Minggu, 27 Oktober 2013

PUISI Riza Jhulia Santhika


Mengerti Lelaki

Memangku lelaki, sejauh percumbuan tak kunjung
memberi  arti. Meneteki lelaki, mulutnya terkelupas
saat lepas membuahi janji;  Pergilah imajinasikan
tubuhku, kiranya  itu yang paling kau ingini.

Seperti lelaki,  apa yang dimengerti dari mimpi?
nafsu gila. Menimang jakun kemana-mana
menjajakan dari bibir menjadi cibir, merata dan
mudah saja diterka.

Menjadi lelaki, apa yang kau lakukan agar berarti?
ya, tentu  ya. Lelaki, menjadi tersebut sudah lebih
cukup bangga berdiri. Kapansaja ingkar, kapansaja
bercinta
dan kapanlagi?
“Membuahi birahi dengan serangkaian prosesi, aku menghibur
  jadi penari telanjangnya. Anggap saja lupa diri”


 Padang 2011



Terpenjara
Aku terlampau beku
di hatimu,
hingga sulit menulis
skenario baru.

Terlampau sulit merdeka
hatiku,
setelah kau paku
dengan percikan ludahmu.

Padang 2011



Belajar Jujur

Maaf,

“Sekantong benih cinta yang kau sebarkan
di hotel bintang lima tempo hari
belum sebanding  harganya dengan  kosmetik
kebutuhan sehari-hariku”

Maaf,

“Kembalilah lagi dengan kendaraan pribadi
pada masa dimana lidah sudah mampu
melontarkan kata
mapan”

Maaf,

“Aku masih mencari gairah
agar mampu bercinta”

Padang, 2011




Lelakiku Enggan

Selamat tinggal badan.
Engkau terlalu lapang untuk kukenakan
Mungkin sesekali saja kau menciut jadi pas atau sesak.

Tersebab engkau.
Lelakiku bosan, lari tanpa secuil gairah.
Lelakiku enggan,  dikemudian mencemooh,
menuliskan beban pada punggungmu:
Ini badan, terlalu hambar  untuk dijamahi
Ini badan, terlalu layu dicumbui. Kita akhiri saja.

sawahlunto 2011




Hobi Masa Lalu

Hobi, antarkan aku pada segala
kesukaan.
Tambatkan pada segala
keinginan.
Sampaikan bahwa tiada lelah
penat yang menghantar buruk kemungkinan.

Hobi, cairkanlah kebekuan yang
menyingsing.
Babatkan duri-duri luka yang
Membelukar.
Uraikan pertikaian yang menjalar
ganas menerabas genggaman tangan kita.

“Hobi, aku lupa kapan terakhir kali
semua itu kau lakukan untukku.”

Padang 2011



Kereta Hitam

Kereta hitam mulai melaju.
Punggung engkaukah yang kulihat duduk
di gerbong belakang itu
Sembari melepas isyarat pertemuan tiba
di ambang usia

Mungkin, waktu terlalu sombong berpacu
dengan gelombang air mataku
Mungkin, seperti laju berisik kereta
yang menghantam ulu hatiku

Kereta hitam,
lajunya kenanganku.

Padang, 2011




Sawahlunto Suatu Ketika

Sawahlunto suatu ketika,
langit cinta merah muda.
Kita berjarak, aku tak suka
Wajahmu timbul tenggelam mencuci mata.

Hati tergetar, jantung mendebar.
Mak Itam lewat menyinggahkan suara
salung dan serunai yang biasa
kita dengarkan bersama.

Aku lunglai.
Di padang luas tubuh terkulai,
meresapi rindu yang bersemarak
melaju deras memompa
ingatanku…

Oh kekasih,
tersebab apa gerangan
rinduku terlalu melukai?
Oh…

Sawahlunto suatu ketika,
menunggu pertemuan maya.

Sawahlunto 2011



Tentang Riza Jhulia Santhika
Lahir di Sawahlunto, 21 Juli 1992. Sedang studi  di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. Bergiat di Teater Nan Tumpah Padang. Beberapa puisinya dimuat di media lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...