OLEH Sulaiman Juned
Dosen Seni Teater Institut Seni
Indonesia (ISI) Padangpanjang
H Adnan |
Lima puluh tahun bersolo karier, (almarhum) Teungku H
Adnan P.M.T.O.H berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut
teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai, dengan Teungku Adnan
menghadap sang khalik (meninggal dunia dalam usia 75 tahun, pada tanggal 4 Juli
2006), belum mampu menemukan penggantinya seperti beliau.
Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semacam bakaba di Minangkabau. Sering juga
disebut masyarakat Aceh poh tem berarti orang yang pekerjaannya bercerita.
Ada juga yang menyebutnya dangderia
seperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater tutur ini menjadi menarik
setelah dikembangkan Teungku Adnan
dengan mempergunakan alat musik rapa’i, pedang,
suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan properti mainan anak-anak, serta kostum.
Properti dan alat musik serta kostum memperkaya tekhnik
pemeranan seperti metode Brechtian
yang memakai teknik multiple set (properti
tangan yang banyak fungsinya), dan efek alinasi
(memisahkan penonton dari peristiwa panggung, sehingga mereka dapat melihat
panggung dengan kritis). Teknik ini sekaligus memberi kekuatan dan dapat mengubah
kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari
penonton.
Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama
oleh masyarakat pendukungnya, sedangkan pekerjaannya di samping sebagai seniman
adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan
P.M.T.O.H oleh Teungku Adnan. “Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa
yang sangat berkesan bagi saya. Saya sering menaiki bus P.M.T.O.H ketika
berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus
tersebut membuat saya terkesan. Maka
dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba, dangderia. Sembari memamerkan
kebolehannya berteater itu, saya memulainya dengan menirukan bunyi klakson bus
P.M.T.O.H. Masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap
saya jual obat, penonton pasti ramai, dagangan saya laris tapi saya harus
menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya
sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan P.M.T.O.H. Setelah saya
pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah P.M.T.O.H”,” ketika
penulis mewawancara Tengku Adnan, pada 14 April 1999 di Blang Pidie, Aceh Selatan
Ternyata nama teater tutur P.M.T.O.H itu merupakan
pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun
1970-an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai
pembaharu teater tutur dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal,
pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan
vokal dalam menyampaikan hikayat.
Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat
pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teungku
Adnan, mereka pasti ramai-ramai mendatanginya karena ingin menyaksikan
pertunjukan P.M.T.O.H.
Teks Hikayat
Andaikan membicarakan tentang teater tutur Aceh, yang
tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub
dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusastraan Aceh ‘hikayat’ yang
tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater
modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutradara
menuju realita teater (pertunjukan). “Hikayat
dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu ‘kisah’ (cerita). Bukan saja
roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku bacaan serta
cerita lainnya juga dinamakan hikayat
jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sajak (puisi) di sebut hikayat, dan ini merupakan hasil sastra
yang sangat luas dalam khazanah kesenian Aceh karena menjadi seni pertunjukan”
(Budiman Sulaiman, Kesusasteraan Aceh, Banda Aceh: Unsyiah Perss, 1988).
Hikayat ketika
dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan menghadirkan berbagai karakter tokoh di
atas pentas, baik perubahan suara (vokal), kostum. Dialog-dialog yang
memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan
antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir
setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat.
Biasanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu
merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat
itu kepada anak-anaknya: “Adapun hikayat
yang menyimpan peristiwa sejarah, di antaranya, Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi,
Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang
disebut dengan hikayat undang-undang seperti, sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti, Nalam, Sipheut Dua Ploh. Tentang adat istiadat, Sanggamara. Hikayat tentang dongeng, Hikayat Gumbak Meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa” (Muhammad Nur,
Apa dan Bagaimana Lagu Pop Aceh, Jurnal
Palanta, Nomor 6 Maret 2000).
Adnan P.M.T.O.H melakukan pengembangan menakjubkan lewat
teater tutur yang awalnya peugah haba atau
dangderia . Ia sanggup menghafal 9 (sembilan)
buah hikayat-hikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi
kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku
Adnan jika ada undangan lalu mempertunjukan P.M.T.O.H satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan
dalam durasi waktu 7 (tujuh) malam berturut-turut. Tuhan memang Maha Kuasa,
Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan. Beliau mampu menyampaikan
pertunjukan yang sama di tempat yang berbeda, namun beliau melakukan
pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan
kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa.
Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua
Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak
dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang disajikan
hanya membaca hikayat (peugah haba). Properti yang digunakan hanya sebilah
pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur
cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh.
Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu
yang diterima dari gurunya Mak Lapee (seorang ulama di Aceh Selatan yang
lumpuh), lalu dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik
dan unik dengan improvisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur
P.M.T.O.H, menyaksikan pentas yang dipenuhi aktor secara imajiner, padahal ia
bermain sendiri.
Teungku
Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja
yang mempersunting putri dari khayangan, yaitu Puteri Bungsu. Tengku Adnan
bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) di kiri
dan di sebelah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan.
Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di
dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi
raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika
menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nujum, rakyat kampung, sambil berimprovisasi
dengan nyanyian teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak
bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya),
vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentifikasi tokoh
yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang
cerita yang lain seperti, Zulkifli, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan
Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh siapapun.
Seorang juru bicara “penyihir” yang mampu memberikan
pesona seni peran. Suatu hari dalam Hikayat
Malem Dewa ia berubah peran dengan sigap. Lima detik pertama ia
mengekspresikan wajah genit, matanya berkedip-kedip. Mengenakan sepotong
selendang, sebuah wig, ia pun menjelma menjadi tokoh Puteri Bungsu, putri yang
jelita dari khayangan. Lima detik kemudian, ia berganti peran menjadi pemuda gagah
siap bertempur memperebut puteri Bungsu. Sepotong pedang terhunus di tangan,
topi baja melekat di kepala. Sementara mulutnya tak putus-putus ia derukan kisah
pemuda bernama Malem Dewa yang harus berangkat ke negeri di atas awan untuk
menemui kekasihnya. Berbagai karakter dengan cepat saling berganti di tubuh dan
suara Teungku Adnan. Ia dapat menjadi Hulubalang, laskar Aceh, jadi nenek
penjaga gubuk Buntul Kubu, pemuda yang mencuri baju sang puteri atau seorang
anak yang merindukan sang ibu.
Daya Improvisasi
Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur
P.M.T.O.H adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya
membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan
Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh
di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah. Kini Sang Maestro, seniman
‘Traubador Dunia’ meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti.
Suatu waktu, ketika penulis masih di Aceh sempat
berdiskusi dengan beliau. “Soel, saya pernah tawarkan program regenerasi kepada
Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang
hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. Lalu kita tuliskan bagaimana
persiapan menjadi aktor P.M.T.O.H, setelah itu kita sebarkan ke sekolah dasar.
Di SD ada mata pelajaran hikayat dan P.M.T.O.H, lalu setiap tahun kita adakan
festival menulis hikayat dan P.M.T.O.H. Kalau ini dilakukan pasti akan muncul
dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangkan,
hanya jawaban basa-basi”. (Wawancara dengan Teungku Adnan, 20 Januari 1989 di
Trieng Gadeng, Pidie, Aceh).
Sekarang Teungku Adnan P.M.T.O.H telah meninggalkan kita
tanpa mewariskan P.M.T.O.H kepada
siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya
sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh
(Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun. Teungku Adnan, benar. Bukan hanya Aceh yang
kehilangan sang “traubadur dunia”. Seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku
Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang
rugi, sebab tak mau merawat penerus pencerita Aceh.
Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang traubadur.
Lalu 900 tahun kemudian di seluruh dunia hanya di Aceh muncul kembali seorang “traubadur dunia”,
yakni Teungku Adnan. Sayang masyarakat dan pemerintah Aceh tidak mau peduli.
Sekarang sang “traubadur” benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi
kita harus menunggu untuk kelahiran seorang traubadur seni tradisi yang luar
biasa itu. Entahlah, kita hanya mampu berharap.
Padangpanjang, 4
Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar