OLEH Sondri BS
Pemerhati Budaya
Pengakuan terhadap keberadaan individu di tengah lingkungan
sosial dalam berbagai lingkupnya menjadi penting bagi manusia. Manusia yang mengalami
krisis identitas dan eksistensi karena serangan atau tekanan dari pihak lain akan
menunjukan gejala-gejala tidak percaya diri, lalu berusaha menunjukkan
keberadaannya dalam bentuk simbol-simbol tradisi dan romantisme kejayaan di
masa lalu.
Eksistensi menjadi penting bagi manusia, baik individu,
komunitas, etnis atau suku bangsa yang merupakan sifat dasar manusia dan
masyarakat yang selalu ingin dihargai, dihormati, disanjung dan bahkan
diagungkan dalam relasi sosial. Bagaimana orang-orang ingin diakui sebagai
pahlawan atau bagaimana suatu bangsa ingin diakui sebagai bangsa yang jaya,
berpengaruh, berkuasa, dan manusia pilihan, juga bagian dari kompensasi krisis
eksistensi yang dialami. Dampak besar dari perasaan sosial itu bisa muncul
tidak hanya dalam bentuk-bentuk simbol, namun bisa juga pada unjuk kekuatan.
Bangsa-bangsa yang memiliki nafsu berlebihan untuk diakui
dan berkuasa telah menyuburkan perasaan cauvinisme dan ultranasionalisme dan
bahkan melakukan serangan terhadap bangsa-bangsa lain. Implikasi dari gerakan
penguatan eksistensi dari suatu bangsa ini kadang bisa juga menghilangkan
keberadaan suku-suku atau bangsa lainnya. Itu juga merupakan ekses dari
pertarungan eksistensi yang terjadi dalam konteks relasi sosial yang lebih luas.
Pada saat serangan yang menghancurkan dan menjatuhkan
terhadap suatu individu dan kelompok masyarakat atau suatu bangsa maka akan
terjadi krisis identitas yang parah. Ibarat kekalahan dalam satu pertarungan,
maka harga diri telah jatuh. Perasaan rendah diri kemudian ditutupi dengan
mulai membesar-besarkan cerita tentang apa yang pernah ada.
Minangkabau dan Krisis Eksistensi
Ilustrasi di atas bisa jadi cermin bagi orang Minangkabau
yang cenderung memperlihatkan gejala-gejala mengalami krisis eksistensi secara
individu dan bahkan secara komunal. Ciri-ciri ini bisa terlihat dari
kecenderungan mengagungkan masa lalu, juga simbol-simbol kedaerahan. Sebagai
contoh soal penamaan bandara Minangkabau, dapat dinilai sebagai suatu upaya
menunjukan keberadaan suku Minangkabau itu sendiri. Di Indonesia, tidak ada
penamaan bandara dengan nama daerah, barangkali hanya nama suku Minangkabau satu-satunya.
Motif yang sama juga pernah terjadi dengan pembangunan Istano Basa Pagaruyung
yang konon kabarnya juga merupakan upaya untuk membangkitkan rasa harga diri
orang Minangkabau yang telah jatuh setelah meletusnya perang PRRI.
Eksistensi orang Minang secara komunal terasa luluh lantak
sejak terjadi pertikaian politik dan perang. Para elit masyarakat Minangkabau
menyadari betul perasaan kekalahan itu setelah pertikaian PRRI. Perasaan itu hidup dalam memori
tokoh-tokoh, kaum intelektual dan mereka yang terlibat sebagai pelaku sejarah
pada masa terjadinya PRRI. Rasa kalah itu seperti hidup dan terkenang, bahkan
seperti diwariskan di alam romantisme sampai pada generasi sekarang. Walau
sesungguhnya yang dianggap elit pusat pada masa itu juga ada yang berasal dari
Minangkabau.
Minangkabau yang dulunya dianggap berjaya dengan orang-orangnya yang berperan
besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pendirian republik, kini sepertinya
kurang dipandang. Kalau toh ada tokoh-tokoh dari Minangkabau di masa
berkuasanya Orde Baru sampai sekarang mereka lebih dianggap sebagai subordinat
dan antek-antek kekuasaan saja. Mereka mungkin bagian dari ‘korban’ itu sendiri.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang memiliki karakter yang kuat. Bahkan
sebagian besar ikut mewarnai corak dan warna republik sejak awal berdirinya.
Mereka berada di barisan elit bangsa Indonesia dengan menempati posisi wakil
presiden, perdana menteri dan jabatan-jabatan penting lainnya dalam sruktur
kekuasaan.
Eksistensi dan identitas orang Minangkabau ini kembali
dihantam melalui perubahan sistem pemerintahan terendah nagari menjadi desa di
masa Orde Baru berkuasa. Ini telah menguliti entitas lokal yang sangat diagung-agungkan
orang Minangkabau, yaitu dengan istilah “adat salingka nagari”. Nagari sebagai
bentuk sistem yang mengikat orang Minang dalam sebuah tatanan sosiokultur telah
dirusak. Seluruh nilai dan sistem budaya yang ada di dalam nagari kemudian hancur
akibat dari kooptasi negara dan kekuasaan absolut. Nagari yang merupakan
tatanan komunal yang telah membentuk karakter, identitas dan entitas orang Minang
itu akhirnya lumpuh. Meskipun kemudian pasca reformasi diberi ruang bagi
kembalinya subsistem pemerintah nagari untuk eksis kembali, namun itu sudah
tinggal kerabangnya saja. Sangat sulit membangunnya seperti sediakala, ditambah
lagi beban arus globalisasi yang datangnya di saat kerusakan sistem dan kultur
itu terjadi.
‘Kekerasan’ Budaya
Di sisi lain, sesungguhnya kaum lelaki Minang juga telah
mengalami krisis eksistensi sejak dari mereka terlahir sebagai orang Minangkabau
akibat dari paham matrilinial yang berlaku. Sistem matrilinial budaya
Minangkabau dengan berbagai cirinya telah memperlakukan anak laki-laki Minang
secara keras. Perlakuan keras ini dapat dinilai dari tidak adanya hak pakai
lelaki Minang terhadap tanah ulayat atau tanah pusako kaum. Begitu juga ketika
lelaki Minang menikah dan kemudian tinggal di tanah harta pusaka kaum istrinya,
mereka diibaratkan “abu di atas tunggul” yang menggambarkan betapa rentannya
posisi mereka. “Abu di atas tunggul” akan terbang di saat angin bertiup
kencang. Artinya posisi lelaki Minang di kaumnya juga kurang dihargai, sedang
di rumah istrinya hanya menumpang.
Peran lelaki Minang sebagai mamak tak lebih merupakan peran
klise dengan kewenangan mengatur tapi tak pernah menerima manfaat dan mengambil
keuntungan dari harta kekayaan yang ada.
Sejak
kecil atau remaja anak lelaki Minang telah diberi perangkat nilai-nilai sosial
yang juga keras terhadap mereka. Contohnya anak laki-laki yang lebih banyak
tinggal di dalam rumah akan dapat cemoohan bahkan bisa-bisa disuruh keluar dari
rumah oleh ibunya sendiri. Jika mereka sering berada di rumah daripada di luar
seolah-olah mereka tak ubahnya seperti kaum perempuan.
Akibat dari perlakuan keras ini telah memunculkan tiga
instrumen baru dalam kehidupan lelaki Minangkabau masa dahulunya yaitu; surau,
lapau dan rantau. Saat kecil anak lelaki Minang diperintahkan untuk belajar
mengaji dan silat di surau. Bahkan mereka juga ditekankan untuk tinggal atau
menginap di surau. Untuk instrumen surau pada saat ini telah dianggap melemah.
Kemudian setelah mereka menginjak masa remaja, mereka ditekankan
atau diarahkan pergi ke lapau sebagai sebuah gambaran pergaulan. Di lapaulah
lelaki Minang berinteraksi dan menambah wawasannya tentang perkembangan masyarakat.
Di samping itu tanpa disadari di lapau pula tempat mereka mengaktualisasikan
diri dan berharap mendapat pengakuan di tengah-tengah masyarakat. Seringkali
lapau menjadi tempat bercerita tentang kehebatan dan kemajuan seseorang dalam
kehidupan, misalnya dalam hal kekayaan dan jabatan. Harapan mendapatkan
pengakuan ini kadang-kadang dilakukan dengan cara mengarang cerita sedikit berlebihan
untuk menunjukkan kemampuan dan perannya.
Instrumen lainnya yang lahir dari akibat kerasnya perlakuan
sosial budaya bagi lelaki Minang, yaitu rantau. Rantau dapat dilihat dari sudut
pandang perluasan wilayah kehidupan orang Minang, namun dapat juga dilihat
sebagai buah dari kerasnya perlakuan terhadap kaum laki-laki. Dengan merantau, lelaki Minang berharap mereka memiliki harta kekayaan
sendiri. Walau ada juga yang ingin menambah ilmu pengetahuan, tapi itu bisa
dipahami bukan sebagai motif utama. Di rantaulah bertumbuhnya jiwa dan
kemampuan interpreneurship orang Minang yang bisa saja merupakan sisi positif
‘kekerasan’ perlakuan yang dialaminya.
Pada akhirnya problem eksistensi dan identitas lelaki Minangkabau ini perlu menjadi bahan pemikiran bagi
kita semua. Sudah saatnya orang Minang menggali ke dalam sumur “Alam
Minangkabau” sampai ke dasarnya. Bukan seperti yang selama ini dilakukan, yang
lebih banyak hanya mengedepankan simbol-simbol yang berada di permukaan. Kekuatan
kekayaan falsafah dan sistem budaya itu sendiri yang mungkin perlu ditafsirkan
ulang. Mudah-mudahan itu bisa mengembalikan identitas budaya ke dalam alam
pikir dan rasa manusia sebagai suatu
karakter yang kuat, bukan pada corak atau aksesoris budayanya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar