OLEH Zelfeni
Wimra
Sastrawan
Deddy melatari penelitiannya
dengan beberapa hal. Pertama, persoalan penjara masih menjadi persoalan
yang hangat diperbincangkan pada satu dasawarsa awal abad ke-21 ini. Sejak tahun
1995, penjara memang telah berganti nama menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Dalam
konsep pemasyarakatan, penjara bertujuan menyiapkan para terhukum untuk dapat
kembali ke jalan orang ramai. Penjara dalam hal ini diidealkan mampu memulihkan
akhlak narapidana untuk dapat diterima kembali di tengah masyarakatnya.
Namun, setelah itu penjara
justru masih memunculkan berbagai permasalahan seputar dirinya sendiri. Tidak
jarang penjara dipinalti: “gagal menjalankan fungsinya”. Kesangsian itu lahir
karena penjara yang diidam-idamkan sebagai penyelamat sosial itu malah mencetak
penjahat-penjahat baru. Narapidana kasus copet setelah keluar dari penjara
mendapat ilmu merampok. Narapidana kasus teror setelah dipenjara menjadi lebih
mahir merakit bom. Narapidana kasus pemakai sabu ketika masuk penjara bertambah
kepandaian menjadi pengedar dan bandar. Penjara dengan ini seolah
bertransformasis menjadi ‘sekolah tinggi’ bagi para kriminalis.
Pada intinya, karena ini kajian sejarah, Deddy
menitikberatkan fokus penulisannya pada dunia penjara milik kolonial Belanda di
Padang. Bagaimana penjara tersebut difungsionalkan dan bagaimana kaum Bumiputra
yang pernah dipenjarakan di dalamnya merefleksikan penjara dalam alam-pikir
mereka. Berangkat dari permasalahan itu, penelitian ini selanjutnya menjawab
beberapa pertanyaan yang diharapkan mengarahkan dan membatasi penelitian. Untuk
ini, Deddy membatasi pertanyaan-pertanyaan penelitiannya: 1) Bagaimana
perkembangan konstruksi fisik Penjara Padang secara prosesual; siapa yang
mendirikan, bagaimana proses pembangunan, dan mengapa dibangun? 2) Bagaimana
menejerial Penjara Padang; bagaimana sistem administrasi atau jenjang
birokrasi; sistem kerja tahanan; hukuman disipliner; makanan; kesehatan; dan
pengaturan tahanan perempuan? 3) Bagaimana fungsionalisasi dan aktualisasi
Penjara Padang ke tengah masyarakat Minangkabau; kelompok-kelompok mana yang
dipenjara, kenapa dan bagaimana mereka dipenjarakan? 4) Bagaimana orang-orang
Minangkabau merefleksikan tentang penjara dan pemenjaraan?
Penjara dalam Lingkup Budaya
Minangkabau
Ada beberapa praktik hukuman
yang dicatat dalam beberapa kaba klasik Minangkabau yang berkaitan dengan
hukuman badan, yang sedikit-banyak memiliki karakteristik yang sama dengan
hukuman penjara, bahkan lebih berat dari itu. Di Minangkabau juga dikenal hukum pasuang, kedua tangan dan kaki
dirantai, dan ditempatkan pada pasungan. Beberapa tokoh kaba merasakan
hukuman model ini. Dalam kaba Anggun
nan Tongga, ada sebuah tempat pasungan yang lebih mirip penjara yang di dalamnya:
“... indak tabado banyaknyo
urang, baun nan bukan alang-alang, baun sarupo dangan babi, sarupo narako
hiduik-hiduik, urang barantai jo bapalanggu, lihie bakabek rantai pulo, sarupo
baruak sadang takabek [...] tubuah kuruih kurang makan, nampak tabayang tulang
rusuak, makan basamo babi, kok hiduik tak bulieh mati, kok mati lah mati
anjiang [...] tulang rusuak dapek dibilang, kaki sagadang tangkai sanduak,
bantuak lah indak sarupo urang lai [...] kurang saketek dari binatang ... makan
siso di tampuruang [...] rantai lah basatu dangan dagiang
Namun, pasungan yang
dibicarakan dalam kaba-kaba itu tidak berlokasi di daerah Minangkabau. Daerah
panglima Bajau berada jauh berhari-hari pelayaran dari Minangkabau, barangkali
berada sekitar selat Malaka.
Dalam kaba lain, kaba Rambun Pamenan, terdapat narasi tentang
pemasungan dalam sebuah bilik penjara. Puti Linduang Bulan dimasukkan ke dalam
penjara dalam keadaan leher diikat dengan rantai karena tidak mau
kawin dengan Rajo Aniayo. Penjara itu merupakan penjara Rajo Aniayo di negeri
Camin Taruih, dari istilah ‘Rajo’ yang dipakai untuk gelar pemimpin, dapat
dikatakan bahwa daerah itu berada di
wilayah rantau Minangkabau. Penjara itu dijaga oleh tujuh orang hulubalang, salah
seorang di antaranya bernama Palimo Taduang.
Adapun dalam Bonsu
Pinang Sibaribuik, juga disebut-sebut penjara, tetapi penjara yang tanpa
dipasung. Sibaribuik, tokoh utama dalam kaba ini, dipenjarakan karena difitnah “tunangan
babadan duo, awak tatuduah babuek calo”. Sibaribuik satu sel dengan
Songsong Lawik, anak Datuak Rajo Aniayo yang terkenal sebagai ‘urang
pambajak urang pambajau’, dan beberapa orang lain yang tidak diterangkan
dalam kaba, tetapi disebutkan “tipak kapado nan lain, dibiakan sajo di
pinjaro”. Penjara dalam kaba itu bernama Penjara Piranggi, penjara
Portugis.
Dari kaba-kaba tersebut dapat
diterangkan bahwa penjara telah dikenal dalam masyarakat Minangkabau, namun
bukan menjadi bagian dari model hukuman yang berlaku di Minangkabau, karena
terletak di luar daerah kultural Minangkabau. Konsepsi penjara dalam episteme
Minangkabau dari penjelasan di atas itu adalah penjara merupakan alat kekuasaan
penguasa asing atau penguasa di daerah
rantau yang bertujuan hegemonik, menguasai secara paksa di luar jalur
konsensus. Penjara dalam keterangan di atas adalah milik raja atau
penguasa-penguasa zalim (Rajo Angek Garang, Panglimo Bajau, Datuak Banda, dan
penguasa Peranggi) untuk menghegemoni lawan politiknya. Penjara dalam artian
seperti itu adalah milik penguasa untuk membatasi kemerdekaan orang lain yang
membahayakan kekuasaannya, bukan sebuah praktik hukum yang diterima secara
bersama oleh sebuah masyarakat yang akan memakainya.
Corak hukuman yang telah
didedahkan di atas bercorak asli. Asli dalam kalimat ini memang bisa mengandung
suatu tendensi politis. Dalam wacana poskolonial, kata ‘asli’ adalah kata yang
dilesatkan kaum penjajah terhadap orang-orang Bumiputra, di mana ‘yang asli’
itu kemudian dikategorikan dalam kerangka pikir yang hegemonik. ‘Kalian’ dikategorikan
sebagai ‘yang asli’ untuk membedakannyanya dengan ‘kami’; kalian yang barbar
dan tidak terdidik harus diberi garis pembeda yang tegas dengan ‘kami’ yang
maju dan beradab. Namun, maksud pemakaian kata ‘asli’ menurut Deddy semata-mata
hanya merujuk kepada hukum yang belum mendapat pengaruh hukum Eropa. Hukum asli
Minangkabau sesungguhnya juga mendapat pengaruh Islam yang kuat dan memiliki
perkembangan sejarah yang juga tidak statik, tetapi dinamik sepanjang usia
Minangkabau itu sendiri. Apalagi, hukum-hukum itu diwariskan secara lisan,
tingkat kedinamisannya lebih tinggi dari hukum yang telah dikodifikiasi secara
tertulis.
Pada bagian pembahasan
mengenai konsep pemenjaraan Miangkabau, Deddy mengemukakan informasi bahwa
hukum dalam masyarakat Minangkabau itu perlahan-lahan digantikan oleh hukum
kolonial Belanda. Dalam bagian itu akan diperlihatkan bahwa penjara semakin
mendapat tempatnya yang luas sebagai bentuk hukuman, karena redaksional
pasal-pasal KUHP pidana Belanda yang diberlakukan pengganti hukum lama
menyebutkan bahwa penerapan hukum kolonial itu sendiri diikuti dengan hukuman
penjara.
Tersirat dari paparan Deddy
ini, bahwa orientasi pemenjaraan itu tiada lain adalah untuk memberikan efek
jera bagi pelaku kejahatan. Salah satu konsep peenjaraan atau pemberian sanksi
atau efekjera yang terus terdengar ialah sanksi ”pembuangan”.dikenal sebuah
istilah, dibuang sapanjang adat. Praktik ini diyakini memberikan efek sosial yang bukan main: terbuang secara adat;
tersingkir; disisihkan, dan sebagainya.
Masa Depan Penjara di Padang
Layaknya sebuah kajian
sejarah, selalu menyertakan tiga dimensi utama waktu, yakni masa lalu, masa
kini dan masa depan. Penjara masa lalu adalah objek materil yang menjadi objek
formil pada masa kini dan kemudian untuk pedoman di masa depan. Kira-kira
demikian formulasinya. Akan tetapi, terkait penjara, baik konsep maupun
lembaganya, telah mengalami moderninasi. Semakin berkembang motif kejahatan,
semakin berkembang pula pola pemenjaraan. Konsep nilai ini hidup dengan sehat
di tengah masyarakat. Sekedar menyebutkan, pelembagaan penjara sudah terprogram
secara baik. Dari penjara untuk anak sampai penjara tindak pidana korupsi. Sedangkan
persoalan seputar telah dikendalikannya lembaga penjara oleh trik-trik mafia
hukum menjadi pembahasan yang lain lagi.
Sebagai karya tulis, idealnya,
Penjara di Padang (1824-1942) Deddy Arsya dan ribuan bahkan jutaan karya tulis lainnya
mestilah sampai pada sasaran pembacanya. Kenyataan, di mana karya tulis ilmiah
terkurung dalam timbunan arsip perpustakaan sudah saatnya diretas. Sebagai
media sosialisasi ilmu, karya tulis ilmiah mutlak menyentuh masalalu, masa
kini, dan masa depan masyarakat. Semoga.n
Padang, Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar