Sabtu, 26 Oktober 2013

PUISI Yuka Fainka Putra


Sajak Pendengar Radio
Aku memesan Something Stupid-nya Frank Sinatra dengan segelas kopi, malam memekat dan gerimis memucat, tak bisa memastikan akan reda atau malah menjadi deras. Aku dalam hening yang sangat, cinta. Pada kerelaan-kerealan panjang aku titip asa dalam baris-baris ketidakpastian, dan di ujungnya sungguh-sungguh aku tancapkan realitas.
Dari suara turun ke hati, jangan diganggu karena sungguh nikmat, melakukannya sendiri.
Padan nomor  Gloomy Sunday-nya Reszo Seress, gerimis mulai berganti padat, memuai seluruh ke angkasa, malam semakin lelap dan jangan kau ajak aku menjadi konyol, sebab dalam kesendirian aku tak sedang berhitung, aku hanya menepi pada igauan dan tradisi.
Dari suara turun kehati, mendakilah ke puncak imaji, taklukkan dalam sunyi.
Telah lewat tengah malam, suara sudah tiada yang tinggal hanya tembang-tembang lawas berteman pula dengan lembab, hari berganti dan tak ada lagi jeda iklan dalam pergantin nomor-nomor, selepas Utha Likumahuwa dengan Esokkan Masih Ada di sambung Rayuan Pulau Kelapa, yang tersisa hanya desir yang hening menggantikan suara gerimis, Aku mengecilkan suara radio dan membiarkannya menyala, hingga kembali menyalak.

Painan, September 2012
Perempuan Raman Petang

Sebentar lagi hujan reda , sayang. Dan senja datang menawarkan sisa basah serta matahari kuning memucat, padaku. Kau harus mendengar hapalan-hapalan tentang kesemberautan masa depan, dan aku tidak sedang beretorika, ini nyata kita harus menikmatinya dengan bahagia yang sederhana.
Sayangku, aku menerpa kebisuan senja dalam laman-laman keresahan. Dan kau ada dalam tiap kail ingatan, kau perempuanku. Perempuan raman petang, bianglala penangkal si jundai. Aku si sembilu, di jantung hati sansai.
Malam tak gelap, remang rembulan dan kemerlip bintang di timur membuat langit bagus untuk dinikmati. Hari akan terus berganti dan kisah tak akan pernah terganti, aku telah tawarkan padamu tentang rasa yang terus bergerak, namun tak akan bergejolak, sebab sebisa mungkin kita akan bermukim pada sisa hujan, sisa ingatan yang masih tersimpan.
Painan, September 2012


Zarah Kubur
Di kuburan, orang-orang bersalaman sembari memegang golok dan parang, melempar senyum kesana kemari dan berebut cerita setahun yang lalu saat bertemu ditanah yang sama, tanah yang basah.
Sebentar sekilas, saling kira-mengira, tetap menggengam golok dan parang, berkelekar tentang sisa, pungutan usia yang menjalari tubuh, di rimbunnya belukar hidup, di kucup-kecupi perubahan. Lantas kita berbagi doa, juga kabar tentang yang telah dahulu dan mendahului.
Pada lereng dan turunan bukik mereka melanggang, menenteng enteng menuju pergantian musim, menuju ritulal tahunan, ritual yang berulang,
Selepas ziarah kubur, kita berenang dalam dengkur yang ngelantur.

Painan, Agustus 2012


Permindo, Menjelang Waktu Berbuka
Menjelang maghrib di Sari Anggrek, Aku seperti mengingat hari lalu, Permindo rimis, romantis, pasangan yg menunggu berjanji untuk berbuka bersama, berbuka berdua. Ah.
Sala bada, puan kita menenteng ingatan, pada perempatan kenangan, Matahari, Mesjid Taqwa, Toko Bata dan pedagang kaki lima, kita selalu memilih samba lado ijau untuk kita gumuli, berpuluh basah pada berbuka.
Selapasnya, kita berlalu pada persinggahan-persianggahan panjang, melenyam dalam molekul, menguap.
Pada putaran kesekian aku sedang berdiri di salah pojok kenangan, mengingat-ingat hari lalu, menunggu maghrib di Permindo, menjelang waktu berbuka bersaut-sautan.

Padang-Painan, September 2012


Diam-diam Aku Menyimpan Cinta Kanak-kanak Kita

Diam-diam aku menyimpan cinta kanak-kanak kita, cinta yang berlarian dalam sepak tekong, sikoci, yeye, saat bersenggolnya tubuh mungilku dengan matamu. Mata yang hari ini menikamku sedalam kenangan, kanak-kanak.

Apakah kau menyimpan kenangan tentang hari lalu, kita?

Aku pernah coba merapikannya dalam, kalereng, gambar-gambar, kajai dan raung tangis saat main gundu pada halaman lapang, di Kampung Jao. Saat lusinan ketakutan mengejarku, tentang hari depan, tentang  ketergesaan hidup, hiruk, pacu-berpacu.

Aku mengejar sesi keberanian untuk menerobos masa lalu, menemui matamu.

Namun jalan sungguh memberi banyak simpang dan pilihan, warna berganti dan musim mengutuk kita untuk tak nyinyir pada kenyataan, kita singgah dibanyak ruang, sesekali menerobos kenyataan bahkan saling menikam.

Bukankah kita tak pernah menuntaskan apa-apa dari perjalan, lalu?

Painan, 2012


Tentang Yuka Fainka Putra

Yuka Fainka Putra, Kelahiran Painan, 5 Juli 1984. Bekerja di Komunitas Halaman Pantai - Painan. Alumni Antropologi Universitas Andalas. Menetap di kota kelahiranya. Tahun 2009, Menulis Buku Antologi Puisi Indie, “Malam-Malam di Halaman Pantai”. Selain itu puisinya juga dimuat di berbagai antologi bersama, media cetak, buletin komunitas dan online


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...