Jumat, 25 Oktober 2013

Robohnya Benteng Moral di Minangkabau



OLEH Fadhilah

Dosen Psikologi Islam IAIN Imam Bonjol Padang

Nagari Pariangan
Beberapa waktu lalu, masyarakat Sumatera Barat dan Ranah Minang dihebohkan dengan pemberitaan tentang ditutupnya The Fellas Cafe and Resto, sebuah tempat hiburan malam di pusat kota Padang. Heboh tak karena cafe itu tak punya izin sah, tapi terutama karena ketahuan menampilkan tarian telanjang alias striptease. Mungkin  tak disangka banyak orang, tapi begitulah kenyataan sosial di Sumbar hari ini. Kota Padang seakan tak beda lagi dengan citra kota-kota metropolitan pada umumnya. Bahkan di Jakarta saja, tak ada izin tempat hiburan malam menampilkan tarian telanjang.

Keadaan  lebih mengejutkan sebenarnya terkait penari bugil yang digerebek Satpol PP Padang itu justru adalah perempuan-perempuan muda berdarah Minangkabau!  Media massa memberitahukan kedua wanita itu masing-masing berasal dari Tanah Datar dan Agam, dua luhak yang sejak lama dikenal sebagai pusat-pusat kebudayaan Minangkabau.
Wajar saja muncul berbagai reaksi atas kejadian memalukan itu. Tak sedikit yang merisaukan, betapa dahsyatnya ancaman pengikisan nilai-nilai moralitas di tengah masyarakat daerah dewasa ini. Tak ada lagi benteng kokoh melawan arus demoralisasi dahsyat di Sumbar. Mereka khawatir, arus degradasi moral itu menyeret anak-anak, kemenakan atau anggota keluarga mereka sendiri.
Saya sendiri justru langsung teringat pada beberapa keluarga Minang di rantau yang  sengaja mengirimkan anaknya bersekolah ke Sumbar dengan tujuan khusus supaya putra-putri mereka bakal memperoleh “nilai tambah” (yang mereka pikir tak bakal didapatkan di rantau) berupa efek positif dari aktualisasi nilai-nilai kehidupan sosial Minangkabau yang masyarakatnya dikenal memegang teguh adat dan agamanya. Betapa kecewanya mereka, karena alasan memilih ranah Minang sebagai tempat “pendidikan sosial agama” ternyata telah salah.

Selama ini orang luar memang mengenal masyarakat Sumbar teguh memegang adat dan agamanya. Bahkan pengaruh agama atas budayanya sangat besar, seperti tercermin dari pepatah adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah. Di setiap sudut di daerah ini terdapat masjid, surau, musala dan sekolah agama. Sejak dulu Ranah Minang juga dikenal gudang ulama. Siapa dulu tak kenal Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, Djamil Djambek, Hamka, Natsir, Palimo Kayo, dan Rahmah El Yunusiyah?
Mengapa?
Apa dan siapa yang salah dan bertanggungjawab atas kenyataan meresahkan ini?           Dalam batas tertentu, kita memang agak heran juga, mengapa gejala kemaksiatan, khususnya di kota Padang, terasa kian marak akhir-akhir ini? Maksiat yang selalu dimaksudkan masyarakat di sini antara lain prostitusi (walau terselubung), narkoba, judi, atau pelbagai bentuk pornografi. Padahal setiap waktu seruan menegakkan moralitas terus dikumandangkan, baik oleh pemerintah, pendidik maupun pendakwah Islam. Seruan itu bahkan makin intens setelah daerah ini dilanda gempa besar tahun 2009 lalu.
Namun dalam konteks ini, saya juga agak mengkritik konstruksi media dan masyarakat kita yang hanya cenderung menyorot perempuan sebagai “biang” kemaksiatan. Selain melupakan faktor sosial ekonomi yang kompleks di balik gejala prostitusi, orang juga cenderung menempatkan perempuan lokal  sebagai biang masalah dan aib bagi kaum. Padahal dalam kasus striptease dan prostitusi, misalnya, penyedia jasa dan “konsumen”-nya juga kaum laki-laki, yang bisa jadi adalah orang Minang juga.
Oleh karena itu keprihatinan dalam kasus maksiat syahwat ini tak hanya ditujukan pada perempuan tapi juga laki-laki pada umumnya.  Kepada kaum Adam sendiri, Allah sudah mengingatkan supaya menjaga pandangan lahir, pikiran dan batin serta kemaluannya agar dia menjadi manusia lebih bersih (QS 24:30). Kepada kaum perempuan juga diperintahkan hal sama, ditambah menutup aurat mereka dengan kain kudung, kecuali kepada muhrimnya. (QS 24:31).
Tampaknya semua pihak memang harus bertanggungjawab atas masalah ini. Pemerintah atau aparat negara tak hanya memberikan penyuluhan kepada masyarakat, tapi juga menegakkan hukum dan peraturan secara konsisten.  Pemerintah daerah tak boleh bersikap ambivalen. Artinya,pemerintah daerah tak cukup hanya dengan menganjurkan warga untuk menjauhkan diri dari maksiat, lalu menyuruh PNS dan siswa berpakaian muslimah, sementara di pihak lain, di beberapa sudut tersedia tempat-tempat untuk melakukan tindakan maksiat tersebut.
Kekesalan masyarakat pada pemda atau pemko selama ini, karena usaha pemberantasan maksiat justru diikuti tumbuhnya bentuk-bentuk maksiat yang sama atau baru. Dulu Pemko Padang melarang judi toto gelap (togel), tapi banyak pihak melihat praktik yang sama tetap terjadi secara terselubung. Pemko juga melarang prostitusi tak hanya dengan aturan, tapi dengan melakukan razia ke tempat-tempat hiburan malam, objek wisata, dan penginapan.  Tapi  kebijakan dan tindakan Pemko dinilai parsial. Mengapa razia Satpol PP tidak bisa menyentuh hotel-hotel berbintang? Mengapa razia ke tempat wisata, seperti kawasan Bukit Lampu, Bungus Padang, juga terkesan tebang pilih dan tidak kontinyu?.
Tugas penting juga menghadang kalangan tokoh agama, adat dan masyarakat. Ketika ketahuan bahwa penari bugil di Fellas Cafe adalah putri-putri dari tanah Minang sendiri, muncul gugatan, di mana peran mamak atau para datuak dalam menjaga anak kemenakannya sendiri (termasuk menjaga kebutuhan ekonomi)?  Memang kondisi sosial sekarang jauh lebih kompleks dengan tingkat persaingan dan tantangan hidup yang kian tinggi dan rumit, termasuk di Sumbar sendiri, tapi gugatan kultural semacam itu tetap layak diajukan saat ini. 
Gugatan serupa juga diajukan kepada juru dakwah dan pendidik kita. Sekalipun juru dakwah dan pendidik (guru) bukanlah “orang hebat” yang bisa mengubah moralitas masyarakat atau murid dalam sekejap,  tapi layak dipertanyakan: sejauh mana relevansi dakwah dan materi pendidikan mereka dengan kenyataan dinamika perkembangan masyarakat kita? Tantangan juru dakwah dan para pendidik sekarang memang luar biasa, ketika seruan moral mereka sering tidak nyambung dengan realitas sosial.
Pada akhirnya peran orang tua menjadi amat penting. Di sinilah awal dibangunnya benteng kokoh  bagi perkembangan anak-anak. Pendidikan agama sejak usia dini sejatinya ditanamkan dalam keluarga, bukan di masyarakat atau pendidikan formal. Bukankah agama Islam sudah jelas mengajarkan ‘Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya terbuat dari batu (QS 66:6). Hal itu  sekaligus menunjukkan besarnya peran dan tanggung jawab orang tua mendidik anak supaya menjadi pribadi beriman, berislam, dan ihsan.  Orang tak cukup hanya beriman dan berislam, tapi juga ihsan. Orang ihsan akan selalu waspada bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah Swt.
Nah, jika masing-masing keluarga – seluruh keluarga inti yang ada di Ranah Minang—telah punya kesadaran menjaga anggotanya dari api neraka (berbuat maksiat), otomatis akan terciptalah masyarakat yang memiliki peradaban. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...