Catatan Pertunjukan Tari “Senandung Impian” dan “Jalan Pulang”
OLEH Sahrul N
Dosen Teater ISI Padang Panjang
Tari Senandung Impian. Foto Wendy |
Pascasarjana ISI
Padang Panjang dalam dua tahun terakhir ini telah melahirkan seniman-seniman pencipta
karya seni yang secara akademis perlu dimintai pertanggungjawabannya. Selama
ini, khusus untuk penciptaan seni tari terdapat kekecewaan mendalam karena
tidak adanya pergumulan konsisten dengan epistemologi raga. Di kalangan mereka
yang menggeluti seni pertunjukan tari terdapat nihilnya yang berpijak pada
fisikalitas raga yang mampu memahami raga tari sebagai produsen budaya-politik.
Seyogyanya seniman pencipta tari memandang kreasi tari sebagai sebuah bentuk
teorisasi, yang menjiwai dan dijiwai oleh proses penjabaran signifikansi raga.
Sebenarnya daya tarik seni pertunjukan tari terletak
dalam kemampuannya menggelitik olah pikir, menciptakan dialog ilmiah, dan
membicarakan hubungan sosial manusia dengan segala tindakannya. Tari menjadi
salah satu rayuan terbesar dalam kerja kesenian, karena ia hidup sebagai
kesenian yang paling dekat dengan raga manusia, dengan fisik kita. Seni tari
menggunakan wacana langsung dari dirinya, yaitu raganya sendiri. Karena itu
pula raga tari merupakan raga yang mengalami langsung kegelisahan. Raga tari
akan ditatap langsung oleh penonton yang terus mengamati setiap gerak dan
tindakan. Raga itu mengalami langsung seluruh proses objek dan subjek yang
muncul di panggung.
Ada dua pertunjukan tari terakhir sebagai produk pascasarjana
ISI Padang Panjang yang berusaha bicara tentang fisikalitas budaya dan tubuh
politik. Karya tari “Senandung Impian” dengan koreografer Oktavianus berusaha
menjelaskan kedudukan atau fungsi penghulu di Minangkabau masa sebelum Orde Baru,
masa Orde Baru dan masa reformasi. Karya ini dipentaskan pada 21 Mei 2011 di
Auditorium ISI Padang Panjang. Sementara karya tari “Jalan Pulang” dengan
koreografer Wardi Metro mengulas tentang sistem pendidikan surau masa lalu dan
perkembangannya sampai sekarang. Karya yang kedua ini dipentaskan pada 23 Mei
2011 di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI Padang Panjang.
Tentang
Surau
Karya tari “Jalan Pulang” memperlihatkan hasil kerja
antropologi, dimana peristiwa budaya yang tergambar dalam fenomena surau di
Minangkabau dihadirkan dalam bentuk visual raga tari yang estetis. Fisikalitas
budaya yang dibebankan pada kerja estetika memang menimbulkan banyak persoalan.
Tari Jalan Pulang. Foto Wendy |
Ketika koreografer menonjolkan kerja antropologi maka
estetika terabaikan. Begitu juga sebaliknya ketika estetika ditonjolkan maka
muatan budayanya menjadi berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa kerja koreografi tidaklah
sama dengan kerja antropologi.
Penciptaan tari tidak harus mengorbankan dirinya sebagai
panggung antropologi yang artifisial. Dunia tari punya masalah yang jauh lebih
rumit dari bidang seni lainnya, justeru karena raga manusia bukanlah media yang
netral. Ketika raga diperlakukan hanya sebagai objek koreografi, dan kerja
koreografi diterima sebagai perwujudan budaya surau, maka seni tari kehilangan
jalan untuk menyandingkan keduanya, untuk memasuki dialog raga dengan budaya
surau.
Kebanggaan memiliki tradisi surau dengan segala
persoalannya, dirasakan lebih bermakna daripada upaya membaca kehidupan budaya
dalam raga panari. Penari seakan menghapal gerak bukan memaknai konsepsi budaya
surau yang sebenarnya. Raga penari hanyalah mewakili dirinya sendiri yang hidup
pada zaman ini, ia tidak bisa mewakili raga dari pemeran surau masa lalu yang
diaktualisasikan. Melihat pertunjukan tari seperti ini, mungkin dianggap
sebagai kesalahan bahwa dunia tari telah membuat para penari tidak bisa bertemu
dengan realitas yang dialami oleh raganya sendiri. Karena itu, perlu upaya untuk
membuat bagaimana raga bisa bertemu dan menciptakan keutuhan antara konsepsi
budaya dengan konsepsi estetika tari.
Pertemuan seperti itu bagaikan pertemuan alat-alat
masakan yang berbeda rasa menjadi satu rasa dan satu bentuk yang tidak
terpisah-pisah. Perjalanan raga menjadi menjadi peristiwa budaya, adalah kerja
koreografi dalam membangun fisikalitas budaya dalam raga penari. Koreografer
harus mampu meramu konsepsi budaya yang dibebankan kepada penari sehingga
ramuan budaya surau dengan estetika gerak raga menjadi santapan yang bernilai
rasa tinggi.
Penciptaan gerak yang mengambil wilayah tradisi (ada
gerak ulu ambek dari Pariaman, zapin Melayu Riau dan sebagainya)
memang memunculkan nuansa baru dalam visualitasnya. Gerak dasar ini oleh
koreografer diolah sedemikian rupa sehingga bagian tertentu menjadi gerak
harmonis dan bagian yang lain menjadi gerak distorsif. Ketika gerak harmonis
diciptakan, maka
ekspresi tematik hilang dalam raga penari. Sebaliknya ketika gerak distorsif
dikemukakan maka ekspresi penari menonjolkan tematik karya.
Untuk memadukan unsur dramatik dengan unsur harmonisasi
gerak dalam penciptaan tari memang memiliki tantangan yang berat. Tantangan itu
bisa berupa proses yang panjang dengan penelitian yang mendalam terhadap surau
sebagai lembaga pendidikan non formal.
Fenomena surau masa lalu yang sangat erat hubungannya
dengan perkembangan generasi muda orang Minangkabau sehingga memunculkan
tokoh-tokoh nasional memang memerlukan kajian yang tidak sederhana. Pada masa
kini pendidikan surau seperti masa lalu sangat langka ditemukan.
Akibatnya koreografer hanya bisa melakukan penelitian
pustaka dan wawancara terhadap tokoh masa lalu yang pernah hidup dalam budaya
surau. Hal ini terlihat dalam karya, dimana imajinasi koreografer lebih
menonjol daripada data budayanya.
Tentang Politik
Sama halnya dengan karya “Senandung Impian”. Karya tari
yang dibangun atas dasar perjalanan politik yang mengakibatkan runtuhnya peran
penghulu di Minangkabau. Tubuh politik sebelum Orde Baru, masa Orde Baru dan
masa reformasi menjadikan wilayah yang harus digarap adalah wilayah kebijakan
kekuasaan yang berakibat pada hilangnya salah satu fungsi manusia dalam
masyarakat.
Penghulu kehilangan identitas politik (pengambil
kebijakan dalam kaum) ketika politik Orde Baru merubah sistem pemerintahan dari
sistem nagari ke sistem desa. Begitu juga ketika sistem Orde Reformasi
digulirkan, dimana sistem nagari dikembalikan pada posisi awalnya, maka ada
kegamangan penghulu karena ia sudah terbiasa untuk tidak berperan dalam kaumnya.
Tematik yang begitu berat, membuat koreografer menjadi
gamang dalam mewujudkannya menjadi bentuk raga tari. Keinginan koreografer yang
bergitu tinggi dalam membangun keindahan gerak berakibat pada tipisnya kontak
antara tema politik tersebut dengan keindahan yang diciptakan. Penari asyik
tersenyum dalam ruang yang seharusnya tidak tersenyum. Penari bergerak dengan
rampak dan kompak menyisihkan identitas politik yang sebenarnya, hanya
menonjolkan estetika yang cukup menarik.
Pengolahan gerak raga yang diambil dari vokabuler gerak
kesenian tradisi (salah satunya gerak seni ulu ambek dari pariaman)
memang cukup menarik untuk ditonton sebagai karya tari estetis. Penggunaan vokabuler
tradisi sebagai benteng identitas, juga mengandung resiko yang tidak sederhana
dalam konteks bagaimana identitas politik bergulir di dunia tari.
Hubungan tari yang berlebihan dengan kerapian serta
kekompakan gerak, tidak membuat tubuh estetis otomatis dibaca sebagai tubuh identitas
politik. Tubuh politik lebih bermain di tingkat wacana lepas dan bukan di
tingkat hakekat raga penari. Tubuh politik yang masih bermain di tingkat
bentuk, akhirnya hanya akan menghasilkan sikap verbal dari wacana yang
diinginkan. Pada gilirannya tubuh politik yang dikonstruksi sebagai tubuh
estetis menjadi mengambang dalam perwujudannya.
Sulit untuk membaca raga tematik dalam tari. Kedalaman
dramatik dalam tari menjadi bias oleh raga yang mendahulukan komposisi bukan
hakiki. Seharusnya tubuh penari memperlihatkan beban tematik yang diinginkan
koreografer. Raga penari yang memakai pakaian modern dalam kesehariannya,
ketika harus mengenakan pakaian tradisi dalam karya tari, hanya menjadi balutan
verbalitas karena tidak didukung oleh ekspresi dramatik. Penyatuan dalam dua
wilayah (modern dan tradisi) ini tidak pernah diangkat menjadi isu penting
dalam dunia tari, karena penari sudah diwajibkan untuk memaksakan tubuhnya
mengenakan pakaian tradisi untuk menari.
Bagi raga yang tidak punya sentuhan langsung dengan
temanya sendiri, ketergantungan kepada musik pengiring tari akan menjadi
berlebihan. Begitu tingginya ketergantungan ini, hingga sampai kepada tahap di
mana pentas tari bisa bergeser menjadi pentas musik, dan pertunjukan tari
menjadi latar dari komposisi musik. Hubungan tari dengan musik dalam kondisi
ini menjadi hubungan yang tidak sehat untuk perkembangan keduanya. Musik dalam
penciptaan tari bertugas melandeni tari yang membutuhkan musik pengiring.
Musik dalam kedua karya ini memiliki persoalan yang sama.
Ketergantungan yang berlebihan tersebut menciptakan plot pertunjukan mengalir
sangat manis dan sangat estetis. Namun dominasi musik ini harus bisa diakali
agar tidak memunculkan kesan bahwa tari hanya pelengkap dari komposisi musik.
Kadangkala kita lebih asyik mendengar alunan musik daripada melihat keindahan
gerak.
Begitu juga dengan alat pendukung yang lain seperti
penataan panggung, penataan lampu dan sebagainya, jangan sampai menenggelamkan
gerak raga itu sendiri. Pertunjukan kedua karya ini memang mampu menjadikan
setting sebagai latar yang memiliki hubungan harmonis dengan raga penari,
walaupun dibeberapa bagian masih ada juga terkesan tempelan.
Untuk karya akademis yang berlabel Pascasarjana (S2)
memang keseimbangan tematik dengan raga tari sangat diharapkan. Pendalaman
tematik tentu harus didukung oleh data penelitian yang mendalam. Begitu juga
meramu gerak yang diolah dari vokabuler gerak tradisi juga harus didalami
secara mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar