Ya, jelas surat tersebut
ditolak pedagang. Karena pedagang dan kami sebagai kuasa hukum menilai surat
tersebut bertentangan dengan hukum dan tidak punya alasan teknis dan yuridis yang dapat diterima. Surat tersebut
bertentangan dengan UU No 24 tahun 2007 Penanggulangan Bencana dan PP No 21
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Tidak punya alasan
teknis karena sampai saat ini gedung Inpres II dan III menurut hasil
pemeriksaan yang dilakukan GAPEKSINDO berdasarkan surat No
50/GAPEKSINDO/2009 tanggal 28 Oktober 209 bangunan tersebut masih layak huni.
Jika Pemko Padang tetap memaksakan kehendak untuk melaksanakan surat tersebut,
maka pedagang akan terus melakukan perlawanan melalui saluran-saluran yang ada,
baik melalui proses di luar maupun dalam pengadilan.
Pada Senin (24/01/2011),
pedagang dengan didampingi PBHI menemui Gubernur Irwan Prayitno. Apa hasil yang
dicapai?
Gubernur berjanji akan
membantu pedagang secara proporsional sesuai tugas dan kewenangannya
dan berjanji
akan menyurati dan memanggil Walikota
Padang.
Karena
persoalan-persoalan yang terkait dengan pelaksanaan rehabilitasi rekonstruksi gempa Sumatera
Barat 30 September 2009 juga ditemukan di daerah
lain. Namun secara teknis, sesuai UU Pemerintah
Daerah, gubernur menyatakan tidak bisa intervensi langsung terhadap persoalan
yang saat ini dihadapi pedagang di Pasar Raya Padang.
Pemko Padang dinilai
PBHI telah melanggar hak-hak normatif pedagang yang berada di pasar tersebut.
Benarkah demikian?
Benar. Apa yang
dilakukan Pemko Padang dalam proses rehab dan rekon di Pasar Raya telah
melanggar hak-hak pedagang sebagai warga negara. PP No 21 Tahun 2008 dan Perka
BNPB No 11 tahun 2008 pada pokoknya mengatur bahwa kegitan rehabilitasi dan
rekonstruksi mesti dilakukan berdasarkan kondisi kerusakan
bangunan
dan kebutuhan masyarakat.
Dari aspek kerusakan
fisik bangunan gedung, pedagang hanya membutuhkan rehabilitasi dan bukan
rekonstruksi. Kebutuhan ini didasarkan pedagang pada hasil penelitian Tim
Teknis Gapeksindo Kota Padang. Sebaliknya, Pemko Padang tidak pernah
mensosialisasikan hasil uji kelayakan yang dijadikan dasar pelaksanaan rekonstruksi yang dilakukan Pemko Padang. Secara empiris,
hasil penelitian ini terbukti 2 kali gempa pasca 30
september 2009, masing-masing gempa Mentawai dan gempa Padang yang getarannya
cukup kuat diirasakan di Kota Padang.
Untuk kegiatan
rekonstruksi, yang sangat dibutuhkan pedagang adalah rekonstruksi nonfisik berupa
pemulihan ekonomi. Sebagian besar pedagang sedang dililit
utang.
Persoalan inilah yang seharusnya menjadi fokus
program pemerintah Kota Padang.
Mengapa Pemko Padang
bersikeras membongkar dan meruntuhkan bangunan tersebut?
Itulah persoalan yang
tidak kita mengerti. Pemerintah kota pun sampai saat ini tidak pernah
menjelaskannya kepada para pedagang. Masih pada
masa tanggap darurat, Pemko Padang sudah melaksanakan kegiatan
rehabilitasi rekonstruksi mendatangkan tentara. Awalnya pedagang Inpres II
lantai 1 dan Inpres III hanya menganggap bahwa kios penampungan hanya diperuntukkan bagi
pedagang Inpres I dan Inpres II lantai 2 yang gedung
mereka mememang tidak dapat lagi difungsikan. Namun tiba-tiba, melalui surat, Kepala Dinas Pasar memberitahukan
melalui surat Nomor: 900.1699.XI/PS-09 tanggal 10 November 2009 Agar Pedagang Inpres II, III, IV dan dengan ancaman upaya paksa.
Namun untuk memastikan,
PBHI selaku kuasa hukum telah mengajukan permintaan tertulis terkait dokumen
uji kelayakan yang dimiliki Pemko Padang 05/BPW/PBHI-SB/I/2011 tertanggal 10 Januari 2011.
Kita juga mengajukan
permintaan
dokumen terkait penghapusan aset melalui surat No. 07/BPW/PBHI-SB/I/2011 tanggal 10 Januari 2011, tapi sampai hari ini belum
mendapatkan jawaban dari Pemko Padang.
Anda tahu, dari mana
dialokasikan anggaran untuk pembangunan Inpres II itu, dan berapa jumlahnya,
dan kapan ditenderkan?
Secara tertulis pedagang
sama sekali tidak mengetahui. Kita sedang mengajukan
permintaan tertulis salinan APBD Kota Padang tahun 2009, 2010, dan 2011 kepada
DPRD Padang, Namun kalau dari informasi Pemko Padang pada
media masa, dikatakan bahwa dana rekonstruksi Pasar Inpres II dan III berasal
dari APBN. Kalau dari APBN, dana tersebut harus diketahui
Gubernur. Namun dari sumber informasi sumber PBHI di DPRD Kota Padang, dana
tersebut belum sampai ke tangan Pemko
Padang. Sementara pedagang sudah disuruh pindah. Ini tidak masuk akal.
Ini tidak hanya untuk
pembangunan Pasar Inpres II dan III, tetapi juga dana pembangunan Pasar
Inpres I. Setahu kami anggarannya juga tidak ada pada APBD
Padang
tahun 2010. Namun untuk memastikan, kami sedang mengajukan salinan APBD tahun
2009, 2010 dan 2011 kepada DPRD Kota Padang, melalui surat 04/BPW/PBHI-SB/I/2011
tanggal 10 Januari 2011, namun sampai
saat ini juga
masih belum
mendapatkan tanggapan. Sumber informasi PBHI Sumbar di DPRD Kota Padang
menyebutkan bahwa Pemko Padang pernah mengajukan anggaran pembangunan Pasar
Inpres sebesar Rp59 miliar dari APBD Padang 2010, sebagai dana pendamping.
Namun tidak disetujui karena dana dari pemerintah pusat
belum
cair.
Mengenai proses tender,
kami tidak punya data sama sekali, kecuali dari
Pemko Padang di media. Sebagaimana dikutip koran Haluan
Riau, tanggal 25 Maret 2010, proses tender sudah dimulai sejak beberapa minggu
lalu. Peserta tender ada beberapa pihak, baik lokal maupun dari luar daerah.
Namun kita tidak mendapat informasi mengeni proses tender tersebut. Tiba-tiba, di media kita mendapat informasi bahwa proyek
ini dimenangkan PT Duta Graha. Setahu kita, hal ini pernah ditanyakan DPRD Kota
Padang dalam Rapat Konsultasi tanggal 22 Agustus 2010.
Persetujuan penghapusan aset belum ada, tetapi sudah ditenderkan.
Menurut data yang
PBHI punya, berapa jumlah pedagang aktif sesuai dengan kepemilikan kartu kuning
hak pakai toko/kios/los dan petak batu?
Saat
ini kami masih
terus
melakukan validasi data. Untuk Inpres III lantai 1, yang terdata baru 240
pedagang. Inpres II lantai 1 sebanyak 379 pedagang. Petak
Batu Bagonjong Inpres II dan III dan Pasar Buah Bagonjong yang terdata baru + 100 orang.
Perlu ingat ingatkan,
Gedung Pasar Inpres pada lantai 2 lebih banyak berbentuk los, karena memang
dipersiapkan bagi pedagang tradisional yang tidak selalu merupakan pedagang
tetap. Mereka hanya dipungut retribusi harian. Jadi jangan sampai los yang
sebelumnya ada pada Pasar Inpres I dimanipulasi menjadi petak batu atau kios
kemudian dibagikan kepada pedagang non korban gempa dengan membuatkan dokumen
hak pakai (kartu kuning atau kartu penunjukan). Los harus
dikembalikan menjadi los. Perubahan los menjadi petak batu akan menghilangkan
hak pedagang yang menempati sebelumnya, karena meeka memang tidak punya kartu
kuning sebagai bukti hak pakai.
Apakah PBHI mencium
“bau” permainan di dalam proyek pembangunan pasar raya Inpres ini antara Pemko
Padang dengan investor?
Kalau dilihat dari awal kegiatan
penanggulangan bencana yang dilakukan, sangat perlu dicurigai. Dana pembangunan kios
penampungan tahap I misalnya, sesuai Keputusan
Walikota Padang Nomor 952 Tahun 2009 tanggal 12 Oktober 2009 tentang Penunjukan
Satgas Batalyon Zeni Konstruksi 13/KE sebagai Pelaksana Pembangunan Kios dan
Los Darurat Pasar Inpres Pasar Raya Padang, dengan nilai kontrak
Rp2.098.000.000 (kemudian berubah menjadi Rp2.307.800.000) dibebankan pada dana tanggap darurat.
APBD TA 2009 ternyata
tidak menyediakan dana siap pakai yang dapat digunakan untuk pembangunan kios penampungan
sehingga atas saran Kepala Dinas Pasar dibebankan pada DPPA Perubahan II TA 2009. Padahal
pengelolaan anggaran tidak mengenal adanya perubahan II TA. Lalu siapa
sebenarnya yang membiayai kios penampungan tahap I sebagai bagian pembangunan
Gedung Pasar Inpres? Ini yang seharusnya dijelaskan Pemko Padang.
Begitu juga dengan kegiatan pembangunan fisik gedung. Kan
aneh, kalau ada perusahaan yang bersedia membangun fasilitas pemerintah yang
anggarannya belum tersedia. Pemko Padang selalu berdalih mengatasnamakan
keadaan darurat. Waktu tanggap darurat gempa
30 September 2009 hanya satu bulan. Setelah berakhir masa tanggap
darurat, segala sesuatunya harus dilaksanakan sebagaimana kondisi normal. Proses
tendernya juga harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Jangan sampai musibah gempa dijadikan untuk menggorogoti uang negara.
PBHI sebenarnya berharap proyek-proyek rehabilitasi
rekonstruksi dikerjakan oleh kontraktor lokal, karena secara umum mereka juga korban bencana atau setidaknya pihak
yang terkena dampak. Kalau mereka kekurangan modal akibat dampak bencana,
tanggung jawab pemerintahlah untuk memfasilitasi. Dengan demikian, di samping diharapkan
sebagai upaya pemulihan ekonomi dunia usaha/kontraktor, tenaga kerja lokal akan
lebih terserap. Kan aneh, kalau
masyarakat lokal yang terkena dampak, pada saat bagi-bagi kue anggaran hanya
jadi penonton.
Jika Pemko bersikeras
membongkar bangunan ini, sementara pedagang juga bersikeras bertahan, apakah
tak akan muncul kekerasan nantinya?
Ini yang tidak kita
inginkan dan selalu kita ingatkan kepada komunitas Pasar Raya. Berjuang
dengan cara-cara konstitusional pada saat absolutisme para
penyelenggara sedang terjadi memang sangat melelahkan dan
menyakitkan. Makanya kita mengingatkan Pemko Padang
agar
kembali pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku terkait penanggulangan
bencana dalam melakukan rehab dan rekon pasar raya. Komunitas Pasar Raya bukan hanya
korban gempa, tetapi juga penyumbang PAD Kota Padang terbesar.
Kalau pemko sudah
menjalankan semuanya berdasarkan aturan hukum yang berlaku, kami yakin tidak
akan ada kekerasan. Namun jika Pemko tetap bersikeras dengan “keangkuhannya”,
peluang terjadinya kekerasan tetap saja ada. Atau memang ini yang diinginkan
Pemko Padang? Pedagang dikondisikan pada puncak kehilangan
kesabaran dan berbuat hal-hal yang tidak rasional, kemudian ditangkap dan
ditahan sehingga perjuangan mempetahankan apa yang menjadi hak mereka menjadi
lemah atau hilang sama sekali.
Namun sekali lagi, kami
selaku kuasa hukum pedagang selalu mengingatkan agar
pedagang tidak terpancing untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang
dapat merugikan pedagang juga. Peringatan ini selalu kami sampaikan setiap kami
berdialog dengan para pedagang. Untuk mengantisipasi provokator, kami sudah berkoordinasi
dengan kepolisian, walaupun belum dalam bentuk tertulis. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar