Sabtu, 16 November 2013

Air Mata Badut



CERPEN  Alwi Karmena
“Sudah jadi kau cuci topeng sama baju Badut itu Sam?” tanya Syair sambil menelan sebutir obat sakit kepala.
“Ooo yaa ya. Sudah, sudah,” k,ata Samiarni, istri Syair yang kurus pipih itu tak bisa berdusta. Dia belum sempat mencuci topeng dan pakaian Badut, pakaian kerja yang dipesankan suaminya kemarin. Cuma, dia tak ingin Syair marah. Agak lain juga. Belakangan ini darah tingginya acap kumat. Untuk itu, sekali ini Samiarni terpaksa berdusta.

Bergegas dia kebelakang. Dengan gugup dilapnya topeng Badut bagian wajah dengan kain basah. Baju kebesaran yang sejak sepuluh tahun ini menghidupi mereka. Syair, yang sama sekali tidak seorang yang lucu, menjadi lucu bila mengenakan topeng dan baju kedodoran yang berwarna-warni itu. Orang yang melihat, apalagi anak-anak, tertawa terpingkal-pingkal melihat Badut, yang sebenarnya Syair mengenakan topeng berwajah lucu itu.
Hidung topeng Badut itu besar dan merah. Sementara sebenarnya hidung Syair kecil dan agak hitam. Mata Badut itu besar dan juling, sementara mata Syair kecil dan agak sayu. Perut dan bokong Badut itu besar. Sementara bokong dan perut Syair kempes. Bahkan, kalau mau berjujur-jujur, perut Syair sebenarnya sering kempes lapar karena terlambat makan.
Berhenti bekerja di perikanan karena PHK sepuluh tahun yang lalu, betul betul membuat Syair kolaps. Ndak tahu harus mencari kerja kemana. Samiarni, sang istri, dan tiga anaknya perlu dinafkahi. Rumah Perumnas ini harus dicicil. Listrik, ledeng, belum  lagi beli obat kalau anak-anak sakit.
Untunglah perusahaan es krim keliling itu mau menerimanya. Dia mendapat kerja yang sebenarnya bukan bidangnya. Tak pernah ada pengalamannya di sana. Tapi, apa mau dikata.  Satu-satunya peluang kerja adalah menjadi Badut. Badut, pelawak bertopeng, yang  menarik perhatian pembeli. Ya. Setiap hari, di keramaian, atau dimana mobil Es Krim berhenti, Badut harus menari. Menggoyang-goyangkan bokong. Orang melihat terhibur. Es Krim jadi laku.
Syair bukan penari. Sejak kecil dia tak tahu cara menari. Tapi, dengan kostum Badut ini  mau tak mau dia harus menggoyang-goyangkan badannya. Syair bukan pelawak, bahkan di rumah dia seorang lelaki atau ayah yang serius. Karena sehari-hari dengan kepahitan, tersenyum sajapun  dia jarang. Ironisnya, sejak sepuluh tahun ini orang tertawa melihat dirinya. Namanya sudah berganti saja:  dari Syairke Pak Badut,  Pak Badut yang lucu.
“Pak Baduuut, PakBaduuut, menariii dong Pak Badut. Ayooo goyaang. Ha ha hahaha hihi.”
Demikian kini, kalau dia lewat di jalan ke rumahnya. Di gang-gang Perumnas yang sempit itu, anak-anak bertepuk tangan mengetawakan dirinya. Semua anak-anak, kecuali  Dodoy, Safiri dan Pia, anaknya. Anak-anak yang lain mengetawakan Badut, yang sebenarnya Syair di balik topeng.
Tak ada yang tahu, di balik topeng yang lucu itu, kadang kala, Syair mengerang, merintih. Dadanya acap terasa pedih. Pernah dia tanpa sadar mengalirkan air mata. Tapi air mata itu berbaur dengan keringat yang mengalir keluar dari topengnya. Kalau tak salah, bulan yang lalu, sepekan sebelum puasa. Syair menjadi sentimental. Luluh dalam perasaan yang menoreh hatinya.
Dodoy anaknya dikeluarkan dari sekolah, karena tak membayar uang beli buku wajib yang dijual oleh guru Matematika. Seratus ribu, dua kali angsuran, tak mampu dipenuhi Syair. Dodoy menangis meminta. Syair tahu, buku itu wajib dibeli. Dodoy harus terus sekolah, biar kelak tak  semalang ayahnya. Tapi, bagaimana? Ketika dia mengajukan pinjaman pada touke, permintaanya ditolak. Hutang Syair sudah berlapis lapis. Di rumah, tak ada yang berharga bisa dijual. Dodoy terpaksa dikeluarkan dari sekolah.
Hari itu Syair dan mobil es krimnya berhenti di depan SMP tempat Dodoy sekolah. Anak-anak sekolah berkerumun membeli es. Sang Badut diperintah Touke agar bergoyang lebih gesit. Kalau perlu berguling-guling. Biar anak-anak terhibur, berkumpul, dan es terjual.
Dari balik topengnya Syair melihat anak-anak yang ia kenal, teman teman Dodoy, Fery,  Maman, Gito, Joan, Vera, Tika. Tapi tak ada Dodoy di sana. Anak-anak yang berkumpul itu tak tahu, Badut yang mereka candai adalah ayah temannya. Syair yang Badut, tahu, anaknya sekarang di rumah, menangisi pengusiran guru atas dirinya yang diberhentikan. Berat benar rasanya bergoyang dalam kondisi sedih begini. Apa boleh buat. Goyang Syair menjadi kaku.
“Goyang Pak Badut. Mana goyangnya. Ah Badutnya  bego.”
“Badut begooo. Badut bodooo,” sorak anak-anak teman Dodoy. Ketika itu air matanya meleleh. Dan dia bergoyang dengan hati yang pedih. Cuma, orang-orang  tak tahu. Atau, orang tak mau tahu, air yang meleleh di leher itu, bisa saja air peluh atau keringat.  Namanya orang bekerja tentu harus memeras keringat. 
Syair tak mau bertanya atau menyapa teman anak-anaknya. Biarlah dia bersembunyi di balik kelucuan yang tidak lucu ini. Dia tak mau kalau anaknya malu. Ayah Dodoy adalah si Badut Bego dan Bodo, yang sesekali merelakan lemparan kulit pisang atau kulit rambutan, canda dari anak anak yang ketawa ketawa kesenangan. Kalau Dodoy ada, tentulah Dodoy marah, malu, atau sedih. Tapi, Dodoy terhindar dari itu. Sekaligus, Dodoy terpental dari keriangan anak-anak yang dihibur Badut ayahnya.
Seminggu setelah hari raya usai. Empat ratus paket es krim dipesan oleh Om Busman, orang kaya dari Jakarta. Orang akan mengadakan Halalbihalal sekalian ulang tahun Fery, teman sekolah Dodoy, yang adalah keponakan dari Om Busman.
Kali ini Touke menjanjikan pinjaman, kalau pesta Om Busman selesai sukses. Syair siap. Bergoyang, menari, kalau perlu berguling-guling. Dia memang akan berjuang untuk mendapatkan uang. Dodoy harus kembali sekolah.
“Kamu kali ini menari habis-habisan. Biar anak-anak gembira. Biar meriah pestanya. Bonus kamu spesial,” ucap Touke menepuk-nepuk bahu Syair. Tapi, sekilas Touke menilik, baju kebesaran badut yang dipakai Syair agak kentara  kurang bersihnya.
“Ini kamu punya baju ndak dicuci-cuci ya?” tanya Touke dengan mimik kecewa. Tampak benar noda-noda minyak dan debu lengket di bahunya.
“Heh. Ada. Isteri saya yang mencucinya,” balas Syair.
Namanya Touke, tentu dia tidak mau kalah bicara. Apalagi, baju kebesaran Badut itu sebenarnya memang agak kotor. Pesta orang kaya harus dihibur dengan hiburan yang serba  semarak. Baju yang kurang bersih, rasanya dapat merusak kesemarakan.
“Istri kamu jorok barangkali. Apa iya jorok  dia? Ini contohnya, mencuci saja ndak bersih!” 
Kalimat Touke itu adalah kalimat biasa dari seorang induk semang. Biasa saja kalimat sejenis itu disiramkan pada anak buah. Tapi, bagi Syair, Samiarni bukan perempuan jorok. Kalau sekadar miskin, memang. Itu istri yang melahirkan anak-anaknya. Orang yang ia cintai.  Apalagi, kini dia sedang sakit. Terbayang fisik perempuan itu kurus pipih dan agak pucat. Samiarni sejak lama menderita paru-paru. Dada Syair  terbakar. Dada Badut yang sedang mengenakan topeng itu terbakar. Padahal, ini sudah di tempat pesta. Acara akan dimulai. Orgen sudah berlagu. Ucapan Bos tadi mencucuk amat menyakitkan. Dia tak rela istrinya dikatakan jorok.
“Istri saya jangan dikatakan jorok Bos!” sanggah Syair. Tangannya gementar seperti  tiang terkena gempa saat mengucapkan kalimat itu.
“Hehe. Kalau ndak jorok apa lagi! Kamu juga jorok, ha ha ha. Suami jorok. Isteri jorok. Hahahaaa,” balas si Touke tertawa-tawa.
Sementara itu, protokol di pentas lanjut juga berbicara. “Hadiriiiin. Sebentar lagi. Kita akan dihibur oleh Badut. Tepuk tangan anak-anak semua!”
Hanya Syair yang tak mendengar aba-aba itu. Telinganya panas. Dadanya bertambur. Muka si Touke yang mengatakan istrinya jorok, kini dia lihat mirip muka babi. Tanpa terkontrol, serta merta si Touke diterjangnya. Keduanya bergumul di halaman tempat pesta berlangsung. Syair yang masih mengenakan pakaian Badut itu menerkam, menggulung si Bos di tanah. Keduanya berguling dan saling pukul.
Hadirin penonton, yang kebanyakan anak-anak tertawa terpingkal pingkal. Semua bertepuk tangan menyaksikan pertunjukan lucu yang sebenarnya sama sekali tidak lucu itu. Hanya ada seorang dari sekian hadirin tertekur, pulang dan menangis diam diam. Dia adalah Dodoy, undangan kecil, teman Fery. Yang tak sampai hati melihat adegan bapaknya berhempas-hempas di tanah. Dia ingin pulang memberi tahu si ibu, kalau seberat itu kerja, ayahnya tak usahlah jadi Badut lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...