OLEH Fadhilah
Dosen Psikologi
Islam IAIN Imam Bonjol Padang
Nagari Pariangan |
Beberapa waktu lalu,
masyarakat Sumatera Barat dan Ranah Minang dihebohkan dengan pemberitaan tentang
ditutupnya The Fellas Cafe and Resto, sebuah tempat hiburan malam di pusat kota
Padang. Heboh tak karena cafe itu tak punya izin sah, tapi terutama karena
ketahuan menampilkan tarian telanjang alias striptease.
Mungkin tak disangka banyak orang, tapi
begitulah kenyataan sosial di Sumbar hari ini. Kota Padang seakan tak beda lagi
dengan citra kota-kota metropolitan pada umumnya. Bahkan di Jakarta saja, tak
ada izin tempat hiburan malam menampilkan tarian telanjang.
Keadaan lebih mengejutkan sebenarnya terkait penari
bugil yang digerebek Satpol PP Padang itu justru adalah perempuan-perempuan
muda berdarah Minangkabau! Media massa memberitahukan
kedua wanita itu masing-masing berasal dari Tanah Datar dan Agam, dua luhak
yang sejak lama dikenal sebagai pusat-pusat kebudayaan Minangkabau.
Wajar saja muncul berbagai
reaksi atas kejadian memalukan itu. Tak sedikit yang merisaukan, betapa
dahsyatnya ancaman pengikisan nilai-nilai moralitas di tengah masyarakat daerah
dewasa ini. Tak ada lagi benteng kokoh melawan arus demoralisasi dahsyat di Sumbar.
Mereka khawatir, arus degradasi moral itu menyeret anak-anak, kemenakan atau
anggota keluarga mereka sendiri.
Saya sendiri justru
langsung teringat pada beberapa keluarga Minang di rantau yang sengaja mengirimkan anaknya bersekolah ke
Sumbar dengan tujuan khusus supaya putra-putri mereka bakal memperoleh “nilai
tambah” (yang mereka pikir tak bakal didapatkan di rantau) berupa efek positif dari
aktualisasi nilai-nilai kehidupan sosial Minangkabau yang masyarakatnya dikenal
memegang teguh adat dan agamanya. Betapa kecewanya mereka, karena alasan memilih
ranah Minang sebagai tempat “pendidikan sosial agama” ternyata telah salah.
Selama ini orang luar
memang mengenal masyarakat Sumbar teguh memegang adat dan agamanya. Bahkan
pengaruh agama atas budayanya sangat besar, seperti tercermin dari pepatah adat basandi syara’, syara’ basandi
Kitabullah. Di setiap sudut di daerah ini terdapat masjid, surau, musala
dan sekolah agama. Sejak dulu Ranah Minang juga dikenal gudang ulama. Siapa dulu
tak kenal Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, Djamil Djambek, Hamka, Natsir,
Palimo Kayo, dan Rahmah El Yunusiyah?
Mengapa?
Apa dan siapa yang salah
dan bertanggungjawab atas kenyataan meresahkan ini? Dalam batas tertentu, kita memang
agak heran juga, mengapa gejala kemaksiatan, khususnya di kota Padang, terasa
kian marak akhir-akhir ini? Maksiat yang selalu dimaksudkan masyarakat di sini
antara lain prostitusi (walau terselubung), narkoba, judi, atau pelbagai bentuk
pornografi. Padahal setiap waktu seruan menegakkan moralitas terus dikumandangkan,
baik oleh pemerintah, pendidik maupun pendakwah Islam. Seruan itu bahkan makin intens
setelah daerah ini dilanda gempa besar tahun 2009 lalu.
Namun dalam konteks ini,
saya juga agak mengkritik konstruksi media dan masyarakat kita yang hanya
cenderung menyorot perempuan sebagai “biang” kemaksiatan. Selain melupakan
faktor sosial ekonomi yang kompleks di balik gejala prostitusi, orang juga
cenderung menempatkan perempuan lokal
sebagai biang masalah dan aib bagi kaum. Padahal dalam kasus striptease dan prostitusi, misalnya,
penyedia jasa dan “konsumen”-nya juga kaum laki-laki, yang bisa jadi adalah orang
Minang juga.
Oleh karena itu
keprihatinan dalam kasus maksiat syahwat ini tak hanya ditujukan pada perempuan
tapi juga laki-laki pada umumnya. Kepada
kaum Adam sendiri, Allah sudah mengingatkan supaya menjaga pandangan lahir,
pikiran dan batin serta kemaluannya agar dia menjadi manusia lebih bersih (QS
24:30). Kepada kaum perempuan juga diperintahkan hal sama, ditambah menutup
aurat mereka dengan kain kudung, kecuali kepada muhrimnya. (QS 24:31).
Tampaknya semua pihak memang
harus bertanggungjawab atas masalah ini. Pemerintah atau aparat negara tak
hanya memberikan penyuluhan kepada masyarakat, tapi juga menegakkan hukum dan
peraturan secara konsisten. Pemerintah
daerah tak boleh bersikap ambivalen. Artinya,pemerintah daerah tak cukup hanya
dengan menganjurkan warga untuk menjauhkan diri dari maksiat, lalu menyuruh PNS
dan siswa berpakaian muslimah, sementara di pihak lain, di beberapa sudut tersedia
tempat-tempat untuk melakukan tindakan maksiat tersebut.
Kekesalan masyarakat
pada pemda atau pemko selama ini, karena usaha pemberantasan maksiat justru
diikuti tumbuhnya bentuk-bentuk maksiat yang sama atau baru. Dulu Pemko Padang melarang
judi toto gelap (togel), tapi banyak pihak melihat praktik yang sama tetap
terjadi secara terselubung. Pemko juga melarang prostitusi tak hanya dengan
aturan, tapi dengan melakukan razia ke tempat-tempat hiburan malam, objek
wisata, dan penginapan. Tapi kebijakan dan tindakan Pemko dinilai parsial.
Mengapa razia Satpol PP tidak bisa menyentuh hotel-hotel berbintang? Mengapa razia
ke tempat wisata, seperti kawasan Bukit Lampu, Bungus Padang, juga terkesan
tebang pilih dan tidak kontinyu?.
Tugas penting juga menghadang
kalangan tokoh agama, adat dan masyarakat. Ketika ketahuan bahwa penari bugil
di Fellas Cafe adalah putri-putri dari tanah Minang sendiri, muncul gugatan, di
mana peran mamak atau para datuak dalam menjaga anak kemenakannya
sendiri (termasuk menjaga kebutuhan ekonomi)?
Memang kondisi sosial sekarang jauh lebih kompleks dengan tingkat
persaingan dan tantangan hidup yang kian tinggi dan rumit, termasuk di Sumbar
sendiri, tapi gugatan kultural semacam itu tetap layak diajukan saat ini.
Gugatan serupa juga
diajukan kepada juru dakwah dan pendidik kita. Sekalipun juru dakwah dan
pendidik (guru) bukanlah “orang hebat” yang bisa mengubah moralitas masyarakat atau
murid dalam sekejap, tapi layak
dipertanyakan: sejauh mana relevansi dakwah dan materi pendidikan mereka dengan
kenyataan dinamika perkembangan masyarakat kita? Tantangan juru dakwah dan para
pendidik sekarang memang luar biasa, ketika seruan moral mereka sering tidak
nyambung dengan realitas sosial.
Pada akhirnya peran
orang tua menjadi amat penting. Di sinilah awal dibangunnya benteng kokoh bagi perkembangan anak-anak. Pendidikan agama
sejak usia dini sejatinya ditanamkan dalam keluarga, bukan di masyarakat atau
pendidikan formal. Bukankah agama Islam sudah jelas mengajarkan ‘Jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya terbuat dari batu” (QS 66:6). Hal itu sekaligus menunjukkan besarnya peran dan
tanggung jawab orang tua mendidik anak supaya menjadi pribadi beriman,
berislam, dan ihsan. Orang tak cukup
hanya beriman dan berislam, tapi juga ihsan. Orang ihsan akan selalu waspada
bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah Swt.
Nah, jika masing-masing
keluarga – seluruh keluarga inti yang ada di Ranah Minang—telah punya kesadaran
menjaga anggotanya dari api neraka (berbuat maksiat), otomatis akan terciptalah
masyarakat yang memiliki peradaban. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar