Rabu, 23 Oktober 2013

SETELAH KEPERAGAIAN TEUNGKU H ADNAN PMTOH: Teater Tutur Aceh Terancam Punah


OLEH  Sulaiman Juned
Dosen Seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

H Adnan
Lima puluh tahun bersolo karier, (almarhum) Teungku H Adnan P.M.T.O.H berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai, dengan Teungku Adnan menghadap sang khalik (meninggal dunia dalam usia 75 tahun, pada tanggal 4 Juli 2006), belum mampu menemukan penggantinya seperti beliau.
Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semacam bakaba di Minangkabau. Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem  berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya dangderia seperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan  Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa’i, pedang, suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan properti mainan anak-anak, serta kostum.

Properti dan alat musik serta kostum memperkaya tekhnik pemeranan seperti metode Brechtian yang memakai teknik multiple set (properti tangan yang banyak fungsinya), dan efek alinasi (memisahkan penonton dari peristiwa panggung, sehingga mereka dapat melihat panggung dengan kritis). Teknik ini sekaligus memberi kekuatan dan dapat mengubah kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari penonton. 
Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama oleh masyarakat pendukungnya, sedangkan pekerjaannya di samping sebagai seniman adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan P.M.T.O.H oleh Teungku Adnan. “Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi saya. Saya sering menaiki bus P.M.T.O.H ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut  membuat saya terkesan. Maka dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba, dangderia. Sembari memamerkan kebolehannya berteater itu, saya memulainya dengan menirukan bunyi klakson bus P.M.T.O.H. Masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap saya jual obat, penonton pasti ramai, dagangan saya laris tapi saya harus menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan P.M.T.O.H. Setelah saya pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah P.M.T.O.H”,” ketika penulis mewawancara Tengku Adnan, pada 14 April 1999 di Blang Pidie, Aceh Selatan  
Ternyata nama teater tutur P.M.T.O.H itu merupakan pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun 1970-an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai pembaharu teater tutur dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal, pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan vokal dalam menyampaikan hikayat.
Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teungku Adnan, mereka pasti ramai-ramai mendatanginya karena ingin menyaksikan pertunjukan P.M.T.O.H.
Teks Hikayat
Andaikan membicarakan tentang teater tutur Aceh, yang tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusastraan Aceh ‘hikayat’ yang tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutradara menuju realita teater (pertunjukan). “Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu ‘kisah’ (cerita). Bukan saja roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku bacaan serta cerita lainnya juga dinamakan hikayat jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sajak (puisi) di sebut hikayat, dan ini merupakan hasil sastra yang sangat luas dalam khazanah kesenian Aceh karena menjadi seni pertunjukan” (Budiman Sulaiman, Kesusasteraan Aceh, Banda Aceh: Unsyiah Perss, 1988).
Hikayat ketika dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan menghadirkan berbagai karakter tokoh di atas pentas, baik perubahan suara (vokal), kostum. Dialog-dialog yang memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat.
Biasanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat itu kepada anak-anaknya: “Adapun hikayat yang menyimpan peristiwa sejarah, di antaranya, Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang disebut dengan hikayat undang-undang seperti, sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti, Nalam, Sipheut Dua Ploh. Tentang adat istiadat, Sanggamara. Hikayat tentang dongeng, Hikayat Gumbak Meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa” (Muhammad Nur, Apa dan Bagaimana Lagu Pop Aceh, Jurnal Palanta, Nomor 6 Maret 2000).  
Adnan P.M.T.O.H melakukan pengembangan menakjubkan lewat teater tutur yang awalnya peugah haba atau dangderia . Ia sanggup menghafal 9 (sembilan) buah hikayat-hikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku Adnan jika ada undangan lalu mempertunjukan P.M.T.O.H satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan dalam durasi waktu 7 (tujuh) malam berturut-turut. Tuhan memang Maha Kuasa, Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan. Beliau mampu menyampaikan pertunjukan yang sama di tempat yang berbeda, namun beliau melakukan pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa.
Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang disajikan hanya membaca hikayat (peugah haba). Properti yang digunakan hanya sebilah pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh.
Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu yang diterima dari gurunya Mak Lapee (seorang ulama di Aceh Selatan yang lumpuh), lalu dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik dan unik dengan improvisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur P.M.T.O.H, menyaksikan pentas yang dipenuhi aktor secara imajiner, padahal ia bermain sendiri.
            Teungku Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja yang mempersunting putri dari khayangan, yaitu Puteri Bungsu. Tengku Adnan bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) di kiri dan di sebelah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan. Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nujum, rakyat kampung, sambil berimprovisasi dengan nyanyian teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya), vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentifikasi tokoh yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang cerita yang lain seperti, Zulkifli, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh siapapun.
Seorang juru bicara “penyihir” yang mampu memberikan pesona seni peran. Suatu hari dalam Hikayat Malem Dewa ia berubah peran dengan sigap. Lima detik pertama ia mengekspresikan wajah genit, matanya berkedip-kedip. Mengenakan sepotong selendang, sebuah wig, ia pun menjelma menjadi tokoh Puteri Bungsu, putri yang jelita dari khayangan. Lima detik kemudian, ia berganti peran menjadi pemuda gagah siap bertempur memperebut puteri Bungsu. Sepotong pedang terhunus di tangan, topi baja melekat di kepala. Sementara mulutnya tak putus-putus ia derukan kisah pemuda bernama Malem Dewa yang harus berangkat ke negeri di atas awan untuk menemui kekasihnya. Berbagai karakter dengan cepat saling berganti di tubuh dan suara Teungku Adnan. Ia dapat menjadi Hulubalang, laskar Aceh, jadi nenek penjaga gubuk Buntul Kubu, pemuda yang mencuri baju sang puteri atau seorang anak yang merindukan sang ibu. 
Daya Improvisasi
Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur P.M.T.O.H adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah. Kini Sang Maestro, seniman ‘Traubador Dunia’ meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti.
Suatu waktu, ketika penulis masih di Aceh sempat berdiskusi dengan beliau. “Soel, saya pernah tawarkan program regenerasi kepada Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. Lalu kita tuliskan bagaimana persiapan menjadi aktor P.M.T.O.H, setelah itu kita sebarkan ke sekolah dasar. Di SD ada mata pelajaran hikayat dan P.M.T.O.H, lalu setiap tahun kita adakan festival menulis hikayat dan P.M.T.O.H. Kalau ini dilakukan pasti akan muncul dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangkan, hanya jawaban basa-basi”. (Wawancara dengan Teungku Adnan, 20 Januari 1989 di Trieng Gadeng, Pidie, Aceh).
Sekarang Teungku Adnan P.M.T.O.H telah meninggalkan kita tanpa mewariskan P.M.T.O.H  kepada siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun.  Teungku Adnan, benar. Bukan hanya Aceh yang kehilangan sang “traubadur dunia”. Seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang rugi, sebab tak mau merawat penerus pencerita Aceh.
Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang traubadur. Lalu 900 tahun kemudian di seluruh dunia hanya di Aceh  muncul kembali seorang “traubadur dunia”, yakni Teungku Adnan. Sayang masyarakat dan pemerintah Aceh tidak mau peduli. Sekarang sang “traubadur” benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi kita harus menunggu untuk kelahiran seorang traubadur seni tradisi yang luar biasa itu. Entahlah, kita hanya mampu berharap.

                        Padangpanjang, 4 Desember 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...