EMERALDY CHATRA |
Ini bukan sekadar
luncuran ide iseng. Sejarah film Indonesia, kalau kita mau jujur, tidak bisa
dilepaskan dari kehadiran sineas Minang pada awal kemerdekaan. Mereka itu
antara lain Usmar Ismail, Haji Djamaluddin Malik, Dr Abu Hanifah, Drs. Asrul
Sani, Roestam St. Palindih, Anjar Asmara, Dr Adnan Kapau Gani, Hasmanan,
Soekarno M. Noor, dan Rosihan Anwar. Anjar Asmara, Usmar Ismail dan Djamaluddin
Malik dapat dikatakan pionir bagi perkembangan film Indonesia modern.
“Tapi mereka tidak
menginspirasi kalangan muda di Sumatra Barat untuk ikut berkecimpung di dunia
film. Nah, dengan ide Padariamwood itu saya ingin memotivasi agar seniman
Sumatra Barat ramai-ramai terjun ke film dan berusaha membangun dunia perfilman
Indonesia yang berwajah kultural, bukan sekedar bisnis. Namun sayang ide itu
menguap seperti embun saja.” Berikut wawancara dengan Nasrul Azwar.
Kondisi perbioskopan Indonesia, termasuk Kota Padang dan kota-kota lainnya
di Sumatera Barat, sebagian besar mati. Apa latar belakangnya?
Bioskop sudah
disaingi oleh banyak media hiburan. Mula-mula disaingi oleh hadirnya video
player yang menyebabkan orang tidak perlu datang ke bioskop untuk menonton
film. Setelah itu muncul lagi VCD dan DVD player yang dapat menghadirkan citra
visual secara lebih jernih. Kehadirannya memperkuat posisi video player.
Kehadiran pemutar film di rumah ini ditunjang pula oleh banyaknya beredar
cakram magnetik (CD/VCD) di pasar. Faktor lain yang ikut mendorong kemunduran
bioskop adalah image bioskop yang
makin lama makin turun. Orang tidak lagi merasakan adanya kebanggaan dengan
pergi ke bioskop. Berbeda dengan suasana tahun 70-an dan sebelumnya.
Dari puluhan bioskop yang ada di Kota Padang, kini yang aktif tinggal
hitungan sebelah jari: Bioskop Raya, Mulia, dan Karya. Apakah hal ini bisa
dikatakan sebagai pertanda akan matinya dunia hiburan yang dinamakan bioskop di
Kota Padang?
Kalau kematian,
mungkin relatif. Sebab, orang pun sedang berusaha mengembangkan bioskop dengan
memperbaiki semua kelemahannya. Di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta
bioskop ukuran kecil (sineplek) masih dapat menjaring penonton. Bila dulu
setiap bioskop hanya siap dengan satu layar dan ukuran ruangannya sangat besar,
dengan konsep sineplek penonton lebih punya pilihan karena layar dan ruang
tontonan bisa sampai 8 dan setiap ruang menyajikan film yang berbeda.
Secara umum, bagaimana Anda menilai perbioskopan di Padang?
Pengusaha bioskop
terkesan lamban mengantisipasi perubahan selera penonton yang makin dimanjakan
oleh teknologi. Kalau ingin eksis mereka harus waspada terhadap perubahan yang
terjadi.
Apakah bioskop yang ada sekarang representatif untuk salah satu alternatif
hiburan bagi publik Padang?
Belum. Bioskopnya
perlu direnovasi, sound-system dan
film-film yang dihadirkan harus dibenahi sehingga pengalaman menonton di
bioskop tetap terasa lebih menarik ketimbang menonton di rumah, sekalipun di
rumah orang bisa membuat home theatre.
Sebenarnya nasib
bioskop tipe lama hampir sama saja dimana-mana. Sekarang tidak zamannya lagi
bioskop ukuran besar. Konsep sineplek terbukti lebih baik untuk sementara
waktu.
Kini, kondisi zaman telah berbeda. Teknologi informasi demikian canggih.
Jika tak bisa menyesuaikan tergiling zaman. Namun di Amerika, penonton bioskop
tetap membeludak. Mengapa itu bisa terjadi?
Persepsi penonton
kita terhadap sebuah karya seni berbeda dengan persepsi masyarakat Amerika pada
umumnya. Bagi kita menonton ya menonton. Setelah tontonan habis, habis pulalah
perkara. Penghargaan masyarakat terhadap karya seni, khususnya film belum
tumbuh. Di Amerika menonton di bioskop adalah bahagian dari ekspresi
penghargaan terhadap karya seni mereka sendiri. Mereka bangga dengan Hollywood
dan produk-produknya. Sementara masyarakat kita suka menonton film Indonesia,
tapi belum tentu mereka punya kebanggaan. Alasan menonton film Indonesia lebih
didorong oleh kemudahan memahami, karena bahasanya bahasa Indonesia. Kalau film
Indonesia mati karena tidak ditonton, adakah orang Indonesia yang ikut merasa
bersalah? Saya kira, hampir tidak ada. Bahkan aparat pemerintah pun yang
harusnya mengembangkan film Indonesia, belum tentu akan merasa bersalah. Karena
itu, menonton film gratisan di rumah, melalui CD/VCD bajakan tidak diiringi
rasa bersalah terhadap produk bangsa sendiri. Kematian bioskop karena tidak
dikunjungi pun tidak akan pernah diikuti rasa bersalah.
Selain itu, yang cukup memprihatinkan, fungsi bioskop (yang tersisa), telah
pula berubah fungsi. Bukan semata untuk menikmati film, tetapi dijadikan ajang
memadu kasih bagi remaja saat menonton. Apa komentar Anda?
Pertanyaannya,
mengapa harus pacaran di bioskop? Apakah tidak ada tempat lain? Bioskop tidak
dapat begitu saja disalahkan, karena yang lebih dulu salah adalah kondisi
sosial yang mendorong orang berbuat demikian serta pelaku-pelakunya itu.
Anda dulu pernah menggagas Padariamwood. Bagaimana ceritanya gagasan itu
bisa muncul?
Pada akhir tahun
2000-an saya meluncurkan ide agar Sumatera Barat dikembangkan jadi sentra
produksi film alternatif setelah Jakarta. Siapa tahu nanti bisa jadi
hollywoodnya Indonesia. Karena itu saya siapkan sebuah nama, Padariamwood
(Padariam itu singkatan dari Padang-Pariaman). Ini bukan sekadar luncuran ide
iseng. Sejarah film Indonesia, kalau kita mau jujur, tidak bisa dilepaskan dari
kehadiran sineas Minang pada awal kemerdekaan. Mereka itu antara lain Usmar
Ismail, Haji Djamaluddin Malik, Dr Abu Hanifah, Drs. Asrul Sani, Roestam St.
Palindih, Anjar Asmara, Dr Adnan Kapau Gani, Hasmanan, Soekarno M. Noor, dan
Rosihan Anwar. Anjar Asmara, Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik dapat dikatakan
pionir bagi perkembangan film Indonesia modern. Tapi mereka tidak menginspirasi
kalangan muda di Sumatra Barat untuk ikut berkecimpung di dunia film. Nah,
dengan ide Padariamwood itu saya ingin memotivasi agar seniman Sumatra Barat
ramai-ramai terjun ke film dan berusaha membangun dunia perfilman Indonesia
yang berwajah kultural, bukan sekedar bisnis. Namun sayang ide itu menguap
seperti embun saja.
Beberapa waktu lalu, dunia film indie sempat marak di Sumatera Barat, kini
redup. Bagaimana penilaian Anda?
Dunia kesenian kita
kan sebenarnya tidak punya ideologi yang jelas. Dikatakan seni untuk
pencerahan, tidak. Dikatakan untuk perlawanan kultural, juga tidak. Dikatakan
untuk kebutuhan pasar apalagi. Nah, ketika orang ramai-ramai membuat film
indie, kita juga ingin membuatnya. Tapi untuk apa? Karena tidak ada ideologi,
dan hanya sekadar ikut-ikutan, akhirnya cape sendiri.
Baca: Perbioskopan
di Padang: “Mati” dalam Belantara Teknologi Informasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar