CERPEN Yetti A KA
Sumber Ilustrasi http://jendelagertak.blogspot.com |
Sesan suka air. Segala
jenis air. Waktu papa dan mamanya belum bercerai, mereka sering berenang di
laut, tepatnya di Samudera Ujung. Mereka juga mancing ikan. Mengejar anak
kepiting yang merayap lincah di pasir. Atau mencari bangkai bintang laut.
Sampai Sesan berusia dua
belas tahun ia masih sangat suka air.
Kemudian papa dan mamanya
bercerai. Sesan tinggal dengan papanya.
Dan mereka tidak pernah lagi main air bersama di sungai, danau, air terjun atau
sekadar duduk-duduk di pantai. Papanya tidak tahan berada di
sebuah tempat di mana mereka pernah hidup bahagia. Mamanya memang tetap gemar berenang
atau memancing—barangkali sampai akhir hidupnya—tapi ia segera menikah lagi,
dan mereka punya acara liburan sendiri dalam keluarga baru itu. Papanya meminta
Sesan untuk memahami bahwa mamanya sudah terbagi. Dan mereka tidak boleh
berharap banyak pada sesuatu yang sudah terbagi itu. Sesan merasa lebih
daripada itu sesungguhnya papanya sedang berusaha membenci mama.
Sesan hanya bisa main
air sendirian, berenang-renang di bak mandi—memang kurang menantang dibanding mandi
di sungai yang berarus deras—sore hari sebelum papanya pulang kerja. Ketika
papanya pulang, Sesan sudah mengganti air dalam bak, berpakaian rapi dan mulai
mengerjakan tugas sekolah tanpa harus berdekat-dekatan dengan papanya dalam
waktu lebih lama yang akhir-akhir ini sering mengeluh sakit punggung atau pilek
yang terlampau sering kambuh hingga Sesan berpikir kalau papanya mengada-ada. Sesan
merasa kasihan pada papanya. lebih-lebih karena selama ini papa terlalu
bergantung pada mamanya.
Dari kamar Sesan
mendengar langkah papa masuk kamar mandi dan terdengar suara air dari kran,
padahal bak sudah penuh. Papanya memang senang mendengar suara air. Itu musik sesungguhnya,
Sesan, kata papa suatu kali.
Sesan menutup
buku-bukunya. Ada satu nomor bilangan berpangkat yang belum ia selesaikan. Sebenarnya
ia butuh bantuan papa untuk urusan matematika. Belakangan hal itu tak mungkin
ia dapatkan lagi. Sesan menguap. Masih pukul tujuh malam, ia sudah mengantuk. Tadi
ia kelamaan main air. Beginilah jadinya. Ia tidur lebih cepat dari biasa.
***
Pagi itu Sesan berangkat
ke sekolah. Papa tidak masuk kantor, ia sedang tidak enak badan, pilek. Sebenarnya
Sesan lebih senang pergi ke sekolah sendirian, tanpa menumpang mobil papa.
Apalagi umurnya tiga hari lagi genap tiga belas tahun. Beberapa temannya bahkan
sudah berani pacaran pada usia itu. Sudah saatnya bagi Sesan untuk belajar mengurus
diri sendiri. Papanya bilang: semua anak perempuan juga begitu ketika seusiamu.
Tidak sabar ingin menjadi dewasa. Saat dewasa mereka malah membayangkan betapa
senangnya bila kembali menjadi seorang gadis kecil dengan rambut yang masih
dikuncir.
Sesan bertanya:
bagaimana papa tahu?
Papa
Sesan tergeragap.
Bilang
saja papa tahu dari mama. Apa salahnya sih.
Benar.
Mamamu yang bilang. Ia senang membicarakan masa lalunya...
Sesan memotong,
menurut papa, mama kangen tidak main air bersama kita. Mama
ingat tidak ya bahwa kita pernah terlalu banyak tawa sampai-sampai tidak
berpikir kesedihan macam ini akan terjadi.
Nanti
terlambat, papa mengalihkan pembicaraan.
Sesan menaikkan tas ke
punggungnya. Ia tahu setelah ia berangkat sekolah, papanya menangis
di kamar. Lain kali ia tak mau membicarakan mamanya lagi.
Hati-hati, kata papanya
mengantar Sesan sampai pintu.
Papa yakin tidak perlu
ke dokter, tanya Sesan.
Papa menggeleng.
Apa aku sebaiknya
memberitahu mama?
Papanya memaksakan diri
tertawa. Mengedipkan mata, seakan-akan mau bilang: kamu nakal ya.
Sesan melambaikan
tangan. Hanya itu saja. Bahkan ia malas sekali tersenyum.
***
Sesan berdiri di pinggir
jalan yang masih lengang, menunggu angkutan umum. Karena terlalu pagi, belum banyak
kendaraan yang lewat. Ia menendang-nendang kerikil dengan ujung sepatunya untuk
mengusir rasa bosan.
Sesan berharap ada
seseorang, barangkali teman satu sekolah, bergabung dengannya. Ia ingat, ada
beberapa teman sekolah yang tinggal di sekitar rumahnya. Selama ini mereka
kurang akrab. Selain beda kelas, Sesan jarang naik angkutan umum, kecuali kalau
papanya tidak masuk kantor, dan itu cuma sekali-sekali. Apa salahnya memulai
pertemanan baru, pikir Sesan. Itu jelas menyenangkan. Untuk selanjutnya mereka bisa
membuat janji jam berapa berangkat sekolah keesokannya andai ia dibiarkan
belajar dewasa lebih cepat dari yang papanya rencanakan.
Kendaraan perlahan
ramai. Sesan melambaikan tangan pada angkutan kota warna kuning, jurusan yang
melewati sekolahnya. Ternyata penuh. Sesan mulai tidak sabar. Ia menurunkan tas
punggung yang tersandang di bahu yang dijubeli buku-buku.
Lalu kijang hitam berhenti di depan Sesan. Ia
belum sempat memikirkan apapun saat dua laki-laki turun dan mendadak membekap
mulutnya dengan sapu tangan. Tidak ada orang di sekitar sana. Semua terjadi
begitu cepat dan ia tidak tahu apa-apa lagi. Hanya pikiran yang seolah
berputar, makin pelan.
***
Arus. Sesan merasa
berada di tengahnya. Terjebak dalam riam sungai yang ganas. Deras. Sesan
menggigil ketakutan. Terhempas. Terseret. Mulutnya penuh air. Tidak bisa
bernapas. Dada Sesan sesak. Tidak bisa menjerit padahal ia butuh menjerit. Batu
besar seakan menghimpit tubuh Sesan. Ia berhenti melawan. Lemas. Dadanya
perlahan longgar. Ia kembali bisa bernapas.
Sesan mendengar suara
papa dan mamanya berbisik: kau harus bertahan. Kami sayang kamu.
***
Lelaki gemuk itu, orang
pertama yang Sesan lihat saat ia membuka mata. Ia menyeringai. Matanya tampak
jahat dan berada kira-kira tiga puluh senti di atas wajah Sesan. Sesan berusaha
duduk untuk memperkuat keyakinan kalau ia masih hidup. Lelaki itu menegakkan
punggungnya, membuat Sesan sedikit bebas.
Sesan baru mengerti
kalau ia berada dalam kijang hitam yang berhenti di depannya saat ia mau
berangkat ke sekolah. Kaca-kacanya tertutup rapat dan berwarna gelap. Ada anak
perempuan lain di sampingnya. Ia tertidur. Baju yang ia kenakan seragam putih
biru, sama dengan Sesan. Usianya bisa jadi tiga belas tahun atau setahun di
bawah itu. Ia berkulit putih bersih. Pipinya bulat dan agak pucat. Kalau sedang
tidak tidur mungkin ia akan kelihatan lebih cantik. Di kursi bagian tengah,
duduk seorang laki-laki berkepala botak. Sesan tidak bisa melihat wajahnya, sebab
lelaki itu menghadap ke depan, tepat di belakang sopir. Di samping sopir, ada
seorang lelaki lagi. Paling kecil di antara yang lain, tapi sepertinya dia
seorang bos.
Lelaki di samping Sesan
memberi sebotol kecil air mineral. Sesan langsung mereguknya hingga habis. Sesan
tidak tahu berapa lama ia tidur. Ia merasa haus sekali. Juga lapar. Dan saat
itulah Sesan ingat papanya yang sedang pilek di rumah. Atau mamanya yang
akhir-akhir ini jarang menelepon, apalagi mengunjunginya dan menanyakan
perkembangan sekolahnya. Papanya pasti cemas. Mamanya mungkin sedang lupa pada
dirinya. Tapi beberapa jam lagi bisa jadi mamanya juga cemas, ketika papanya
memberitahukan ia belum pulang lebih dari belasan jam, papanya sudah mencari
tahu ke mana-mana, termasuk ke sekolah dan ke rumah teman-temannya oleh karena
itu mereka perlu melapor polisi.
Sesan sering nonton
berita bersama mama—ini tentunya sebelum mamanya memilih meninggalkan rumah
dengan alasan tidak sanggup lagi mempertahankan pernikahan—di sore hari dan
mamanya berkomentar bahwa jalanan, di kota kecil sekalipun, mulai tidak aman
untuk kaum perempuan, terlebih para gadis yang masih perawan.
Kepala Sesan serasa
dihantam, dan ia sadar bahwa ia harus berteriak sekeras-kerasnya. Lelaki itu
buru-buru menutup mulut Sesan. Kuperingatkan jangan bertingkah macam-macam! bentaknya
geram. Untuk pertama kali Sesan benci kenapa ia perawan dan membayangkan
alangkah beruntungnya jika ia seorang nenek tua berkulit keriput, meski
belakangan ia lihat di TV ada juga nenek-nenek diperkosa, baik dalam keadaan
hidup atau mati sekalipun.
Sesan sedih membayangkan
papanya menelan berbutir-butir pil penenang—kebiasaan papa bila sedang kacau—sambil
terus menyimak berita di TV berharap kalau ada petunjuk tentang dirinya. Sementara Sesan tahu bahwa ia sulit untuk benar-benar
kembali pada papanya. Ini mengerikan. Atau entah, Sesan kelewat gemetar untuk
mengungkapkan perasaannya mengingat ia anak perempuan yang biasa diantar-jemput
ke sekolah, dan tidak terlalu percaya kalau orang jahat dapat mendekatinya sebab
ia yakin gadis yang belum mendapat mens tidak punya beban dosa dan Tuhan akan
menjaganya.
***
Seorang lelaki, entah
siapa namanya, bertanya pada Sesan: kenapa kau mau menjadi pelacur.
Kau pikir aku mau
menjadi pelacur? Sorot mata Sesan memancar tajam seraya
melontarkan pertanyaan yang selalu ia ulang, walau itu dalam hatinya saja.
Ia ingat kembali
mengenai perjalanannya hingga berada di kota pelabuhan ini. Bukankah sepanjang
perjalanan ia hanya menangis saja, kecuali dalam kapal laut, ia dipaksa diam
untuk menghindari kecurigaan orang. Turun dari kapal ia dijual pada seorang
perempuan lima puluh tahunan. Lalu oleh perempuan itu ia diserahkan pada
seorang lelaki yang menyekapnya di sebuah hotel. Seterusnya ia dipaksa melayani
sejumlah laki-laki dan berusaha tidak
mengingat wajah-wajah itu.
“Berapa umurmu?” tanya
lelaki itu.
“Tiga belas tahun.”
Lelaki itu menatap mata
Sesan, “Siapa namamu?”
“Sesan. Tapi itu dulu.
Sekarang aku tidak peduli siapa namaku.”
Lelaki itu mempermainkan
jari-jari Sesan.
“Apa kau suka air,”
tanya Sesan tiba-tiba.
“Tidak terlalu suka.”
Lelaki itu mematikan api rokok.
“Kami sekeluarga suka
air.”
“Manis sekali.”
“Papa dan mamaku
bercerai setahun lalu.”
Lelaki itu memeluk Sesan.
“Setelah itu
papaku mudah diserang pilek. Aku tidak tahu apa hubungan perceraian dengan
penyakit itu.”
“Aku juga tidak
tahu,” bisik lelaki itu mulai tidak sabar.
Sesan terus
bercerita,
“Pada hari libur kami berenang di laut. Aku paling suka mengejutkan anak
kepiting yang jumlahnya banyak sekali, dan mereka akan terbirit-birit
menuju ke tengah...”
Lampu kamar itu berganti
remang.
“Kami
juga senang kejar-kejaran di atas pasir tanpa alas kaki. Atau kami menunggu
ombak sambil berteriak-teriak.” Pipi Sesan mulai basah, dadanya bergetar kuat.
Lalu napas yang memburu. Bergemuruh. Seperti ombak. Ombak. Sesan hanya
membayangkan ombak saat lelaki itu mendekap tubuhnya erat. “Ombak. Pantai. Air
laut. Aku sungguh-sungguh suka air…”
Sesan
akan terus berkisah pada setiap lelaki yang menulis catatan di tubuhnya. Ia
ingin suatu hari nanti para lelaki itu bercerita pula pada istri atau pacar
mereka tentang seorang gadis yang tergila-gila pada air seolah itu sebuah
dongeng pengantar tidur. Mungkin saja istri atau pacar para lelaki itu kenalan
papa atau mamanya dalam suatu seminar. Kemudian papa atau mamanya merasa
menemukan Sesan dalam dongeng itu. Setidaknya Sesan ingin mengabarkan kalau ia
tetap saja menyukai air meski ia bukan gadis kecil dengan rambut yang dikuncir
lagi yang karena itu juga ia tidak bisa kembali.
Kini Sesan telah
begitu basah.
***
Di tempat jauh
itu,
Sesan tetap suka air, terutama air yang memiliki arus deras, walau dengan
perasaan yang berbeda. Pandangan yang berbeda. Semacam rasa suka yang sedikit
sumbing.
Sesan tidak sedang
marah. Apapun yang terjadi pada kehidupannya, ia tidak ingin menunjukkan reaksi
marah. Kalau menangis, bolehlah. Selebihnya Sesan bersikap biasa saja. Tidak
peduli kepedihan itu menggigitnya bagai diserang udara yang kelewat dingin.
Sesan tidak mau orang-orang menatap sedih ke arahnya dan memberi kata-kata
pengharapan seolah ia tidak mampu berdiri normal. Namun begitu, satu yang
sangat Sesan tahu, ia memang tidak akan
pernah sama lagi dengan dirinya yang dulu, ketika ia masih berusia dua belas
tahun, punya senyum semanis bunga dan mata yang ditumbuhi pepohonan.
Malam-malam Sesan juga
sudah berbeda. Ia tidak lagi mengerjakan bertumpuk tugas sekolah. Menyiapkan
presentasi sederhana untuk mata pelajaran Biologi yang paling ia senangi. Atau
menulis puisi untuk mading sekolah.
Sesan seorang pelacur di
usia tiga belas tahun. Selamanya akan begitu.
Ah, papa, apakah
pilekmu sudah sembuh dan kau kembali berlama-lama mendengarkan nyanyian air di
kamar mandi? Bisik Sesan sembari memejamkan mata.*
Jogjakarta,
November 2009
Tentang Yetti A KA
Bergiat
di Komunitas Daun, Padang. Buku kumpulan cerpen tunggalnya, NUMI (Logung Pustaka, Jogjakarta,
2004) dan Musim yang Menggugurkan
Daun (Penerbit Andi, Jogjakarta, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar