Rabu, 23 Oktober 2013

RAGA TARI: Fisikalitas Budaya dan Tubuh Politik

Catatan Pertunjukan Tari “Senandung Impian” dan “Jalan Pulang”
OLEH Sahrul N 
Dosen Teater ISI Padang Panjang
Tari Senandung Impian. Foto Wendy
Pascasarjana ISI Padang Panjang dalam dua tahun terakhir ini telah melahirkan seniman-seniman pencipta karya seni yang secara akademis perlu dimintai pertanggungjawabannya. Selama ini, khusus untuk penciptaan seni tari terdapat kekecewaan mendalam karena tidak adanya pergumulan konsisten dengan epistemologi raga. Di kalangan mereka yang menggeluti seni pertunjukan tari terdapat nihilnya yang berpijak pada fisikalitas raga yang mampu memahami raga tari sebagai produsen budaya-politik. Seyogyanya seniman pencipta tari memandang kreasi tari sebagai sebuah bentuk teorisasi, yang menjiwai dan dijiwai oleh proses penjabaran signifikansi raga. 

Sebenarnya daya tarik seni pertunjukan tari terletak dalam kemampuannya menggelitik olah pikir, menciptakan dialog ilmiah, dan membicarakan hubungan sosial manusia dengan segala tindakannya. Tari menjadi salah satu rayuan terbesar dalam kerja kesenian, karena ia hidup sebagai kesenian yang paling dekat dengan raga manusia, dengan fisik kita. Seni tari menggunakan wacana langsung dari dirinya, yaitu raganya sendiri. Karena itu pula raga tari merupakan raga yang mengalami langsung kegelisahan. Raga tari akan ditatap langsung oleh penonton yang terus mengamati setiap gerak dan tindakan. Raga itu mengalami langsung seluruh proses objek dan subjek yang muncul di panggung.
Ada dua pertunjukan tari terakhir sebagai produk pascasarjana ISI Padang Panjang yang berusaha bicara tentang fisikalitas budaya dan tubuh politik. Karya tari “Senandung Impian” dengan koreografer Oktavianus berusaha menjelaskan kedudukan atau fungsi penghulu di Minangkabau masa sebelum Orde Baru, masa Orde Baru dan masa reformasi. Karya ini dipentaskan pada 21 Mei 2011 di Auditorium ISI Padang Panjang. Sementara karya tari “Jalan Pulang” dengan koreografer Wardi Metro mengulas tentang sistem pendidikan surau masa lalu dan perkembangannya sampai sekarang. Karya yang kedua ini dipentaskan pada 23 Mei 2011 di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI Padang Panjang.
Tentang Surau
Karya tari “Jalan Pulang” memperlihatkan hasil kerja antropologi, dimana peristiwa budaya yang tergambar dalam fenomena surau di Minangkabau dihadirkan dalam bentuk visual raga tari yang estetis. Fisikalitas budaya yang dibebankan pada kerja estetika memang menimbulkan banyak persoalan.
Tari Jalan Pulang. Foto Wendy
Ketika koreografer menonjolkan kerja antropologi maka estetika terabaikan. Begitu juga sebaliknya ketika estetika ditonjolkan maka muatan budayanya menjadi berkurang. Hal ini  menunjukkan bahwa kerja koreografi tidaklah sama dengan kerja antropologi.
Penciptaan tari tidak harus mengorbankan dirinya sebagai panggung antropologi yang artifisial. Dunia tari punya masalah yang jauh lebih rumit dari bidang seni lainnya, justeru karena raga manusia bukanlah media yang netral. Ketika raga diperlakukan hanya sebagai objek koreografi, dan kerja koreografi diterima sebagai perwujudan budaya surau, maka seni tari kehilangan jalan untuk menyandingkan keduanya, untuk memasuki dialog raga dengan budaya surau.
Kebanggaan memiliki tradisi surau dengan segala persoalannya, dirasakan lebih bermakna daripada upaya membaca kehidupan budaya dalam raga panari. Penari seakan menghapal gerak bukan memaknai konsepsi budaya surau yang sebenarnya. Raga penari hanyalah mewakili dirinya sendiri yang hidup pada zaman ini, ia tidak bisa mewakili raga dari pemeran surau masa lalu yang diaktualisasikan. Melihat pertunjukan tari seperti ini, mungkin dianggap sebagai kesalahan bahwa dunia tari telah membuat para penari tidak bisa bertemu dengan realitas yang dialami oleh raganya sendiri. Karena itu, perlu upaya untuk membuat bagaimana raga bisa bertemu dan menciptakan keutuhan antara konsepsi budaya dengan konsepsi estetika tari.
Pertemuan seperti itu bagaikan pertemuan alat-alat masakan yang berbeda rasa menjadi satu rasa dan satu bentuk yang tidak terpisah-pisah. Perjalanan raga menjadi menjadi peristiwa budaya, adalah kerja koreografi dalam membangun fisikalitas budaya dalam raga penari. Koreografer harus mampu meramu konsepsi budaya yang dibebankan kepada penari sehingga ramuan budaya surau dengan estetika gerak raga menjadi santapan yang bernilai rasa tinggi.
Penciptaan gerak yang mengambil wilayah tradisi (ada gerak ulu ambek dari Pariaman, zapin Melayu Riau dan sebagainya) memang memunculkan nuansa baru dalam visualitasnya. Gerak dasar ini oleh koreografer diolah sedemikian rupa sehingga bagian tertentu menjadi gerak harmonis dan bagian yang lain menjadi gerak distorsif. Ketika gerak harmonis diciptakan, maka ekspresi tematik hilang dalam raga penari. Sebaliknya ketika gerak distorsif dikemukakan maka ekspresi penari menonjolkan tematik karya.
Untuk memadukan unsur dramatik dengan unsur harmonisasi gerak dalam penciptaan tari memang memiliki tantangan yang berat. Tantangan itu bisa berupa proses yang panjang dengan penelitian yang mendalam terhadap surau sebagai lembaga pendidikan non formal.
Fenomena surau masa lalu yang sangat erat hubungannya dengan perkembangan generasi muda orang Minangkabau sehingga memunculkan tokoh-tokoh nasional memang memerlukan kajian yang tidak sederhana. Pada masa kini pendidikan surau seperti masa lalu sangat langka ditemukan.
Akibatnya koreografer hanya bisa melakukan penelitian pustaka dan wawancara terhadap tokoh masa lalu yang pernah hidup dalam budaya surau. Hal ini terlihat dalam karya, dimana imajinasi koreografer lebih menonjol daripada data budayanya.
Tentang Politik
Sama halnya dengan karya “Senandung Impian”. Karya tari yang dibangun atas dasar perjalanan politik yang mengakibatkan runtuhnya peran penghulu di Minangkabau. Tubuh politik sebelum Orde Baru, masa Orde Baru dan masa reformasi menjadikan wilayah yang harus digarap adalah wilayah kebijakan kekuasaan yang berakibat pada hilangnya salah satu fungsi manusia dalam masyarakat.
Penghulu kehilangan identitas politik (pengambil kebijakan dalam kaum) ketika politik Orde Baru merubah sistem pemerintahan dari sistem nagari ke sistem desa. Begitu juga ketika sistem Orde Reformasi digulirkan, dimana sistem nagari dikembalikan pada posisi awalnya, maka ada kegamangan penghulu karena ia sudah terbiasa untuk tidak berperan dalam kaumnya.
Tematik yang begitu berat, membuat koreografer menjadi gamang dalam mewujudkannya menjadi bentuk raga tari. Keinginan koreografer yang bergitu tinggi dalam membangun keindahan gerak berakibat pada tipisnya kontak antara tema politik tersebut dengan keindahan yang diciptakan. Penari asyik tersenyum dalam ruang yang seharusnya tidak tersenyum. Penari bergerak dengan rampak dan kompak menyisihkan identitas politik yang sebenarnya, hanya menonjolkan estetika yang cukup menarik.
Pengolahan gerak raga yang diambil dari vokabuler gerak kesenian tradisi (salah satunya gerak seni ulu ambek dari pariaman) memang cukup menarik untuk ditonton sebagai karya tari estetis. Penggunaan vokabuler tradisi sebagai benteng identitas, juga mengandung resiko yang tidak sederhana dalam konteks bagaimana identitas politik bergulir di dunia tari.
Hubungan tari yang berlebihan dengan kerapian serta kekompakan gerak, tidak membuat tubuh estetis otomatis dibaca sebagai tubuh identitas politik. Tubuh politik lebih bermain di tingkat wacana lepas dan bukan di tingkat hakekat raga penari. Tubuh politik yang masih bermain di tingkat bentuk, akhirnya hanya akan menghasilkan sikap verbal dari wacana yang diinginkan. Pada gilirannya tubuh politik yang dikonstruksi sebagai tubuh estetis menjadi mengambang dalam perwujudannya.
Sulit untuk membaca raga tematik dalam tari. Kedalaman dramatik dalam tari menjadi bias oleh raga yang mendahulukan komposisi bukan hakiki. Seharusnya tubuh penari memperlihatkan beban tematik yang diinginkan koreografer. Raga penari yang memakai pakaian modern dalam kesehariannya, ketika harus mengenakan pakaian tradisi dalam karya tari, hanya menjadi balutan verbalitas karena tidak didukung oleh ekspresi dramatik. Penyatuan dalam dua wilayah (modern dan tradisi) ini tidak pernah diangkat menjadi isu penting dalam dunia tari, karena penari sudah diwajibkan untuk memaksakan tubuhnya mengenakan pakaian tradisi untuk menari.
Bagi raga yang tidak punya sentuhan langsung dengan temanya sendiri, ketergantungan kepada musik pengiring tari akan menjadi berlebihan. Begitu tingginya ketergantungan ini, hingga sampai kepada tahap di mana pentas tari bisa bergeser menjadi pentas musik, dan pertunjukan tari menjadi latar dari komposisi musik. Hubungan tari dengan musik dalam kondisi ini menjadi hubungan yang tidak sehat untuk perkembangan keduanya. Musik dalam penciptaan tari bertugas melandeni tari yang membutuhkan musik pengiring.
Musik dalam kedua karya ini memiliki persoalan yang sama. Ketergantungan yang berlebihan tersebut menciptakan plot pertunjukan mengalir sangat manis dan sangat estetis. Namun dominasi musik ini harus bisa diakali agar tidak memunculkan kesan bahwa tari hanya pelengkap dari komposisi musik. Kadangkala kita lebih asyik mendengar alunan musik daripada melihat keindahan gerak.
Begitu juga dengan alat pendukung yang lain seperti penataan panggung, penataan lampu dan sebagainya, jangan sampai menenggelamkan gerak raga itu sendiri. Pertunjukan kedua karya ini memang mampu menjadikan setting sebagai latar yang memiliki hubungan harmonis dengan raga penari, walaupun dibeberapa bagian masih ada juga terkesan tempelan.
Untuk karya akademis yang berlabel Pascasarjana (S2) memang keseimbangan tematik dengan raga tari sangat diharapkan. Pendalaman tematik tentu harus didukung oleh data penelitian yang mendalam. Begitu juga meramu gerak yang diolah dari vokabuler gerak tradisi juga harus didalami secara mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...