HUJAN SEPERTI
hujan
seperti pena dan pensil
sembunyi
di ingatan masa lalu
ketika
sungai-sungai meluap di musim beku
dan cinta tak lebih dari
kupu-kupu
singgah di kepingan peta
layu
tanpa skala dan garis
pantai
seperti wajah tak
dikenal
mengintip di cermin
banal
kala riwayat tak terurai
dan waktu hanyalah radio
menggamitmu lewat saluran resah
tentang
kekasih yang lama menanti
hujan seperti…
Bandung, 2004-2011
DI
AHAD YANG BENING
di ahad yang bening
serupa pagi kuning
pengembara tak lagi
bertanya
tentang doa tanpa tafsir
Tuhan telah terbaca
menjelma labirin
rangka sepetak takdir
dulu perempuan adalah
cahaya
memupuk air mata
jadi batu, karang, debu
kini angin mengirim peti
alamat
yang mesti dicapai
dalam badai
selembar cemara luruh
diterjang waktu lusuh
melintas bahasa yang
runtuh
tak terpahami
oleh sepasukan malaikat
yang singgah
menyusun isyarat
Bandung, 2004, Padang, 2007
PANTAI
YANG TERSEDU (II)
waktu tidur dalam gelombang pasang
yang
mengantarku jadi manusia
Tuhan mengirim
bunga
dan pecahan kaca
padahal tak ingin aku
berpaling
saat badai menuntaskan
angin
tak butuh bersedih
saat Tuhan melengkapkan
catatan
dan laut selalu mandi
dalam airmata burung
dan aku bermimpi
seorang putri dari
gunung
hanya ada luka, teman
bercakap
kala malam mengungsikan
dingin
dirikulah penunggang
setia
jalan genting tak
bermarka
Padang,
2009
GUNUNG
YANG TERTAWA
tak ada yang
tahu, setiap hari aku ditertawakan
gunung yang tinggi
awan-awan putih yang
lewat diam-diam
pernah mendengar suara tawa itu
suatu
pagi, mataku tak dapat memandang
hanya terdengar
suara tawa
yang lebih menggelegar
aku tak butuh tahu
pemilik tawa itu
aku hanya ingin sembunyi
dalam
diri sendiri
lalu tertawa
sepuasnya
membangun gunung lebih
tinggi
namun awan-awan putih
tak mampu menyimak
suara kesedihanku
selain sunyi
Padang, 2010
PADA
SEBUAH JANUARI
pada sebuah
januari
tak tereja diari
malam menjelma jurang
kabar
jadi sengau
menunggu
tapak sepatu
di
pasir hangus
menebak
suaramu
di
ranting pinus
seperti
kertas yang mengaduh
tertindih
berita
jiwa
berlari
membangun
penjara
masih
kusimpan helai rambutmu
di
pantai tersunyi
menidurkan
rindu
menyelinap
di masam ventilasi
tak
terasa sepi
mengoyak
roman picisan
tak henti hari
menitip nihil yang gatal
Januari 2011
Tentang Mohammad
Isa Gautama
Lahir Padang, 1976. Menulis puisi dan memenangkan
berbagai sayembara penulisan puisi sejak 1988. Puisinya dimuat di Horison,
Republika, Suara Karya Minggu, Lampung Post, Jurnal Puisi, dan di 15 antologi
bersama, di antaranya Pesan Camar (1996, Dewan Bahasa dan Sastra Malaysia),
Taraju’93 (Yayasan Taraju), dan Variasi Dini Hari (2000, UK.Kesenian-UNP,
sekaligus sebagai editor).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar