Minggu, 20 Oktober 2013

PUISI Ramoun Apta



Pujangga Bulan


bungkusan teri di sudut pasar. lakon pejuang
di sepanjang dinding pembatas jalan. gelagat para nabi
dalam setiap ingatan pejalan yang buram.

ia hanya penyair yang tak dikenal. penyair yang tak pernah
mendapat pujian dan merasakan sentuhan kekasih.
setiap malam membayangkan bulan jatuh di pangkuan. setiap malam
menghitung bintang yang menjauh ke negeri seberang.

bila pagi datang, ia hanya membayangkan wajah bulan.
betapa inginnya ia berpergian dengan wajah yang punah
dari dendam orang-orang terbuang.

dalam hujan ia mengenang;
mengaminkan nasib serupa korban pembunuhan tuan
tuan yang tak kenyang-kenyang menelan darah ibunda
yang sudah menjanda.


Tunas Mandiri-LPK, 2010-2011

Bulan Muda


kita selalu bicara tentang perjalanan
dari setapak
mulai menapak
selesailah sudah,

“jika di perjalanan engkau tersesat,
pulanglah dengan mengingat asal
sebab bau asap pembakaran mayat
yang membumbung serampangan
paksa memintamu untuk dibakar di asalnya.”

sebelum engkau jatuh
di matamu.

Tunas Mandiri, 2011



Renti dalam Komposisi


renti, pecah ketuban langit, pecahlah
aku semakin ngilu sendi tulang
sebab ranting-ranting pohon
berderai jatuh di pangkuanku
sebab air yang menjadi komposisi
mengadu kepada cintaku

renti, lebur tulang rusuk, leburlah
meski darah berhenti menyelisir tubuh
aku pasti hidup bersama nafasku
meski habis daging dimakan tulang
pasti ada ruang bagi sarapan pagi
untuk segera berkomposisi

renti, putus nyawa ini, putuslah
jika mata ini tamat ke dalam umur
aku akan pulang menggawangi rahim ibu
berkomposisi ulang menjadi engkau
meski di sana aku mati berkali-kali

Tunas Mandiri, 2011




Pintu


pintu tidak lagi meminta bantuanmu untuk dibuka
bila ia terbuka

melalui kunci ia banyak belajar:
bagaimana cara membuka dan menutup diri

sekalipun jangan engkau bertanya
tentang ia yang mandiri
sebab ia tak segan-segan menjadikanmu
hilang ingatan tentang nikmat udara gunung

Tunas Mandiri, 2011




Jalan Lengang 13


dulu ruangan ini selalu meminta bantuanmu
untuk membuka dan menutup pintu
supaya yang tersimpan
bebas menikmati hidup yang malam

setiap waktu.


Tunas Mandiri, 2011





Jalan Lengang 14


sekarang kunci tak bisa lagi mengunci pintu
sebab ia tahu, kau selalu cemburu

Tunas Mandiri, 2011



Cinta


yang kusut seumpama benang sangkut di ranting kayu
yang pecah seumpama tebu di mesin pemiuh
yang halus seumpama giok hijau batu di jemari kelingkingku

menjadi satu.

Tunas Mandiri, 2011




Gerimis


milyaran rintik darah jatuh ke dada bumi
yang sedang menumbuhkan payudara

dari langit yang pecah ketuban.

Tunas Mandiri, 2010





Daging Babi


aku telah lama
menanti seorang muslim
untuk memakanku
agar aku dapat masuk
ke tubuhnya

untuk berproses menjadi darah

Tunas Mandiri, 2011




Kubah


matahari yang menenggelamkan mata
setengah di badan senja

lantang menatap sepasang kekasih
yang sedang mabuk asmara

Tunas Mandiri, 2011






Meludah


didasari keinginan berbagi nasib
aku memberi makan bagi semut-semut
yang terusir dari lubang
sebab banjir oleh liur penyair,
makanan yang berupa daging
didapat dari sela gigi graham
dan taring

aku membuang segala serapah
meliputi manis bibir yang tawar perlahan

berkali-kali.


Tunas Mandiri, 2011







Tentang Ramoun Apta

Lahir di Muara Bungo, Jambi, 26 Oktober 1991. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. Bergiat di komunitas SS (Sajak Sore) dan ruang tulis Tepi Jalan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...