OLEH Ady Rosa
Kurator dan Dosen
Seni Rupa Universitas Negeri Padang
Sumatra
Imaginable, merupakan sebuah tawaran terbuka kepada para perupa
Sumatra untuk “memikirkan (kembali) tentang Sumatra”, yang bisa diwujudkan dalam
bahasa rupa.
Ruang rupa dalam jagat raya merupakan ruang yang dapat
diinterpretasi perupanya (pelukis), banyak sajian yang tampak secara kasat
mata. Bisa persoalan alam, masalah sosial, dan masalah apa saja yang dapat
dikembangkan melalui ekspresi objektif kosmik, sebagai bentukan rupa konkret –
realis, yang sangat mudah dikenali lewat kasat mata khalayak. Corak ini sampai
sekarang masih dianggap “booming”,
terutama lukisan-lukisan kontemporer perupa Cina, yang memiliki landasan kuat
dalam tradisi melukis realis. Jadi jangan heran apabila Cina dalam kekondisian
kini, menjadi kiblat perkembangan seni rupa kontemporer di Asia maupun dunia
saat ini.
Cina membangun ruang rupa didasarkan pada kekuatan
semangat membangun jatidiri, sebagai bagian dari universal culture, yang berlandaskan atas kekuatan budaya
lokalitasnya. Sehingga mudah dikenali walau dalam nuansa rupa kontemporer.
Mestinya ini yang menjadi catatan, bagaimana Cina bisa membangun
kejatidiriannya sehingga dengan mudah dapat dikenali. Semua dapat terwujud
karena ada spirit untuk membentangkan rasa nasionalitas yang tinggi, dalam
setiap ekspresi yang dikemukakan perupa, tanpa hilangnya jatidiri
individualistik.
Berbeda dengan perupa Sumatra yang lebih melihat kepada
gerakan sesaat, dalam proses penciptaannya, artinya masih banyak yang melihat
kepada corak tampilan yang masih mengarah kepada “booming”. Ketimbang membangun basic
personality quality sehingga menjadikan seseorang memiliki tampilan rupa yang manunggal, antara
cipta rupa yang didasarkan lokalitas sebagai objek eksplorasi ekspresi, dengan
kejatidirian. Ketidakmampuan perupa mengolah daya dorong eksplorasi diri, dalam
mengolah ekspresi lewat estetis. Menyebabkan terjadinya kemiskinan dalam
mengolah eksplorasi objek. Padahal di sekitar alam dan budaya Sumatra begitu
banyak objek lokalitas yang dapat dikembangkan menjadi landas pijak dalam
proses bercipta rupa.
Oleh sebab itu kondisi perupa Sumatra, masih
”terseok-seok” terutama dalam
menerjemahkan kelokalan dalam cipta rupa, sebagai bagian dalam pencarian
identitas.
Sumatra
Imaginable, merupakan sebuah tawaran terbuka kepada para perupa Sumatra
untuk “memikirkan (kembali) tentang Sumatra”, yang bisa diwujudkan dalam bahasa
rupa. Kata kunci dari tajuk tersebut adalah “memikirkan (kembali) tentang Sumatra”;
terkait dengan apa pun yang sudah, tengah, dan akan terjadi dalam kaitan
geografis Sumatra. Tentu sebatas persoalan yang dipahami atau yang menarik bagi
para perupa yang hidup di Sumatra.
Sumatra
Imaginable mestinya dapat dikembangkan oleh perupa Sumatra sendiri.
Menggali apa yang dapat dipikirkan dan dikembangkan dalam khasanah ekspresi –
estetis, yang bersumber dari persoalan-persoalan lokalitas, sehingga dapat
berbicara lewat keragaman rupa Sumatra ditingkat Nasional maupun dunia. Karena
keterbatasan wacana Sumatra Imaginable,
maka sampai saat ini seni rupa Indonesia, hanya berkutat dan masih identik
dengan Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali. Padahal Sumatra
punya sejarah panjang dalam perjalanan seni rupa, lewat pendidikan seni rupa di
Kweek School Bukittinggi tahun 1856,
sebagai basis pendidikan seni rupa pertama di Sumatra. Di antara alumninya
adalah pelukis Wakidi.
Sumatra
Imaginable, belum menjadi sebuah catatan penting bagi perupa Sumatra,
sebagai bahan eksplorasi penggarapan karya. Dalam pengamatan masih banyak para
perupa sebatas kecenderungan mengikuti jejak karya-karya yang dianggap ”booming”, sehingga untuk sampai kepada
pencapaian identity personality
sangat sulit untuk digapai. Ada kecenderungan masih banyak yang memilih jalan
pintas, sebagai bagian dari ”pertimbangan sesat” yang hanya mengikuti
jejak-jejak perupa yang dianggap sudah berhasil.
Catatan beberapa pelukis yang punya greget di antaranya
pelukis Rahinta Tarigan pelukis Medan (Sumatra Utara) menampilkan tajuk The Winning Love (2008, cat minyak di
atas kanvas, 115 x 100 cm), tajuk yang menyejukkan hati dalam kehidupan
manusia, tamplanya begitu menggreget sangat ekspresionistik. Pelukis Eriyanto
dari Sumatra Barat, mengetengahkan tajuk Hutan
Lindung (2008, 140 x 140 cm akrilik di atas kanvas), hutan kontroversial
daun rimbun hijau berbatang besi beton sungguh ironis, sebuah kritik terhadap
kekondisian kini di Tanah Air. Dari Lampung ada pelukis Ari Susiwa Managisi,
mengusung tajuk Pusaka dan Petaka (2008,140
x 120 cm cat minyak di atas kanvas). Lukisannya lebih mengarah kepada
surealistik, sekerat batang kayu berduri di tengah rimba belantara sedang
ditarik, dua aspek yang menjadi perenungan manusia, aspek (1) hutan belantara
adalah pusaka jagatraya yang mengayomi bagi ketenteraman hidup manusia; aspek
(2) menjadi petaka ketika hutan belantara dieksploitasi tak terkendali, seperti
kejadian banjir, longsor dan sebagainya, sungguh ironis.
Dari beberapa greget
pelukis Sumatra, tidak lagi mencari sesuatu yang dianggap punya nilai lebih,
ketika masuk dalam wilayah rupa Sumatra. Untuk itu mestinya dibangun kembali,
adanya karya-karya pelukis Sumatra yang memiliki ”greget” dengan latar nuansa
lokalitas yang dibungkus dengan ekspresi jatidir. dalam setiap karya yang
dibangunnya, sehingga memunculkan karya-karya yang didasarkan atas potensi Sumatra Imaginable, yang digali dan ada
disekitar Sumatra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar