OLEH Esha Tegar Putra
Dosen di Universitas Bung Hatta Padang
Esha Tegar Putra |
A Moment To Remember, film drama Korea
(2004), sutradara John H Lee adalah peristiwa yang sedikit dekat dengan
penuturan tulisan Romi Zarman (“Autisme Kesastraan”, Harian Haluan, Minggu 27 Februari 2011). Dalam A
Moment To Remember, seorang laki-laki dihadapkan pada kenyataan, harus menerima
kekasihnya divonis berpenyakit alzheimer.
Perlahan, si kekasih hilang ingatannya, sampai ia lupa pada
diri sendiri. Tokoh laki-laki berusaha mengingatkan, melalui potret-potret
romantis masa lalu, catatan-catatan kecil pada kulkas, meja, pintu, di mana si
kekasih bisa mengingat dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Usaha itu
membuahkan hasil, si kekasih mengingat hari lalu, hari depan pun tampak bagi
mereka berdua. Yang paling berharga di kisah ini, tentunya cinta dan sejarah,
kenangan dan ingatan.
Bayangkan, Romi Zarman adalah tokoh laki-laki dalam A
Moment To Remember, yang berusaha membuat kekasihnya (kesastraan), lepas
dan terbebas dari gejala psikologi yang divonisnya terjangkit autisme. Sedikit
dekat memang kisahnya, akan tetapi Romi melalui “Autisme Kesastraan” berbeda
cara pandang dengan tokoh laki-laki dalam A Moment To Remember dalam terapi
penyembuhan. Jika tokoh laki-laki dalam A Moment To Remember dengan tabah
dan sabar menghadapai alzheimer kekasihnya sampai sembuh. Romi cendrung
terlihat melakukan terapi sadis layaknya seorang dukun kampung mengobati orang
gila, dengan menyetrum kekasihnya (bagian dari kesastraan), menceburkan ke
kolam, sambil lantang berteriak: kau terjangkit autisme!
Vonis Autisme Kritikus Akademis
Ada beberapa titik fokus di mana Romi Zarman merespons
polemik sebelumnya dengan vonis autisme kesusastraan. Vonis memusat pada
‘autisme kritikus akademik’ dalam sub-tulisannya.
Dan di titik inilah saya pikir Romi melakukan ‘terapi sadis’:
(1) Autistik yang terlihat dari esai Devy Kurnia Alamsyah dan Sudarmoko yang
berpretensi membersihkan kesastraan dari arogansi dan politik kanonisasi. (2)
Esai M Subhan lebih tepat disebut kengawuran standrarisasi karya bermutu
dilihat dari laris atau tidaknya sebuah karya. (3) Autisme yang dipertegas karena
penyempitan ruang yang dilakukan Darman Moenir dengan membatasinya—karya Wisran
Hadi yang mesti diukur dengan penulis luar, bukan membandingkan dengan Gus tf Sakai
yang berbeda zaman—hanya sebatas provinsial. (4) Keterbatasan komunikasi
kritikus akademis, yang melakukan penelitian dengan founding, selaku
sponsor yang berobjek tidak pada perkembangan kesastraan. (5) Autisme terbaru
dicontohkan pada Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas
Andalas yang buta terhadap karya sastra—didasari karena meminta bantuan Romi Zarman
mengumpulkan nama-nama sastrawan mutakhir, beserta karyanya. (6) Data autisme
lain, pada diskusi di Magistra Indonesia tentang refleksi setahun sastra di Sumatra
Barat pada 31 Desember 2009, di mana seorang peneliti sastra dengan santai
berkata bahwa penelitian yang dikakukan hanya berorientasi uang untuk
penetingan cum (syarat kenaikan pangkat atau golongan). (7) Vonis autisme
dilihat Romi Zarman pada kaum akademik kita tidak memiliki intensitas dalam
mengikuti perkembangan sastra yang tersebar di media massa. (8) Vonis Romi
dengan menulis: “Rata-rata redaktur kita pemalas....”
Delapan titik itu saya catat dari tulisan Romi Zarman. Vonis autisme sekaligus penerapan terapi yang hendak
ditujukan. Jika kita hendak menuju pada tahapan pemunculan kritik yang baik;
apakah dari delapan titik, atau orang-orang yang disebut di delapan titik itu
saja yang mengemban beban kritik? Barangkali Romi Zarman
juga
menjelaskan pembatasan autisme, atau penyembuhan autisme. Akan tetapi sesuaikah
dengan situasi iklim kesastraan di Sumatra Barat dan di Indonesia sekalipun?
Juga sudah benarkah vonis-vonis yang dijatuhkan?
Banyak rujukan yang bisa diambil untuk mempertanyakan kembali
vonis yang dijatuhkan Romi Zarman memandang situasi kekinian. Memisalkan, kerja
akademisi sebagai kritikus, atau sastrawan berlaku kritikus: kenapa sastrawan,
kritikus, atau guru besar seperti Sapardi Djoko Damono tak membahas karya
penyair Heru Joni Putra? Kenapa kritikus dengan teori njelimet seperti Arif B Prasetyo memilih Cala Ibi untuk
dikritisi di lomba sayembara kritik DKJ, kenapa tidak kumpulan cerpen Zelfeni
Wimra? Atau kenapa kritikus dan sastrawan secerlang Zen Hae, Bramantio, Tia
Setiadi, Tjahjono Widijanto, Bandung Mawardi, Zen RS, (dll) hanya menulis kritik
seputar karya-karya Goenawan Muhammad, Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Abdul
Hadi WM, Ayu Utami, Ahmad Tohari, dst.
Dan kenapa pula, di Sumatra Barat khususnya, kritik berputar
pada persoalan kenapa tidak ada kritik sastra dan siapa seharusnya yang menulis?
Situasi inikah yang menyebabkan autisme kesastraan yang dimaksud Romi Zarman?
Autime Kesastraan, Perawatan Khusus
Banyak pertanyaan tentunya. Saya tidak menampik, beberapa
solusi dari Romi Zarman: semisal peran sastrawan sekaligus kritikus, pembaruan
pola pikir akademisi, dan peran redaktur sastra dalam kritik. Tapi tidak ada
kebaruan dari solusi Romi Zarman, terkecuali pada istilah yang memvonis beragam
nama dan institusi. Sedangkan pokok pembahasan Romi telah jauh hari dibicarakan
berbagai sumber.
Misalkan seketika Maman S Mahayana menjabarkan situasi kritik
sastra di Universitas Indonesia, sebuah lembaga institusi yang banyak menghasilkan
penelitian akademik, tapi minim akademisi yang bisa mengolahnya untuk kepentingan
masyarakat. Ia mengibaratkan, akademisi tersebut sebuah sekrub kecil di dalam
mesin besar yang berputar cepat.
Situasi ini juga dijawab Ignas Kleden di buku Sastra
Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Ignas melakukan pendekatan secara
multidimensional dalam ketidak mampuan kritikus, akademisi, sastrawan menjawab
tuntas persoalan kesastraan. Bukan cuma itu, Ignas menampik pendapat “pengarang telah mati” yang
mengharamkan pertimbangan atas maksud penulis dalam memaknai karya sastra,
dengan memberi tafsir pada medan pemaknaan penulis, tapi memang tidak
seistimewa tafsir pembaca. Manneke Budiman, mengganggap posisi yang ditawarkan
Ignas memungkinkan kritik sastra berbicara tentang produksi sastra di samping
tentang konsumsi sastra tanpa perlu merasa bersalah.
Persoalan ini yang juga pernah dijawab dengan istilah (ekonomi) surplus oleh Damhuri Muhammad yang
berusaha menampik pikiran Arif B Prasetyo di koran Kompas. Damhuri menganalogikan ketika karya banyak, dan kritik bisa
dilakukan di media mana saja, kuasa kritik (apresiasi) terbesar berada di
tangan masyarakat pembaca, masyarakat pembacalah paling istimewa. Dan yang
lebih penting dari vonis autisme sebenarnya mempertanyakan kembali: berapa
banyak dan seberapakah minat baca masyarakat untuk karya sastra? Sampai-sampai
perdebatannya sebegitu ajaibnya, seakan jauh melampaui pikiran masyarakat
pembacanya.
Saya menganggap, sastrawan sibuk bereuforia di dunianya sendiri, hibuk dalam penafsiran sendiri.
Mempertanyakan apa dan siapa yang akan dikritik, siapa yang harus dan siapa
yang patut dipersalahkan dengan vonis autisme kesusastraan, dan pernyataan yang
absurd. Akan tetapi bagaimana kalau mulai menulis kritik atau apresiasi karya secara
konkret dan mulai menyiarkannya?
Romi Zarman sendiri muncul dari ruang akademisi, kritikannya
termasuk njelimet dan kritis terhadap karya sastra. Ia bagian dari Jurusan
Sastra Indonesia Fakultas Sasttra Universitas Andalas yang ketua jurusan
disebut buta akan kesastraan mutakhir. Menurut ketua jurusan, Romi Zarman telah
salah menilai, salah menafsirkan tujuan, dan ini berujung kekeliruan menilai.
Jika pun dianggap kebutaan, akan tetapi titik terang diminta pada Romi Zarman yang
bisa memberi mata lain dalam memandang kesastraan mutakhir. Inilah esensi A
Moment To Remember di awal tulisan saya, esensi saling berbagi. Berharap
vonis autisme kesastraan yang dikeluarkan Romi Zarman bukan sekadar pra-power
syndrome-nya, kebalikan dari anggapan saya terhadap tulisan Darman
Moenir. Tulisan yang dalam ilmu psikologi tergolong gejala post-power
syndrome, di mana kita selalu merasa hidup dalam bayang-bayang kebesaran
masa lalu.
Pada akhirnya, secerlang apapun pandangan Romi Zarman dalam “Autisme Kesastraan”, ada satu hal yang terlupakan, hal yang paling
dasar: etika kepenulisan.
Harian Haluan, Minggu,
6 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar