CERPEN Zelfeni Wimra
Buya Irsyad belum juga tahu, perihal apa yang membuat
nyaris semua orang yang hadir tertawa saat ia baru saja bercerita soal tupai.
Ia tidak ada bermaksud melucu. Ia menggunakan perumpamaan tupai ditujukan untuk
memberi perncerahan kepada para pejabat yang sedang kena sanksi administrasi
lantaran tidak loyal kepada lembaga dan diduga tersandung tindak penyalahgunaan
wewenang. Ajudan gubernur membisikkan cerita tersebut menjelang Buya tampil dan
memintanya menjadikan tema ceramah.
Kata ajudan dengan wajah prihatin, di lembaga milik
negara tempat ia sekarang bekerja akhir-akhir ini sangat sering dijumpai
kejadian serupa. Ada pegawai yang baik sekali lakunya, alim rupanya, dan rajin
bekerja, tetapi tiba-tiba saja turun pangkat, sebab terlibat kasus korupsi.
Negara ada-ada saja, kadang-kadang hanya kesalahan mengetik nominal uang di
kuitansi, sudah dinilai sebagai tindak pidana korupsi. Sekarang gampang sekali
menangkap orang maling. Ajudan kasihan dengan pegawai-pegawai itu.
Syukur-syukur mereka hanya kena sanksi administrasi. Malah ada yang masuk
terali besi.
Buya Irsyad mengangguk-angguk. Ia terinspirasi dan ingin
mencurahkan pengajiannya menyangkut hal demikian dengan pengandaian tupai.
Tidak ada maksud membuat humor. Tapi, kenapa ruangan riuh karena tawa yang
disertai bisik-bisik dan celetuk-celetuk? Selintas Buya memikirkannya, tetapi
tidak lama. Ia kembali berkonsentrasi pada kerangka ceramahnya. Ini ceramah
pertama Buya di hadapan gubernur baru yang langsung membuat gebrakan: memberi
sanksi administrasi kepada sejumlah pejabat di lingkunngan kerjanya yang diduga
terlibat tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Pikir Buya, ceramah pertama tentu harus menarik. Bukan
hanya karena supaya dirinya tetap tampil di antara para pejabat itu pada
ceramah kedua, ketiga , dan seterusnya. Lebih dari itu, karena gubernur yang
baru terpilih itu juga seorang Buya. Ilmu agamanya banyak. Penampilannya juga
menampakkan kalau ia seorang yang alim. Mukanya yang putih bersih ditopang
jenggot yang lebat. Luar biasa. Menenteramkan sekali wibawa yang terpancar di
wajah gubernur itu.
Buya Irsyad sangat
mengaguminya dibanding gubernur-gubernur sebelumnya yang lebih suka menghadiri
acara-acara yang ada pertunjukan musik dan tari-tariannya daripada hadir di
majelis agama. Jangankan memelihara jenggot, menghentikan kebiasaan merokok
saja mereka tidak bisa.
Setelah dibisiki, itulah yang sempat dipikirkan Buya Irsyad
sebelum naik ke podium. Ceramahnya harus menarik dan pesannya sampai ke
sanubari. Harus menggugah jiwa orang-orang
bersalah dan menaikkan semangat orang-orang berbuat baik.
"Sepandai-pandai tupai melompat, pada waktunya jatuh
juga. Ini pepatah, terdengar biasa. Tetapi, kalau ditanyakan, kapan waktunya
seekor tupai jatuh? Pepatah ini jadi luar biasa..." demikian Irsyad
memulai pengandaiannya. Langsung saja,
ruangan gedung pertemuan di kediaman gubernur itu riuh oleh tawa.
Buya Irsyad mengacuhkan tawa itu. Ia melanjutkan.
"Mau tahu, kapan seekor tupai jatuh?" ia tatap
mata segenap orang yang hadir. Tawa terhenti. Ruangan hening.
"Sebaiknya kita kembali berguru pada alam,"
sambung Buya. "Seekor tupai jatuh seringkali ketika musim kawin. Keasyikan
bergelut dengan pasangan selama proses kawin, membuat tupai lengah sehingga
kemampuan meloncat dan mengukuhkan jari-jarinya di batang dan cabang kayu jadi berkurang.
Keasyikan yang melenakan inilah penyebab seekor tupai jatuh...."
Kembali terdengar tawa. Kali ini lebih keras, terutama
saat Buya menyebut kata "kawin".
Konsentrasi Buya jadi bercabang, antara memikirkan
kelanjutan ceramah dan upaya mencerna apa yang menjadikan jamaahnya tertawa.
"Jamaah yang aneh," pikir Buya. Sebab, setelah
tawa mereda, di beberapa tempat terdengar desis bisik dan celetukan.
"Adakah yang salah dari cara saya mengemukakan
pengandaian; ataukah ada pejabat yang tersindir?" Buya tiada henti
bertanya dalam hati, sampai ia menyelesaikan ceramah dengan berpatah-patah doa.
Ketika turun dari podium, gubernur dan seluruh pejabat
yang duduk di kursi barisan depan berdiri menyalami Buya. Semua wajah-wajah
baru. Hanya beberapa saja wajah lama.
Buya tetap memasang senyum ramah di wajahnya. Sesekali ia
mempertemukan kedua telapak tangannya dan meletakkan di dada tanda hormat
kepada seluruh hadirin. Ia rapikan letak peci dan burdah yang melindungi kedua
bahunya. Mata Buya memandang lurus, berusaha tampak tawadhu', padahal perasaannya kurang lega dengan keadaan itu. Ia
kembali duduk di atas kursinya, menyeruput air mineral yang sudah tersedia
seperti orang kehausan. Padahal bukan kerongkongannya yang haus, melainkan
pikirannya sedang resah-berkecamuk.
Ia tekuri dirinya, mengingat kembali pengandaiannya soal
penyebab seekor tupai jatuh.
Jangan-jangan gubernur atau salah seorang stafnya sedang punya kasus atau
skandal perkawinan? Tetapi sejauh ini, Buya tidak tahu. Kalau gubernur punya
anak yang banyak, iya, Buya sangat mengetahui itu. Seperti juga dirinya, oleh
beberapa orang dianggap punya banyak anak. Buya punya empat putri dan lima
putra. Bedanya dengan gubernur: anak Buya sembilan dari dua orang istri.
Sementara anak gubernur sebelas dari satu istri.
Kesamaan Buya dengan gubernur, sama-sama percaya, bahwa
di akhirat nanti, seperti pesan nabi, orang yang punya anak banyak akan bangga
dan dibanggakan. Tentu saja, anak banyak itu mesti terurus, sejahtera lahir dan
batinnya. Tidak ditinggalkan dalam keadaan lemah. Hal ini pernah pula menjadi
perdebatan Buya dengan petugas keluarga berencana provinsi. Tapi, itu dulu.
Sekarang bukan anak banyak itu masalahnya. Sekarang,
masalahnya kenapa orang-orang tertawa ketika dirinya membuat pengandaian tupai.
Kening Buya mulai berkerut. Namun sekuat daya, ia tetap
memajang wajah tenang. Wajah tawadhu'.
"Jangan-jangan, pengandaian saya melibas diri saya
sendiri? Tapi dalam hal apa?" Buya tak henti bertanya dalam hatinya. Ia
semakin tidak tenang. Baginya tawa itu sangat aneh. Tidak seperti biasanya.
Buya terus berpikir keras. Pidato gubernur yang sedang
berlangsung tidak menjadi perhatiannya lagi.
Ia ingat-ingat kembali perjalanan karir Buya di
lingkungan orang nomor satu di provinsinya itu. Sudah lama juga. Buya sedikit
tersenyum mengenang semua itu. Semasa para kursi pejabat tinggi di provinsinya
lebih banyak ditempati orang-orang berbaju kuning, baju koko dan batik Buya
juga banyak berwarna kuning. Kemudian terjadi perubahan bentuk, baju pejabat
semakin banyak warnanya, tetapi warna hijau dan merah mendominasi. Koleksi baju
koko, jas, dan batik Buya juga terpengaruh. Berimbang antara merah dan hijau.
Sepertinya, yang paling kekal di tempat Buya sering
memberikan taushiyah itu ialah perubahan. Merah dan hijau pun beralih ke warna biru
muda. Namun, tidak begitu lama, tidak sampai satu dekade, warna biru muda yang
konon dijadikan sebagai lambang demokrasi itu dipekatkan sedikit lagi dengan
warna yang menyimpan semangat nasionalisme, menjadi biru pekat. Warna Baju
koko, jas, sarung dan batik Buya pun mengikuti perubahan itu.
Sepanjang keadaan itu berlalu, Buya merasakan baru pada
periode kali ini ia sedikit lebih berhati-hati memberikan ceramah. Gubernur
yang sekarang menjabat menurut Buya seorang yang berpendirian. Bajunya tidak
kuning, tidak merah, tidak hijau, apalai biru muda atau biru tua. Baju gubernur
itu hitam bercampur kuning mangga.
"Jangan-jangan keadaan ini yang dianggap orang-orang
yang tertawa itu sepantun dengan perilaku tupai?" Buya terus mencoba
menelusuri pikirannya.
Belum sempat Buya Irsyad melanjutkan jabaran logika dan
pertanyaannya, terdengar suara protokoler menyilahkan hadirin menuju ruang
makan malam mencicipi hidangan sebagai tanda acara malam temu ramah dengan
gubernur baru berakhir.
Buya Irsyad pun bergabung ke barisan antrean. Ia mungkin
tak akan pernah tahu, kenapa orang tertawa ketika ia membuat pengandaian tupai
saat menyampaikan ceramah, sebab orang-orang itu berbisik, berceletuk di
belakang Buya Irsyad sambil mendesiskan kalimat:
"Alah! dasar Buya Tupai!"
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar