Kemana Kita Setelah
Pulang dari Ingatan
Menyelusuri sunyi menghadirkan
keintiman laknat pada tubuh, berguncang dan berkehendak di tepian. Meneguk masa
lalu, berhadap-hadapan dengan kenyatan. Sejarah diri adalah ruang untuk tubuh berkelekar,
menjadi panggung pertunjukan yang gelap. Tak bisa melawan, karena berjalan maju
adalah mingikuti arus, berjalan mundur menguap, namun tak pernah lenyap. lalu
kemana kita setelah pulang dari ingatan.
Hanya berdiri diam di tempat.
Terlahir menjadi ada, lalu tak
melakukan apa-apa sungguh telah mendustai tubuh, bukankah kita juga pernah di
pucuk imaji, riuh gempita dan meneguk madu asmara. Mengapa jua bicara gelap dan terang, jika semisal menyelusuri kelok-kelok
itu bisa membuat kita bertahan. Menziarahi penyesalan tentu tak akan merubah
apa-apa, situs-situs pertemuan telah mejadi tugu berlambang: kenangan, lalu
kemana kita setelah pulang dari ingatan.
Tidak membalik halaman berikutnya.
Terjadi jeda yang berkepanjangan, tubuh
hanya diam walau keinginan serupa kecemasan, ingatan memaksa pulang, tak
tertahan. Sangsai benar jika memaksa
mengunjingi sunyi, setiap ditepis ia malah menari.
Painan, Oktober 2010
Aku Memperingati Kebablasan dalam Kamar Sendirian
Aku memperingati kebablasan dalam kamar
sendirian, sembari melafalkan ayat-ayat perang, oh pahit bukan kepalang,
menelusuri seluruh riuh rendah kepalsuan. Lihatlah kawan, konspirasi mengelitik
di sana-sini, setiap kemungkinan selalu berujung persimpangan, dan peta
terbentang di liang, rahim segala kesengsaran. oh, tuan weber sangkar birokrasi
bagai prajurit kompeni yang meniduri bingkai-bingkai sejarah. ah, bukankah kita
sangat terbisa menjarah, memainkan lidah ditepian situs-situs jejaring sosial,
lantas sekarang kau yang bertanya, aku hendak kemana?
menulis saja kadang membuat aku lelah,
seperti menjadi tertuduh yang dipaksa merekam detak, tanggal-tanggal berkarat,
berguguran ke kenangan. lembar-lembar diintimidasi, diputarbalikkan sesuka
hati, kompas arah-mengarah, utara petunjuk segala sengsara. kecintaan marx pun
pada tubuhnya telah meluruhkan dendam yang panjang, tak terobat oleh oportunisnya zaman. simbol-simbol
mangantarkan relativisme agung, salju turun perlahan, mendekamkan diri pada
perpustakan, menyelinap dibuku, baku: luruh dan dunia menjadi ambigu.
aku masih di tropis, tak lagi tentu
menabak musim, perang batin saling berkejaran, hanya yang setia yang bertahan,
pada pilihan kita merawat dendam, semisal tak terbalaskan; aku telah mencoba
berada di garis depan, mempertanyakan nihilisme.
nol adalah ke(aku)an, memulai diperjalankan, jika diantar sejauh ini tentu Ia
tak akan meninggalkan aku dengan sia-sia.
Painan, Oktober 2010
Pucuk-Pucuk Embun
Sebelum terik bergegas menggugurkanmu
aku ingin menikmati detik-detik pucuk yang merayu
bercermin dikerelaan pagi, sebab waktu akan melumat
memangsa siapa yang tergesa, menelan siapa yang lambat.
Mungkin memang pertemuan denganmu terlalu khusuk,
atau aku saja bermimpi setiap pagi bisa mangukir nama di
biasmu
Rasa gamang luruh dan jatuh bersama tetesmu ke tanah
berpindah ke pucuk lain, bercermin tentang langkah yang
diam
tak ingin mengenang apa-apa yang telah berguguran
namun setiap puncak yang aku kunjungi, terawat kenangan
dengan rapi
Mungkin pertemuan ini selalu terasa amat agung,
atau aku saja berharap, tanah yang tertetesi memunculkan
nama
Painan, Oktober 2010
Tentang
Yuka Fainka Putra
Bekerja di Komunitas
Halaman Pantai-Painan. Tahun
2009, menulis buku antologi puisi indie, Malam-Malam
di Halaman Pantai. Selain itu puisinya juga tergabung pada Antologi Puisi
Festival Bulan Purnama (2010). Dua
Episode Pacar Merah (DKSB-2004). Kini menetap di Kota Painan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar