OLEH Yetti A.KA
Sastrawan
Yetti AKA |
Era globalisasi memiliki relevansi
dengan kebebasan berekspresi. Pada zaman ini orang-orang merayakan kediriannya
dengan bermacam-macam cara. Keadaan ini ditunjang pula oleh akses informasi dan
fasilitas yang tersedia, terutama di kota-kota besar. Orang-orang dengan mudah
mendapatkan apa yang ia inginkan. Situasi ini dijawab oleh hadirnya berbagai
teknologi sebagai pendukung euphoria itu.
Salah satu teknologi yang paling
digemari masyarakat adalah televisi.
Televisi jelas memiliki daya tarik luar biasa, di samping menimbulkan pengaruh
yang tidak bisa dianggap sepele. Dari televisi orang bisa mengetahui dunia lain
tanpa perlu datang ke sana. Televisi juga bisa membuat orang berada pada
ketaksadaran yang mengasyikkan, tempat di mana orang melupakan rasa sakit;
kemiskinan, pengangguran, harga-harga sembako yang mencekik, dan biaya sekolah
yang mahal (dalam iklannya boleh gratis).
Daya tarik televisi pun dibuat
sedemikian rupa dengan program-program siaran yang selalu berganti sesuai
selera pasar atau tergantung dari jenis siaran apa yang paling disukai.
Keseragaman tidak bisa dihindarkan. Antara stasiun televisi saling mengintip
dan mencontek. Lalu hasil kerja ‘kilat’ dari proses dangkal itulah yang
disodorkan pada penonton.
Penonton perempuan jelas menjadi salah
satu pertimbangan dalam meluncurkan program-program televisi. Apalagi
disinyalir ibu-ibu rumah tangga merupakan kelompok yang paling banyak
menghabiskan waktu di depan televisi. Karena itu juga televisi berlomba-lomba
membuat acara gosip dan sinetron. Star dalam Brooks (2009: 273) berpendapat:
karena kita benar-benar menandai
pengondisian, subjek laki-laki dan perempuan memiliki posisi berbeda dalam
hubungannya dengan semua wacana ini. Konvergensi wacana di dalam suatu teks dan
posisi subjek yang ditawarkan pemirsa menandai opera sabun dan opera olah raga
sebagai sesuatu yang diarahkan pada gender.
Wacana feminin jelas membuat penonton
perempuan merasa menemukan dunianya dalam program televisi. Dalam acara gosip,
misalnya, hasrat ibu-ibu dalam hal ‘membicarakan orang lain’ menjadi terpenuhi
dan terpuaskan. Hiburan semacam ini bukan tanpa maksud. Semua itu jelas-jelas
dikondisikan pada konstruksi gender yang terbangun dalam masyarakat tentang
perempuan yang lebih banyak bicara daripada berpikir. Pembedaan itu dalam teori feminis (Humm, 2002) dikatakan sebagai
pengontrolan dan pengeksploitasian atas perempuan dengan mengasosiasikan
perempuan dengan tubuh (perasaan, organ-organ) dan laki-laki dengan pikiran.
Reality show Antara Kenyataan
dan Kepalsuan
Di tengah maraknya acara gosip dan
sinetron, hadir pula program reality show.
Keunggulan reality show dibanding
program lain adalah kemampuannya melibatkan emosional penonton yang seolah-olah
melihat pengalamannya sendiri dalam tayangan itu. Orang miskin bisa melihat
kemiskinan yang begitu dekat dengannya sekaligus membangun mimpinya melalui
tayangan Bedah Rumah (RCTI, ) dan Tukar Nasib (SCTV ). Atau juga perempuan
dewasa merasa memiliki pengalaman yang sama dengan seorang perempuan yang
sering disakiti pasangannya dalam acara semacam
Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI)
dan Orang Ketiga (Trans TV) atau kisah
pencarian—tentu saja jalan ceritanya berbelit-belit, dan karenanya semakin
membuat penasaran—terhadap seseorang dari masa lalu di program Termehek-Mehek (Trans TV ).
Reality show seringkali membuat penonton ikut
menangis dan larut dalam suasana yang diciptakan. Maka unsur keharuan dibuat
sedemikian dramatis. Dalam acara Tolong
(RCTI), misalnya, seseorang yang telah melakukan pertolongan akan mendapat
‘ganjaran’ sejumlah uang. Tapi itu juga tidak gratis. Ia harus melakukan adegan
menangis dan memperlihatkan rasa bersyukur kepada Tuhan berkali-kali, kemudian
diminta berlari-lari pulang untuk mengabarkan keberuntungan itu kepada keluarga
yang lain sembari terus menangis. Di sinilah, kehidupan tampak tak jelas lagi,
mana yang nyata mana yang reality show.
Batas itu mejadi samar. Dan tidak begitu penting lagi untuk dipikirkan.
Bergerak keluar dari masalah kemiskinan
dan kesedihan, muncul reality show
yang sedikit menghibur dan memamerkan perempuan-perempuan cantik, yaitu Take Me Out (Indosiar). Penonton diajak
menyaksikan perempuan-perempuan dari berbagai profesi bersaing dalam memilih
pasangan, secara terbuka dan blak-blakan. Tayangan itu, ternyata, tidak juga semata-mata
sebagai ajang cari jodoh, perempuan-perempuan itu terkadang punya motif yang
berbeda, antara lain ingin menunjukkan bakat bernyanyi atau akting sambil
berharap ada rumah produksi yang melirik mereka.
Tidak heran—jika kemudian—demam reality show serupa itu merupakan
perayaan dua hal sekaligus, yakni kesediaan perempuan menjadi objek, sekaligus
subjek. Dua kenyataan yang juga mulai kabur maknanya, apakah ia sebagai tubuh
yang ada dalam realitas atau reality show.
Dalam hal ini peran industri pertelevisian menjadi tak terbantahkan dalam
memberi ruang-ruang ekspresi yang ambiguitas bagi perempuan, terlepas ada yang
suka atau tidak.
Persoalannya, bagaimanakah hubungan perempuan
dan televisi (reality show) dalam
kaca mata posfeminis?
Gerakan Perempuan
dari Feminisme ke Posfeminisme
Perempuan dikatakan oleh kaum feminis
gelombang kedua (tahun 60-an) sebagai makhluk yang tertindas dan sub-ordinat.
Dengan kata lain Fromm (2002: 174) mendefinisikan hubungan antara kaum
laki-laki dan kaum perempuan adalah sebuah hubungan antara sebuah kelompok yang
menang dengan kelompok yang dikalahkan. Menyikapi kenyataan itu maka sejumlah
gerakan feminis menginginkan pengakuan yang sama, baik hak dan kesempatan,
antara laki-laki dan perempuan. Perjuangan mereka kemudian diarahkan pada
bagaimana perempuan dapat merebut ruang-ruang (publik) yang selama ini hanya
ditempati kaum laki-laki. McNeil dalam Brooks (2009: 42) mengatakan:
Perempuan yang melahirkan feminisme
gelombang kedua, dapat dianggap sebagai anak perempuan dari pencerahan, di mana
mereka dipandang mewarisi beberapa asumsi pencerahan. Di awal hari-hari keras pada penghujung 1960-an
dan 1970-an, mereka menciptakan gerakan yang memegang janji bagi pengetahuan
tentang relasi gender yang lebih baik dan meningkat, dan melalui pengetahuan
ini—pembebasan perempuan. Pengetahuan
dan pembebasan dianggap sebagai tujuan yang terus meningkat dan saling berhubungan:
sejauh perempuan memperoleh pengetahuan yang lebih tentang posisi mereka di
dunia, diduga bahwa kuasa mereka untuk mentransformasikan posisi mereka akan
meningkat selaras dengan hal tersebut.
Brooks (2009: 42) menjelaskan bahwa
strategi kunci yang dipakai oleh feminis pada gelombang kedua ini dirancang
untuk mengungkap sifat dasar patriarki dan penindasan serta untuk membangun
ruang-ruang khusus bagi perempuan.
Feminisme jelas datang dari Barat
(Eropa). Kadang kala, dalam memandang persoalan perempuan, cenderung men-general-kan persoalan. Patron yang
dipakai juga dari kehidupan perempuan kulit putih, kelas atas, atau paling
tidak terpelajar. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah akan sama masalah
yang dihadapi antara perempuan Eropa dan Asia (Apalagi Indonesia yang terdiri
dari berbagai etnis)? Jelas berbeda. Dan apa mungkin memakai pisau yang sama
dalam menyikapi kondisi-kondisi yang berbeda itu? Contohnya saja, bagi
perempuan kulit berwarna (Afrika) relasi antara laki-laki dan perempuan belum
tentu sama dengan yang ada di Prancis atau Amerika. Belum lagi jika
membicarakan perempuan-perempuan di ‘dunia ketiga’ lainnya yang barangkali
memiliki prioritas berbeda untuk diperjuangkan.
Kesadaran akan adanya perbedaan membuat
feminism mendapat tantangan dari dalam maupun dari luar gerakan itu. Dari sana
lahir posfeminis, dapat dilihat dalam analisis Faludi (dalam Alice) yang
dikutip Brooks (2009: 5):
Pada tahun 80-an penerbitan dari New York Times hingga Vanity Fair sampai The Nation telah mengeluarkan berkas-berkas tuduhan yang senantiasa
melawan gerakan perempuan, dengan kepala berita seperti ‘KETIKA FEMINISME
GAGAL’ atau ‘KEBENARAN YANG MENGERIKAN TENTANG PEMBEBASAN PEREMPUAN.’ Mereka
menganggap, kampanye untuk persamaan hak perempuan bertanggung jawab pada
hamper semua kesengsaraan yang mengungkung perempuan, dari depresi sampai
kekurangan tabungan, dari bunuh diri remaja ke penyakit ketidakteraturan makan
sampai corak kulit yang buruk…Tetapi, apa yang membuat perempuan tidak bahagia
pada dekade terakhir ini bukanlah soal ‘persamaan’ mereka—yang belum mereka
miliki—melainkan meningkatnya tekanan untuk menghentikan, dan bahkan
membalikkan, pencarian perempuan terhadap persamaan.
Posfeminisme telah melakukan serangan
balik pada feminisme dengan mengedepankan adanya perbedaan dan menolak slogan
persamaan. Selain itu posfeminisme, seperti juga gerakan postmodern yang
dikatakan Lyotard (2003: xxvi) sebagai ketakpercayaan terhadap metanarasi,
adalah suatu tindakan yang tidak menginginkan ukuran-ukuran yang kaku, bahwa
perempuan harus begini dan tidak boleh begitu. Maka hadirlah fenomena
perempuan-perempuan yang fashionable,
genit, smart tapi santai, dan tentu
saja eksis dalam berbagai bidang keilmuan tanpa harus berteriak-teriak tentang
persamaan.
Perempuan dan Televisi
dalam Wacana Posfeminisme
Dikotomis antara laki-laki dan
perempuan—dalam hal ini—bukan lagi untuk membahas persoalan ordinat dan sub-ordinat
sebagaimana yang digaungkan kaum feminis gelombang kedua yang menginginkan
adanya persamaan, melainkan pada usaha identifikasi bahwa perempuan jelas
berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini oleh posfeminis diperlihatkan dengan
cara ia memperlakukan tubuhnya, atau menempatkan dirinya di tengah-tengah
kehidupan sosial yang tanpa beban, tanpa agenda-agenda besar feminisme. Brooks
(2009: 235) mengutip Bordo:
Tubuh perempuan yag benar-benar melawan
bukanlah tubuh yang berperang melawan seksualisasi dan objektifikasi feminin,
melainkan tubuh—sebagaimana Cathy Schwictenberg telah meletakkan hal
tersebut—yang ‘menggunakan simulasi secara strategis dalam cara-cara yang
menantang gagasan stabil tentang gender sebagai bangunan besar perbedaan
seksual…suatu politik erotik yang di dalamnya tubuh perempuan dapat diubah
kembali dalam perubahan identitas yang terus-menerus yang berbicara dengan gaya
yang plural.
Bordo mengambil contoh seorang Madonna
yang menampilkan suatu model heteroseksual perempuan yang independen dari
semacam kontrol patriarki. Ia memiliki seksualitas yang menegaskan ketimbang
menolak tatapan laki-laki, menggodanya dengan tatapannya sendiri secara
(sengaja) tak bermutu dan vulgar, menantang siapapun yang memanggilnya pelacur
(Brooks, 2009).
Televisi jelas berperan penting dalam
kehidupan seorang Madonna. Melalui televisi Madonna dikenal oleh jutaan orang
di dunia. Secara tidak langsung televisi menjadi media perlawanan Madonna
terhadap nilai-nilai yang mapan.
Tubuh yang menggoda ala Madonna, juga
tampak pada kegenitan perempuan-perempuan dalam berbagai acara di televise
belakangan ini. Dalam acara gosip, kehidupan artis dikupas sedemikian rupa
lengkap dengan prilaku atau kesalahannya. Si artis sendiri, meski tampak
terganggu, tapi membiarkan dirinya disorot kamera dan mengeluarkan macam-macam
ekspresi. Sementara, perempuan yang menonton acara itu, merasa punya
kepentingan untuk mengetahui kebenaran atau pembelaan si artis. Bahkan ia
melibatkan emosinya dengan bersungut-sungut di depan televisi jika artis
kesayangannya diberitakan yang tidak-tidak.
Pengarahan atau pengondisian ini lebih
dahsyat lagi terjadi pada acara reality
show. Tubuh-tubuh perempuan, baik sebagai tubuh fisik maupun tubuh sosial, meluapkan
kefemininan yang selama ini terkungkung dalam batas-batas antara pantas dan
tidak pantas.
Perempuan dalam reality show, mewakili banyak kepentingan. Di sana ada nilai
ekonomi dan gerakan sosial. Sebagai gerakan (posfeminisme), perempuan-perempuan
itu berupaya menunjukkan keberadaan mereka kepada publik yang selama ini
ditutup-tutupi atau ditahan-tahan. Perempuan tidak harus lagi tampil setegas
laki-laki, tapi memilih menjadi dirinya sendiri. Kefemininan yang alami, manis,
dan ekspresif. Televisi mengambil kesempatan itu untuk memenuhi hasrat
perempuan tampil lepas. Sebuah simbiosis mutualisme yang saling menghendaki.n
Catatan: Beberapa program reality show yang disebutkan di atas sudah berhenti tayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar