Masuk
Museum
Memasuki ruang remang-remang:
terang dan kelam terkurung,
tak tahu jalan keluar.
Di mana lesung nenek tak meniupkan bara di tungku,
tapi menanak
udara.
Aku menyuapi
mulut penuh lumut.
Di dinding, terpajang gambar seseorang.
Matanya menangkap sesuatu yang berkelebat:
sesuatu berwarna angin.
Di sini ingatan adalah bantal di kasur
saat pagi, siang,
dan malam.
Di mana
segerombolan pengantin masa lalu membeku.
Konon mereka menatap kita
tanpa membuka matanya
yang pecah.
Padang, 2010
Kamar Pengantin
Kuantar kau
menyaksikan rupa
yang tak tersentuh cahaya:
kamar berkelambu udara.
Jika magrib telah
habis,
surat cinta yang
kita tulis raib
menjadi suara
bisik-bisik.
Harusnya cermin di
meja rias gemar menyalin
wajah kita hingga
menjadi kembar siam.
Lampu mati. Gelap
melumuri
segala mata. Dua
desahan hidup seperti bidadari,
menari seperti
penyihir terakhir.
Tubuh ranjang hinggap
di pohon tidur. Buahnya bersayap,
siap terbang ke
langit lembab,
sebab kamar ini tak beratap.
Padang,
2011
Sajak Mencari Kerbau
Tangkai bajak memanjang sampai ke
sawah. Panen meruapkan
aroma padi basah. Pedati rebah ke balik
pematang sebelah.
Aku berkeliling sambil meniup suling.
Arah adalah lubang nada
yang pecah berkeping-keping. Terdengar
sampai ke pasar.
Dimanakah tanduk runcing dijual
setelah isyarat tawar-menawar terpaut
dalam kandang?
Di luar kandang, dua dahan dari
sebatang pohon saling bertukar
burung. Dan dua kicau saling bertukar
kabar.
Padang, 2010
Setali
Sekali dua kali
kau akan mengulurkan tangan, berharap
bergantung
di seulas benang.
Satu-persatu kau urut hingga kusut.
Satu kepal kugenggam sampai lisut.
Lihatlah, seseorang datang membawa
sepangku kayu hutan
untuk pembakar tungku.
Di kayu itu simpul ikatan akan longgar
sebelum disilang di perapian.
Bisa saja berulangkali kita dipintal.
Melingkar, berpulun di tengah gagang.
Dijadikan cadangan teraju laying-layang
besar.
Tapi kenapa engkau
semakin memanjang?
Apa yang menyambungmu ke luar kumparan?
Menjalar seperti ular, mencari lubang
panjang, jauh ke dalam dasar
Hingga tak satu pun binatang dari dalam
mampu memanjat.
Sekali dua kali
aku terjerat dan
kau tertambat
dalam jaring perangkap yang dulu juga.
Padang, 2011
Saputangan Cahaya
Sepasang matanya
tak mahir lagi
menangis
setelah meminta dilukai
oleh kuku
yang diajari jarimu tumbuh.
Sudut mana
yang akan kau cabik
agar dapat kau temukan kesedihan?
Cinta yang putus
tersangkut di
seulas benang basah
yang menyembul
dari salah satu
saku celana.
Seulas yang lain
menyelam
ke dalam
air mata,
menari-nari,
memancing ikan berbadan kaca.
Tembus: ada yang terus
sambung-menyambung,
ikat-mengikat.
Pada malam yang tak menunggu lampu
ia akan menyala
bila akhirnya harus datang juga
dengan terus terang
di parasmu yang merah padam.
Padang, 2011
Lampu
Lampau
Yang telah menjauh dari punggungmu
tak mampu kau ingat sebagai belakang
di jejak-jejak jalan.
Apabila kupindahkan langkah dari kaki ke kaki
mungkinkah kau
angkat ayun dari tangan ke tangan?
Tapi aku telah
lama menjadi lampu
menyigi tahun yang
tampak kabur.
Hutan atau hantu?
Di antara gambar
rupaku yang diam
dengan mata menyala
memanggang
segala yang mungkin dikenang.
Arang membikin bekas,
abu mengajak kepergian bergegas
di tali angin yang lepas,
menghela dan menyulamnya menjadi kabut.
Masihkah kau percaya
pada matamu yang ragu
menebak sesuatu
yang tak kau sebut.
Sesuatu yang takut luput
dari sebelah mataku yang dimatikan bila siang.
Padang,
2011
Kasur
Cepat atau lambat
kita akan dibangunkan
di pusat malam
dengan bayang-bayang
di selingkaran,
menjadi saat yang lama
untuk menebak
raut yang bundar.
Keras atau lunak
kita akan terbangun
di suatu pagi yang
masih rabun
untuk melihat apa
pun.
Sisa-sisa hantu
dengkur
terasa kelat dan
lekat
sehingga
menghambat mimpi buruk
menemukan tenggorok igau.
Sakit atau sehat
kita mesti kembali berbaring
sampai kita diberi pantangan
karena tak kunjung
dilelapkan pejam.
Padang,
2011
Sabai
Kecil
Baginya, ketika gerimis mencapai genting
berbunyi lebih sunyi dari keadaan kapan pun
Seperti jarak
waktu dan jam tangan
Perihal lama dan
sebentar jadi tak berarti
Ia adalah seekor
pipit menunggu pagi
untuk mencari padi
Matanya membaca
petani
yang dikira orang sawah menari
saat angin terlambat menyisih
Padang, 2011
Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Pesisir Selatan, 12
Juni 1986. Aktor di Teater Noktah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar