapat kerja yang
sebenarnya bukan bidangnya. Tak pernah ada pengalamannya di sana. Tapi, apa mau
dikata. Satu-satunya peluang kerja
adalah menjadi Badut. Badut, pelawak bertopeng, yang menarik perhatian pembeli. Ya. Setiap hari,
di keramaian, atau dimana mobil Es Krim berhenti, Badut harus menari. Menggoyang-goyangkan
bokong. Orang melihat terhibur. Es Krim jadi laku.
Syair
bukan penari. Sejak kecil dia tak tahu cara menari. Tapi, dengan kostum Badut
ini mau tak mau dia harus menggoyang-goyangkan
badannya. Syair bukan pelawak, bahkan di rumah dia seorang lelaki atau ayah
yang serius. Karena sehari-hari dengan kepahitan, tersenyum sajapun dia jarang. Ironisnya, sejak sepuluh tahun
ini orang tertawa melihat dirinya. Namanya sudah berganti saja: dari Syairke Pak Badut, Pak Badut yang lucu.
“Pak
Baduuut, PakBaduuut, menariii dong Pak Badut. Ayooo goyaang. Ha ha hahaha
hihi.”
Demikian
kini, kalau dia lewat di jalan ke rumahnya. Di gang-gang Perumnas yang sempit
itu, anak-anak bertepuk tangan mengetawakan dirinya. Semua anak-anak, kecuali Dodoy, Safiri dan Pia, anaknya. Anak-anak
yang lain mengetawakan Badut, yang sebenarnya Syair di balik topeng.
Tak
ada yang tahu, di balik topeng yang lucu itu, kadang kala, Syair mengerang,
merintih. Dadanya acap terasa pedih. Pernah dia tanpa sadar mengalirkan air
mata. Tapi air mata itu berbaur dengan keringat yang mengalir keluar dari
topengnya. Kalau tak salah, bulan yang lalu, sepekan sebelum puasa. Syair
menjadi sentimental. Luluh dalam perasaan yang menoreh hatinya.
Dodoy
anaknya dikeluarkan dari sekolah, karena tak membayar uang beli buku wajib yang
dijual oleh guru Matematika. Seratus ribu, dua kali angsuran, tak mampu
dipenuhi Syair. Dodoy menangis meminta. Syair tahu, buku itu wajib dibeli.
Dodoy harus terus sekolah, biar kelak tak
semalang ayahnya. Tapi, bagaimana? Ketika dia mengajukan pinjaman pada touke,
permintaanya ditolak. Hutang Syair sudah berlapis lapis. Di rumah, tak ada yang
berharga bisa dijual. Dodoy terpaksa dikeluarkan dari sekolah.
Hari
itu Syair dan mobil es krimnya berhenti di depan SMP tempat Dodoy sekolah. Anak-anak
sekolah berkerumun membeli es. Sang Badut diperintah Touke agar bergoyang lebih
gesit. Kalau perlu berguling-guling. Biar anak-anak terhibur, berkumpul, dan es
terjual.
Dari
balik topengnya Syair melihat anak-anak yang ia kenal, teman teman Dodoy, Fery,
Maman, Gito, Joan, Vera, Tika. Tapi tak
ada Dodoy di sana. Anak-anak yang berkumpul itu tak tahu, Badut yang mereka
candai adalah ayah temannya. Syair yang Badut, tahu, anaknya sekarang di rumah,
menangisi pengusiran guru atas dirinya yang diberhentikan. Berat benar rasanya
bergoyang dalam kondisi sedih begini. Apa boleh buat. Goyang Syair menjadi
kaku.
“Goyang
Pak Badut. Mana goyangnya. Ah Badutnya
bego.”
“Badut
begooo. Badut bodooo,” sorak anak-anak teman Dodoy. Ketika itu air matanya
meleleh. Dan dia bergoyang dengan hati yang pedih. Cuma, orang-orang tak tahu. Atau, orang tak mau tahu, air yang meleleh
di leher itu, bisa saja air peluh atau keringat. Namanya orang bekerja tentu harus memeras
keringat.
Syair
tak mau bertanya atau menyapa teman anak-anaknya. Biarlah dia bersembunyi di balik
kelucuan yang tidak lucu ini. Dia tak mau kalau anaknya malu. Ayah Dodoy adalah
si Badut Bego dan Bodo, yang sesekali merelakan lemparan kulit pisang atau
kulit rambutan, canda dari anak anak yang ketawa ketawa kesenangan. Kalau Dodoy
ada, tentulah Dodoy marah, malu, atau sedih. Tapi, Dodoy terhindar dari itu.
Sekaligus, Dodoy terpental dari keriangan anak-anak yang dihibur Badut ayahnya.
Seminggu setelah hari raya usai. Empat ratus paket es krim dipesan oleh Om Busman, orang kaya dari Jakarta. Orang akan mengadakan Halalbihalal sekalian ulang tahun Fery, teman sekolah Dodoy, yang adalah keponakan dari Om Busman.
Seminggu setelah hari raya usai. Empat ratus paket es krim dipesan oleh Om Busman, orang kaya dari Jakarta. Orang akan mengadakan Halalbihalal sekalian ulang tahun Fery, teman sekolah Dodoy, yang adalah keponakan dari Om Busman.
Kali
ini Touke menjanjikan pinjaman, kalau pesta Om Busman selesai sukses. Syair
siap. Bergoyang, menari, kalau perlu berguling-guling. Dia memang akan berjuang
untuk mendapatkan uang. Dodoy harus kembali sekolah.
“Kamu
kali ini menari habis-habisan. Biar anak-anak gembira. Biar meriah pestanya. Bonus
kamu spesial,” ucap Touke menepuk-nepuk bahu Syair. Tapi, sekilas Touke menilik,
baju kebesaran badut yang dipakai Syair agak kentara kurang bersihnya.
“Ini
kamu punya baju ndak dicuci-cuci ya?” tanya Touke dengan mimik kecewa. Tampak
benar noda-noda minyak dan debu lengket di bahunya.
“Heh.
Ada. Isteri saya yang mencucinya,” balas Syair.
Namanya
Touke, tentu dia tidak mau kalah bicara. Apalagi, baju kebesaran Badut itu
sebenarnya memang agak kotor. Pesta orang kaya harus dihibur dengan hiburan
yang serba semarak. Baju yang kurang
bersih, rasanya dapat merusak kesemarakan.
“Istri
kamu jorok barangkali. Apa iya jorok
dia? Ini contohnya, mencuci saja ndak bersih!”
Kalimat
Touke itu adalah kalimat biasa dari seorang induk semang. Biasa saja kalimat
sejenis itu disiramkan pada anak buah. Tapi, bagi Syair, Samiarni bukan
perempuan jorok. Kalau sekadar miskin, memang. Itu istri yang melahirkan anak-anaknya.
Orang yang ia cintai. Apalagi, kini dia
sedang sakit. Terbayang fisik perempuan itu kurus pipih dan agak pucat. Samiarni
sejak lama menderita paru-paru. Dada Syair terbakar. Dada Badut yang sedang mengenakan
topeng itu terbakar. Padahal, ini sudah di tempat pesta. Acara akan dimulai.
Orgen sudah berlagu. Ucapan Bos tadi mencucuk amat menyakitkan. Dia tak rela istrinya
dikatakan jorok.
“Istri
saya jangan dikatakan jorok Bos!” sanggah Syair. Tangannya gementar
seperti tiang terkena gempa saat
mengucapkan kalimat itu.
“Hehe.
Kalau ndak jorok apa lagi! Kamu juga jorok, ha ha ha. Suami jorok. Isteri jorok.
Hahahaaa,” balas si Touke tertawa-tawa.
Sementara
itu, protokol di pentas lanjut juga berbicara. “Hadiriiiin. Sebentar lagi. Kita
akan dihibur oleh Badut. Tepuk tangan anak-anak semua!”
Hanya
Syair yang tak mendengar aba-aba itu. Telinganya panas. Dadanya bertambur. Muka
si Touke yang mengatakan istrinya jorok, kini dia lihat mirip muka babi. Tanpa
terkontrol, serta merta si Touke diterjangnya. Keduanya bergumul di halaman
tempat pesta berlangsung. Syair yang masih mengenakan pakaian Badut itu
menerkam, menggulung si Bos di tanah. Keduanya berguling dan saling pukul.
Hadirin
penonton, yang kebanyakan anak-anak tertawa terpingkal pingkal. Semua bertepuk
tangan menyaksikan pertunjukan lucu yang sebenarnya sama sekali tidak lucu itu.
Hanya ada seorang dari sekian hadirin tertekur, pulang dan menangis diam diam. Dia
adalah Dodoy, undangan kecil, teman Fery. Yang tak sampai hati melihat adegan
bapaknya berhempas-hempas di tanah. Dia ingin pulang memberi tahu si ibu, kalau
seberat itu kerja, ayahnya tak usahlah jadi Badut lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar