Mengerti Lelaki
Memangku
lelaki, sejauh percumbuan tak kunjung
memberi arti. Meneteki lelaki, mulutnya terkelupas
saat lepas
membuahi janji; Pergilah imajinasikan
tubuhku,
kiranya itu yang paling kau ingini.
Seperti lelaki,
apa yang dimengerti dari mimpi?
nafsu gila. Menimang jakun kemana-mana
menjajakan dari bibir menjadi cibir, merata dan
mudah saja diterka.
Menjadi lelaki, apa yang kau lakukan agar berarti?
ya, tentu ya.
Lelaki, menjadi tersebut sudah lebih
cukup bangga berdiri. Kapansaja ingkar, kapansaja
bercinta
dan kapanlagi?
“Membuahi birahi dengan serangkaian prosesi, aku
menghibur
jadi penari
telanjangnya. Anggap saja lupa diri”
Padang 2011
Terpenjara
Aku terlampau beku
di hatimu,
hingga sulit menulis
skenario baru.
Terlampau sulit merdeka
hatiku,
setelah kau paku
dengan percikan ludahmu.
Padang 2011
Belajar Jujur
Maaf,
“Sekantong benih cinta yang kau sebarkan
di hotel
bintang lima tempo hari
belum
sebanding harganya dengan kosmetik
kebutuhan
sehari-hariku”
Maaf,
“Kembalilah
lagi dengan kendaraan pribadi
pada masa dimana lidah sudah mampu
melontarkan kata
mapan”
Maaf,
“Aku masih mencari gairah
agar mampu
bercinta”
Padang,
2011
Lelakiku Enggan
Selamat
tinggal badan.
Engkau
terlalu lapang untuk kukenakan
Mungkin
sesekali saja kau menciut jadi pas atau sesak.
Tersebab
engkau.
Lelakiku bosan,
lari tanpa secuil gairah.
Lelakiku
enggan, dikemudian mencemooh,
menuliskan
beban pada punggungmu:
Ini badan,
terlalu hambar untuk dijamahi
Ini badan,
terlalu layu dicumbui. Kita akhiri saja.
sawahlunto
2011
Hobi Masa Lalu
Hobi,
antarkan aku pada segala
kesukaan.
Tambatkan
pada segala
keinginan.
Sampaikan
bahwa tiada lelah
penat
yang menghantar buruk kemungkinan.
Hobi,
cairkanlah kebekuan yang
menyingsing.
Babatkan
duri-duri luka yang
Membelukar.
Uraikan
pertikaian yang menjalar
ganas
menerabas genggaman tangan kita.
“Hobi,
aku lupa kapan terakhir kali
semua
itu kau lakukan untukku.”
Padang 2011
Kereta Hitam
Kereta
hitam mulai melaju.
Punggung
engkaukah yang kulihat duduk
di gerbong
belakang itu
Sembari
melepas isyarat pertemuan tiba
di ambang
usia
Mungkin,
waktu terlalu sombong berpacu
dengan gelombang air mataku
dengan gelombang air mataku
Mungkin,
seperti laju berisik kereta
yang menghantam ulu hatiku
yang menghantam ulu hatiku
Kereta
hitam,
lajunya
kenanganku.
Padang, 2011
Sawahlunto Suatu Ketika
Sawahlunto
suatu ketika,
langit
cinta merah muda.
Kita
berjarak, aku tak suka
Wajahmu
timbul tenggelam mencuci mata.
Hati
tergetar, jantung mendebar.
Mak Itam
lewat menyinggahkan suara
salung dan
serunai yang biasa
kita dengarkan bersama.
kita dengarkan bersama.
Aku lunglai.
Di padang luas tubuh terkulai,
meresapi rindu yang bersemarak
melaju deras memompa
ingatanku…
Oh kekasih,
tersebab apa gerangan
rinduku
terlalu melukai?
Oh…
Sawahlunto
suatu ketika,
menunggu
pertemuan maya.
Sawahlunto 2011
Tentang Riza Jhulia Santhika
Lahir
di Sawahlunto, 21 Juli 1992. Sedang studi
di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. Bergiat di
Teater Nan Tumpah Padang. Beberapa puisinya dimuat di media lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar