OLEH Nurkholis
Dosen,
Komposer, Konduktor, dan Pengamat Musik
Imprezione Musik Minangkabau Bercita Rasa World-Jazz |
Terma musik jazz
seringkali melekat dengan suatu gaya permainan musik yang memiliki hubungan khusus
dalam waktu (tempo, metrik, frasa, aksentuasi, dinamika, legato-staccato, densitas ritmik, dst...) yang didefinisikan
sebagai 'ayunan' untuk sebuah spontanitas dan vitalitas produksi musik---wujud
di dalam kemerduan improvisasi---, dan cara ungkap yang mencerminkan individualitas
dari musisi jazz itu sendiri. Play what
do you feel, and feel what do you play (Mainkan apa yang engkau rasakan,
dan rasakan kembali apa yang telah engkau mainkan).
Meninjau sekilas tentang
kesejarahannya, genre musik jazz adalah paduan dari beberapa habitus musik yang
‘saling silang’ dalam arena budaya, antara; pentatonik blues---ratapan budak-budak Afro-Amerika---, kehadiran musik
konvensional Eropa---imperium diatonik klasikal Barat (Occidental music)---, dan pola-pola Latin yang datang dari bagian
selatan benua Amerika. Realitas dari ragam budaya musik tersebut kemudian berinteraksi dan meleleh (melting pot) dalam wajan musik baru ‘Jazz New
Orleans’, pada akhir abad ke 19 di Amerika.
Berdasarkan kurun waktu
kehadirannya, embrio musik jazz mulai menghirup nafas ‘kemerdekaan’ musikalnya,
seiring atau bertepatan dengan masa peralihan gaya musik Klasik ke musik Modern
di Eropa (Twenty Century of Music)---suatu
gaya baru yang antusias menggunakan skala dan ornamentasi musik Timur (termasuk
juga musik etnik Nusantara)---, atau eksotisme-futuristik
yang mencirikan kepribadian bentuk-bentuk musik impresionisme, simbolisme, ekspresionisme,
dst.
Jika ditelaah dari
komponen musikum pendukungnya, memang bentuk dan struktur musik jazz tidaklah
terlepas dari triangulasi kekuatan budaya Afrika-Eropa-Latin. Namun secara
esensial, wajah musik jazz itu sendiri pada dasarnya melambangkan suatu cara
bernyanyi/bermusik yang identik dengan aksen-aksen blues Afro---cara bernyanyi yang lebih mementingkan ‘penekanan’
pada nada-nada diskord (bluenote)---,
atau mirip dengan garenek, sruti, dan
cengkok melodi yang berlaku dalam
tradisi-tradisi bernyanyi di kawasan Asia (skala pentatonik), maupun nyanyian
bangsa-bangsa di luar kebudayaan Eropa (skala diatonik).
Kesadaran akan kekuatan
singkop dan pola ritmik Afrika (Timur) pun menjadi cara tersendiri di kalangan
musisi jazz, terutama pengaplikasian ke gerak ‘bebas’ melodi yang senantiasa
bermain bersama (call and respon)
dalam dialogis scale-mode, dialektis impromptu. Suatu cara yang menurut penulis berlaku sama dengan
terma imbal (cara bersahut-sahutan
antara bonang dan saron dalam karawitan Jawa-Sunda), atau
setidaknya memiliki kemungkinan yang ‘mirip’ pada konsep-konsep pertunjukan
musik tradisional di Minangkabau, antara; saluang
dendang, babiola, salawat dulang, talempong pacik, dan baindang, yang berkembang di dua kawasan budaya, antara lain; kesenian
darek di daerah pegunungan dan
perbukitan Sumatera Barat, dan kesenian rantau
di tepi pantai barat Sumatera.
Kedua bentukan musik tradisional di atas merupakan dualitas
yang saling berkaitan dalam akar budaya dendang
Minangkabau.
Oleh kalangan tokoh musik---komposer Minangkabau---, terutama di awal
kemerdekaan Indonesia, menggagas kembali potensi kekuatan ke-tradisi-an (budaya
nasional) tersebut sebagai idiom-idiom penciptaan
ke musik populer, antara lain; Orkes Gumarang (Pimp. Asbon), Orkes Kumbang Cari
(Pimp. Nuskan Syarif) , Oslan Hossein, Zainal Combo, Asben, Tarun Yusup, Yusaf
Rahman.
Kemudian, pada dekade
1980-an ke 1990-an, dalam perkembangan
musik “kontemporer” di Sumatera Barat, beberapa kreator musik, antara lain;
Hajizar, Elizar, Mahdi Bahar, Halim, N. Winuza, Rafiloza, Asril Muchtar, Admiral,
Dewo, Talago Buni dkk (Karawitanologi) menerjemahkan natif melodi tradisi Minangkabau ke bentuk-bentuk musik tari dan
‘musik baru’. Sedangkan Yoesbar Djaelani, Wisnu Mintargo, Nurkholis (penulis), Desrilland,
Martarosa, Hasvan, Andranofa, Irwan, Alfino, dkk (Musikologi) mengaplikasikannya
ke bentuk musik simfoni orkestra dan musik elektronik (musik film, tari,
teater). Hal ini senada dengan pendapat Ben
M Pasaribu (2005: 1), “Bahwa dalam perkembangan penciptaan musik baru di
Indonesia, kita akan menemukan alur yang secara kesejarahan meneruskan dua
ragam tradisi musik. Pertama, penciptaan dalam konteks musik tradisional yang
berkembang dalam masyarakat (termasuk pengaruh-pengaruh asing yang sudah
menyatu dalam kultur); dan kedua, penciptaan dalam konteks penggunaan estetika
musikal dari musik Barat, baik dalam format struktur maupun
instrumentasinya".
Namun demikian, meninjau
dari hasil-hasil kreatifitas musik yang ditawarkan, menurut amatan penulis
sedikit sekali yang menukikkan pandangan energi musikumnya ke spirit jazz. Jika pun ada, hanya beberapa ruang ke-karya-an
saja yang sedikit berani menyemprotkan ‘aroma’ jazz untuk dijadikan ‘penyedap’
auditori (bagai mencecahkan tangan ke air panas). Namun, karena racikan bumbu
jazz-nya yang tak seimbang, efek yang muncul adalah ‘selingkuhan bebunyian’
saja (seumpama tidur sekejap berasian, tersintak hari sudah siang), dan belum
masuk ke ranah penyatuan ‘setubuh’ jazz sesungguhnya.
Pada periode selanjutnya,
yaitu dekade 2000-an seiring muncul isu-isu baru pengembangan musik ke arah world music, beberapa komposer muda
Minangkabau (termasuk penulis), turut mengembangkan diri terhadap pemahaman
musik jazz itu sendiri. Dialog-dialog seputar musik jazz dan kesejarahan
estetiknya mulai semarak dibincangkan, dibenturkan, bahkan didekontruksikan. Bersama
semangat baru---generasi muda komposer Minangkabau---, penulis ikut aktif
mengenalkan keunikan musik lokal Minangkabau dalam cengkerama jazz. Hasilnya, para
komposer muda Minangkabau mulai diperhitungkan dalam arena ‘pertaruhan’ musik Jazz-Minangkabau ke
penikmat internasional, antara lain; Malacca Strait Jazz International
Festival, Riau Hitam-Putih World Music International Festival, Sawahlunto
International Music Festival, Payakumbuh World Music International Festival, Solo
International Ethnic Music, Bandung World Jazz International Festival, dan Java
Jazz International Festival dst.
Walau ini adalah kerja
yang belum tuntas, tapi setidaknya ada upaya-upaya yang terus membuka diri seluas-luasnya
terhadap wawasan dan wacana ilmu musik jazz serta sejarah musik dunia. Proses demikian,
tentunya akan menjadi poin penting untuk terciptanya kreasi dan inovasi musikal
bermutu tinggi, terutama yang didasarkan pada kekuatan lokal budaya Minangkabau.
Penulis yakin bahwa yang
dimaksud antisipasi budaya; bukanlah suatu penolakan terhadap musikal yang asing, begitu juga
keterbukaan bukanlah suatu penerimaan budaya tanpa saringan musikal itu sendiri.
Namun, keduanya disinergikan dalam wadah bunyi yang senantiasa
berdialektika-berlogika, serta ditunggu kehadirannya oleh penikmat musik jazz itu
sendiri dimanapun berada.
Ada harapan bahwa keberadaan
institusi-institusi seni semisal Intitut Seni Indonesia (ISI Padangpanjang), maupun komunitas-komunitas musik jazz yang kian
tumbuh-kembang di setiap daerah, selayaknya menjadi ‘payung’ transformasi
didaktik musikum jazz terdepan di ranah Minangkabau; memiliki kemauan,
kemampuan, dan kelenturan adaptasi guna menerangi wajah colloquium Minangkabau yang
kian membentang ke penjuru semesta musika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar