Pujangga Bulan
bungkusan teri di
sudut pasar. lakon pejuang
di sepanjang
dinding pembatas jalan. gelagat para nabi
dalam setiap
ingatan pejalan yang buram.
ia hanya penyair
yang tak dikenal. penyair yang tak pernah
mendapat pujian
dan merasakan sentuhan kekasih.
setiap malam
membayangkan bulan jatuh di pangkuan. setiap malam
menghitung bintang yang menjauh ke negeri seberang.
bila pagi datang, ia hanya membayangkan wajah bulan.
betapa inginnya ia berpergian dengan wajah yang punah
dari dendam
orang-orang terbuang.
dalam hujan ia mengenang;
mengaminkan nasib serupa korban pembunuhan tuan
tuan yang tak kenyang-kenyang menelan darah ibunda
yang sudah
menjanda.
Tunas Mandiri-LPK, 2010-2011
Bulan Muda
kita selalu bicara
tentang perjalanan
dari setapak
mulai menapak
selesailah sudah,
“jika di
perjalanan engkau tersesat,
pulanglah dengan mengingat asal
sebab bau asap pembakaran mayat
yang membumbung serampangan
paksa memintamu untuk dibakar di asalnya.”
sebelum engkau
jatuh
di matamu.
Tunas Mandiri, 2011
Renti dalam
Komposisi
renti, pecah
ketuban langit, pecahlah
aku semakin ngilu sendi tulang
sebab ranting-ranting pohon
berderai jatuh di
pangkuanku
sebab air yang
menjadi komposisi
mengadu kepada
cintaku
renti, lebur
tulang rusuk, leburlah
meski darah
berhenti menyelisir tubuh
aku pasti hidup
bersama nafasku
meski habis daging
dimakan tulang
pasti ada ruang
bagi sarapan pagi
untuk segera
berkomposisi
renti, putus nyawa
ini, putuslah
jika mata ini
tamat ke dalam umur
aku akan pulang menggawangi rahim ibu
berkomposisi ulang
menjadi engkau
meski di sana aku
mati berkali-kali
Tunas Mandiri, 2011
Pintu
pintu tidak lagi
meminta bantuanmu untuk dibuka
bila ia terbuka
melalui kunci ia banyak belajar:
bagaimana cara membuka dan menutup diri
sekalipun jangan engkau bertanya
tentang ia yang mandiri
sebab ia tak segan-segan menjadikanmu
hilang ingatan tentang nikmat udara gunung
Tunas Mandiri, 2011
bila ia terbuka
melalui kunci ia banyak belajar:
bagaimana cara membuka dan menutup diri
sekalipun jangan engkau bertanya
tentang ia yang mandiri
sebab ia tak segan-segan menjadikanmu
hilang ingatan tentang nikmat udara gunung
Tunas Mandiri, 2011
Jalan Lengang 13
dulu ruangan ini
selalu meminta bantuanmu
untuk membuka dan menutup pintu
supaya yang tersimpan
bebas menikmati hidup yang malam
setiap waktu.
Tunas Mandiri, 2011
Jalan Lengang 14
sekarang kunci tak
bisa lagi mengunci pintu
sebab ia tahu, kau
selalu cemburu
Tunas Mandiri, 2011
Cinta
yang kusut
seumpama benang sangkut di ranting kayu
yang pecah seumpama tebu di mesin pemiuh
yang halus seumpama giok hijau batu di jemari kelingkingku
menjadi satu.
Tunas Mandiri, 2011
yang pecah seumpama tebu di mesin pemiuh
yang halus seumpama giok hijau batu di jemari kelingkingku
menjadi satu.
Tunas Mandiri, 2011
Gerimis
milyaran rintik
darah jatuh ke dada bumi
yang sedang menumbuhkan payudara
dari langit yang pecah ketuban.
Tunas Mandiri, 2010
yang sedang menumbuhkan payudara
dari langit yang pecah ketuban.
Tunas Mandiri, 2010
Daging Babi
aku telah lama
menanti seorang muslim
untuk memakanku
agar aku dapat masuk
ke tubuhnya
untuk berproses menjadi darah
Tunas Mandiri, 2011
menanti seorang muslim
untuk memakanku
agar aku dapat masuk
ke tubuhnya
untuk berproses menjadi darah
Tunas Mandiri, 2011
Kubah
matahari
yang menenggelamkan mata
setengah
di badan senja
lantang
menatap sepasang kekasih
yang
sedang mabuk asmara
Tunas
Mandiri, 2011
Meludah
didasari keinginan berbagi nasib
aku memberi makan bagi semut-semut
yang terusir dari lubang
sebab banjir oleh liur penyair,
makanan yang berupa daging
didapat dari sela gigi graham
dan taring
aku membuang segala serapah
meliputi manis bibir yang tawar perlahan
berkali-kali.
Tunas Mandiri, 2011
Tentang Ramoun Apta
Lahir di Muara Bungo, Jambi, 26
Oktober 1991. Mahasiswa
Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. Bergiat di komunitas SS (Sajak
Sore) dan ruang tulis Tepi Jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar