Selasa, 01 Oktober 2013

Ruang Ekspresi Perupa Masih Terbuka


OLEH Ady Rosa
Kurator dan Dosen Seni Rupa Universitas Negeri Padang

Sumatra Imaginable, merupakan sebuah tawaran terbuka kepada para perupa Sumatra untuk “memikirkan (kembali) tentang Sumatra”, yang bisa diwujudkan dalam bahasa rupa.
Ruang rupa dalam jagat raya merupakan ruang yang dapat diinterpretasi perupanya (pelukis), banyak sajian yang tampak secara kasat mata. Bisa persoalan alam, masalah sosial, dan masalah apa saja yang dapat dikembangkan melalui ekspresi objektif kosmik, sebagai bentukan rupa konkret – realis, yang sangat mudah dikenali lewat kasat mata khalayak. Corak ini sampai sekarang masih dianggap “booming”, terutama lukisan-lukisan kontemporer perupa Cina, yang memiliki landasan kuat dalam tradisi melukis realis. Jadi jangan heran apabila Cina dalam kekondisian kini, menjadi kiblat perkembangan seni rupa kontemporer di Asia maupun dunia saat ini.

Cina membangun ruang rupa didasarkan pada kekuatan semangat membangun jatidiri, sebagai bagian dari universal culture, yang berlandaskan atas kekuatan budaya lokalitasnya. Sehingga mudah dikenali walau dalam nuansa rupa kontemporer. Mestinya ini yang menjadi catatan, bagaimana Cina bisa membangun kejatidiriannya sehingga dengan mudah dapat dikenali. Semua dapat terwujud karena ada spirit untuk membentangkan rasa nasionalitas yang tinggi, dalam setiap ekspresi yang dikemukakan perupa, tanpa hilangnya jatidiri individualistik.
Berbeda dengan perupa Sumatra yang lebih melihat kepada gerakan sesaat, dalam proses penciptaannya, artinya masih banyak yang melihat kepada corak tampilan yang masih mengarah kepada “booming”. Ketimbang membangun basic personality quality sehingga menjadikan seseorang  memiliki tampilan rupa yang manunggal, antara cipta rupa yang didasarkan lokalitas sebagai objek eksplorasi ekspresi, dengan kejatidirian. Ketidakmampuan perupa mengolah daya dorong eksplorasi diri, dalam mengolah ekspresi lewat estetis. Menyebabkan terjadinya kemiskinan dalam mengolah eksplorasi objek. Padahal di sekitar alam dan budaya Sumatra begitu banyak objek lokalitas yang dapat dikembangkan menjadi landas pijak dalam proses bercipta rupa. 
Oleh sebab itu kondisi perupa Sumatra, masih ”terseok-seok”  terutama dalam menerjemahkan kelokalan dalam cipta rupa, sebagai bagian dalam pencarian identitas.
Sumatra Imaginable, merupakan sebuah tawaran terbuka kepada para perupa Sumatra untuk “memikirkan (kembali) tentang Sumatra”, yang bisa diwujudkan dalam bahasa rupa. Kata kunci dari tajuk tersebut adalah “memikirkan (kembali) tentang Sumatra”; terkait dengan apa pun yang sudah, tengah, dan akan terjadi dalam kaitan geografis Sumatra. Tentu sebatas persoalan yang dipahami atau yang menarik bagi para perupa yang hidup di Sumatra.
Sumatra Imaginable mestinya dapat dikembangkan oleh perupa Sumatra sendiri. Menggali apa yang dapat dipikirkan dan dikembangkan dalam khasanah ekspresi – estetis, yang bersumber dari persoalan-persoalan lokalitas, sehingga dapat berbicara lewat keragaman rupa Sumatra ditingkat Nasional maupun dunia. Karena keterbatasan wacana Sumatra Imaginable, maka sampai saat ini seni rupa Indonesia, hanya berkutat dan masih identik dengan Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali. Padahal Sumatra punya sejarah panjang dalam perjalanan seni rupa, lewat pendidikan seni rupa di Kweek School Bukittinggi tahun 1856, sebagai basis pendidikan seni rupa pertama di Sumatra. Di antara alumninya adalah pelukis Wakidi.
Sumatra Imaginable, belum menjadi sebuah catatan penting bagi perupa Sumatra, sebagai bahan eksplorasi penggarapan karya. Dalam pengamatan masih banyak para perupa sebatas kecenderungan mengikuti jejak karya-karya yang dianggap ”booming”, sehingga untuk sampai kepada pencapaian identity personality sangat sulit untuk digapai. Ada kecenderungan masih banyak yang memilih jalan pintas, sebagai bagian dari ”pertimbangan sesat” yang hanya mengikuti jejak-jejak perupa yang dianggap sudah berhasil.
Catatan beberapa pelukis yang punya greget di antaranya pelukis Rahinta Tarigan pelukis Medan (Sumatra Utara) menampilkan tajuk The Winning Love (2008, cat minyak di atas kanvas, 115 x 100 cm), tajuk yang menyejukkan hati dalam kehidupan manusia, tamplanya begitu menggreget sangat ekspresionistik. Pelukis Eriyanto dari Sumatra Barat, mengetengahkan tajuk Hutan Lindung (2008, 140 x 140 cm akrilik di atas kanvas), hutan kontroversial daun rimbun hijau berbatang besi beton sungguh ironis, sebuah kritik terhadap kekondisian kini di Tanah Air. Dari Lampung ada pelukis Ari Susiwa Managisi, mengusung tajuk Pusaka dan Petaka (2008,140 x 120 cm cat minyak di atas kanvas). Lukisannya lebih mengarah kepada surealistik, sekerat batang kayu berduri di tengah rimba belantara sedang ditarik, dua aspek yang menjadi perenungan manusia, aspek (1) hutan belantara adalah pusaka jagatraya yang mengayomi bagi ketenteraman hidup manusia; aspek (2) menjadi petaka ketika hutan belantara dieksploitasi tak terkendali, seperti kejadian banjir, longsor dan sebagainya, sungguh ironis.
Dari beberapa greget pelukis Sumatra, tidak lagi mencari sesuatu yang dianggap punya nilai lebih, ketika masuk dalam wilayah rupa Sumatra. Untuk itu mestinya dibangun kembali, adanya karya-karya pelukis Sumatra yang memiliki ”greget” dengan latar nuansa lokalitas yang dibungkus dengan ekspresi jatidir. dalam setiap karya yang dibangunnya, sehingga memunculkan karya-karya yang didasarkan atas potensi Sumatra Imaginable, yang digali dan ada disekitar Sumatra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...