Minggu, 20 Oktober 2013

PUISI Budi Saputra



Mata Air

rahasia hujan yang kerap singgah dalam diri kita, yang berupa
butir yang bersemayam di titik pecahnya itu. bertahun-tahun hujan
berenang di tiap perguliran uap bumi. menyapih kelopak mawar
dan segala benih-benih yang tunas

namun hujan kadang menghilang dari padang hijau
dan kulit-kulit kehidupan

di tepi bukit itu, ada yang selalu menggelitik ingatan kita, katamu.
mata air yang mengalir dari batangan bambu. bermusim-musim
tetap mengalir seperti halnya angin yang senantiasa menggetarkan
dedaun kayu. saat musim kering merayap di hamparan tanah,
dimana sebagian ditanami benih dan sebagaian lainnya lahan tidur
atau hakulah, kita pernah menyaksikan bocah-bocah menjinjing
sekian dirijen air dari mata air itu. dalam kabut petang, dalam lenguh
sapi yang pulang kandang, kita tak habisnya meneruka sekian makna
“ sesungguhnya di tiap perguliran uap bumi ke langit lepas itu,
termaktub sebuah keikhlasan bagi yang ranggas dan yang kering”
   
Padang, 2010




Kenangan Pantai

(1)
begitulah perjalanan menuju pantai jauh yang rimbun
dalam ingatan, dalam cerita demi cerita yang kita tuang
dalam napak tilas menyusur cuaca lama. di mana kita
buru lagi ujung pantai tempat langit berdiam khusyuk
tempat burung-burung terbang lemah di puncak bakau
sebelum suara serak ragam makhluk malam bercecer
di sepanjang perjalanan pulang

(2)
kita pernah membagi rasa makna pada kesepian yang
mengudara dan pada batu-batu gunung yang berlumut
disiram tahun. hingga menjelang kelam, kita begitu larut
memainkan usia. berlari dari rapuh dan kecemasan
kekanak yang membisul dalam diri

(3)
dan kelam tak ubahnya barisan sajak perjalanan
sajak yang menyekap dirinya sendiri dalam gemulung
ombak dan kapal-kapal nelayan yang mengerlip
di kejauhan. betapa aroma persinggahan dan perburuan
nasib begitu mengental di pasir-pasir putih. melebihi
denyut danau yang jauh di ujung dusun. tempat dimana
kita pernah menikmati ikan-ikan bilis, kelabat kereta wisata
dan kabut-kabut putih yang berarak di petang gerimis

Padang, 2010



Kunjungan Senja Hari
sebuah ziarah

yang kau ceritakan dulu akhirnya kurambah jua menjelang
malam tiba. di kampungmu yang jauh dari kotaku, kutemukan
hamparan kebun teh dan dingin suhu yang tentunya telah
bertahun-tahun mendaging di balik kulitmu. pada perjalanan
yang ujungnya memerah dan rombongan awan berlari
dalam kilometer sedang, aku begitu takjub pada pukau semesta.
betapa santun senja di sepanjang perjalanan menuju rumahmu.
pribumi dan udara seakan merangkul mesra. juga pohon-pohon
yang tumbuh khusyuk di pinggir rimba, yang menghamburkan
bayangan tahun-tahun lampau: bis-bis antar kota senantiasa lalu
lalang menyusuri jalanan panjang. jalanan yang begitu silam
memapah helai nafasmu. nafasmu yang berlari dalam sebuah
keharusan, dalam setiap yang datang dan usai di pintu rumah
dan halaman sederhana. tempat dimana kita di malam itu
bercerita, dan memadukan duka dalam helaian rakaat doa

Alahan Panjang-Padang, 10


Petang di Stasiun Tepi Bukit

pernah kubayang di sepanjang jalan menuju danau kandi itu
diantara tinggi silo, taman kota, dan dalam raung sirine kerja
sesuatu yang menyusut dalam usia kota. berabad hegemoni
kolonial dalam paceklik kebebasan, dalam foto hitam putih
sejarah yang tampak khusyuk meniti peran waktu

“yang sesungguhnya terkandung di dasar tanahmu, maka
itulah bagian dari tiga jalan”

betapa sangat silam sekali butiran peluh dan raung tahun
membangun dunianya sendiri. saat bagian tiga jalan telah
berhamburan, tersisalah gudang ransum, 
atau terowongan panjang. sebagaimana aroma kota yang
kuhirup di petang ini. perempuan-perempuan yang berlalu
lalang dengan wangi sabun mandi di tubuhnya, lengking
kereta yang pulang dari wisata, atau pelancong yang habis
menikmati jantung kota. betapa petang yang beranjak senja
ini mematungkan perasaanku pada bayang-bayang perguliran
setiap yang ditanam, lalu terbongkar bagai batang pohon yang
tumbang bersama akar-akarnya

Sawahlunto-Padang, 2010



Di Atas Bus Antarkota

senja dan malam ibarat seduhan doa dengan keletihan
saat perjalanan kian terasa menguras bagi kita. semenjak
dari pelabuhan dan terminal yang lengang, begitu banyak
helai perasaan yang tumpah. dalam diri kita, wajah laut,
dan kebun sawit telah tersangkut dan mengeram. juga
pribumi berlogat lain yang silih beganti menggaruk perjalanan
perjalanan berates kilometer dari pulau pengembaraan,
dari euforia sebuah kota yang katamu lahan basah bagi
para pendatang 

dan seperti yang kukata, “senja dan malam ibarat seduhan doa
dengan keletihan”. dimana kita kian larut jua menuju kelam
cuma detak jantung bergumul dengan deru mesin dan doa
perjalanan yang kita pagut dalam dingin malam. kita yang
sempat singgah di rumah makan dinihari, dimana sesudah
itu, kita kembali seperti lembu-lembu yang terperangah
kekenyangan. kebisuan kembali datang yang di bawa angin
dari hutan malam. sementara di luar, yang kau tatap hanya
gugus bintang dan puncak merapi dari kaca jendela. sebelum
akhirnya, angin subuh dan kebiasaan kota mengucapkan
selamat datang bagi yang lelah memapah sekujur pengembaraan    

Pekanbaru-Padang, 2010







Tentang Budi Saputra
Lahir di Padang, 20 April 1990. Mahasiswa STKIP PGRI Sumatra Barat. Puisinya pernah dimuat di Harian Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Majalah Sabili, Jurnal Bogor dan Lampung Post.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...