Sabtu, 19 Oktober 2013

PUISI Isbedy Stiawan ZS



Taman Hutan Kota
: suatu malam

baiklah, jadikan lelampu itu
sebagai bulan di wajahmu

akhirnya ke taman ini
kita tak juga menemukan
                         bulan,
seperti yang kau 
minta padaku
sebelum berangkat tadi:
sudah berapa tempat singgah
dan berapa kafe
hanya mau melihat bulan
jatuh di meja makan

"anakmu (tepatnya masih jabang)
di dalam rahim ini, selalu bernyanyi:
'bulan bulan tok 
bulan segede batok'
dan berdendang:
'o bulan o bulan....'

lalu ke taman hutan kota
kau tengadahkan wajahmu
ingin sekali harap
bulan jatuh persis di perutmu

kau mengelus (tepatnya membelai)
wajah perutmu, yang di dalamnya
bersemayam jabang
yang kini selalu berdendang

'hidung mangir
dagu lancip
siapa punya?'

ah, cukuplah kau sehat
bulan tak pucat
di kolam itu 


06112010




Ingatan  
: buat sahabatku


ia datang, selalu tandang
meski tak diawali oleh janji

dan waktu kehadirannya
juga waktu yang tak berubah
seperti sudah ia hitung
setiba di rumahku pada jam sekian

lalu, seperti hari-hari lalu,
ia tak mengetuk pintu
lazimnya tamu
: gedoran dengan ujung sepatu
--kadang dengan tumitnya--
setelah itu ia masuk dan terbahak

(tapi sekiranya pintu rumahku terkunci
ia akan mengetuk kaca hingga tiga kali
dan jika tiada sahutan dari dalam
jendela rumahku akan diia dongkel
dengan ujung obeng: setelah terkuak,
kaki kirinya naik kemudian kaknan
dan melompat!)

tapi, kenapa aku tak pernah marah
sedang aku punya nyali cukup baik?
"sekali kupukul, kau akan tersungkur," kataku
suatu ketika seraya kuceritakan masa mudaku
yang pernah belajar ilmu bela diri

--ia hanya tersenyum, seperti tengah
mengumpulkan nyalinya--

suatu hari di siang sangat panas
ia berjalan kaki ke rumahku
bajunya--persisnya kaus--ia buka
sendal jepitnya ia seret
layaknya penyapu jalan

kulihat ia: kepalanya ia tutup
dengan baju kausnya
dan aku tersenyum dari seberang jalan
lalu kuikuti dari belakang
hingga di depan rumahku

kini, ia pergi ke mana:
ia sakit-sakitan
tak berani telanjang dada
selalu menghindar dari terik siang

"kini ia stroke dan pernah
dirawat di rumah sakit," cerita temanku
"ia amat takut pada istrinya," cerita
temanku yang lain

aku tak lagi pernah jumpa dia...


11/11/2010: 02.30


 
Menikmati Rokok
            : bersama thomas budi santoso

“aku pecandu,
tapi tak sebanyak rokok
yang kau simpan di tas,” kataku
seraya mengisap nikoten
hati-hati, karena setiap abai
polisi kerajaan menangkap

lalu di bawah pepohonan
di antara barisan kendaraan
seisap-isap asap kita nikmati:
“bagaimana jika bersama
perempuan?” aku menggoda

sebatang rokok seseorang perempuan
tak akan sama nikmatnya:            “kau mau
rokok yang kubawa ini?     lebih nikmat
                                    dari yang bayangkan.”

setelah itu, kuciptakan bola-bola
dan terbang menghisasi udara

-- tak ada polisi di sini,
    juga yang tidur
    sepanjang gang
dalam kampung –

                                                “kau mau
rokok yang kubawa ini?”
aku terpana, sebab tersimpan bom
                        di dalamnya!

Brunei 17 Juli 2010-Lampung September 2010


 
Halaman untukku Bertasbih
           
inilah halaman untukku
hingga aku habis-habisan:
                        bertasbih
dan doa kuterbangkan
sampai ke pucuk menara

“apakah Tuhan akan mengambil
doamu, wahai peziarah?” sebisik
orang hinggap di telingaku

tapi doa tetap sampai
meski tak liwat menara ini
atau beribu kubah lain di bumi
juga di tanah suci

di dalam hati ini
ada menara yang telah kubangun
lebih tinggi dari menara di mana pun

sebab di sini, aku hanya ingin mengadu
bertahun-tahun hatiku membatu!


Kudus Januari 2008-Lampung 2009





Di Negeri tak Bebas

selebihnya cuma diam
ketika kau pelan-pelan
menarikku dan memberi
beberapa bungkus rokok

“aku menjadi hidup
oleh rokok dan puisi,” seperti
ingin kau ucapkan itu,
ketika tanganku menyambar
beberapa bungkus rokok
ke dalam tasku
            (kau hanya tersenyum,
tanpa melepas rokok dari
jepitan bibirmu)

“tapi puisi tak pernah habis,
meski rokok akhirnya menjadi abu,”
jawabku
dan puntungnya kuinjak
sebelum datang polisi kerajaan
menyeretku ke bui
atau didenda

            di sini, setiap perokok
layaknya penjahat….

Brunei 18 Juli 2010-Lampung Okt-Nov 2010



Biodata:

Isbedy Stiawan ZS lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Banyak menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di pelbagai media massa daerah dan Jakarta, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Suara Karya, Nova, Horison, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, Riau Pos, Lampung Post, Radar Lampung, Kedaulatan Rakyat, Harian Global, dan lain-lain.

Sekitar 17 buku cerpen dan puisi telah diterbitkan, di antaranya Perepuan  Sunyi, Seandainya Kau Jadi Ikan, Hanya untuk Satu Nama, Kota Cahaya, Aku Tandai Tahi Lalatmu dan lain-lain.

Kini bekerja di LampungTV—grup MNC—sebagai produser (redaktur) dan berkhidmat di Dewan Kesenian Lampung. *





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...