Taman Hutan Kota
: suatu malam
baiklah, jadikan lelampu itu
sebagai
bulan di wajahmu
akhirnya
ke taman ini
kita
tak juga menemukan
bulan,
seperti yang kau
minta padaku
sebelum
berangkat tadi:
sudah
berapa tempat singgah
dan
berapa kafe
hanya
mau melihat bulan
jatuh
di meja makan
"anakmu
(tepatnya masih jabang)
di
dalam rahim ini, selalu bernyanyi:
'bulan bulan tok
bulan
segede batok'
dan
berdendang:
'o bulan o bulan....'
lalu
ke taman hutan kota
kau
tengadahkan wajahmu
ingin
sekali harap
bulan
jatuh persis di perutmu
kau
mengelus (tepatnya membelai)
wajah
perutmu, yang di dalamnya
bersemayam jabang
yang kini selalu berdendang
'hidung
mangir
dagu lancip
siapa punya?'
ah,
cukuplah kau sehat
bulan
tak pucat
di kolam itu
06112010
Ingatan
: buat sahabatku
ia datang, selalu tandang
meski tak diawali oleh janji
dan waktu kehadirannya
juga waktu yang tak berubah
seperti
sudah ia hitung
setiba
di rumahku pada jam sekian
lalu, seperti hari-hari lalu,
ia
tak mengetuk pintu
lazimnya
tamu
:
gedoran dengan ujung sepatu
--kadang
dengan tumitnya--
setelah
itu ia masuk dan terbahak
(tapi sekiranya pintu rumahku terkunci
ia
akan mengetuk kaca hingga tiga kali
dan jika tiada sahutan dari dalam
jendela
rumahku akan diia dongkel
dengan
ujung obeng: setelah terkuak,
kaki
kirinya naik kemudian kaknan
dan
melompat!)
tapi,
kenapa aku tak pernah marah
sedang
aku punya nyali cukup baik?
"sekali
kupukul, kau akan tersungkur," kataku
suatu
ketika seraya kuceritakan masa mudaku
yang
pernah belajar ilmu bela diri
--ia hanya tersenyum, seperti tengah
mengumpulkan
nyalinya--
suatu hari di siang sangat panas
ia berjalan kaki ke rumahku
bajunya--persisnya kaus--ia buka
sendal jepitnya ia seret
layaknya penyapu jalan
kulihat ia: kepalanya ia tutup
dengan
baju kausnya
dan
aku tersenyum dari seberang jalan
lalu
kuikuti dari belakang
hingga
di depan rumahku
kini,
ia pergi ke mana:
ia
sakit-sakitan
tak
berani telanjang dada
selalu
menghindar dari terik siang
"kini
ia stroke dan
pernah
dirawat
di rumah sakit," cerita temanku
"ia
amat takut pada istrinya," cerita
temanku
yang lain
aku
tak lagi pernah jumpa dia...
11/11/2010:
02.30
Menikmati Rokok
: bersama thomas budi santoso
“aku pecandu,
tapi tak
sebanyak rokok
yang kau simpan
di tas,” kataku
seraya mengisap
nikoten
hati-hati,
karena setiap abai
polisi kerajaan
menangkap
lalu di bawah
pepohonan
di antara
barisan kendaraan
seisap-isap asap
kita nikmati:
“bagaimana jika
bersama
perempuan?” aku
menggoda
sebatang rokok
seseorang perempuan
tak akan sama
nikmatnya: “kau mau
rokok yang
kubawa ini? lebih nikmat
dari yang
bayangkan.”
setelah itu,
kuciptakan bola-bola
dan terbang menghisasi udara
-- tak ada polisi di sini,
juga yang tidur
sepanjang gang
dalam kampung –
“kau
mau
rokok yang
kubawa ini?”
aku terpana,
sebab tersimpan bom
di dalamnya!
Brunei 17 Juli
2010-Lampung September 2010
Halaman untukku Bertasbih
inilah halaman
untukku
hingga aku habis-habisan:
bertasbih
dan doa kuterbangkan
sampai ke pucuk
menara
“apakah Tuhan
akan mengambil
doamu, wahai
peziarah?” sebisik
orang hinggap di
telingaku
tapi doa tetap sampai
meski tak liwat menara ini
atau beribu kubah lain di bumi
juga di tanah suci
di dalam hati ini
ada menara yang telah kubangun
lebih tinggi dari menara di mana pun
sebab di sini, aku hanya ingin mengadu
bertahun-tahun hatiku membatu!
Kudus Januari 2008-Lampung 2009
Di Negeri tak Bebas
selebihnya cuma diam
ketika kau pelan-pelan
menarikku dan memberi
beberapa bungkus rokok
“aku menjadi hidup
oleh rokok dan puisi,” seperti
ingin kau ucapkan itu,
ketika tanganku
menyambar
beberapa bungkus
rokok
ke dalam tasku
(kau
hanya tersenyum,
tanpa melepas rokok
dari
jepitan bibirmu)
“tapi puisi tak pernah habis,
meski rokok
akhirnya menjadi abu,”
jawabku
dan puntungnya
kuinjak
sebelum datang
polisi kerajaan
menyeretku ke
bui
atau didenda
di sini, setiap perokok
layaknya
penjahat….
Brunei 18 Juli
2010-Lampung Okt-Nov 2010
Biodata:
Isbedy Stiawan ZS lahir dan besar di Tanjungkarang
(Lampung). Banyak menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di
pelbagai media massa daerah dan Jakarta, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Sinar Harapan,
Jurnal Nasional, Suara Karya, Nova, Horison, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka,
Jawa Pos, Riau Pos, Lampung Post, Radar Lampung, Kedaulatan Rakyat, Harian
Global, dan lain-lain.
Sekitar 17 buku
cerpen dan puisi telah diterbitkan, di antaranya Perepuan Sunyi, Seandainya Kau
Jadi Ikan, Hanya untuk Satu Nama, Kota Cahaya, Aku Tandai Tahi Lalatmu dan
lain-lain.
Kini bekerja di LampungTV—grup MNC—sebagai produser
(redaktur) dan berkhidmat di Dewan Kesenian Lampung. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar