Sajak Pendengar
Radio
Aku memesan Something Stupid-nya Frank
Sinatra dengan segelas kopi, malam memekat dan gerimis memucat, tak bisa memastikan
akan reda atau malah menjadi deras. Aku dalam hening yang sangat, cinta. Pada kerelaan-kerealan
panjang aku titip asa dalam baris-baris ketidakpastian, dan di ujungnya
sungguh-sungguh aku tancapkan realitas.
Dari suara turun ke hati, jangan diganggu
karena sungguh nikmat, melakukannya sendiri.
Padan nomor Gloomy Sunday-nya Reszo Seress, gerimis mulai
berganti padat, memuai seluruh ke angkasa, malam semakin lelap dan jangan kau
ajak aku menjadi konyol, sebab dalam kesendirian aku tak sedang berhitung, aku
hanya menepi pada igauan dan tradisi.
Dari suara turun kehati, mendakilah ke puncak
imaji, taklukkan dalam sunyi.
Telah lewat tengah malam, suara sudah
tiada yang tinggal hanya tembang-tembang lawas berteman pula dengan lembab,
hari berganti dan tak ada lagi jeda iklan dalam pergantin nomor-nomor, selepas
Utha Likumahuwa dengan Esokkan Masih Ada di sambung Rayuan Pulau Kelapa, yang
tersisa hanya desir yang hening menggantikan suara gerimis, Aku mengecilkan
suara radio dan membiarkannya menyala, hingga kembali menyalak.
Painan, September
2012
Perempuan Raman Petang
Sebentar lagi hujan reda , sayang. Dan senja datang
menawarkan sisa basah serta matahari kuning memucat, padaku. Kau harus
mendengar hapalan-hapalan tentang kesemberautan masa depan, dan aku tidak
sedang beretorika, ini nyata kita harus menikmatinya dengan bahagia yang
sederhana.
Sayangku, aku menerpa kebisuan senja dalam laman-laman
keresahan. Dan kau ada dalam tiap kail ingatan, kau perempuanku. Perempuan
raman petang, bianglala penangkal si jundai. Aku si sembilu, di jantung hati sansai.
Malam tak gelap, remang rembulan dan kemerlip bintang di timur
membuat langit bagus untuk dinikmati. Hari akan terus berganti dan kisah tak
akan pernah terganti, aku telah tawarkan padamu tentang rasa yang terus
bergerak, namun tak akan bergejolak, sebab sebisa mungkin kita akan bermukim
pada sisa hujan, sisa ingatan yang masih tersimpan.
Painan, September 2012
Zarah Kubur
Di kuburan,
orang-orang bersalaman sembari memegang golok dan parang, melempar senyum
kesana kemari dan berebut cerita setahun yang lalu saat bertemu ditanah yang
sama, tanah yang basah.
Sebentar
sekilas, saling kira-mengira, tetap menggengam golok dan parang, berkelekar
tentang sisa, pungutan usia yang menjalari tubuh, di rimbunnya belukar hidup,
di kucup-kecupi perubahan. Lantas kita berbagi doa, juga kabar tentang yang
telah dahulu dan mendahului.
Pada lereng dan
turunan bukik mereka melanggang,
menenteng enteng menuju pergantian musim, menuju ritulal tahunan, ritual yang
berulang,
Selepas ziarah
kubur, kita berenang dalam dengkur yang ngelantur.
Painan, Agustus 2012
Permindo,
Menjelang Waktu Berbuka
Menjelang maghrib
di Sari Anggrek, Aku seperti mengingat hari lalu, Permindo rimis, romantis,
pasangan yg menunggu berjanji untuk berbuka bersama, berbuka berdua. Ah.
Sala
bada, puan kita
menenteng ingatan, pada perempatan kenangan, Matahari, Mesjid Taqwa, Toko Bata
dan pedagang kaki lima, kita selalu memilih samba
lado ijau untuk kita gumuli, berpuluh basah pada berbuka.
Selapasnya, kita berlalu pada
persinggahan-persianggahan panjang, melenyam dalam molekul, menguap.
Pada putaran kesekian aku sedang
berdiri di salah pojok kenangan, mengingat-ingat hari lalu, menunggu maghrib di
Permindo, menjelang waktu berbuka bersaut-sautan.
Padang-Painan,
September 2012
Diam-diam Aku
Menyimpan Cinta Kanak-kanak Kita
Diam-diam aku menyimpan cinta
kanak-kanak kita, cinta yang berlarian dalam sepak tekong, sikoci, yeye, saat
bersenggolnya tubuh mungilku dengan matamu. Mata yang hari ini menikamku
sedalam kenangan, kanak-kanak.
Apakah kau menyimpan kenangan
tentang hari lalu, kita?
Aku pernah coba merapikannya
dalam, kalereng, gambar-gambar, kajai dan raung tangis saat main gundu pada
halaman lapang, di Kampung Jao. Saat lusinan ketakutan mengejarku, tentang hari
depan, tentang ketergesaan hidup, hiruk,
pacu-berpacu.
Aku mengejar sesi keberanian
untuk menerobos masa lalu, menemui matamu.
Namun jalan sungguh memberi
banyak simpang dan pilihan, warna berganti dan musim mengutuk kita untuk tak
nyinyir pada kenyataan, kita singgah dibanyak ruang, sesekali menerobos
kenyataan bahkan saling menikam.
Bukankah kita tak pernah
menuntaskan apa-apa dari perjalan, lalu?
Painan,
2012
Tentang Yuka Fainka Putra
Yuka
Fainka Putra, Kelahiran
Painan, 5 Juli 1984. Bekerja di Komunitas Halaman
Pantai - Painan. Alumni Antropologi Universitas Andalas. Menetap di kota
kelahiranya. Tahun 2009, Menulis Buku Antologi Puisi Indie, “Malam-Malam di
Halaman Pantai”. Selain itu puisinya juga dimuat di berbagai antologi bersama,
media cetak, buletin komunitas dan online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar