Kamis, 31 Oktober 2013

WAWANCARA DENGAN KHAIRUL FAHMI: Pedagang Akan Terus Melakukan Perlawanan

Surat yang dikeluarkan Walikota Padang No 511.2.72.I/Ps-2011 pada 19 Januari 2011 tentang Pemutusan Pelayanan Pasar di lokasi Inpres II, III, dan IV, ditolak pedagang. Apa rencana selanjutnya?
Ya, jelas surat tersebut ditolak pedagang. Karena pedagang dan kami sebagai kuasa hukum menilai surat tersebut bertentangan dengan hukum dan tidak punya alasan teknis dan yuridis  yang dapat diterima. Surat tersebut bertentangan dengan UU No 24 tahun 2007 Penanggulangan Bencana dan PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Tidak punya alasan teknis karena sampai saat ini gedung Inpres II dan III menurut hasil pemeriksaan yang dilakukan GAPEKSINDO berdasarkan surat No 50/GAPEKSINDO/2009 tanggal 28 Oktober 209 bangunan tersebut masih layak huni. Jika Pemko Padang tetap memaksakan kehendak untuk melaksanakan surat tersebut, maka pedagang akan terus melakukan perlawanan melalui saluran-saluran yang ada, baik melalui proses di luar maupun dalam pengadilan. 

Pada Senin (24/01/2011), pedagang dengan didampingi PBHI menemui Gubernur Irwan Prayitno. Apa hasil yang dicapai?
Gubernur berjanji akan membantu pedagang secara proporsional sesuai tugas dan kewenangannya dan berjanji akan menyurati dan memanggil Walikota Padang. Karena persoalan-persoalan yang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi rekonstruksi gempa Sumatera Barat 30 September 2009 juga ditemukan di daerah lain. Namun secara teknis, sesuai UU Pemerintah Daerah, gubernur menyatakan tidak bisa intervensi langsung terhadap persoalan yang saat ini dihadapi pedagang di Pasar Raya Padang.
Pemko Padang dinilai PBHI telah melanggar hak-hak normatif pedagang yang berada di pasar tersebut. Benarkah demikian?
Benar. Apa yang dilakukan Pemko Padang dalam proses rehab dan rekon di Pasar Raya telah melanggar hak-hak pedagang sebagai warga negara. PP No 21 Tahun 2008 dan Perka BNPB No 11 tahun 2008 pada pokoknya mengatur bahwa kegitan rehabilitasi dan rekonstruksi mesti dilakukan berdasarkan kondisi kerusakan bangunan dan kebutuhan masyarakat. 
Dari aspek kerusakan fisik bangunan gedung, pedagang hanya membutuhkan rehabilitasi dan bukan rekonstruksi. Kebutuhan ini didasarkan pedagang pada hasil penelitian Tim Teknis Gapeksindo Kota Padang. Sebaliknya, Pemko Padang tidak pernah mensosialisasikan hasil uji kelayakan yang dijadikan dasar pelaksanaan rekonstruksi  yang dilakukan Pemko Padang. Secara empiris, hasil penelitian ini  terbukti  2 kali gempa pasca 30 september 2009, masing-masing gempa Mentawai dan gempa Padang yang getarannya cukup kuat diirasakan di Kota Padang.
Untuk kegiatan rekonstruksi, yang sangat dibutuhkan pedagang adalah rekonstruksi nonfisik berupa pemulihan ekonomi. Sebagian besar pedagang sedang dililit utang. Persoalan inilah yang seharusnya menjadi fokus program pemerintah Kota Padang.
Mengapa Pemko Padang bersikeras membongkar dan meruntuhkan bangunan tersebut?
Itulah persoalan yang tidak kita mengerti. Pemerintah kota pun sampai saat ini tidak pernah menjelaskannya kepada para pedagang. Masih pada  masa tanggap darurat, Pemko Padang sudah melaksanakan kegiatan rehabilitasi rekonstruksi mendatangkan tentara. Awalnya pedagang Inpres II lantai 1 dan Inpres III hanya menganggap bahwa kios penampungan hanya diperuntukkan bagi pedagang Inpres I dan Inpres II lantai 2 yang gedung mereka mememang tidak dapat lagi difungsikan. Namun tiba-tiba, melalui surat, Kepala Dinas Pasar  memberitahukan melalui surat Nomor: 900.1699.XI/PS-09 tanggal 10 November 2009  Agar Pedagang Inpres II, III, IV dan  dengan ancaman upaya paksa.
Namun untuk memastikan, PBHI selaku kuasa hukum telah mengajukan permintaan tertulis terkait dokumen uji kelayakan yang dimiliki Pemko Padang 05/BPW/PBHI-SB/I/2011  tertanggal 10 Januari 2011. Kita juga  mengajukan permintaan dokumen terkait penghapusan aset melalui surat No. 07/BPW/PBHI-SB/I/2011 tanggal 10 Januari 2011, tapi sampai hari ini belum mendapatkan jawaban dari Pemko Padang.
Anda tahu, dari mana dialokasikan anggaran untuk pembangunan Inpres II itu, dan berapa jumlahnya, dan kapan ditenderkan?
Secara tertulis pedagang sama sekali tidak mengetahui. Kita sedang mengajukan permintaan tertulis salinan APBD Kota Padang tahun 2009, 2010, dan 2011 kepada DPRD Padang, Namun kalau dari informasi Pemko Padang pada media masa, dikatakan bahwa dana rekonstruksi Pasar Inpres II dan III berasal dari APBN. Kalau dari APBN, dana tersebut harus diketahui Gubernur. Namun dari sumber informasi sumber PBHI di DPRD Kota Padang, dana tersebut belum  sampai ke tangan Pemko Padang. Sementara pedagang sudah disuruh pindah. Ini tidak masuk akal.
Ini tidak hanya untuk pembangunan Pasar Inpres II dan III, tetapi juga dana pembangunan Pasar Inpres I. Setahu kami anggarannya juga tidak ada pada APBD Padang tahun 2010. Namun untuk memastikan, kami sedang mengajukan salinan APBD tahun 2009, 2010 dan 2011 kepada DPRD Kota Padang, melalui surat 04/BPW/PBHI-SB/I/2011 tanggal 10 Januari 2011, namun sampai saat ini juga masih belum mendapatkan tanggapan. Sumber informasi PBHI Sumbar di DPRD Kota Padang menyebutkan bahwa Pemko Padang pernah mengajukan anggaran pembangunan Pasar Inpres sebesar Rp59 miliar dari APBD Padang 2010, sebagai dana pendamping. Namun tidak disetujui karena dana dari pemerintah pusat belum cair.
Mengenai proses tender, kami tidak punya data sama sekali, kecuali dari  Pemko Padang di media. Sebagaimana dikutip koran Haluan Riau, tanggal 25 Maret 2010, proses tender sudah dimulai sejak beberapa minggu lalu. Peserta tender ada beberapa pihak, baik lokal maupun dari luar daerah. Namun kita tidak mendapat informasi mengeni proses tender tersebut. Tiba-tiba,  di media kita mendapat informasi bahwa proyek ini dimenangkan PT Duta Graha. Setahu kita, hal ini pernah ditanyakan DPRD Kota Padang dalam Rapat Konsultasi tanggal 22 Agustus 2010. Persetujuan penghapusan aset belum ada, tetapi sudah ditenderkan.
Menurut data yang PBHI punya, berapa jumlah pedagang aktif sesuai dengan kepemilikan kartu kuning hak pakai toko/kios/los dan petak batu?
Saat ini kami masih terus melakukan validasi data. Untuk Inpres III lantai 1, yang terdata baru 240 pedagang. Inpres II lantai 1 sebanyak 379 pedagang. Petak Batu Bagonjong Inpres II dan III dan Pasar Buah Bagonjong yang terdata baru + 100 orang. 
Perlu ingat ingatkan, Gedung Pasar Inpres pada lantai 2 lebih banyak berbentuk los, karena memang dipersiapkan bagi pedagang tradisional yang tidak selalu merupakan pedagang tetap. Mereka hanya dipungut retribusi harian. Jadi jangan sampai los yang sebelumnya ada pada Pasar Inpres I dimanipulasi menjadi petak batu atau kios kemudian dibagikan kepada pedagang non korban gempa dengan membuatkan dokumen hak pakai (kartu kuning atau kartu penunjukan). Los harus dikembalikan menjadi los. Perubahan los menjadi petak batu akan menghilangkan hak pedagang yang menempati sebelumnya, karena meeka memang tidak punya kartu kuning sebagai bukti hak pakai. 
Apakah PBHI mencium “bau” permainan di dalam proyek pembangunan pasar raya Inpres ini antara Pemko Padang dengan investor?
Kalau dilihat dari awal kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan, sangat perlu dicurigai. Dana pembangunan kios penampungan tahap I misalnya, sesuai Keputusan Walikota Padang Nomor 952 Tahun 2009 tanggal 12 Oktober 2009 tentang Penunjukan Satgas Batalyon Zeni Konstruksi 13/KE sebagai Pelaksana Pembangunan Kios dan Los Darurat Pasar Inpres Pasar Raya Padang, dengan nilai kontrak Rp2.098.000.000 (kemudian berubah menjadi Rp2.307.800.000) dibebankan pada dana tanggap darurat.
APBD TA 2009 ternyata tidak menyediakan dana siap pakai yang dapat digunakan untuk pembangunan kios penampungan sehingga atas saran Kepala Dinas Pasar dibebankan pada DPPA Perubahan II TA 2009. Padahal pengelolaan anggaran tidak mengenal adanya perubahan II TA. Lalu siapa sebenarnya yang membiayai kios penampungan tahap I sebagai bagian pembangunan Gedung Pasar Inpres? Ini yang seharusnya dijelaskan Pemko Padang.
Begitu juga dengan kegiatan pembangunan fisik gedung. Kan aneh, kalau ada perusahaan yang bersedia membangun fasilitas pemerintah yang anggarannya belum tersedia. Pemko Padang selalu berdalih mengatasnamakan keadaan darurat. Waktu tanggap darurat gempa  30 September 2009 hanya satu bulan. Setelah berakhir masa tanggap darurat, segala sesuatunya harus dilaksanakan sebagaimana kondisi normal. Proses tendernya juga harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangan sampai musibah gempa dijadikan untuk menggorogoti uang negara.
PBHI sebenarnya berharap proyek-proyek rehabilitasi rekonstruksi dikerjakan oleh kontraktor lokal, karena secara umum mereka juga korban bencana atau setidaknya pihak yang terkena dampak. Kalau mereka kekurangan modal akibat dampak bencana, tanggung jawab pemerintahlah untuk memfasilitasi. Dengan demikian, di samping diharapkan sebagai upaya pemulihan ekonomi dunia usaha/kontraktor, tenaga kerja lokal akan lebih terserap. Kan aneh,  kalau masyarakat lokal yang terkena dampak, pada saat bagi-bagi kue anggaran hanya jadi penonton.
Jika Pemko bersikeras membongkar bangunan ini, sementara pedagang juga bersikeras bertahan, apakah tak akan muncul kekerasan nantinya?
Ini yang tidak kita inginkan dan selalu kita ingatkan kepada komunitas Pasar Raya. Berjuang dengan cara-cara konstitusional pada saat absolutisme para penyelenggara sedang terjadi memang sangat melelahkan dan menyakitkan. Makanya kita mengingatkan Pemko Padang agar kembali pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku terkait penanggulangan bencana dalam melakukan rehab dan rekon pasar raya. Komunitas Pasar Raya bukan hanya korban gempa, tetapi juga penyumbang PAD Kota Padang terbesar.
Kalau pemko sudah menjalankan semuanya berdasarkan aturan hukum yang berlaku, kami yakin tidak akan ada kekerasan. Namun jika Pemko tetap bersikeras dengan “keangkuhannya”, peluang terjadinya kekerasan tetap saja ada. Atau memang ini yang diinginkan Pemko Padang? Pedagang dikondisikan pada puncak kehilangan kesabaran dan berbuat hal-hal yang tidak rasional, kemudian ditangkap dan ditahan sehingga perjuangan mempetahankan apa yang menjadi hak mereka menjadi lemah atau hilang sama sekali.
Namun sekali lagi, kami selaku kuasa hukum pedagang selalu mengingatkan agar pedagang tidak terpancing untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang dapat merugikan pedagang juga. Peringatan ini selalu kami sampaikan setiap kami berdialog dengan para pedagang. Untuk mengantisipasi provokator, kami sudah berkoordinasi dengan kepolisian, walaupun belum dalam bentuk tertulis. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...