Menapak
Maninjau
setapak, setapak maninjau yang kutemukan danau juga,
kabut tanjung raya benar mengelilingi ribuan
keramba,
ikan ikan di dalamnya jelma jadi anak anak gunung tinjau,
yang sempat hilang dari garis bayang,
hingga ingin kuingat bagaimana rupa tanjung raya,
saat ia masih sebagai
insan bersama bujang sembilan
Padang,
Oktober 2010
Di Meja
Makan
entah ini ke berapa kali sajian,
kita belum juga saling suap
malah sendiri menyantap dalam hening
meski kamu dan aku bisa menatap lekat
rentang antara meja makan,
kapan lagi kita nikmati untuk saling menatap
kedalaman lapar kita masing-masing,
mendesak hati kita untuk saling mendekat
ah, tak perlu diceritakan lagi
tentang rentang meja makan
atau berapa kali kita menyuap
karena di meja ini kita adalah sajian
yang dinikmati lapar dan hening
dengan pandangan sangat dekat
Padang,
September 2010
Buku Gambar yang Halaman Akhirnya Ada Air Mata
: Avianti Armand
wanita itu kerap berkisah apa saja yang ia temukan dalam buku gambar
karena tiap lembar pasti ada kisah tua diceritakannya dalam syair sederhana
meski memang aku tak mengerti ia bercerita dari ruang mana
dan dimanakah ruang yang ia kisahkan padaku pada tiap barisnya yang sunyi
terkadang aku merasa gigil membaca sunyi, kata yang ia tutur dengan tenang
pada deskripsi sebuah kota yang penuh kanal, layang-layang, deru mesin
dan kepak merpati, hingga perahu pengantar kisah remaja patah hati
atau pernah berkasih di musim-musim bunga kemudian jadi debu
disapu angin musim gugur, lalu menyerbak dalam serpih-serpih
bersama dedaun menguning, retak dan koyak terinjak
hingga lembar terakhir kubuka, tak kutemukan kisah yang sama
sebab tiap lembar ia sajikan kisah dan lanskap memori di mata
mata siapa saja yang pernah singgah di ruangnya, ruang bernama entah
tempat ia bercerita padaku, meski tak sekalipun diberi tahu
dari ruang manakah asal semua cerita nan padu dalam sebuah buku gambar
buku gambar yang di akhir halamannya ditutup air mata.
Padang, Mei 2010
: Avianti Armand
wanita itu kerap berkisah apa saja yang ia temukan dalam buku gambar
karena tiap lembar pasti ada kisah tua diceritakannya dalam syair sederhana
meski memang aku tak mengerti ia bercerita dari ruang mana
dan dimanakah ruang yang ia kisahkan padaku pada tiap barisnya yang sunyi
terkadang aku merasa gigil membaca sunyi, kata yang ia tutur dengan tenang
pada deskripsi sebuah kota yang penuh kanal, layang-layang, deru mesin
dan kepak merpati, hingga perahu pengantar kisah remaja patah hati
atau pernah berkasih di musim-musim bunga kemudian jadi debu
disapu angin musim gugur, lalu menyerbak dalam serpih-serpih
bersama dedaun menguning, retak dan koyak terinjak
hingga lembar terakhir kubuka, tak kutemukan kisah yang sama
sebab tiap lembar ia sajikan kisah dan lanskap memori di mata
mata siapa saja yang pernah singgah di ruangnya, ruang bernama entah
tempat ia bercerita padaku, meski tak sekalipun diberi tahu
dari ruang manakah asal semua cerita nan padu dalam sebuah buku gambar
buku gambar yang di akhir halamannya ditutup air mata.
Padang, Mei 2010
Di Dalam
pintu berderit. dua lelaki hitam masuk
lalu menyuruhku berdiri sembari berkata
"dia mau bertemu denganmu"
pikiranku kosong di ruangan putih ini
dan perlahan berjalan bersama mereka
menyusur remang lorong yang tak
kukenali
satu satu orang di hidupku bermunculan
hadir mengikuti langkah tertatih menuju
ruang yang kerap aku menemuinya
wanita berjas putih itu menyusupkan
kata-katanya jauh ke dalam otakku
menyuarakan apa yang tak ku ucapkan
nyanyian di dalam beterbangan di sekitarku
tak dapat kutangkapi satu satu
semakin riuh ruangan itu, aku tak gaduh
malah aku tertolong dengan
kata-kata yang beterbangan itu
hingga diperintahkan kami untuk diam
ketika seseorang lagi dari luar
ia datang untuk bertanya
"Bagaimana di dalam"
aku dengan tenang menjawab
"aku baik-baik saja"
Padang, Juli 2010
Dua Tokoh yang Tak Pernah Ada Dalam Puisiku
-lelaki kurus
berapa waktu yang kau butuh
untuk berdiam diri di halte
menunggu bis sembari menyulut
rokok tanpa merk hingga
asap yang kau sulut itu
tak cukup jadi penunjuk
untuk menghantarmu ke rumah
sampai kini aku tak tahu
halte mana kau menunggu
mungkin aku terlalu sering
datang dan pergi lewat stasiun
hingga kita tak pernah bertemu
-Perempuan yang selalu muda
pernah satu kali ku berpikir
apa kamu yang mengandung puisi
karena tak sekalipun
melahirkan syair syair merah jambu
terlihat dari wajahmu hanya abu-abu
kelabu dan hitam pun selalu
sampai ingatanku pun kabur tentangmu
Padang, Juni 2010
Tentang Fernando
Fernando, lahir 21 Juni 1988 di Padang,
Sumatera Barat. Alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab, IAIN
Imam Bonjol Padang.
Tahun 2006 puisinya, Iblis, menjadi juara I dalam Lomba
Menulis Puisi yang diadakan Teater Imam Bonjol IAIN Imam Bonjol Padang. Pada 2009,
dua puisinya menjadi nominator dalam Lomba Menulis Puisi Se-Indonesia yang
diadakan oleh STAIN Puworokerto
Esai, puisi dan cerpen terjemahan
terbit di beberapa media massa seperti Padang Ekspres (JPNN), Singgalang,
Haluan, Pos Metro Padang (JPNN), Harian Global Medan, Lampung Post, Jurnal
Bogor, Suara Merdeka, Suara Karya dan
kompas.com. Sajaknya juga termaktub dalam Antologi Puisi Menolak Lupa (Obsesi
Press,2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar