CERPEN Joni Syahputra
Sumber: tegarseptyan.wordpress.com |
Tamu agung itu sepertinya tersinggung. Baranjak secara
tiba-tiba dari tempat duduknya. Berdiri. Tanpa mengatakan sepatah katapun,
langsung pergi, tanpa pamit kepada tuan rumah.
Perempuan paruh baya, si tuan rumah, jadi salah tingkah. Belum
meyadari apa yang membuat si tamu tersinggung, beranjak menuju pintu. Tetapi sang
tamu agung sudah menghilang.
Gelisah, mondar mandir ke sana kemari. Sama sekali dia
merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Bingung. Ingin segera menyusul keluar,
tetapi, Johan, si tamu agung itu, sudah menghilang di balik tikungan. Ia pergi
bergegas. Beruntung sebuah bus lewat. Tangannya menggigil. Teriakan kondektur
bus memanggil penumpang tidak dihiraukannya lagi. Ia mencoba memicingkan mata
beberapa saat. Ingin menghilangkan kegundahan di hatinya.
Sepiring telur dadar
di meja makan membuat semua barantakan. Acara yang sudah disusun bubar
sebelum waktunya. Sama sekali ia tidak menduga kalau telur itu akan
ditemukannya lagi di meja makan rumah, calon mertuanya itu. Seonggok telur dan sebungkah
kenangan masa silam yang tak akan pernah dilupakannya. Sayangnya, kenangan itu bangkit
lagi.
Wajah seorang perempuan, muncul seketika di atas piring
telur dadar itu. Memandang dengan penuh amarah ke arahnya. Ingin mencekik. Dan
ia sangat ketakutan saat itu. Itulah yang menyebabkan sehingga ia sangat
ketakutan.
Perempuan itu, uni
kandungnya. Dia sangat pandai memasak telur dadar. Satu butir telur, didadar
dan dipipih sehingga melebar. Semakin lebar, semakin bagus, semakin gurih dan
enak. Tetapi, tentu saja tujuan uninya
bukan untuk membuat segurih mungkin, melainkan agar telurnya kian lebar sehingga
keempat anaknya yang masih kecil-kecil bisa mendapat bagian semuanya.
Itulah telur dadar yang paling enak menurutnya. Ia ingin
segera sampai di kampung untuk sekadar merasakan telur buatan uninya itu. Pernah juga dicobanya
memasak telur seperti itu, tetapi rasanya tak pernah seperti yang dibuat uninya.
Tetapi sayang, sudah lama lidahnya tidak pernah merasakan
nikmatnya telur itu lagi. Ironisnya, kini ia jadi benci dengan telur dadar itu.
Semua itu berawal ketika uninya, si pembuat telur dadar ulung itu menjual dua petak sawah warisan
tanpa membawasertanya bermusyawarah. Konon, menurut kabar yang didengarnya, hasil
penjualan sawah itu juga digunakan untuk membeli motor baru, untuk iparnya.
Johan marah besar mendengar kabar itu. Beberapa kali
dicobanya menghubungi uninya dengan handphone, tetapi tidak pernah tersambung. Karena saking marahnya, ia
sengaja pulang ke kampung untuk menyelesaikan masalah itu.
“Mengapa saya tidak diberi tahu?” katanya penuh amarah.
Uninya diam tanpa menjawab. Air matanya
keluar. Johan tidak berubah jadi iba.
“Mengapa uni begitu bodoh sekarang. Kalau begini terus,
semua harta peninggalan ayah dan ibu akan habis semuanya.”
“Dengarkan dulu Han.”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.” Hatinya
bertambah marah, apalagi ia juga melihat sebuah motor baru parker di dalam
rumah.
Ia melangkang pergi tanpa menginjakkan kakinya di dalam
rumah. Sebelum kembali ke kota, ia singgah di rumah Datuk Birahin, ketua
sukunya. Ia ingin memperjelas secara adat tentang persoalan itu.
“Jelas itu sangat
bertentangan dengan adat kita. Kamu sebagai satu-satunya anak lelaki seharusnya
diberi tahu. Memang menurut adat Minang sawah serta harta pusaka lainnya jatuh
ke tangan perempuan, tetapi sebagai ’mamak’ di dalam keluarga, kamu wajib
dibawa bermusyawarah. Kalau saya lihat, sekarang semendamu itu sudah ingin menguasai
semua harta pusakamu. Ini tidak bias dibiarkan terus. Sebagai orang yang datang
ke rumpun keluarga kita, ia sama sekali tidak berhak. Semenda itu ibarat abu di
atas tunggul. Ia bisa terbang kapan saja kalau ditiup angin.”
Johan terduduk. Diam. Mukanya memerah. Apa yang dikatakan
Datuk Sabirin itu benar adanya. Di dalam adat Minang, semenda memang tidak punya
hak sama sekali terhadap harta peninggalan orang tua istrinya. Mengapa pula,
Mardan, suami kakaknya itu yang menjual dua petak sawah untuk dibelikan motor
baru. Untuk berfoya-foya. Gila itu.
“Sudah tidak benar itu. Di dalam adat Minangkabau ada
empat macam jenis urang sumando.
Pertama urang sumando kacang miang,
yaitu semenda tukang hasut, kedua urang
sumando langau hijau, yaitu laki-laki yang suka memperbanyak istri tanpa
bertanggung jawab, ketiga urang sumando
lapik buruk, yaitu semenda yang tidak mempunyai harga diri, keempat urang sumando ninik mamak, semenda yang
suka bekerja keras. Mardan itu aku kategorikan semenda lapik buruk, tidak punya
harga diri,” suaranya menggelegar.
Amarah Johan kian memuncak mendengar penjelasan adat itu.
Ia ingin mencari kakak iparnya itu untuk membuat perhitungan. Tetapi Datuk Birahin
melarang. “Tolong jangan sekarang. Saya tahu kamu sedang marah. Tetapi, kita
bisa mendapat malu kalau menyelesaikan persoalan ini dengan kepala panas.”
Johan mengurungkan niatnya. Pejelasan Datuk Birahin,
kepala sukunya itu ada benarnya juga. Tindakannya itu jelas akan menimbulkan
aib bagi keluarga besarnya.
“Semenjak orang tuamu meninggal, kini semua harta sudah
dikelola Mardan. Kakakmu itu bodoh. Saya dengar-dengar, Mardan malah mau kawin
lagi. Bisa jadi nanti harta itu akan diberikan kepada istri mudanya yang lebih
cantik.”
Johan kembali ke kota malam itu juga. Dengan sakit hati
dan benci, tentunya.
Itulah awal keretakan keluarga itu. Semenjak itu, Johan
tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di kampung. Baginya, semua persoalan
selesai. Hubungan keluarga putus. Ia sangat malu. Kepalanya dilangkahi. “Lebih
baik kita menjalani hidup sendiri-sendiri,” katanya.
Setelah tamat kuliah dan menjadi seorang dokter, ia
bertugas di kota lain. Bahkan ketika mendengar kakaknya itu, ia tidak mau
pulang. Hatinya masih terlalu sakit. Kalau saja tidak ada suatu keperluan untuk
tugas kantor di kampungnya, tentu semua kebenaran itu tidak akan terungkap.
Tanpa sengaja, menjelang kantor Wali Nagari, ia melihat mamaknya, Datuk Birahin menanam jagung
di sawah.
“Wah, jagungnya besar-besar. Sudah mau panen ini mamak,” katanya.
Setelah lama berbincang, ia baru menyadari kalau ternyata
sawah yang ditanami mamaknya itu adalah sawah orang tuanya dulu. Ia pun
bertanya. Mamaknya tidak bisa
menjawab dengan jelas. Karena tidak puas dengan jawaban itu, akhirnya ia
berniat mencari mantan kakak iparnya, Mardan. Sayangnya rumah peninggalan orang
tuanya sudah tidak ada lagi. Di bekas bangunan itu sudah dibangun beberapa
deret toko.
Dari beberapa penduduk, ia mengetahui kalau Mardan
tinggal di ujung kampung. Johan marah. Ia langsung menuju ke rumah itu. Pasti
di sana Mardan sedang bersama istri barunya itu.
Dua orang anak kecil yang membukakan pintu tidak menjawab
ketika Johan menanyakan dimana ayah mereka. Dua orang lagi masih menangis.
Kurus-kurus. Terlihat mereka seperti kurang gizi. Tidak lama Mardan muncul.
Muka Johan masih memerah. Ia sangat marah. Mardan tertunduk. Ia menyalami
Johan. Johan masih belum mau menjawab uluran tangannya. Matanya masih melihat
sekeliling, mungkin ingin mencari dimana istri baru Mardan itu. Akan tetapi
yang dicari tidak ditemukannya. Lantas, ia mengalihkan pandangan ke dalam rumah.
Tidak juga ditemukan motor yang dulu itu.
“Masuklah Han, di luar dingin,” ajak Mardan.
Johan pun masuk. Ketiga anak kecil itu, yang besar ternyata
sudah kelas 3 SD menyalaminya.”
Sementara anak yang lain, masih saja menangis. Si Upik, yang
sudah SD itu bergegas membuatkan segelas teh hangat. Tangan kecil yang kurus
itu menggigil ketika membawakan gelas itu kepadanya, Mungkin saja ia masih
grogi melihat orang yang baru atau malah menggigil karena belum makan.
Matanya melongok ke dapur, tidak ada bekas unggun api.
“Apakah mereka tidak memasak nasi? Apakah anak-anak kecil itu belum makan?
Padahal sudah siang.” Pikirnya.
Lama ditunggu,
yang diharapkan Johan belum datang. Lantas ia memberanikan diri bertanya. “Istri
barunya Uda mana?”
Mardan terkejut. Mukanya terlihat menghitam. Keempat anak
kecil itu meraung. Belum lagi sempat menjawab, Johan sudah mencocor dengan
pertanyaan lain. Berapa harga sawah yang dijual. Kemana uangnya, dimana motor
baru itu, kenapa sawah itu sekarang malah digarap Datuk Birahin. Mengapa ia
tidak diajak bermusyawarah ketika sawah itu dijual.
Johan duduk terhenyak. Sebentar, ia menarik nafas.
Mukanya masih sepadam api.
Mardan terkejut. Jadi inilah alasannya atas perubahan
sikap Johan selama bertahun-tahun ini. Itulah penyebabnya.
“Fitnah. Kamu sudah termakan fitnah. Keluarga kita hancur
karena fitnah,” katanya pelan sambil mengge;leng-gelengkan kepala.
Setelah suasana mulai tenang, Mardan mulai menjelaskan
duduk persoalannya. Ia bahkan menjelaskan sedetik-detilnya. Penjelasan yang
membuat bulu kuduk Johan merinding. Sebulan setelah ayahnya meninggal. Mereka
terpaksa menggadai sawah itu untuk membayar hutang biaya berobat ayahnya.
Ayahnya ternyata sudah bangkrup. Sebuah toko di pasar kecamatan juga sudah
terjual. Johan memang tidak pernah diberi tahu, agar pikirannya tidak terganggu. Ia harus
menamatkan kuliahnya dan menjadi dokter.
“Sisa hutang untuk biaya berobat ayah, itu memang saya belikan
motor. Motor itu digunakan untuk mengojek. Saya tidak punya pekerjaan lagi,”
katanya.
Johan terdiam. Ia ingin bertanya, kalau kenyataannya seperti
itu, jadi uang yang diterimanya dari kampung adalah dari kakak iparnya yang
hanya seorang tukang ojek dan uninya
yang berjualan lontong. Walau ia tidak pernah pulang, ia memang masih selalu
menerima kiriman itu. Tetapi tidak pernah dipakainya. Untuk biaya kuliah, ia
mendapat beasiswa.
Pembicaraan mereka terhenti. Seorang tamu datang
mengantarkan baju kotornya.
“Ayo segera dicuci,” kata Mardan kepada si Upik. Si Upik
segera menuju sungai.
Johan menduga, keponakannya itu mencucikan baju orang.
Ternyata benar. Sepulang sekolah dia membantu tetangga mencuci baju. “Lumayan
untuk tambahan belanja,” katanya.
“Sawah itu tidak pernah dijual. Hanya digadai. Sebulan
sebelum kakakmu meninggal sudah ditebus lagi. Sekarang semenjak unimu meninggal. Sawah itu, termasuk
rumah diambil alih Datuk. Katanya saya hanya urang sumando tidak berhak atas harta istri. Saya katakan, saya
hanya ingin mencarikan nafkah untuk anak-anak saya. Datuk bersikeras dan
mengambilnya. Kami diusir Han. Begitulah ceritanya sehingga kami sampai menumpang
di rumah ini.”
Johan tersentak kaget. Diam. “Jadi ini bukan ruah istri
uda yang baru?” katanya.
“Siapa bilang Han. Anak saya empat, siapa yang mau.
Pekerjaan juga tidak jelas. Siapa yang mengatakan itu kepadamu?”
Johan tertunduk. Malu. Salah. Selama ini ia sangat bersalah.
Ia ingin mencari Datuk Birahin. Ia ingin menyelesaikan semua urusan secara
laki-laki tukang fitnah itu. “Ia yang seharusnya pantas aku sebut Datuk Kacang
Miang,” katanya.
Sebuah golok yang tergeletak di dapur diambilnya. Ia
sudah melangkah keluar. Dari dalam rumah Mardan memanggil dan mengejarnya keluar.
Ketiga anaknya meraung.
Si Upik yang melihat ikut serta mengejarnya, memegang
tangannya.
“Om dokter, jangan…”
Tetapi Johan sudah terlanjur.
Padang, akhir Oktober 2011
Catatan: Uni : panggilan untuk kakak perempuan; Urang sumando :
semenda; Mamak: paman; Uda: panggilan untuk kakak laki-laki
Tentang penulis
Joni Syahputra lahir di Solok, Sumatra Barat 31 Desember
1979. Sewaktu kuliah aktif di Surat Kabar Kampus Universitas Negeri Padang Ganto.
Setelah tamat tahun 2004 bekerja sebagai wartawan di Harian Padang Ekspres.
Setahun kemudian begabung dengan Harian Media Indonesia Biro Sumatra
Barat.Sejak tahun 2006 tercatat sebagai staf Balai Bahasa Padang.
Sampai sekarang sudah menulis hampir seratus cerpen yang
dimuat berbagai media, seperti Harian Kompas, Harian Lampung Post,
Singgalang, Harian Haluan, Harian Padang Ekspres, Harian Mimbar Minang,
Mingguan Target, Mingguan Merapi, Mingguan Sumbar Ekspres, Lampung Post,
Bukittinggi Post, Surat Kabar Kampus Ganto, serta berbagai media lainnya.
Cerpennya berjudul
Ayat Keempat masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar