OLEH Andhika
Dinata
Penulis Buku Taufiq Ismail di Mata Mahasiswa
Andhika Dinata |
Ada yang bertanya. Ada yang menjawab. Ada yang
mengkritik. Ada yang mengulas. Tanya-jawab, kritikan, ulasan menjadi buah pena
yang lazim dari suatu kritik sastra. Seorang kritikus tidak disebut “kritikus”
apabila ia tidak mampu mengkritik. Begitu juga sebaliknya, seorang kritikus
tidak akan dapat pula disebut “kritikus” apabila ia tidak “berbesar hati” untuk
dikritik. Budaya kritik-mengkritik dalam konteks -kritik sastra- memang harus
terus berkembang menjadi siklus eksistensi yang tidak boleh padam.
Tidak berbeda halnya dengan sastrawan, kritikus sastra
juga berasal dari rahim dan proses kreatif yang hampir sama. Ia bukan (lah)
lahir secara kebetulan, tetapi ia lahir dan tumbuh lewat embrio perdebatan,
diskusi dan juga polemik. Seorang sastrawan secara kebetulan atau tidak akan
menjadi kritikus sastra–setidaknya buat karyanya sendiri, tidak jarang juga
mereka (sastrawan) juga mengulas karya orang lain.
Pada dasarnya seorang sastrawan juga seorang kritikus.
Simaklah beberapa kritik yang ditulis Sapardi Djoko Damono, Ajip Rosidi, Budi
Darma dan nama-nama lainnya. Dari kalangan akademisi/intelektual budaya
tersohor nama-nama besar seperti H.B Jassin, A Teeuw, Kuntowijoyo, Suminto A.
Sayuti, Maman S. Mahayana, Agus R.
Sarjono dan lain-lain. Dari ranah sendiri dahulu tersohor nama-nama seperti
Mursal Esten, Hasanuddin WS, Nelson Alwi, Harris Effendi Thahar, Sudarmoko dan
lainnya. Semua nama-nama tersebut (dan juga nama-nama lain yang ada) bukanlah
sederet nama yang lahir secara kebetulan, melainkan juga melewati ruang
perdebatan, diskusi dan polemik. Dan secara garis besar, tidaklah bisa
dipungkiri bahwa kritikus tersebut merangkap (sastrawan) atau setidaknya mereka
yang paham betul mengenai sastra dan seluk beluknya.
Bagaimana jadinya jika sebuah kritik ditulisi oleh
seseorang yang tidak bergelut lumpur di dunia sastra, seperti saya misalnya, maka apakah kritik tersebut dapat diterima?
Mungkin pandangan ini, untuk sementara ini saya simpan baik-baik—izinkan saya meminjam istilah M Subhan—biarkan pembaca yang menjadi hakim.
Kegundahan
Di dalam esai “Beban Berat Kritikus Sastra” oleh Heru
Joni Putra (Harian Haluan, Minggu, 13
Maret 2011), sebagaimana dibaca, menunjukkan kerusuhan dan kegundahan batin
penulis akan langkanya keberadaan kritikus sastra saat ini. Keberadaan Fakultas
Sastra sebagai ranah akademis diharapkan mampu melahirkan kader kritikus yang
mumpuni belum cukup mampu dalam menjawab tantangan akan kebutuhan lahirnya
kritikus tangguh di bidang sastra. Seolah ada stigma yang melekat bahwa
persoalan kelangkaan kritikus dilepastugaskan kepada Fakultas Sastra semata. Padahal
menurut Heru, siapapun yang memiliki kepedulian memiliki tanggung jawab
holistik akan keberlangsungan sastra dan substansinya tanpa harus terikat oleh
embel-embel akademik dan semacamnya.
Kelangkaan kritikus sastra sebelumnya juga diulas
budayawan Nelson Alwi dalam “Kelangkaan Kritikus dan Peneliti Sastra” (Harian Haluan, Minggu, 20 Februari 2011) dan
hal ini memang menjadi tantangan yang serius dalam dunia sastra dan kepenulisan
saat ini. Ada yang urgen dan tersirat dalam esai Nelson Alwi sebagaimana saya
kembali mengutip: “...keberhasilan atau
keabsahan kritik sastra bukan bergantung kepada siapa yang membuat atau apa dan
dimana ia dipublikasikan, melainkan oleh kebernasan atau “sesuatu” yang ada
pada kritik itu”.
Kedua pendapat tersebut jelas memperkuat sinyalemen akan
kelangkaan kritikus itu sendiri. Sebetulnya, tidak elok benar jika menyebut
“kelangkaan”, sementara di luar sana masih ada beberapa nama kritikus yang
masih eksis meski mengaku “pensiun sejenak” dari dunia kekritikusan. Pun
beberapa generasi yang saat ini duduk berkecimpung di Bengkel Sastra, Fakultas
Sastra, Komunitas Sastra, atau bahkan dari kalangan di luar itu, juga dapat menjadi
kritikus masa depan, jika semua kalangan benar-benar bersepakat untuk melakukan
pembinaan intensif: bukakan sayap lebar-lebar untuk mengorbitkan nama-nama baru
di dunia kritik sastra.
Minimnya jumlah kritikus sastra saat ini menjadi wacana
yang seharusnya digali. Apakah saat ini pencarian nama baru yang kurang
digiatkan? Atau memang karena minimnya iklim kompetisi dan pembinaan sehingga
seiring waktu sayup terdengar nama-nama kritikus sastra tidak lagi mengalami
“pembaruan”? Atau mungkin masih rendahnya apresiasi terhadap nama-nama yang
baru muncul sehingga muncul sindrom “pesimis” dari kritikus pemula tatkala
harus “bertarung” secara intelektual dengan kritikus senior yang sudah mapan?
Meskipun begini dan begitu, upaya positif untuk menjawab
tantangan tersebut menjadi penting dimunculkan salah satunya lewat diskusi
publik dan kiprah kepenulisan. Sekali lagi, berikan apresiasi yang luas
terhadap pengembangan kritik itu selagi kreatifitas yang diberikan tidak
menimbulkan polemik yang “asal bunyi”.
Ada yang berbeda ketika sastrawan Sumatra Barat, Darman
Moenir, menulis dalam 30 Tahun Terakhir
Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat (Haluan, Minggu, 23 Januari 2011). Beberapa kalangan dan pengamat
sastra Sumatra Barat “tersontak”. Dengan bahasa retoris yang ringan, Darman
malah menyebut kreativitas sastrawan Sumatra Barat saat ini seolah berhenti di
tangan Gus tf Sakai. Ulasan polemik dan pro kontra tersebut muncul hampir
setiap minggu di rubrik ini, berjalan seiring dengan comment pengamat sastra/budaya di situs jejaring sosial. Sebagai
seorang sastrawan (penulis novel dan juga penyair), Darman Moenir agaknya paham
betul bahwa seorang kritikus tidak akan pula dapat disebut “kritikus” apabila
ia tidak “berbesar hati” untuk dikritik.
Baik, kita simak pada awal esai “30 Tahun Terakhir Tak
Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat”. Sekali diingat kata kunci esai ini yang
penting disimak adalah apa yang ditulis Darman sebagai novel “bermutu” (dalam
tanda petik). Entah karena euforia (luapan kegembiraan) atau mungkin tersilap,
kita tidak temukan apresiasi seorang Darman terhadap karya Memoar Alang-alang besutan Henry Tedja–yang kebetulan berasal dari
ranah yang sama. Kemenangan Persiden,
bagi Darman Moenir, menjadi begitu mengesankan pascaditarik ulur 30 tahun
sebelumnya dimana novel Bako menjadi
pemenang sayembara tahun 1980, di event
yang sama.
Menarik memang, apa yang ditulis penulis sajak Shelly Kecil (1972) tersebut, perihal
tidak adanya novel bermutu Sumatra Barat 30 tahun terakhir. Ada respons dan
kegairahan tersendiri dari banyak kalangan yang kemudian satu persatu antre
mengisi kolom esai dalam rubrik ini. Respons yang kemudian disebut menarik,
akademik, jeli, tajam, kritikal, bahkan (menurut Darman Moenir) ada juga yang
menggelikan dan menggurui (Harian Haluan,
Minggu 27 Februari 2011).
Dalam dua esainya itu, “30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel
Bermutu dari Sumatra Barat” maupun esai kedua “Menulis Novel “Kerja Kreatif”
menunjukkan pandangan sikap dan idealisme seorang Darman Moenir dalam menangkap
perkembangan sastra Sumatra Barat dewasa ini. Kembali dalam esai kedua, Darman
menulis dengan tegas tentang “baku mutu” sebuah novel yang olehnya sangat
ditentukan oleh aspek kebaruan (orisinalitas). Saya bersepakat bahwa sebuah
novel harus menyoroti sudut pandang, perspektif dan ruang gagasan yang baru
terhadap unsur-unsur “kenovelan” yang diangkatnya. Lain dari itu, selebihnya
akan lahir novel-novel turunan yang miskin kreatifitas, bahasa Darman: tidak bermutu. Sekali lagi, jika benar
“baku mutu” sebuah novel ditentukan oleh kebaruan gagasan, maka apa yang
ditulis Darman Moenir –secara utuh–tidak dapat disanggah. Pun jika saya pribadi
dihadapkan pada pilihan novel mana yang mau dibaca: novel berpredikat pemenang
Sayembara DKJ atau novel “Top Seller”
yang merias etalase toko buku Gramedia saat ini, maka saya pribadi akan
cenderung memilih novel pemenang sayembara DKJ untuk terlebih dahulu
dibaca—namun disadari atau tidak kesan semacam ini tidak berlaku umum (: bagi
pembaca) dan kesan ini tidak dapat pula dipaksakan.
Apa yang ditulis Darman dalam esai pertama “30 Tahun
Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat”, secara jujur meninggalkan
beberapa kesan, polemik, pertanyaan bahkan rasa penasaran. Untung saja pada
esai Darman Moenir berikutnya “Menulis Novel “Kerja Kreatif” muncul kesan yang
sedikit berbeda, ada sedikit pencerahan pemikiran sekaligus menjawab polemik
beberapa kritikus sebelumnya, kesan yang bertutur, reflektif, lugas dan
mengalir. Yang menarik dari esai kedua yang ditulisnya itu keterbukaan Darman Moenir
menyebut novel Memoar Alang-alang
Hendri Teja yang secara jujur diakui belum dibacanya. Hal yang selayaknya
ditutur pada esai pertama.
Betapapun demikian, kritik sastra sebagaimana disampaikan
Maman S. Mahayana dalam suatu Simposium Sastra (2008) bahwa semangat kritik
sastra bukanlah caci maki atau kritik yang tidak jelas juntrungannya. Kritik
sastra tentu saja memiliki orientasi dan tujuan yang hendak dicapai. Kritik
sastra juga tidak boleh melakukan “pembenaran” pendapat individu secara mutlak
dengan menutup ruang terhadap gagasan baru yang mungkin muncul sesudahnya. Yang
jelas setiap karya baru yang dimuat akan terus dikritisi, dan bagi yang
mengkritik juga harus siap diulas dan dikritisi oleh pengkritik berikutnya, dan
hal ini akan menjadi studi dan siklus yang tak akan pernah habis. Lagi-lagi
dalam kritik sastra terbentang samudera yang luas untuk bercurah gagas, memeta
pikiran secara intelektual dan bernas. Dalam kritik sastra tidak ada yang benar
dan yang salah, karena kebenaran yang hakiki hanya milik Allah SWT. Dan seyogianya seluruh sastrawan dan pembaca bersepakat
akan hal ini.
Harian Haluan, Minggu 20 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar